Euforia adalah istilah yang menerangkan sebuah perasaan senang yang begitu berlebih. Perasaan ini sangat dominan hingga menghasilkan sebuah tingkah tingkah laku yang berada diluar nalar manusia. Tingkah laku yang apabila dinilai oleh orang lain, berupa wujud dari sebuah cinta. Apa kau pernah merasakannya? Berarti kau pernah mengalami Euforia dalam bentuk jatuh cinta. Cinta berlebih akan sesuatu yang membuatmu tenang dan masuk
pada zona nyaman.
“Cinta? Apa itu cinta? Cih, aku tidak percaya dengan cinta.” Umpat seorang gadis setelah membaca sebuah sinopsis buku, dan melempar buku itu, kearah lemari kamarnya hingga menyelip ke bawahnya. Kamar yang sangat berantakan, dihiasi puluhan poster k-pop dindingnya. Tanpa memperdulikan kekacauan yang ada di dalam kamarnya, ia langsung meloncat indah ke atas kasurnya, hingga menghimpit beberapa buku dan baju kotor yang berserakan diatas selimutnya. Gadis ini mendorong beberapa buku yang berada di dekat kakinya.
“Shraak.” Buku itu terjatuh ke lantai kamar yang jauh lebih berserakan dengan kertas, bungkus makanan, baju kotor, dan tumpahan minuman kaleng yang membuat semuanya seperti lahan bekas peperangan.
“Oh dunia, betapa bahagianya hidupku. Jimin-oppa jangan hanya menggodaku dari sana. Ayo kesini, tidur bersamaku. Kau tidak mau? Godaan macam apa itu. Hey, aku punya sesuatu untukmu, kau pasti suka. Tapi, sebelum itu, cium aku dulu.” Gumannya lagi sembari melangkah pada sebuah poster boy band yang tertempel tepat di samping ranjangnya.
“Ayo cium, muah, muah, muah.” Gadis itu mulai mencium seluruh bagian poster. “Kita sudah pemanasan, dan ini acaranya.” Gadis itu membuka baju seragam sekolahnya dan menyisakan sebuah bra berwarna biru muda, hingga dada seksi terpampang jelas di depan poster tersebut. Ukuran dada yang diatas rata-rata membuat pinggang mungilnya tampak sempurna. Tak lupa, gadis itu meraih ponsel yang berada di atas meja belajarnya dan memutar sebuah lagu. Tarian erotis ia lakukan di depan poster tersebut. Di dalam tarian erotisnya yang sangat panas, gadis itu mengulang sebuah lirik lagu di bibir seksinya yang basah akibat liurnya.
“There’s nothing that I won’t do. Just to make you love me, love me, love me. Throw away my pride for you, Just to make you love me, want me, trust me. (Charlie Puth: My Gospel).”
Nyanyian merdu dengan meliuk-liukkan dadanya yang montok berusaha merayu gambar yang ada di poster tersebut. Setelah lagu berakhir dia tiba-tiba terdiam dan melirik kesal pada poster tersebut.
“Bagaimana Jimin-oppa, apa kau suka? Cih, ekspresimu itu mengisyaratkan jika kau tidak suka. Tunggu, jangan bilang jika kau sama sekali tidak tergoda.” Gadis itu tampak emosi, itu membuatnya menahan poster tersebut dengan tangan kanannya.
“Jimin-oppa aku selalu berusaha menahan amarahku padamu. Kau tau, aku sudah berjuang untuk cinta kita. Tapi apa? Kau merasa kurang dengan dada yang besar ini?” Bisiknya dengan menempelkan dadanya tepat berada di bagian tangan poster.
“Sudah cukup, aku ingin kita bercerai.” Bisiknya dengan raut wajah penuh emosi.
“Apa? oh tidak, Kenapa sekarang kau menahanku? Dengar, aku akan tetap menceraikanmu!” Teriaknya menggema pada seisi kamar.
“Geaa!” Sebuah teriakan berasal dari arah dapur, membuatnya menoleh ke belakang.
“Lihat itu, pada saat kita sedang berbicara tentang masa depan kita. Ibu mertuamu, selalu saja mengganggu. Aku akan kembali lagi, dan tolong redakan emosimu dan berpikirlah dengan jernih. Hubungan kita ini, bukan hanya sebuah angan-angan, kau harus tau itu.” Gadis itu berbalik lalu memakai sebuah baju kaos yang menggantung di
pintu kamarnya.
“Gea Semenip! Kau dengar tidak!” Teriakan itu membuatnya berjalan menuju sumber suara. Ya, gadis ini bernama Gea Semenip.
Gea adalah gadis yang masih berusia 17 tahun. Namun, jika dilihat dari postur tubuhnya saat ini, banyak orang yang menyangka jika dia sudah berusia 21 tahun. Perawakan yang dewasa, di tambah tubuh yang seksi membuatnya menjadi pujaan dimana-mana. Gea adalah anak ketiga dari 3 bersaudara. Dia memiliki sepasang kakak. Abangnya bernama Gio, memiliki sifat pendiam dan sangat ia takuti. Kakaknya bernama Gina, selalu berusaha menindas Gea bagaimanapun caranya. Sifatnya yang suka iri, membuat Gea selalu tersudutkan. Dengan kata lain, kedua orang tuanya lebih memperhatikan kakaknya ketimbang dirinya. Itulah yang membuat dirinya berupaya untuk mencari apa yang dia inginkan untuk membuat dirinya bahagia.
