NovelToon NovelToon

Keliru

Pengkhianatan Sang Asisten

“Saya mau berbicara denganmu,” kata Baron dengan suara berat. “Ke ruangan saya sekarang!”

Sungguhpun, Adi merasa menggigil. Baron menatapnya dengan sorot mata kekecewaan. Adi bukan orang bodoh, ia menyadari itu.

Apa ada masalah? Atau dirinya telah melakukan kesalahan di perusahaan ini sehingga membuatnya marah? Adi rasa ia tidak melakukan masalah apa pun? Lantas apa sebabnya?

Tanpa babibu, Adi mengikuti langkah Baron yang masuk ke dalam ruangannya. Mengamati cara duduk lelaki tua itu dengan angkuh.

“Ada apa, ya, Pak?” tanya Adi setelah hening beberapa saat.

“Apa kamu tahu, orang yang selama ini saya percayai sepenuhnya telah diam-diam berkhianat?”

“Saya tidak tahu, Pak,” jawab Adi yang sudah merasa ganjil dengan pertanyaan Baron kali ini. Ada yang tidak beres dengan pertanyaan ini sehingga ia sedikit terusik.

“Orang yang paling dekat dengan saya, menusuk saya dari belakang. Bahkan dia berani mengambil milik saya yang paling berharga! Paling berharga!” ucap Baron Berapi-api.

“Siapa yang berani mengkhianati Bapak?” tanya Adi yang masih saja bingung dengan perkataannya.

“Nah, itu. Itu tugasmu. Cari dia dan bawa dia ke sini, ke hadapan saya!” ucap Baron sangat berang. “Kamu tahu siapa saya?”

“Tahu, Pak.” Sebisa mungkin Adi menunjukkan wajah yang tenang.

“Bagus. Kau juga pasti tahu apa yang terjadi jika saya sudah menemukan pengkhianat itu.” Baron masih tampak sangat marah. “Pergilah! Saya sedang ingin sendiri.”

Dan ketika Adi keluar, Adi langsung menuju ke ruangan di mana Rury berada. Lantaran tak ingin membuang waktu, Adi segera bertanya kepada gadis itu yang tengah sibuk di hadapan layar komputernya.

“Apa ada masalah?” lantaran Rury tak mengacuhkannya, Adi kembali berujar, “Di kantor ini.”

Rury mengernyit. “Masalah apa?”

“Keluar masuk penjualan, atau keluhan dari konsumen?”

“Tidak ada ....”

“Yang lain?”

“A-aku tidak tahu,” jawab Rury seperti menyembunyikan sesuatu.

“Yakin?” kata Adi memastikan.

“Aku tidak tahu,” jawab Rury lagi. Namun sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu, Rury kembali berujar, “Adi!”

Adi menoleh.

“Sebaiknya kau cepat-cepat pergi, kau dalam bahaya,” katanya yang dipelankan di akhir kalimat. Dan detik itu juga Adi langsung mempercepat langkah mengambil serta barang-barangnya di ruangannya sendiri. Lantas berhambur ke lift menuju ke basemen.

**************************

Jakarta, Januari 2020.

“Selamat bekerja di Perusahaan saya,” kata Baron Tarigan kepada lelaki muda berumur dua puluh delapan tahunan itu. Baron menjabat tangannya dan memberikan senyum lepas. 

“Terima kasih atas diterimanya saya menjadi asisten Bapak, semoga saya bisa menjalankan semua tugas dan pekerjaan ini dengan baik,” jawab Adiwangsa. Sang ahli IT dan juga pemegang sabuk hitam taekwondo. 

“Apakah Rury sudah memberitahukan apa saja tugasmu?” tanya Baron sambil bersiap-siap membereskan berkas-berkas yang ada di meja. “Maaf, saya belum bisa berbicara banyak denganmu, saya sedang sangat sibuk dan waktunya sangat terbatas.”

“Sudah, Pak. Tetapi sepertinya belum semuanya.”

