Aku tak pernah menyangka sebelumnya tentang nasib rumah tanggaku yang berujung di meja hijau. Tepat di hari jum'at pukul sepuluh pagi, sidang perceraianku berjalan dengan cepat.
Ketika hakim pengadilan agama mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya aku dengan Frans sudah bukan lagi pasangan suami istri.
Aku masih tak kuasa menahan perih yang masih tergambar jelas dalam ingatanku.
Malam itu Frans dengan wajah panik mengangkat telpon yang entah dari siapa?
Namun, wajahnya sudah berubah menjadi panik. Hingga Frans mengabaikanku yang masih berada dalam dekapannya.
Seketika itu juga Frans langsung menyambar kunci mobil, langkahnya setengah berlari tanpa menghiraukan sikap penasaranku.
"Ada urusan kantor yang mendadak sayang, mungkin aku tidak pulang." ucapnya singkat padaku.
Setelah mengatakan itu Frans mengecup puncak kepalaku sesaat, tapi entah kenapa firasat seorang istri begitu kuat. Aku seperti tak percaya dengan alasan yang Frans katakan padaku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti kemana suamiku pergi dengan mobilku sendiri.
Aku sengaja memberikan jarak dengan mobil Frans, tapi rasanya ada yang aneh di sini.
Ini bukan jalan menuju kantor Frans. Harusnya kantor Frans belok kanan di pertigaan lampu merah, tapi kenapa Frans masih memilih lurus?
Batinku semakin berkecamuk. Apalagi dengan berbagai alasan yang Frans berikan padaku akhir akhir ini.
Rasanya semakin tidak masuk akal, Frans sering sekali bilang meeting di luar kota, bahkan sampai harus menginap.
Kalaupun Frans pulang, ia pulang sampai larut. Sampai aku sudah terlelap tidur akibat lelah menunggu.
Sekitar satu jam perjalanan, mobil Frans berhenti di sebuah rumah dengan desain minimalis bernuansa violet.
"Rumah siapa ini?" gumamku pelan, masih menyaksikan suamiku yang berjalan tergesa-gesa saat memasuki rumah tersebut.
Selang beberapa menit Frans sudah keluar dari rumah tersebut. Ia menggendong wanita cantik dengan perut besar, sepertinya wanita itu sudah siap melahirkan.
Tapi tunggu dulu, dari raut wajahnya sepertinya aku mengenali wanita itu. Hanya saja postur tubuhnya yang membengkak karena hamil tua membuatku sedikit kesulitan mencari nama wanita itu.
"Al.. Alea..." ucapku terbata.
Ya Alea, sekertaris suamiku yang sangat cerdas dan cekatan, tapi kenapa dia bisa hamil?
Padahal, setahuku Alea belum pernah menikah?
Apa mungkin Frans sedang membantu sekertaris kebanggaannya untuk proses persalinan?
Bisa saja suami Alea dinas di luar kota, atau luar negeri.
Saat itu pikiranku masih berusaha positif, tapi kalau diantara Alea dengan suamiku tidak ada hubungan spesial, mengapa dekapan Alea terasa sangat intim sekali dalam gendongan Frans?
Ah, detak jantungku semakin tak menentu.
Aku takut menerima kenyataan kalau Alea mengandung anak Frans.
Kalau tidak, kenapa Frans begitu peduli dan perhatian pada Alea?
Terlebih lagi posisiku yang tak kunjung mampu memberikan seorang anak untuk Frans.
Biarlah semua pertanyaan itu aku simpan dulu, yang terpenting saat ini aku harus tahu siapa ayah dari bayi yang dikandung Alea?
Mobil Frans kembali melaju menuju rumah sakit. Segera aku ikuti langkah Frans, namun kini langkahku terhenti di bagian resepsionis.
"Selamat malam Mba, ada yang bisa dibantu?"
Resepsionis itu menyapaku dengan sambutan hangat, dengan senyum yang tercetak di wajah cantiknya.
"Aku saudara dari Alea, pasien yang barusan daftar melahirkan."