Saat ini, Gea sedang duduk di bangku SMA, tepatnya pada kelas 3- IPA B. Cita-cita yang kuat untuk menjadi seorang dokter, membuatnya memilih jurusan IPA. Gea memiliki 2 orang teman cewek dan 3 orang teman cowok. Temannya antara lain, Dina si centil, Lia si cantik, Bimo si gendut, Ervan si ganteng, dan Didi si kekar. Hidupnya indah, dengan teman-temannya yang selalu mengisi hari-harinya.
“Geaa!”
“Iya, apa sih Ma? Beri aku sedikit ketenangan dong.”Gea berjalan terhuyun-huyun dengan wajah kusut memelas.
“Kenapa dengan wajahmu itu?” Mama melirik kesal dan Gea membalasnya dengan tatapan kesal. Mama Gea hampir mirip dengannya, namun memiliki tubuh sedikit lebih pendek darinya.
“Ada apa? Mau beli apa?” Tanya Gea spontan. Karena, biasanya Mamanya selalu menyuruh Gea untuk membeli apa yang dibutuhkannya ketika ia berada di dapur.
“Antar ini ke tetangga sebelah.” Jawab Mama sembari memberikan bungkusan.
“Tetangga sebelah?”Gea menatap heran pada Mamanya.
“Iya, barusan kita kedatangan tetangga baru. Sapa mereka dengan ramah.” Gea mengambil bungkusan itu, lalu pergi mengantarkan bungkusan tersebut. Bungkusan ini berupa tradisi di komplek ini, untuk menyambut kedatangan tetangga baru. Bungkusan ini biasanya berisi cemilan, lauk, atau makanan yang ingin dipamerkan oleh emak-emak komplek.Ini juga salah satu ajang persaingan dalam bidang kuliner, dengan resep terbaik. Gea berjalan
keluar rumah, tapi dia lupa bertanya dimana rumah tetangga baru tersebut.
“Ah, dimana rumah tetangga baru itu?” Gea menggaruk kepalanya, lalu berbalik.
“Oi Gea!” Gea menoleh.
“Bimo.” Gea melihat Bimo juga membawa bungkusan tanda tetangga baru. Tanpa pikir panjang, ia langsung berjalan cepat kearah Bimo. Bimo memiliki tinggi 175 CM, berat badan 106 kg, potongan rambut rapi, dan paling senang mengenakan celana pendek.
“Ibumu juga?” Gea menatap bingkisan mereka berdua.
“Iya.”
“Dimana?” Gea bertanya rumah tetangga baru. Mengingat, di komplek ini terdapat 4 rumah kosong.
“Di rumah Nenek Rosmini. Aku dengar, mereka sudah menjual rumahnya.” Gea tampak terkejut mendengar rumah Nenek Rosmini.
“Apa? Kenapa aku tidak tau jika Nenek Rosmini sudah menjual rumahnya?” Tanya Gea dengan wajah tidak percaya, sembari melirik kearah rumah yang berada di sebelah rumahnya.
“Apa Nenek Rosmini harus melapor dulu pada dirimu? Heeeh!!” Bimo tiba-tiba geram dan hendak melempar bingkisannya kearah Gea, lalu berjalan melewati Gea.
“Bagaimanapun juga terlalu banyak kenanganku yang ada di dalam sana.”Gea berjalan mendahului Bimo.
“Tok tok tok.” Gea mengetuk pintu rumah tetangga baru.
“Permisi.” Bimo mengeluarkan suara rupawannya. Tak ada sahutan dari dalam rumah. Gea mulai memandang teras rumah, kenangan masa kecil mereka dulu terputar indah di dalam benaknya. Kenangan Dino, cucu dari Nenek Rosmini mulai menggitari sel-sel otaknya. “Andai Dino masih hidup, mungkin sekarang dia sudah menjadi pacarku” Bisiknya dalam hati lalu tersenyum kecut.
“Tok, tok, tok.”Bimo yang tidak sabaran, kembali mengetuk pintu.
“Apa benar tetangga barunya disini?” Bisik Gea pada Bimo.
“Permisii!”Teriak Bimo mengeluarkan suara aslinya.
“Tok, tok, tok.” Bimo yang sedikit kesal kembali mengetuk pintu.
“Yaa, silakan masuk.” Sahut seorang wanita dari dalam.
“Nah Itu, ayo masuk.”Bimo membuka pintu, lalu masuk diikuti oleh Gea. Wanita itu sangat anggun dengan wajah bulenya.
“Hai, maaf, tadi Tante ada di dapur jadi tidak kedengaran. Ayo duduk.” Ajak wanita itu dengan ramah.
“Tidak usah tante. Ini, dari Ibu kami Tante. Sambutan dari kami penghuni komplek.”Bimo memberikan bungkusan miliknya dan juga bungkusan yang ada di tangan Gea pada wanita itu.
“Ah, terima kasih. Pasti sangat menyenangkan tinggal disini.” Senyum wanita itu dengan sangat ramah.
“Hahaha, mudah-mudahan Tante. Semoga Tante nyaman tinggal disini.” Basa basi Bimo membuat Gea ingin muntah.
“Oh iya, nama kalian siapa? Sampai lupa kenalan, padahal udah terima bungkusan.”
“Saya Bimo Tante, rumah saya ada di depan sana. Dan ini Gea, rumahnya ada di sebelah rumah Tante.” Bimo menunjuk arah rumah Gea, sementara Gea memberi senyuman semanis mungkin.