“Oh, iya jelas. Karena tugas yang kau emban saat ini sangatlah banyak. Itu bisa bertahap.” Ada jeda sesaat sebelum Baron kembali mengatakan sesuatu. “Tetapi untuk sekarang ini kau tidak perlu mengikutiku dulu. Ada orang yang akan saya temui secara pribadi. Jadi kau bisa mempunyai lebih banyak mempelajari tugas-tugasmu bersama Rury.”

“Baik, Pak,” jawab Adiwangsa sedikit menunduk. 

“Oh iya, satu hal lagi Adiwangsa, kau akan menjadi tangan kanan saya dan masuk menjadi bagian penting dalam hidup saya. Dalam hal apapun, nanti kau adalah orang pertama yang tahu tentang semua rahasia saya." Baron menatapnya lebih tajam seraya berkata setengah mengancam, "bekerjalah dengan baik! Jangan sekali-sekali kamu mengkhianati saya. Kamu tahu siapa saya dan bahaya apa yang akan terjadi jika kau berani melakukan itu, mengerti?” 

Namun penjelasan dan ketegasan Baron kali ini membuat keseluruhan tubuh Adiwangsa terasa begitu menggigil. Ada perasaan menyesal lantaran telah masuk ke dalam hidup seorang Baron Tarigan. Adakah Adi beruntung? Atau justru sebaliknya.

Tidak semua orang akan bersikap baik, ada kalanya setiap manusia pasti mempunyai atau melakukan kesalahan. Tapi apapun kesalahan itu, Adi berharap semoga itu hanyalah sebuah masalah sepele yang gampang diatasi.

Baron memasukkan ponselnya ke dalam kantung saku lalu menuju ke pintu. “Saya tinggal dulu, Adiwangsa.” 

“Iya, Pak,” jawab Adi lagi. Tak ada lain yang bisa ia katakan selain; iya, Pak. Baik, Pak. Terima kasih, Pak. Dan mungkin akan selalu seperti itu selama ia bekerja kepada Baron. Lelaki tua kaya raya berumur empat puluh lima tahunan, pemilik jaringan rumah sakit serta pabrik farmasi dan kosmetik terbesar di negeri ini. Belum lagi beberapa deretan Hotel beserta restoran jepang yang tersebar di beberapa tempat. 

Selepas Baron pergi, Adiwangsa ke ruangan lain menemui Rury, sekretaris Baron. Untuk melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat tertunda, lantaran masuk memenuhi panggilan tuan besarnya.

***

Beberapa hari berlalu. Adiwangsa sudah bisa bekerja seperti biasa. Banyak hal-hal yang mungkin belum dipahami, tetapi mungkin bagi Adiwangsa, tak perlu membutuhkan waktu yang lama. Otaknya yang genius mampu dengan cepat menghafal seluruh tugas yang diberikan. Baron merasa begitu cocok dengan asisten barunya dan langsung mempercayainya begitu saja.

“Kita langsung lanjut ke mana setelah ini, Pak?” tanya Adi. Kali ini Baron memintanya untuk mengantarkannya ke suatu tempat.

“Ke Cireundeu, kota Tangerang selatan. Alamat lengkapnya saya share ke ponselmu,” jelas Baron. Tak lama kemudian ponsel Adiwangsa berbunyi. Adiwangsa segera membukanya untuk mengetahui tempat tujuan.

Kurang lebih empat puluh menitan, akhirnya mereka sampai di depan rumah berlantai dua yang didominasi cat putih. Sedang di depannya terdapat gazebo berukuran besar dan pohon kemboja kuning yang bunganya berjatuhan ke hamparan paving block kompleks. Memilih tempat yang terlindung sinar matahari, Adiwangsa memarkirkan mobil Alphard Vellfire itu di bawahnya. Harum kemboja menyeruak di hidungnya saat Adiwangsa membuka pintu mobil.