Aku sedikit berbohong dengan mengaku sebagai saudara Alea, tapi tak mengapa karena itu yang harus aku lakukan saat ini.
"Oh silahkan Mba, tunggu saja di bagian ruang persalinan ya." titah resepsionis.
Kalau boleh jujur, bukan itu yang ingin aku korek lebih dalam informasinya. Aku hanya ingin tahu siapa nama pasangan dari Alea?
"Ehmm, maaf Mba. Kalau boleh tahu suaminya Alea atas nama siapa ya Mba? Biar saya tidak salah orang."
Aku sedikit berbohong, tapi tak mengapa karena rasa penasaranku lebih besar di sini.
Kemudian mba resepsionis itu mengecek layar monitor, lalu membacakan nama suami dari Alea.
"Suaminya di sini atas nama bapak Frans Wicaksana, Mba."
GLLEEEEEEKKKKKK
Seketika itu juga hatiku seperti hancur berkeping-keping, nafasku sesak mendengar nama suamiku disebut sebagai suami dari nama wanita lain.
Telingaku terasa panas, begitupun dengan kedua bola mataku yang mulai berkaca-kaca, bahkan setitik bulir bening berhasil jatuh bebas di pipiku, tanpa sanggup aku tahan lagi.
Lima tahun bersama Frans, ternyata ini balasan Frans terhadapku.
Aku tahu aku cacat, tidak mampu memberikan keturunan untuk Frans, tapi setidaknya Frans harus bilang terlebih dahulu padaku atas apa yang telah dilakukannya bersama Alea.
"Mba, apa mba menangis?"
Resepsionis itu menyadarkanku, aku harus kuat dan menerima kenyataan yang ada saat ini.
"Ah tidak, hanya kelilipan maskara saja Mba. Terimakasih ya Mba."
Aku segera melangkah cepat menuju ruang persalinan Alea, sepertinya dia akan melahirkan normal.
Aku melihat dari pintu ruangan yang di tengahnya terdapat kaca sempit, bayangan Frans masih dapat aku lihat di sana.
Frans dengan setia menggenggam jemari Alea erat, mengecup puncak kepalanya, memberikan motivasi pada Alea untuk tetap kuat melahirkan darah dagingnya.
Darah daging yang telah lama Frans dambakan, dan kini mimpinya tercapai. Namun, bukan denganku. Bukan dengan wanita yang selalu percaya padanya, sampai kepercayaan itu dimanfaatkan dengan mudahnya oleh Frans.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan tangis bayi yang begitu kencang, lalu semua orang yang berada di ruangan tersebut mengucapkan selamat untuk Frans.
Sementara aku sudah terkulai lemas bersandar di pintu. Aku tak sanggup lagi menyaksikan kebahagiaan yang bertahun tahun aku impikan.
Aku tak peduli bayi itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Nafasku terlalu sesak untuk menyaksikan suamiku mengecup, memeluk, dan menggenggam jemari Alea dengan perasaan yang mendalam.
"Selamat tinggal Frans."
Bibirku bergetar mengatakannya, namun itu keputusan yang harus aku ambil.
Aku tak sanggup jika harus dimadu oleh Frans.
Aku tak sanggup berbagi suami dengan wanita lain, aku bukan malaikat yang tak berbatas kesabaran.
Aku hanyalah wanita lemah bernama Jenny Florencia. Wanita yang divonis mandul, tak mampu memberikan anak bagi siapapun pria yang menikahiku.
Biarlah aku sendiri, dari pada aku harus menahan sakit dengan cinta yang terbagi.
Biarlah cinta itu pergi bersama yang mampu memberikan kebahagiaan lebih untukmu Frans.
•••
Aku bukan malaikat yang tak berbatas kesabaran.
Miss Viona
"Selamat tinggal Frans."
Malam itu aku meluapkan semua emosiku di rumah milik Frans.
Rumah yang selama lima tahun ini aku tinggali bersama Frans. Melalui hari hariku bersamanya, menemani suka maupun duka.
Pencapaian Frans sebagai direktur utama di perusahaan adalah campur tangan dari pernikahanku bersamanya.