“Oooh, perkenalkan nama Tante, Vera. Kalian bisa panggil terserah. Ingin panggil Ibu atau panggil Tante. Oh iya, kalian sudah kelas berapa? Sepertinya kalian berdua seumuran dengan anak Tante.”
“Kelas 3 SMA Tante. Anak Tante laki-laki atau perempuan Tante. Kalau perempuan pasti cantik kayak Tante.” Jawab Bimo si gendut malu-malu berharap jika anak Tante Vera perempuan. Sementara Gea hanya melirik wajah Bimo yang malu-malu. Tante Vera langsung melempar tatapan manja pada Gea.
“Anak Tante laki-laki. Sebentar lagi dia datang. Semoga kalian bisa berteman baik yaa.” Tante Vera mengelus pelan bahu Gea, itu membuat Gea menatapnya. Sementara Bimo tampak terpaku kecewa
“Hahaha, iya Tante. Kalau begitu kami pulang dulu ya Tante, permisi. Ayo Bimo.” Gea mendorong badan besar Bimo yang masih terpaku kecewa. Gea menutup pintu rumah Tante Vera dengan sangat pelan, lalu melirik Bimo.
“Kau ini, bikin malu aku saja.” Gea menarik Bimo dan berjalan kearah rumahnya. Bimo menepis tangannya.
“Kenapa kau yang malu?”
“Kau pikir aku tidak tau isi otak kau itu. Jangan berharap lebih jika kau masih memiliki tubuh sebesar ini.” Bisik Gea pada Bimo membuat Bimo menatap sinis padanya.
“Aku punya sesuatu yang hot untuk pemanasan malam ini.” Bisik Bimo balik pada Gea dengan wajah yang sangat sinis.
“Shiuuuh.” Angin berhembus pelan, Gea meraih ikat rambut dari kantong samping roknya.
“Apa itu?” Tanya Gea sembari mengikat rambut panjangnya yang di terbangkan oleh angin manja. Bimo mengeluarkan sebuah kaset DVD film barat bergenre dewasa dari dalam bajunya.
“Wah, bagaimana bisa kau mendapatkan film berharga ini?” Tanya Gea dengan antusias.
“Pasti kau penasaran, nanti malam jam 2 di aula komplek.” Jawab Bimo sembari memasukkan kembali kaset tersebut ke dalam bajunya, lalu berlari girang menuju rumahnya. Senyum licik Gea menggambang lebar di bibirnya, itu mengisyaratkan jika ia akan menghadiri penayangan film tersebut, dan menyalinnya, lalu menjualnya. Tanpa ia sadari, sepasang sosok mata telah lama memperhatikannya dari dalam mobil. Sepasang sosok mata itu mulai membuka pintu mobil. Mata Gea tertuju padanya.
“Glek.” Gea menelan pahit ludahnya.
“Gaya tahun berapa itu?” Gea memandang penuh pada seorang pemuda yang keluar dari mobil tersebut. Pemuda itu memiliki rambut panjang dengan poni yang menjuntai di wajahnya. Tidak lupa dengan kaca mata culun yang menghiasi wajahnya.
“Oh tidak, ini wujud Andika Kangen Band, pada tahun 2018.” Gea melipat kedua tangannya. Pemuda tersebut membuka bagasi mobilnya dan mengambil beberapa tas lalu membawanya.
“Uiih, dari mana asal pemuda itu? Ingin sekali aku menggunting poninya.” Gea memperhatikan detail pemuda itu. Langkah pemuda itu, menuju rumah Nenek Rosmini.
“Apa dia anak tetangga baru? Kebalikan ibunya.” Gea memperhatikan pemuda itu sampai masuk ke dalam rumah.
“Aku rasa, dia juga butuh pelajaran biologi, supaya dia tau gaya masa sekarang.” Gea menggaruk-garuk kepalanya lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Gea kembali masuk ke dalam kamarnya. Namun kali ini, ia hanya menatap sinis pada poster tersebut, lalu menutup pintu. Dering ponselnya berbunyi, ternyata itu dari Lia temannya. Dan dengan sigap ia langsung menerimanya.
“Ya, ada apa?”
“Bagaimana? Apa kau sudah membacanya? Serukan.” Gea mulai melirik buku yang telah menyelip ke bawah lemarinya.
“Sudah aku lempar.”
“Hey, buku itu cocok untuk dirimu. Sifat dan segala tingkahmu ada didalamnya. Kau harus baca, untuk menambah kegilaanmu. Hahahaha.” Tawa Lia pecah membayangkan kegilaan Gea selama ini.
“Apa kau sudah mendownloadnya?”
“Mendownload apa? Film terbaru? ” Tanya Lia rancu.
“MV BTS barulah. Kalau Film, biar aku yang mengurusnya.” Jawab Gea dengan semangat.
“Nanti sore, aku akan pergi nongkrong ke Kafe Biru. Apa kau mau ikut?”
“Tidak, aku ada les sore ini. Aku sudah 5 kali bolos dan laporan itu sudah sampai pada Mamaku.”
“Oh tidak, lalu sekarang bagaimana? Apa mungkin fasilitasmu kembali disita?”
“Tidak ada penyitaan, hanya sedikit pengurangan. Dengar, jika kau bertemu dengan Jovi, jangan lupa untuk meminta jawaban PR Fisika minggu kemarin. Kau mengerti, sepertinya ada yang datang aku tutup dulu.”