“Tolong bawakan oleh-olehnya, Di,” titah Baron pada saat lelaki itu turun. Lalu melenggang masuk ke dalam.

“Iya, Pak.” Adiwangsa mengeluarkan dua paper bag berukuran besar yang entah berisi apa dan untuk diberikan kepada siapa? Lalu mengantarkannya ke dalam rumah. Kebetulan pintu ruang tamu sedang dalam kondisi terbuka.

Namun saat ia baru melangkahkan kakinya ke ambang pintu ....

“Aakh!” pekik suara gadis. Sebab ciuman panas mereka harus terlihat oleh Adiwangsa yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.

“Oh, maaf-maaf Pak!” seru Adiwangsa juga sama-sama terkejut. Raut wajahnya memerah menahan malu. Kenapa main nyelonong saja, bodoh! Makinya kepada diri sendiri. Pasti Baron sangat marah kepadanya. Namun saat ia cepat-cepat melangkah keluar dari pintu, Baron justru memanggilnya.

“Adiwangsa!” 

“I-iya, ada apa, Pak?” jawab Adi masih belum berani membalikkan tubuhnya.

“Kemarilah!” titah Baron.

Adiwangsa membalikkan tubuhnya, lantas melihat mereka berdua yang tengah duduk dengan posisi Baron merangkul pundak gadis itu.

“Perkenalkan, ini istri kedua saya,” kata Baron lagi sambil menoleh ke samping. “Mala, ini asisten baruku. Kalian berkenalanlah, saya mau ke toilet. Jangan lupa persiapkan semuanya setelah ini. Segera kau nyalakan AC kamar!”

“Baik, Mas,” jawab perempuan itu. Lalu beralih kepada Adiwangsa dan mengulurkan tangannya. “Namaku Nirmala.”

“Saya Adiwangsa, Bu,” balas Adiwangsa santun. 

“Mau menunggu di sini, atau diluar?”

“Em, saya diluar saja.”

“Baiklah, kalau kau butuh minum atau apa. Kau tinggal minta ke dapur. Ada Mbak yang bekerja di sana.” Wanita itu menunjuk letak posisi dapur yang bertempat di belakang garasi mobil, samping ruang tamu itu.

“Baik, terima kasih, Bu.” 

Gadis itu tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Dari gelagatnya lelaki tua itu pasti akan kencing. Dasar kadal tua! Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Sudah punya istri cantik, anak-anak yang baik, serta kekayaan berlimpah, masih saja kurang bersyukur. Buktinya dia mengawini lagi wanita lain. Coba kalau istri pertamanya tahu, habislah lelaki kadal itu!

Selama berpuluh-puluh menit Adiwangsa menunggu di gazebo depan sambil merokok. Namun kemudian datang seorang asisten rumah tangga membawa nampan yang diatasnya terdapat kopi hitam dan beberapa cemilan.

“Ini kopinya, Pak. Biar nggak ngantuk.” Wanita kisaran umur tiga puluhan itu meletakkan nampan itu di dekatnya.

“Terima kasih, Mbak.”

“Sama-sama, Pak.”

Pak? Itu terlalu tua. Namun Adiwangsa tak bisa menyuarakannya.

“Mbak mbak, mbak!” panggil Adiwangsa sebelum ART itu pergi. 

“Ya, gimana, Pak?”

“Biasanya, Pak Baron lama nggak di dalam?”

“Oh, lama, Pak. Biasanya sampai sore,” jawab Mbak itu.

“Mereka ngapain selama itu di dalam?” Adiwangsa bertanya untuk memastikan.

Lantas Mbak itu berbisik, “servis.”

“Oh,” kata Adiwangsa mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau saya mengantuk apakah ada kamar?”

“Ada di atas, tinggal naik saja. Nanti belok kiri dekat balkon.”

“Oke-oke, Mbak. Makasih.”

“Ya, Pak. Sama-sama.”