Ayah Frans baru bisa mengangkat Frans sebagai direktur utama dengan syarat menikahiku, barulah ayah Frans akan mempercayakan semua aset perusahaan untuk putra semata wayangnya.
Ayah mertuaku sangat memahami reputasi wanita yang pernah menjadi kekasih Frans. Mereka hanya menginginkan uang dan posisi dari keluarga Wicaksana saja. Berbeda dengan aku yang justru mampu memberikan kontribusi ide ide segar untuk bisnis Frans.
Semuanya berawal dari pertemuanku dalam projek launching sebuah produk fashion. Aku yang dipercaya mewakili kantor tempatku bekerja untuk bekerjasama dengan kantor ayah Frans, di sanalah kita bertemu.
Sampai akhirnya, bunga bunga asmara itu tumbuh sendirinya diantara aku dan Frans.
Kami saling mencintai, apapun keadaannya kami berjanji tidak akan pernah berpisah sampai maut menjemput.
Namun, itu dulu. Jauh sebelum aku tahu sebuah fakta yang ada.
Itu dulu, sebelum aku tahu kalau jauh dalam lubuk hati Frans diam diam sangat mendamba kehadiran seorang anak. Walau bukan hanya Frans saja yang mendambakan kebahagiaan yang lengkap.
Akupun sama menginginkan buah hati yang lucu, buah hati yang akan tumbuh sehat bersama penuh cinta, bersama melihat anak anak kita tumbuh dewasa.
Ternyata semua yang diucapkan Frans hanyalah kebohongan belaka, hanyalah bunga bibir yang selalu menjadi kias untuk menenangkan kekhawatiranku.
Jujur sering terbesit dalam pikiranku kalau suatu hari nanti Frans akan berpaling dariku, mencari wanita yang sehat, yang mampu memberikan keturunan untuknya.
Apalagi keluarga Wicaksana memiliki kekayaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata, sudah dipastikan butuh penerus untuk kelangsungan bisnisnya.
"Aku benci kamu Frans! Benci! Benci!"
Kuhempaskan semua barang di meja rias kamar.
Biarlah semuanya hancur, sama seperti hatiku saat ini, merasakan sesak atas apa yang telah kudengar dari mulut resepsionis di rumah sakit.
Aku menangis menjerit kencang, sampai mengabaikan keberadaan bi Irah, sang asisten rumah tangga di rumah Frans.
Bi Irah sudah lama bekerja di rumah ini, jauh sebelum aku menikah dengan Frans.
Entahlah, rasanya seperti mimpi buruk.
Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk yang harus segera bangun dan berakhir. Namun, inilah kenyataannya. Sama sekali bukan mimpi.
Mau lari kemanapun kenyataannya Frans sudah berkhianat di belakangku.
Mau tidak mau, suka atapun tidak, aku harus terima kenyataan pahit itu.
"Non Jenny, cerita sama Bibi Non." ucap bi Irah sambil menatap penuh cemas terhadapku.
Langkah kaki wanita paruh baya itu sangat hati hati saat memasuki kamarku bersama Frans.
Seketika itu aku langsung menghambur ke dalam pelukan bi Irah, lalu menangis meluapkan emosi yang sudah tak sanggup kutahan lagi.
"Frans Bi, Frans." keluhku pada bi Irah, seakan mencoba mengadu pada wanita paruh baya yang selalu setia pada keluarga kecilku.
Bi Irah mengelus rambut panjangku yang tergerai di punggung. Kasih sayang bi Irah begitu tulus, ia sudah menganggap aku ini seperti putrinya sendiri.
"Kenapa dengan tuan muda Non? Ada apa? Cerita sama Bibi."
Rentetan pertanyaan keluar dari bibir bi Irah yang panik melihat keadaanku yang nampak kacau.
Bukannya bercerita, aku justru menangis semakin gaduh, membayangkan wajah Alea yang menatap Frans penuh cinta.
Membayangkan keintiman mereka, sampai mampu melahirkan seorang anak. Ternyata, hubungan mereka sudah sejauh ini tanpa aku sadari.