“Okeee.”
“Klak, klak, klak.”Gea mendengar derap langkah seksi dari balik pintu kamarnya.
“Aku rasa itu dia.” Gea berbaring dan memejamkan matanya.
“Kriiit.” Pintu terbuka, Gina masuk ke dalam kamar. Gina berpenampilan lebih feminim dibandingkan Gea. Wajah mereka juga jauh berbeda, dan itu membuat semua dalam diri Gea menjadi jauh dari Gina. Gina selalu merendahkan Gea, namun Gea hanya diam. Gina mulai melempar segulungan baju ke wajah Gea yang sedang pura-pura tidur.
“Issh lihat kamar sampah ini.” Gina melirik ke sekeliling kamar.
“Woi Mbel, itu baju bekas untukmu! Jangan pakai baju gembelmu yang memalukan itu keluar rumah. Kau membuat kami serumah malu, Ish memalukan sekali. Awas saja, kalau aku lihat kau pakai baju lusuh itu keluar rumah.” Gina
berbalik keluar dan menutup pintu kamar Gea. Makian ini sudah biasa diterima oleh Gea. Alarm menunjukkan pukul 3 sore, sudah saatnya Gea untuk berangkat les. Dengan lesu, Gea mulai melempar seluruh pakaian bekas di wajahnya hingga menambah tumpukan kain di lantai kamarnya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia
kembali mengambil salah satu baju bekas yang di berikan Gina, dan mencium aroma baju tersebut.
“Apa ini benar-benar baju bekas? Kenapa aromanya seperti aroma baju baru?” Gea mengambil seluruh baju tadi dan menciumnya satu per satu. Gea menemukan sebuah baju yang masih berlabel. Garis senyum di bibirnya mulai
mengambang. Ini semua bukan baju bekas, melainkan baju baru. Dia sampai lupa, jika ini salah satu cara Gina menunjukkan rasa sayang terhadap dirinya.
“Walaupun dengan hinaan, tak apalah.” Gea langsung memakai baju tersebut, dan mengambil beberapa buku di laci mejanya lalu melangkah pergi ke tempat les yang berada di ujung komplek. Ketika sampai di depan gedung les, Gea melihat Ervan sedang menatap seorang gadis yang berada tidak jauh dari depannya. Ervan memiliki tinggi 182 cm, wajah tirus, hidung mancung, dengan mata menawan di lengkapi kulit bening walau tanpa perawatan. Ervan memiliki rambut lurus dengan sedikit poni di dahinya, itu membuatnya terlihat seperti pangeran kerajaan
negeri dongeng. Namun, Ervan adalah pemuda berhati dingin yang tidak peduli dengan gadis ataupun cinta. Tapi hari ini, Gea melihatnya sedang memperhatikan seorang gadis. Gadis itu adalah Oliv. Oliv memiliki tinggi 158 cm, berwajah pucat, berambut lurus sebahu dengan poni lurus. Oliv adalah haters terkenal di dunia maya. Dia memiliki ratusan fake akun, yang ia gunakan untuk memposting postingan negatif, dengan tujuan untuk menjatuhkan targetnya. Salah satu targetnya adalah Gea. Sejak saat itu, Gea mulai menjauhi Oliv.
“Cie cie, babang tampan suka sama dedek Oliv yaa. Puber ni yeee.” Bisik rayu Gea dari telinga kiri Ervan.
“Apaan sih, kau ini.” Tepis Ervan dengan wajah kesal.
“Udah terlambat ya pubernya.” Gea kembali menggoda Ervan dengan menaikkan satu alisnya.
“Cih, kau tau, dari tadi dia berdiri di sana.” Ervan berdecih sembari membersihkan *** matanya.
“Lalu, Oliv yang sejak tadi berdiri di sana, apa urusannya denganmu?” Gea menatap penuh pada Ervan.
Ketika pembicaraan mereka sedang sangat serius, Bimo berlari dengan tergesa-gesa lalu menyenggol Ervan
hingga terjatuh.
“Woi Bim, hati-hati dong, jatuh ini.” Bentak Ervan sembari berdiri.
“Eh maaf Van, aku tadi di kejar Ibuku.” Sahut Bimo yang melirik cemas kearah gang komplek,
“Kenapa lagi?” Tanya Gea, Bimo wajah Ervan yang tampak sangat kesal.
“Ampuni aku Van.” Bimo bersembah sujud di kaki Ervan.
“Ceilah, sampai sujud segala. Bangun Bim!” Gea menarik tangan Bimo untuk berdiri.
“Baiklah, sekarang beri tahu aku password dan linknya.” Ervan melanjutkan pembicaraannya dengan Gea. Bimo melirik Ervan dan Gea secara bergantian.
“500 ribu satu bulan.” Bisik Gea.
“Hey Gea, kita sudah berteman sejak kita masih berwujud bocah berlumur lumpur. Dan kau masih hitung-hitungan, malu dong.” Bisik Ervan dengan mendrama.
“Teman sih teman, kalau masalah uang masih tetap sensitif. Lagian, uangnya juga kita pakai bareng. Ya ngak Bim.”Gea meminta dukungan pada Bimo.
“Iya, aku juga bayar kok Van, kalau kau mau nanti aku kasih.” Bisik Bimo sembari merangkul Ervan. Mata Ervan masih melirik Oliv.