Ini benar-benar pekerjaan terkutuk. Sebab, jika kelak rahasia ini terbongkar, pasti Adiwangsa juga pasti ikut terlibat dalam masalah ini. Tetapi ia juga tidak bisa keluar begitu saja. Sebab, ia telah menandatangani surat perjanjian kontrak. Adiwangsa bisa keluar jika kontrak sudah habis, atau meninggal dunia.

Beberapa puluh menit berlalu, rasa kantuk datang membuat mulutnya wara-wiri menguap. Aneh memang, padahal ia baru saja menegak kopi. Kantuk memang kuasa Tuhan, tidak ada obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa kantuk itu selain tidur.

Adiwangsa pergi ke kamar atas. Lalu beristirahat di sana. Di kamar yang wangi, Adiwangsa teringat bayangan ciuman liar beberapa jam yang lalu yang tertangkap basah di kedua bola matanya.

“Astaghfirullahaladzim.” Adiwangsa beristighfar seraya mengusap wajahnya.

***

To be continued.

Keganjilan wanita itu

Jam dinding sudah menunjukkan pukul empat pada saat ia membuka mata. Namun anehnya, bukannya langsung membersihkan diri, Adiwangsa malah teringat gadis cantik tadi. Istri muda Baron. Oh iya, bukan gadis lagi. Sebut saja namanya Nirmala. Memang jalur kaya itu sangat mudah bagi wanita-wanita zaman sekarang. Apalagi kalau mempunyai wajah yang mendukung.

Sebenarnya, Nirmala itu muda dan cantik. Menurut Adiwangsa, Nirmala bisa saja memilih lelaki yang mungkin lebih muda, lebih kaya dan lebih gagah daripada suaminya. Tetapi mengapa dia bisa menjatuhkan pilihannya kepada Baron? Bagaimana bisa Nirmala melayani lelaki kadal tua itu, lalu tidur satu ranjang dengannya? Ah, pasti kentutnya sangat bau sekali. Hoek!

Dan sesaat kemudian, Adiwangsa langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia menghubungi kekasihnya yang tinggal di daerah Jakarta Timur. 

“Sudah lama kau tidak menghubungiku,” katanya dari seberang sana. “Lupa?”

“Tidak juga, aku sedang sibuk.”

“Lagi di mana sekarang?”

“Sedang mengantarkan Pak Baron ke Tangerang Selatan.”

“Kau sedang apa di sana?”

“Hanya tidur-tiduran saja, sambil menunggu Pak Baron selesai,” jawab Adiwangsa. “Lalu kau sendiri sedang apa?”

“Menonton televisi.”

“Sudah makan?”

“Itu-itu saja yang kau tanyakan. Aku bosan mendengarnya. Tanpa kau ingatkan pun kalau aku lapar pasti aku akan makan.”

Adiwangsa menggaruk-garuk kepalanya. “Lalu aku harus bertanya apa? ... Itulah sebabnya kenapa aku jarang menghubungimu. Aku tidak tahu sama sekali apa yang harus aku tanyakan dan aku bicarakan padamu.”

“Sudahlah, yang penting kau sudah menghubungiku. Dan aku senang kau punya inisiatif sendiri tanpa diperintah.”

“Alessia.”

“Ya, ada apalagi?”

“Selamat sore.”

“Hmmm.”

Panggilan ditutup. Lantas Adiwangsa segera turun dari lantai dua. Namun keadaan rumah masih saja terlihat sepi. Pasti lelaki kadal tua itu masih berada di kamar Nirmala.

Kopi kedua dibuat, Adiwangsa kembali menunggu di gazebo. Lantaran bosan, Adi hanya menggulir-gulir layar ponselnya tanpa tujuan apa-apa. Namun matanya tanpa sengaja mendapati foto Alessia di beranda sosial media. Sedang berpose memegang kelinci kecil berwarna putih kesayangannya. Wanita memang berjiwa feminim dan suka dengan hewan gemas seperti itu.

“Alessia ...,” katanya bergumam.