Aku pikir skandal tentang bos dan sekertaris itu hanya ada dalam sinetron, ternyata ini kenyataan yang menimpa rumah tanggaku.
"Aku ingin cerai dengan Frans, Bi."
Bi Irah langsung melepaskan pelukannya, mendorong tubuhku untuk saling menatap netra masing-masing.
Bi Irah mencoba meyakinkan apa yang aku ucapkan. Dia ingin memastikan kalau kalimatku ini benar benar serius atau hanya racauan belaka.
"Frans mengkhianatiku Bi, sekarang dia sedang menikmati momen bahagianya bersama wanita lain yang mampu memberinya keturunan."
Suaraku tercekat tidak sanggup berkata kata lagi, begitupun dengan bi Irah yang terkesiap menganga menatapku.
"Apa Non Jenny yakin itu tuan?" bi Irah masih belum mempercayai ucapanku.
"Yakin Bi." jawabku mantap.
Aku kembali tertunduk, sampai terduduk lemas di bibir ranjang.
"Sabar Non, tapi kalau Bibi boleh kasih saran mending diobrolin baik baik dulu dengan tuan muda." bi Irah masih mencoba berusaha bijak.
Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, bagiku tidak ada yang perlu dibicarakan lagi antara aku dengan Frans.
Semuanya sudah jelas, aku hanya ingin kembali pulang ke rumah ibuku.
"Aku harus pergi Bi." ucapku lirih di hadapan bi Irah.
Ku usap air mataku yang mengalir di pipi dengan satu usapan kasar, lalu bangkit dari duduk meraih koper besar dan memasukkan semua pakaianku ke dalam koper.
Sesaat kulihat kedua bola mata bi Irah yang tersentak akan tindakanku.
"Non tolong Non, ini sudah malam. Jangan memaksa pergi malam ini juga." bi Irah masih mencoba menahan keputusanku.
Aku tetap bersikeras mengemasi barang barang dan pakaianku. Tanpa mempedulikan ucapan bi Irah.
"Jangankan malam ataupun badai, perceraianpun aku sudah tidak takut."
"Hari ini adalah hari terakhir kalinya kupijakkan kakiku di rumah ini Bi." ucapku tegas tanpa memandang ke arah bi Irah.
Setelah mendengar ucapanku barusan, bi Irah turut membantuku membawakan barang barang ke dalam bagasi mobil dengan tatapan sedih.
Dari raut wajah bi Irah nampak tidak merelakan aku pergi dari rumah ini.
"Non jaga diri baik baik, jangan lupa berikan kabar. Bibi pasti merindukan Non."
Bi Irah memelukku begitu erat nan hangat.
Keikhlasan dan ketulusannya memang luar biasa padaku, menganggapku sudah seperti anaknya sendiri.
Jalinan emosional diantara kami sudah terlalu kuat, walau dengan berat hati semuanya harus kutinggalkan.
Aku tidak ingin hidup dalam bayang bayang pengkhianatan, biarlah semuanya berakhir.
Biarlah luka ini aku yang rasa, aku yang simpan, dan tak akan pernah mampu aku buka kembali.
"Aku pamit bi Irah, Assalamualaikum." ucapku sambil menenteng kunci mobil dengan wajah yang tertunduk, berusaha menahan tangis.
Kemudian aku mulai melajukan mobilku meninggalkan bi Irah, meninggalkan rumah yang menyimpan ribuan kenangan.
•••
Bi Irah hanya menatap kepergian mobil Jenny, mungkin ini pertemuan terakhir kali bi Irah dengan majikan wanitanya.
Hati bi Irah tak merelakan kepergian Jenny, tapi bagaimanapun bi Irah juga wanita, pasti mampu merasakan apa yang Jenny rasakan saat ini.
Kalaupun bi Irah berada di posisi Jenny, tentunya dia akan mengambil keputusan yang sama.
Tidak ada satupun wanita yang rela berbagi suami dengan wanita lain. Seadil adilnya seorang suami, tidak akan pernah terlihat adil di mata istri istrinya.