“Kau suka sama si Haters. Tatapan matamu itu, dari tadi tidak jauh-jauh dari sana.” Ervan kembali melirik
Gea dengan mata sinis.
**
Les yang membosankan dimulai. Mereka bertiga duduk berjejer dengan posisi paling depan. Hampir 2 jam les berlangsung, Didi datang dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Didi memiliki tinggi 182 cm, bertubuh tegap, memiliki wajah maskulin dengan alis tajam dilengkapi kulit coklatnya. Rambutnya yang di potong rapi ala style tentara membuatnya membuatnya populer dikalangan para gadis.
“Maaf kak, saya terlambat.” Didi masuk sembari menyeka peluhnya.
“Hahahaha.” Tawa murid seisi ruangan pecah, terlebih Gea, Ervan, dan Bimo.”
“Oke.” Jawab santai Kakak pengajar les memberikan izin pada Didi. Didi langsung duduk di sebelah Gea.
“Hebat juga ide kau Di, besok akan aku praktekkan.” Bisik Gea pada Didi yang mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya.
“Ide katamu? Iya, ide dimana tadi, aku kena hukum disekolah gegara Flasdisk sarang filmmu itu.” Bisik Didi geram membuat Gea menatapnya.
“Apa? Apa ucapanmu itu serius? Memangnya film yang mana?” Tanya Gea dengan wajah antusias.
“Film, itu loh, yang alurnya dewasa. Aku tidak tau harus bagaimana, jika kepala sekolah memanggil Emakku.” Jawab Didi sembari menyeka peluhnya.
“Tenang, aku akan membantumu. Bilang saja Flasdisk itu milikku.” Gea menepuk-nepuk bahu Didi membuat Bimo dan Ervan melirik mereka berdua.
“Apa bisnis Gea ketahuan?” Tanya Bimo dan Ervan secara serentak.
“Hanya di sekolahku. Mulai sekarang, kau harus berhati-hati. Aku rasa beberapa blog milikmu sudah kena blokir.” Bisik Didi lagi.
“Aku tau itu, aku sudah melihatnya tadi. Yang di blokir cuman blog pendukung, bukan blog inti.” Bisik Gea lagi. Gea memiliki pekerjaan sampingan. Pekerjaan, yang berbanding terbalik dengan jenis kelaminnya. Gea yang sangat lihai dalam ilmu teknologi, membuatnya pandai untuk membuat beberapa situs. Salah satu situs yang selalu
laris manis adalah, situs film bajakan.
Gea tertarik untuk membuatnya dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan. Gea membagi situs tersebut ke dalam beberapa kelompok. Satu diantaranya berupa situs inti. Situs inti ini, hanya bisa diakses bagi member yang memiliki id dan password. Id dan password ini di dapat dari Gea setelah para calon member membayar uang sebesar 500.000/bulan. Dan juga Gea memberikan beberapa paket dengan porsi bayaran berbeda. Tidak lupa, proses pemasarannya menggunakan jasa para teman-teman kompleknya, yaitu Ervan, Bimo, dan Didi. Mereka sengaja memilih sekolah yang berbeda untuk proses pemasaran. Hal ini sudah mereka lakukan sejak mereka mulai masuk SMA. Akibatnya, Gea menjadi siswa yang sangat populer tidak hanya dari penampilan tetapi juga dari pekerjaannya. Di dalam situsnya tersebut, terdapat berbagai genre film, baik film lokal, atau luar negri. Bahkan ribuan anime lawas ada di sana.
“Hei kalian berempat, jika ingin bergosip keluar saja.” Sorak kakak pengajar les pada mereka berempat. Dengan wajah polos, mereka berdiri dan melangkah keluar. Kakak itu hanya terdiam melihat aksi mereka berempat. Mereka
berempat berjalan keluar menuju halte bus yang tidak jauh dari tempat les.
“Jadi yang kau maksud tadi, kau akan kena drop out gegara isi Flasdisk itu.” Ervan menatap prihatin pada Didi.
“Tidak sampai drop outlah, paling kena surat peringatan.” Jawab Bimo sembari menaikkan celananya yang melorot. Didi hanya tersenyum kecut.
“Hey, bukankah itu umaknya Didi.” Bisik Gea dengan wajah takut seraya menunjuk seorang wanita yang berjalan keluar dari simpang komplek.
“Astaga, kalau umak Didi melihat kita, bisa mati kita.” Bimo ikut melihat kearah wanita itu. Mereka sangat takut, karena mereka bertiga adalah tawanan les pada jam 3 sore sampai 9 malam. Dan ini masih jam 6 sore.
“Itu ada bus, ayo naik.” Ervan mendorong Didi dan Bimo untuk naik keatas bus. Gea hanya mematung melihat arah jalan Umak Didi.
“Apa kau tidak ingin naik?” Tanya Didi pada Gea, Gea menoleh pada Didi, sementara Ervan kembali turun dan menarik tangan Gea. Kondisi bus yang penuh membuat mereka berempat berdiri.
“Hadap kesana.” Perintah Ervan, menyuruh ketiga temannya menghadap membelakangi Umak Didi yang hendak lewat di depan gedung les. Karena, jika aksi bolos mereka kembali ketahuan, entah sanksi apa lagi yang akan mereka berempat terima. Sebelumnya, mereka berempat kedapatan oleh ibunya Ervan sedang berada di tengah pasar malam pada jam les. Tragedi itu membuat semua Ibu mereka sepakat memberi sanksi sanksi pengurangan uang jajan. Menurut mereka sanksi tersebut cukup membuat anak-anak mereka jera dan lebih rajin belajar. Tapi apa, anak-anak mereka tetap melakukan hal yang menyenangkan menurut mereka.