Alessia memang tidak memakai penutup kepala, tetapi dia wanita yang berpakaian sopan. Berawal dari pertemuan mereka karena kecelakaan kecil; saat Alessia berkendara motor dan terserempet oleh mobilnya tanpa sengaja. Karena kejadian itu, akhirnya mereka saling mengenal dan menjadi dekat. Namun Adiwangsa sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Karena selama enam bulan berhubungan, perasaan itu masih belum terasa jelas. Yakni seperti samar dan meraba-raba.

Adiwangsa hanya menjalani hubungan yang ada seperti air mengalir. Lagipula wanita itu juga tak pernah mengatakan apapun yang mengarah kepada hubungan ini. Apapun dan bagaimanapun kelanjutannya nanti, Adiwangsa tidak peduli dan lelaki itu malas sekali untuk memikirkannya. 

“Adi!” panggil Baron.

“Iya, Pak!” jawab Adi lantas beranjak dari tempatnya duduk.

“Antarkan saya pulang.”

“Baik, Pak.”

Adiwangsa masuk ke dalam mobil meninggalkan mereka yang sedang melakukan perpisahan sementara. Ya—semacam cepika cepiki, seperti itu. Lantas Adi segera menginjak pedal saat adegan itu telah usai.

“Nirmala itu, istri kedua saya, siri …,” kata Baron tanpa Adi bertanya. “Tolong kamu jaga rahasia ini. Jangan sampai istri pertama dan anak-anak saya tahu.”

“Baik, Pak.”

“Nirmala itu gadis yang baik, kasihan dia. Saya tahu cerita hidupnya yang cukup menyedihkan. Pada awalnya, saya hanya ingin menolongnya. Tetapi lama kelamaan saya jatuh hati kepada gadis itu. Kemudian saya menikahinya.”

Baron masih melanjutkan kata-katanya. “Mungkin sebagian orang atau termasuk dirimu, ‘menolong tidak perlu menikahinya’. Tapi itulah yang terjadi. Saya menginginkannya dan tak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk menahannya pergi dari saya. Meskipun, mungkin sesuatu pasti akan terjadi suatu saat nanti. Kau paham Di?”

“Ya, paham, Pak,” jawab Adi melihat Baron dari kaca yang bertengger di tengah.

“Kau sudah mempunyai kekasih?”

“Sudah, Pak.”

“Bagus. Menikahlah cepat agar kau tahu betapa bahagianya memiliki pendamping.”

Namun Adiwangsa hanya tersenyum. Bingung untuk menjelaskannya lebih lanjut.

***

Beberapa hari setelahnya.

“Adi, kau masih ingat rumah Nirmala?” tanya Baron.

“Masih, Pak. Kompleks Prima indah, Ciputat Tangerang selatan.” Adiwangsa menjawabnya dengan cepat, jelas, dan lugas.

“Ingatanmu sangat bagus!” Baron mengangkat jempolnya. “Kamu antarkan obat untuknya sekarang. Ini penting. Saya tidak percaya orang lain dan tidak mau ada orang sembarangan yang masuk ke dalam kompleks itu selain orang-orang kepercayaanku.”

“Untuk obatnya, Pak?”

“Kau bisa ambil di Century. Ini bukti pembayarannya.” Baron menunjukkan invoice-nya kepada Adiwangsa. 

“Baik, Pak, saya segera ke sana.”

Terlebih dahulu Adiwangsa menuju ke Century mengambil pesanan obat sebelum akhirnya ia mengendarai mobil ke daerah Ciputat. Sesampainya di sana, ternyata Nirmala sudah menunggunya di teras.

“Cepat sekali sampainya?” 

“Iya, Bu.” Adiwangsa menyerahkan kantung plastik obat kepada Nirmala. “Hanya butuh waktu tiga puluh menit dari Pondok indah ke sini.”