Bi irah menyeka air mata yang berlinang di kedua pipinya, nafas bi Irah terasa sesak, seperti larut dalam kesedihan Jenny.
"Ya Allah, si non itu wanita yang sangat baik, tapi kenapa cobaan yang Engkau berikan begitu berat untuknya?"
Wanita paruh baya itu menengadahkan wajahnya, menatap nyalang langit langit teras, masih dengan nafas yang tersengal.
Kemudian bi Irah bergegas kembali memasuki rumah mewah milik Frans, dapat bi Irah pastikan kalau rumah itu akan terasa sepi, tidak akan sehangat biasanya, tanpa kehadiran sosok Jenny di sana.
•••
Jangan lupa klik like setelah baca ya 😉
Masih tergambar jelas dalam ingatanku. Malam itu aku pergi meninggalkan rumah Frans. Rumah yang menyimpan ribuan kenanganku bersamanya.
Kenangan yang harus segera aku buang jauh, bahkan jangan sampai tersentuh lagi.
Tekadku sudah bulat ingin mengakhiri semuanya, walau niat hati melupakan, namun kenyataannya membuang masa lima tahun bersama Frans pasti tidak mudah.
Namun, semuanya harus aku lakukan. Karena, aku tidak ingin menjadi perempuan bodoh yang berpura-pura ikhlas. Apalagi harus pura-pura kuat berbagi suami.
Hujan mengguyur jalanan begitu deras saat laju mobilku sudah memasuki kota kelahiranku, Purwakarta.
Mobilku kini sudah terparkir di pekarangan rumah ibuku, namun rumah itu sedikit terasa asing bagiku, mungkin karena ibu mengganti warna cat rumahnya dengan nuansa warna merah tua.
Apa sudah terlalu lama aku tidak mengunjungi rumah ibu?
Sampai sampai aku lupa akan semua perubahannya.
Langkah kakiku sedikit berlari menembus hujan yang cukup deras, lalu kuketuk pintu rumah, sampai pada ketukan ketiga menampilkan sosok wanita dalam balutan hijab dengan senyuman yang tercetak indah bermakna kerinduan.
"Jenny. . ." bisik ibu.
Ibuku nampak riang menyambut kedatanganku di depan pintu. Sementara aku sedikit memaksakan senyuman, namun tetap saja aku justru menghambur ke dalam pelukan ibu, berusaha menahan nafasku yang sesak.
Air matapun siap aku tumpahkan ke dalam pelukan ibuku.
"Ibu. . ." panggilku lirih.
Aku mulai menangis dalam pelukan ibu, dengan bahu yang sudah bergetar menahan sesak.
"Anak Ibu kenapa?"
"Kok nangis?"
"Frans mana?"
Pertanyaan ibu yang bertubi-tubi menghancurkan kesedihanku. Tatapan ibuku menyapu pandangan di luar rumah, mencari cari sosok suamiku Frans.
Wajar saja ibuku mencari Frans, karena malam malam begini sekitar pukul sepuluh malam aku bertamu ke rumah ibuku, pasti dalam pikiran ibu ada Frans yang mengantarku.
Aku masih tidak menjawab pertanyaan ibu, tapi ibu membawaku masuk, lalu mendudukkanku di sofa ruang tamu. Matanya menyiratkan banyak pertanyaan padaku.
"Aku ingin cerai dengan Frans Bu." ucapku sembari menatap kosong meja ruang tamu.
Pernyataanku barusan membuat ibuku terlonjak mendengarnya.
"Astagfirullahaladzim Jenny! Kamu ini bicara jangan sembarangan."
Aku hanya diam mendengarkan ibuku yang tidak mendukung keputusanku.
"Memangnya ada masalah apa dengan suamimu?"
Ibu semakin penasaran akan masalah yang menimpa rumah tanggaku.
"Mas Frans diam diam selingkuh di belakangku Bu. Malam ini dia pergi menemui wanita yang sudah melahirkan darah daging mas Frans."
Hanya sampai itu yang mampu aku jelaskan pada ibu. Nafasku kembali tercekat, tak mampu berkata apapun lagi, saat ini yang aku butuhkan hanyalah pelukan ibu yang mampu mendamaikanku.