“Huuh. Nyaris saja.” Bimo menyeka peluh di dahinya.
“Jadi, mari kita lihat kemana jurusan bus ini.” Didi membaca merek jurusan mobil yang tertera di belakang sopir.
“Ke Metro.” Bisik Gea dengan wajah tak percaya. Mereka terdiam lama.
“Waaaaaaaaaahahahaha.” Mereka tiba-tiba berteriak girang, girang, dan segirang-girangnya, hingga penumpang bis yang lain menatap risih pada mereka. Metro adalah tempat dimana anak muda zaman sekarang berkumpul, mengeluarkan aspirasi mereka. Biasanya setiap malamnya, akan ada hiburan tersendiri untuk para anak muda. Seperti, tampilan band lokal sampai pada band-band mancanegara.
“Huaaa, malam ini hiburan apa yang ada di Metro?” Tanya Bimo dengan wajah antusias, dan sangat berharap jika hiburan malam ini adalah girl band seksi. Sementara Didi mulai bertanya pada mbah Google.
“Oke Google, hari ini hiburan apa yang ada di Metro?” Mbah Google menjawab. “ Stand up Comedy oleh para
kampret.” Seketika mereka terdiam, dan kembali tertawa bahagia.
“Hahaha, pasti menyenangkan. Kau bawa uang kan Gea?” Tanya Ervan dengan wajah lebih antusias. Gea pun mengangguk dengan semangat.
Mereka sampai di Metro. Mereka berempat mulai membeli tiket, dan langsung menjelajahi seisi Metro. *Stand up*comedy mulai mereka nikmati.
“Woi Di, sekarang jam berapa?” Tanya Gea sembari mengunyah pop corn yang berada dalam pangkuan Bimo.
“Jam setengah Sembilan.” Jawabnya ketus.
“Kalau pulang ke rumah berapa menit yaak?” Tanya Ervan.
“Tiga puluh menit.” Jawab Didi dengan cuek, dengan sigap Bimo, Ervan, dan Gea langsung berlari kencang menuju halte bus. Karena, jam ketika mereka sampai di rumah harus sama dengan jam ketika murid lain sampai di rumah.
“Tunggu woi!!! Main lari-lari aja! Woii!” Teriak Didi yang baru sadar jika teman-temannya sudah berlari untuk mengejar bus terakhir. Akhirnya, mereka sampai di halte depan komplek sesuai perencanaan. Ternyata, Mama Gea sudah menunggunya di depan gedung les.
“Deg, deg, deg.” Jantung Gea berdegup dengan sangat kencang.
“Heey, itu Mamaku. Apa yang harus aku jawab, jika dia menanyakan kenapa aku berjalan dari halte bus?” Tanya Gea dengan wajah cemas pada teman-temannya.
“Tenang, aku yang jawab kalau Mamamu bertanya.” Jawab Ervan dengan wajah manis dan berjalan menuju Mama Gea.
“Malam Ma.” Sapa sopan Bimo, Didi, dan Ervan serentak. Sementara Gea sudah merasa hampir mati, jika sang mama bertanya tentang arah jalan.
“Malam juga anak-anakku yang rajin, gitu dong ikut apa kata Mama. Lagian ya, les itu untuk kalian. Ngak usah nakal-nakal, biar nanti nyari kuliahnya gampang.” Ceramah singkat Mama Gea membuat tarikan nafas mereka menjadi lega. Ketika Mama Gea sedang asyik dengan ceramahnya, Tante Vera yang merupakan tetangga baru datang menghampiri dan berbincang ramah dengan Mama Gea. Ternyata, ia juga mendaftarkan anaknya untuk les di tempat les di tempat yang sama dengan Gea, Bimo, Ervan, dan Didi. Ketika dua emak-emak ini asyik berbincang, Gea dan kawan-kawannya bergegas pergi.
“Tante barusan siapa? Baru kali ini aku melihatnya.” Tanya Ervan sembari melirik-lirik ke belakang.
“Tetangga baru di sebelah rumahku. Masa kau tidak tau.” Jawab Gea dengan memanyunkan bibirnya.
“Serius tetangga baru. Tante itu cantik, apa ada anaknya yang seumuran dengan kita?” Tanya Didi dengan antusias.
“Mmm.” Angguk Gea.
“Jangan harap jika anak Tante itu putih cantik dan seksi, karena anak Tante itu, cowok sama kayak kita.” Bimo melirik kesal pada Gea, seperti menjelaskan bagaimana perasaannya tadi siang.
“Huuh, kenapa populasi cewek di komplek kita terlalu sedikit yak?” Guman Didi yang tiba-tiba loyo.
“Pindahin aja asrama cewek yang di komplek sebelah ke komplek kita. Pasti komplek kita bakal jadi ramai.” Saran Gea sembari memangku kedua tangannya. Ervan Didi dan Bimo melirik Gea, lalu terdiam.
“Hmmhaaaa.” Ketiga temannya menghela nafas panjang, lalu berjalan mendahuluinya.
“Woi, saranku itu manjur. Gimana sih.” Teriak Gea mengejar ketiga temannya. Mereka berempat berjalan menuju rumah masing-masing. Karena Bimo yang duluan berbelok ke rumahnya, ia tidak lupa mengingatkan teman temannya akan misi pada malam ini.