“Ini masih siang. Arus masih lancar. Coba tunggu sebentar lagi, pasti jalanan sudah padat merayap,” kata Nirmala sambil tersenyum. “Eh, ayo masuk-masuk!”

“Tidak, Bu. Saya harus cepat kem—” tidak sempat terselesaikan karena Nirmala menarik tangannya untuk masuk. Sehingga mau tak mau Adiwangsa duduk di sana.

“Alah, sesibuk apa sampai-sampai kau tidak punya waktu untuk sekadar minum? Apa saja sih yang kau kerjakan untuk si Baron itu?” Kata Nirmala namun tangannya sambil sibuk menuangkan minum untuk Adiwangsa. “Ini minumnya. Kau harus minum dulu sebelum pergi.”

Adiwangsa berusaha menyela. “Tapi—”

“Aku marah kalau kau pergi tanpa mau minum airku dan kue buatanku!” potong Nirmala cepat. Perempuan ini rupanya pemaksa juga. Tetapi mengapa juga Adi harus menurutinya?

“Aku yang bertanggung jawab jika Baron memarahimu.”

“Ya, Bu.” sejujurnya, Adiwangsa tidak nyaman berada di ruangan ini. Tetapi tidak dengan wanita itu yang terus melempar senyum. Dan tanpa malu atau ragu-ragu dia menyulut rokok di depannya. Lalu melempar bungkusan rokok itu ke meja.

“Kau ini kaku sekali, rileks saja,” kata Nirmala. Sebagian asap sudah mengepul di wajahnya yang jelita. Sungguh kelakuannya sangat berbanding terbalik dengan wajahnya yang feminim. Bahkan cara duduk wanita itu terbuka seperti mengundang orang lain untuk fokus ke arah itu.

“Kau perokok juga?”

“Ya, tapi tidak terlalu.”

“Kalau mau ambillah!” 

Wanita itu tersenyum lagi menatapnya. Dasar wanita kegatalan! Genit! Penggoda! 

“Sudah berapa lama kau bekerja dengan Baron?”

Terlebih dahulu Adiwangsa menenggak minum yang tersedia. Hanya secangkir teh, tapi beraroma kelapa. Minuman ini, Adi menyukainya. Sangat enak dan segar sekali.

“Saya baru sekitar dua minggu bekerja dengan Pak Baron,” jawab Adi. “Em, ini teh apa, Bu?”

“Kenapa, kau menyukainya?”

“Ya. Ini enak. Sangat enak.”

“Kau boleh datang ke sini lagi untuk merasakan tehku,” katanya namun setengah berbisik.

Tapi entah mengapa Adiwangsa menangkap keganjilan yang terjadi. Yaitu tatapan haus wanita itu kepadanya.

***

To be continued.

Terngiang-ngiang

Banyak hal yang tidak bisa terlupa sepulang Adi dari rumah Nirmala. Yakni; cara menatap wanita itu, senyumannya, cara duduknya dan suaranya yang berbisik setengah mendesah. Apabila Adiwangsa bukan orang yang peka, niscaya Adiwangsa tidak pernah bisa menangkap keganjilan yang terjadi.

Wanita memang pandai menyembunyikan perasaan, Adi percaya akan kebenaran ungkapan itu. Bukan pria yang munafik, sebenarnya Adiwangsa juga senang bila Nirmala menyukainya. Tetapi janganlah disangka Adiwangsa akan berbuat gila. Menggunakan kesempatan ini untuk balik menggodanya; lantas merayunya, mencumbunya dan mengajaknya berguling-gulingan di atas peraduan. Sungguh itu sangat keterlaluan dan sangat kurang ajar sekali. Siapa pun tahu siapa sosok Baron tarigan; lelaki yang mempunyai banyak kekuasaan. Bisa saja itu hanyalah sebuah jebakan (?).

Apa yang akan dilakukan olehnya bila itu benar-benar terjadi? Tidak akan pernah, aku masih waras!