Tangan ibuku mendekapku erat ke dalam pelukannya, mengisyaratkan padaku untuk kuat menghadapi badai rumah tanggaku.
"Apa kamu yakin Frans melakukan itu di belakangmu Jenn?"
Ibuku masih mencoba untuk tidak menghakimi situasi, berharap ini hanyalah kesalahpahaman kecil dalam rumah tanggaku.
"Aku yakin Bu." jawabku penuh keyakinan.
Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anak perempuan semata wayangnya diperlakukan seperti ini?
Seketika itu juga raut wajah ibuku berubah pucat saat mendengar pernyataanku.
"Ibu yakin Jenny adalah wanita yang baik dan kuat. Semuanya pasti akan ada hikmahnya Sayang."
"Kita hanya bisa menerima cobaan yang Tuhan berikan kepada kita, dan ibu yakin Jenny pasti bisa melalui masa sulit ini. Kalau dengan berpisah dirasa jalan terbaik, Ibu hanya bisa mendukung apapun yang menjadi keputusan Jenny."
Netra ibu menatap langit langit rumah, sementara tangannya masih setia mengelus punggungku lembut penuh kasih.
"Iya Bu, semoga Jenny bisa melupakan semua yang telah terjadi bersama Frans."
Mungkin dengan aku berpisah dari Frans, aku bisa kembali hidup bersama ibuku.
Kasihan ibu, sejak bapak meninggal dia hidup bersama keponakannya di rumah ini.
Keponakan ibu yang sudah ibu anggap seperti anaknya sendiri, menggantikan posisiku jika aku tidak ada di rumah.
•••
Matahari bersinar cerah pagi ini, secerah hati Frans yang dilanda rasa bahagia memiliki buah hati yang telah lama Frans nantikan dari rumah tangganya.
Sayangnya sang istri Jenny Florencia, tidak mampu memberikan kebahagiaan itu. Tapi tak mengapa, karena Frans kini memiliki anak perempuan yang baru lahir semalam dari rahim Alea.
"Kamu mau kemana Mas?" pertanyaan Alea sedikit kecewa saat melihat Frans yang sudah bersiap mengambil kunci mobil di atas nakas rumah sakit.
"Maafkan aku sayang, aku harus pulang dulu. Jenny pasti sudah menungguku." tutur Frans.
Seketika raut wajah Alea berubah masam saat mendengar ucapan Frans.
"Dia juga istriku sayang, aku mohon kamu mengerti."
Frans masih berusaha meminta pengertian Alea dengan memberikan pandangan memelasnya pada Alea.
"Tapi aku baru saja melahirkan Mas. Aku masih butuh kamu di sampingku, bahkan anak kita Mas."
Rengekan Alea sedikit merepotkan Frans, tapi Frans sendiri gelisah sudah meninggalkan Jenny dengan alasan urusan kantor.
"Aku mohon mengertilah, lagi pula sudah ada mbok Siti yang akan menemani kamu sementara Mas pergi."
Frans masih mencoba melerai situasi, sembari mengelus puncak kepala Alea dengan sayang.
"Kamu selalu saja mengutamakan dia yang cacat, mengutamakan wanita yang tidak mampu memberikan keturunan untukmu."
Kalimat yang Alea ucapkan barusan membuat rahang Frans langsung mengeras, tak terima mendengar Alea mengatakan Jenny perempuan cacat yang tak bisa memberikan keturunan.
Entah kenapa Frans selalu tidak terima jika ada yang menghina Jenny seperti ini.
"Jaga bicaramu Alea!"
"Kalau Jenny sempurna, tentunya aku tidak akan sejauh ini denganmu."
Jari telunjuk Frans lurus tertuju pada Alea, memperingatkan istri sirihnya untuk tidak mengatakan hal itu lagi di hadapannya.
Bagaimanapun juga kadar cinta Frans untuk Jenny berbeda porsinya dengan Alea.