“Ingat jam 2, di aula komplek.” Bisik Bimo pada ketiga temannya.
“Apa ada yang baru?” Tanya Didi heran pada Gea.
“Bukan aku, itu Bimo. Dia ingin mengcopy film genre dewasa untuk situsku melalui kaset lawas milik temannya. Sampai nanti.” Jawab Gea yang juga berbelok kearah rumahnya. Senyum licik Didi dan Ervan mengambang tipis pada bibir mereka berdua. Rumah Didi yang berdekatan dengan rumah Ervan membuat mereka berjalan berdua hingga ujung komplek. Langkah mereka berdua tiba-tiba terhenti.
“Woi Van, siapa itu? Apa itu kuntilanak?” Tanya Didi dengan wajah cemas, melihat seseorang dengan pakaian putih sampai mata kaki dengan rambut terurai.
“Ngak mungkinlah, ini masih jam 9. Sementara biasanya jam 3 pun, kita masih berlalu lalang di jalan ini. Udah, ayo kita sembunyi dulu.” Jawab Ervan sembari menarik tangan Didi ke bawah pohon dan mengawasi sosok yang berbaju putih itu.
“Tapi aku takut.” Bisik Didi dengan wajah yang sudah berpeluh dingin.
“Ssst! Diam! Itu si Oliv. Lihat, dia bawa kamera.” Bisik Ervan dengan geram pada Didi. Dari tadi pagi, Ervan memang sudah curiga dengan gerak-gerik Oliv.
“Haa? Ngapain tu anak di situ? Biar aku ke sana. Pake baju putih malam-malam, terus ngirai rambut lagi.” Bisik geram Didi dan melangkah untuk menghampiri Oliv.
“Hey, jangan! Kita lihat saja apa yang dilakukannya.” Bisik Ervan kembali sembari menahan tangan Didi. Didi hanya
memandang Ervan dengan wajah datar.
“Cekrek, cekrek.” Oliv mulai mengambil gambar kearah rumah Gea. Mata Didi dan Ervan mulai melirik arah kamera Oliv.
“Kenapa dia memotret rumah Gea?” Tanya Ervan dengan wajah serius lalu mulai menyambung akal dengan dengan Didi. Mereka saling menatap.
“Bisnis kita!” Teriak mereka serempak. Mereka berpikir jika Oliv akan melaporkan bisnis mereka. Atau menjadikan bisnis mereka untuk bahan menulis di blog kebenciannya. Dengan langkah seribu, Ervan dan Didi langsung menghampiri dan merebut kamera Oliv.
“Hey apaan sih. Bawa sini! itu kamera aku!” Teriak Oliv pada Didi dan Ervan yang melihat hasil jebretan Oliv.
“He Oliv, dari tadi pagi aku sudah curiga dengan dirimu. Ternyata ini tujuanmu!” Teriak Ervan membuat Oliv agak gugup.
“Tu-tujuan apa?”
“Kau ingin membuat bisnis Gea menjadi topik dalam blog kebencianmu itu kan. Dasar Haters!” Bisik Geram Ervan sembari menatap tajam Oliv.
“Cih, kau pikir aku punya waktu untuk mengurus bisnis plagiat si Gea. Asal kalian tau, ini tidak ada urusannya dengan kalian. Bawa sini, menyebalkan.” Oliv merebut kameranya yang berada di tangan Didi, dan langsung masuk ke dalam rumahnya dengan menghempaskan pintu.
“Aku rasa ekspresi wajahmu pada Oliv itu, terlalu berlebihan.” Didi melangkah meninggalkan Ervan.
“Aku semakin penasaran.” Ervan melangkah ke pintu rumah Oliv. Sepertinya, dia masih merasa kurang, dan ingin melabrak Oliv sampai ke dalam rumah. Didi menoleh pada Ervan.
“Sabar Bro, belum tentu yang kita pikirkan ini sama dengan apa yang dia lakukan. Menurutku sebaiknya, kita buka dulu blognya, pasti ada jawaban manis disana.” Didi tersenyum manis dan berbalik menatap
Ervan. Ervan melirik pintu rumah Oliv, lalu melangkah kearah Didi.
“Emosimu benar-benar bermain.” Didi merangkul
Ervan berjalan pulang menuju arah rumah mereka.
**
Gea masuk ke dalam rumahnya dan melangkah ke dalam kamarnya. Gea melempar tas yang ia sandang kearah tumpukan baju bagian sudut kanan kamarnya. Gadis ini berubah menjadi gadis genit manja, dan melangkah menuju poster Jimin seorang anggota boy band Korea Selatan, yang berada di dinding kamarnya. Dinding ini memiliki sebuah jendela. Jendela yang selalu dibiarkan oleh Gea terbuka, hingga membuat angin malam masuk dengan liarnya. Gea meliukkan tubuhnya, dan membuka ikatan rambutnya. Angin malam yang behembus, membuat rambut panjangnya terbang indah seperti iklan sampo di tv. Gea berdiri tepat di depan poster.
“Taraaaa, aku bawa oleh-oleh untukmu oppa.” Dengan mengeluarkan sebuah gelang souvenir dari pasar malam tadi.
“Kau pasti suka, hehehe.” Gea meletakkan gelang itu di atas rak lemari yang berada di samping poster tersebut. Rak tersebut sengaja ia buat khusus untuk poster tersebut.