Dan satu hal lagi yang membuat isi otaknya kacau sampai saat ini, yaitu kata-kata Nirmala sebelum Adiwangsa meninggalkan rumahnya kemarin sore, “aku tahu tadi celanamu sempit!” 

Sungguh itu adalah fakta yang paling memalukan di dalam hidup Adiwangsa. Tidak pernah sebelumnya ada seorang wanita berani mengatakan hal seperti itu secara terang-terangan kepadanya. Tidak pernah menduga pula ternyata Nirmala sampai memperhatikan benda di dalam sana yang letaknya sangat tersembunyi.

Mengapa ada wanita tak sopan seperti itu kepada lelaki yang baru saja dikenalnya? Lalu bagaimana jika Baron mendengarkan hal ganjil ini?

Namun tiba-tiba, sebelah siku menyenggolnya sehingga ia sedikit tersentak. “Jangan melamun! Sebentar lagi rapat akan dimulai,” kata Rury menyadarkannya.

“Iya, Mbak.”

Rury kembali mengingatkannya, “minum air mineral supaya kau lebih fokus.”

Adiwangsa mengangguk lalu menenggak minum setelahnya. 

“Selamat siang semuanya,” kata Baron memulai sambutan. “Terima kasih kepada semua divisi yang sudah hadir pada rapat hari ini. Saya sudah melihat laporan tiga bulan terakhir. Saya ingin meminta laporan setiap pimpinan divisi, apa kendalanya sehingga kita mengalami penurunan penjualan.”

“Baiklah, dipersilakan para divisi untuk menyampaikan hasil laporannya,” ucap Adiwangsa.

Dan satu persatu masing-masing divisi menjelaskan kendala. Yakni disebabkan oleh iklan yang masih sangat jauh dari iklan pesaing, sehingga mereka mengalami penurunan sepuluh persen dari sebelumnya. Sehingga masing-masing divisi menyarankan beberapa inovasi baru walaupun hal itu akan memerlukan dana yang lebih besar.

Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya rapat pun dinyatakan closure (sudah mencapai kesepakatan bersama). Urat-urat tegang perlahan mengendur saat semua keluar dari ruangan rapat yang paling dingin dan mencekam itu.

“Setelah ini, ke mana Pak?” tanya Adiwangsa saat mengikuti Baron menuju keluar.

“Kepala saya sedikit pusing; mungkin karena rapat tadi. Antarkan saja saya pulang ke rumah Pondok Indah,” titah Baron. “Setelah ini, kau juga boleh pulang.”

“Baik, Pak.”

Setelah selesai mengantarkan Baron pulang, Adiwangsa pun menuju ke rumahnya sendiri.

“Mau aku buatkan apa, Bang?” tanya Diana; adik Adiwangsa satu-satunya. Dia gadis berumur dua puluh empat tahun yang baru saja menyelesaikan kuliahnya.

“Jangan kau buatkan apa-apa, aku hanya ingin tidur.” lantas Adi berdiri. “Ibu ke mana?”

“Ibu lagi masak daging sama Alessia,” jawab Diana. 

“Alessia?” tanya-nya dengan bingung.

“Loh, kupikir abang tahu Alessia ada di sini. Maka dari itu abang pulang lebih awal.”

“Abang pulang bukan karena itu. Tapi memang sudah tidak ada pekerjaan lagi.”

“Alah, bohong. Tidak papa, Bang. Abang jangan malu-malu begitu sama adik sendiri. Kalian janjian kan? Sudah mau go publik?” kata Diana menggodanya. “Jadi, kapan nih Abang mau menikahinya?”

“Siapa juga yang mau menikah?”

“Nanti bisa keduluan sama aku, Loh, Bang!”

“Ya sudah, kalau kamu mau duluan ya terserah. Santai saja, jodoh tidak akan ke mana.”

“Bisa diambil orang kalau kelamaan, tahu!” kata Diana lagi mencoba memanasnya. Namun Adiwangsa tampak bersikap biasa-biasa saja tanpa merasa bagaimana-bagaimana. “Cewek itu tidak bisa menunggu terlalu lama.”