Di mata Frans, Jenny adalah wanita yang cantik. Bukan hanya cantik secara fisik saja, melainkan kepribadiannya, dan keanggunannya.
Wajar saja jika ayah Frans, Wicaksana Saputra memilih Jenny sebagai pasangan yang tepat untuk Frans.
"Tapi itu kenyataannya Frans."
Alea semakin kesal akan perubahan sikap Frans, menurutnya Frans terlalu membela Jenny.
"Dan kenyataannya kamupun memanfaatkan kekurangan Jenny, Lea!" Frans tidak mau kalah.
Bagaimanapun Jenny adalah istri kebanggaan Frans dan keluarga besarnya.
"Sekali lagi kamu menghina Jenny seperti itu, akan aku pastikan kamu tidak akan hidup mewah lagi. Bersiaplah kehilangan putrimu Lea."
Mendengar ucapan Frans barusan membuat tubuh Alea bergetar, mulutnya tiba-tiba terkunci, tak sanggup lagi mengatakan apapun.
Rasanya ancaman Frans terlalu mengerikan bagi Alea.
Frans berlalu meninggalkan ruang rawat Alea. Langkahnya melenggang dengan cepat menuju area parkir rumah sakit, kemudian ia melajukan mobil menuju perjalanan pulang, karena Frans takut Jenny curiga akan alasan palsunya semalam.
•••
"Sayang, aku pulang."
Teriak Frans setelah sampai di ruang tamu rumahnya sambil meletakkan kunci mobil beserta ponsel di meja. Namun, tidak ada sambutan hangat dari Jenny yang seperti biasanya.
Jenny selalu menyambut Frans dengan senyuman manisnya, kemudian meraih tangan Frans, mencium punggung tangan Frans penuh dengan rasa hormat terhadap suami.
Frans melangkah menuju ruang TV, namun Jenny tidak ada di sana.
"Sayang, Mas pulang nih." Frans kembali berteriak.
Kini langkah Frans sudah sampai di kamar utama, namun tidak ada siapapun di sana.
Barang barang milik Jenny tak ada di kamarnya lagi, lalu dibuka lemari slide berwarna putih di sudut ruangan. Benar saja dugaan Frans, Jenny sudah mengemasi pakaiannya.
Frans turun dari lantai dua, ia mencari bi Irah dengan sirat mata penuh cemas. Frans takut kalau istrinya pergi meninggalkannya, ia takut kalau Jenny mengetahui perselingkuhannya dengan Alea.
"Ternyata Tuan sudah pulang." ujar bi Irah menyambut kepulangan majikannya yang nampak kacau mencari Jenny.
"Jenny mana Bi?" tanya Frans, sementara bi Irah hanya diam tertunduk.
"Jawab Bi Irah, kemana Jenny?" rupanya Frans sudah sangat gelisah.
"Anu Tuan, anu, non Jenny pamit pergi dari rumah ini." jawab bi Irah sedikit gugup di depan Frans.
"Maksudnya Bi?" potong Frans penasaran.
"Non gak akan kembali lagi ke sini Tuan."
"Semalam non cantik sudah berkemas, dan pamit ke Bibi." ucap bi Irah lagi.
Bi Irah masih ingat bagaimana Jenny menangis semalam, dan itu cukup menyesakkan hati bi Irah saat menjelaskan kepada Frans.
"Lalu Jenny bilang apa sama Bibi?"
Tanya Frans yang masih berusaha menahan rasa panik.
"Non cuma bilang akan mengurus perceraian dengan Tuan muda."
Seketika itu juga Frans mengacak rambutnya kasar saat mendengar penjelasan bi Irah. Sudah dapat dipastikan kalau Jenny telah mengetahui semuanya, dan Frans harus segera pergi menemui Jenny di rumah orangtuanya.
Tak banyak bicara lagi, Frans langsung menyambar ponsel dan kunci mobil di atas meja ruang tamu.
Langkah Frans begitu cepat meninggalkan bi Irah yang masih berdiri mematung, memikirkan nasib rumah tangga majikannya yang tengah berada di ujung tanduk.
•••
Tinggalkan jejak kalian dengan klik like 😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!