“Apa kau masih marah dengan kejadian tadi siang? Oppa-ku sayang, itu semua hanya bumbu di dalam pernikahan kita.” Gea terlihat malu-malu sembari meremas-remas tangannya.
“Baiklah, untuk malam ini akan aku berikan kau sebuah tarian seksi untukmu. Aku jamin, kau akan puas, Jimin- oppa.” Bisiknya sembari mengkecup poster tersebut. Gea melangkah menuju speaker yang berada di bawah tempat tidurnya. Gea memutar sebuah lagu kpop, lalu mengikuti lirik demi lirik serta menari dengan seksinya.
Gea membuka bajunya dan hanya menyisakan bra dan rok sekolahnya. Gea mulai meliukkan tubuhnya dengan seksi mengikuti lantunan lagu.
Lagu Paradise-Hyorin
“Neoneonjena jakeseul kkokkkok nulleo ipgo, Jamkkaneul beoseonohneun jeogi eopseo wanbyeokhae. (Kau selalu memakai jaketmu, Tak pernah melepasnya, sangat sempurna.)”
“Yeogijeogi neoreul hyanghae yuhogui barameul, Hoho bureodaedo neoneun geujeo I don’t care. (Meskipuin angin godaan berhembus padamu Kau tampak tak peduli.)”
“Gunggeumhaejyeosseo hwaginhago sipeo, Naegedo neo geobuhal su isseulji. (Aku penasaran, aku ingin memeriksa. Kalau kau bisa menolakku.)
“Yeonaega silheun geoni animyeon, Ajikkkaji mot mannassgessji na gateun girl? (Apakah kau tak suka kencan. Ataukah kau belum pernah bertemu gadis sepertiku?)”
“Son kkattak an haedo nan ne mam yeol su isseo. (Meskipun aku tak bergerak, aku bisa membuka hatimu.)”
“Jasinmanmanhan ne siseoni nan gwiyeowo. (Mata percaya dirimu tampak begitu lucu bagiku.)”
“Nege dagagalge nollajineun marajwo. (Aku akan mendekatimu jadi jangan terkejut.)”
“Simjangeun tteugeopge nunbusige. (Aku akan membuat hatimu panas.)”
“Boyeojulge paradise. (Akanku tunjukkan surga yang mempesona.)”
“Maja nan jom dalla nan ondoga dalla. (Ya, aku berbeda, suhuku berbeda.)”
“Deowo deowo deowo nawa isseumyeon neon. (Ini panas panas panas, ketika kau bersamaku.)”
“Deowo deowo deowo nan hangsang tteugeowo. (Kau akan panas panas panas, aku selalu panas.)”
“Beoseo beoseobwa beolsseo naega igyeosseo. (Lepaskan, lepaskan, aku sudah menang.)”
Di tengah tarian dan nyanyiannya, mata Gea mulai melirik keluar melalui jendela kamarnya. Ia melihat sepasang
mata dengan tubuh yang tinggi tengah memperhatikan tariannya secara penuh dari balik jendela kamar rumah Nenek Rosmini. Sekarang rumah itu sudah dihuni oleh tetangga baru. Gea sadar, jika dulu dia bebas melakukan apapun dikamarnya hingga tengah malam dengan jendela yang terbuka, tanpa ada yang menganggu. Tapi sekarang, itu tidak bisa lagi. Sepasang mata itu menyadari jika Gea mengetahui keberadaannya. Dengan kasarnya, ia langsung menarik tirai jendela kamarnya.
“Apa yang dia lakukan? Dia yang menguntitku, dan dia dengan kasar menarik tirai kamarnya.”Umpat Gea dengan penuh emosi.
“Tak akan aku biarkan!” Teriak Gea dan memanjat jendela kamarnya dengan hanya menggunakan bra.
“Kenapa rasanya badanku terlalu berat?” Tanyanya dengan kesal. Ia melirik dadanya yang hanya berbalut bra.
“Astaga, dia juga melihat dua bayi kembarku. Beraninya dia!” Teriak Gea dengan penuh emosi, kembali turun dan meraih baju kaos yanga da di lantai kamarnya, lalu kembali hendak memanjat jendela kamarnya. Ketika ia sampai di luar kamarnya, dia melihat Didi dan Ervan hendak membuli Oliv.
“Apa lagi itu?” Tanyanya yang lebih penasaran melihat aksi Didi dan Ervan. Ketika hendak melangkah menghampiri Didi dan Ervan, seseorang datang dan mengetuk pintu kamarnya.
“Tok, tok, tok. Gea, apa kau sudah tidur?”
“Oh tidak, Mama.” Bisik Gea dengan sigap langsung meloncat ke dalam kamarnya, menutup rapat jendela, dan membuka pintu.
“Kenapa dengan wajah itu? Apa kau sedang sakit?” Tanya Mamanya melihat wajah Gea bercucuran keringat.
“Ah tidak, tadi aku sedikit peregangan Ma.” Jawabnya dengan kikuk.
“Peregangan?” Tanya Mamanya curiga.
“Push up.” Jawabnya Gea dengan tersenyum datar.
“Ya sudah, ini uang jajan. Mama mau pergi dinas malam. Besok pagi jangan lupa sarapan denagn kakakmu. Sebelum tidur juga, jangan lupa kunci jendela kamarmu.” Mamanya melangkah pergi menuju pintu samping.
“Huuft, nyaris saja.” Gea menyeka peluh di dahinya, lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!