“Abang malas memikirkannya,” jawab Adi.

“Jangan seperti itu, Bang. Kasihan tahu! Diana yakin, nih. Kalau pacar Abang  itu bukan Alessia …, bah! Pasti tidak ada cewek yang kuat lama-lama sama Abang.”

“Justru cewek itu sukanya yang lama!” sanggah Adiwangsa cepat.

Mata Diana seketika melotot. Sejak kapan Abangnya jadi mesum?

Seolah tak menghiraukan kedatangan Alessia yang sedang berada di sini, Adiwangsa malah masuk ke kamar dan merebahkan dirinya di ranjang. Dan lagi-lagi … ia kembali terbayang-bayang wajah si jelita dan pahanya yang sedikit terbuka.

“Aaarghh! Aku ini kenapa, sih?” Adiwangsa menggeram lalu mengacak-acak rambutnya. “Apakah mungkin teh aroma kelapa bisa membuatku gila?”

***

Keesokan harinya saat sarapan pagi ....

“Kemarin Alessia ke sini, kenapa kau tidak menemuinya?” tanya Sukma. Wanita yang membesarkan dan melahirkannya. "Kau malah tidur sampai sore."

“Aku sedang lelah, Bu,” jawab Adiwangsa tak acuh. Mungkin asam padeh lebih nikmat daripada obrolan ini.

“Selelah apapun kondisimu, paling tidak kau menemuinya sebentar.”

“Ya, nanti aku ke rumahnya supaya dia tak salah paham,” kata Adiwangsa lagi agar ibu menutup pembicaraan ini. Ia sedang tak ingin membahas apapun tentang Alessia. Ia kesiangan pagi ini dan sudah di telepon wara-wiri oleh Baron untuk mengerjakan beberapa tugas yang harus dilakukan olehnya. Salah satunya mengantarkan Nirmala pergi ke pusat perbelanjaan.

Selain karena tugas, apakah wanita itu lebih menarik dari segi apapun?

Ya, tentu saja!

“Aku berangkat dulu, ya, Bu,” kata Adiwangsa mengulurkan tangan. “Aku sudah telat setengah jam.”

“Ya, kau pergilah, hati-hati, Nak. Selain kau menjaga nyawamu sendiri, kau juga menjaga nyawa orang. Pak Baron bukan orang sembarangan. Kau tidak boleh lengah sedikitpun, Nak.”

“Tolong doakan saja, Bu.”

“Ya, Ibu selalu mendoakanmu. Itu pasti, Nak.”

Setelah berpamitan, Adiwangsa langsung menuju ke kantor terlebih dahulu untuk menemui Baron. Lagipula, ini masih pukul delapan. Adiwangsa masih mempunyai luang waktu dua jam sembari membereskan sedikit pekerjaannya.

“Apa harus saya, Pak?” protes Adi pura-pura berkeberatan.

“Kenapa? Kau tidak mau?”

“Bukan begitu, Pak. Maksud saya-” 

“Mommy-nya anak-anak akan ke sini siang ini,” potong Baron cepat. “Saya tidak mau beralasan lagi; karena setiap istri pertama saya datang, saya tidak sedang berada di sini. Saya menyuruhmu, karena kamu asisten saya dan saya percaya denganmu.” Baron menyerahkan kartu kepada Adiwangsa. “Bawa ini dan pakai saja mobilmu. Karena tidak mungkin kamu membawa mobil saya lantaran pasti akan menimbulkan banyak sekali pertanyaan.”

“Baik, Pak.”

“Mall buka jam sepuluh, kau pergilah setengah jam sebelum itu. Saya tidak mau mendengarkan apa-apalagi.”

Baron kembali mengarahkan pandangannya ke layar tanpa memedulikan Adiwangsa lagi.

***

To be continued.

Pencet gambar love biar ada notif kalau novel ini update.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!