Tok … Tok ….
Palu hakim terdengar nyaring di telinga Liz, napasnya terhenti rasa sesak langsung menghantam dirinya. Air matanya berdesakkan meminta untuk keluar dari wadahnya, detik ini dia janda. Aurora Lunaira Julisha Wijaya, seorang anak dari salah satu pengusaha sukses di Indonesia menjadi seorang janda hanya dalam jangka waktu tiga bulan.
Liz melirik lelaki yang baru saja menceraikan dirinya. Lelaki yang sangat Liz cintai dari umurnya delapan belas tahun. Cinta, pelukkan, deesahan bahkan seluruh tubuhnya pernah di sentuh oleh tangan dan bibir lelaki itu.
“Sayang,” bisik lelaki itu lirih sambil menatap manik mata hitam Liz. Astaga … kenapa dia masih memanggil Liz sayang?
Dengan cepat Liz berjalan keluar dari ruangan persidangan, melewati beberapa orang wartawan dan orang-orang yang penasaran dengan berita perceraiannya yang sangat sensasional. Liz mengabaikan semua orang termasuk orang tuanya dan mantan mertuanya.
Saat sampai di suatu lorong tangan Liz ditarik oleh seseorang. “Liz, kamu belum jelasin ke Papih, kenapa kamu digugat cerai sama suami sialan kamu?” tanya Juan yang tidak terima anak kesayangannya diceraikan.
Liz menatap nanar mata ayahnya, ayah yang selalu menyayangi dan melindunginya dengan cara yang aneh dan absurd. Lelaki yang pertama kali mengatakan aku cinta dan sayang pada Liz.
“Nggak apa-apa, Pih. Mungkin, mungkin ini takdir Liz menjadi janda di usia dua puluh lima tahun,” ungkap Liz sambil menatap Juan.
“Nggak mungkin, Nak. Pernikahan itu sakral, kamu juga pacaran sama si semprul itu udah lama Liz. Dari kamu SMA!?” Juan benar-benar berang dengan kelakuan mantan suami Liz.
Deg ….
Kata-kata Juan benar-benar seperti pisau yang menancap dengan tajam di dada Liz. Apa yang dikatakan Juan ada benarnya, tidak mungkin suaminya menceraikan Liz bila tidak ada sebabnya. Liz tau apa sebabnya tapi, Liz memilih bungkam.
“Nggak tau Pih, Liz udah bilang mungkin ini cuman takdir Liz aja.” Liz berkata sambil berlalu dari hadapan Juan yang kesal dengan jawabannya.
“Liz … Liz!? Aurora Lunaira Julisha Wijaya!? Jawab Papih!?” bentak Juan.
“Mas, udah Mas. Nggak enak diliatin orang. Kalau mau kita obrolin di rumah,” pinta Iis, istri Juan.
“Nggak bisa gitu, Yang. Ini kurang ajar namanya, anak kita salah apa? Nggak bisa seenaknya gini!?” ucap Juan sambil berbalik dan mencari seseorang yang bisa dirinya maki-maki.
“Mas mau ke mana? Mas, tahan emosinya inget jantung kamu, Mas,” pinta Iis sambil berlari mengejar Juan yang sudah beralan ke ambang pintu untuk mencari mantan besannya.
•••
Langkah kaki Liz terus melangkah entah ke mana, Liz butuh tempat sepi dia ingin menangis dan menjerit. Nasibnya benar-benar nelangsa, ini terlalu pedih untuk Liz jalani.
Kring … Kring ….
Dengan cepat diambilnya ponsel miliknya, dilayarnya tertera nama sahabatnya.
“Iya Fany, kenapa?” tanya Liz.
“Kenapa? Astaga kok malah kamu yang nanya ke aku, Liz,” cerocos Fany saat mendengar kalimat pembuka dari Liz.
“Hahaha … lupa aku yang lagi sengsara di sini,” ucap Liz sambil mengusap hidungnya dengan tisu.
“Liz are you, oke?” tanya Fany dengan intonasi suara khawatir. Fany khawatir setengah mati dengan keadaan sahabatnya itu, bagaimana tidak baru tiga bulan menikah Liz harus menerima ditalak oleh suaminya. “Kamu jadi cerai?”
“I wish is just a dream (aku harap ini cuman mimpi),” bisik Liz sambil terus mengusap air matanya yang keluar. Dengan cepat dia berjalan ke mobil miliknya.
“Liz … cerita dong, kenapa suami kamu ceraiin kamu? Astaga … Liz dua minggu yang lalu kalian masih pergi ke Italy,” terang Fany yang bingung kenapa pasangan Romeo dan Juliet itu harus berpisah.
Pikiran Liz langsung melayang membayangkan betapa menyenangkannya liburan lima hari yang ia lakukan bersama suaminya. Liburan yang sangat hangat dan memabukkan, masih segar diingatan Liz wangi tubuh suaminya, setiap inci tubuhnya bahkan rasa manis juga menggairahkan dari bibirnya.
“Iya, mungkin udah takdir aku, Fan,” ucap Liz sambil mencari tempt duduk di sekitarnya. Kaki Liz kelelahan mungkin dia akan ambruk bila tidak duduk, mobilnya hanya beberapa langkah lagi. Tapi, dia tidak sanggup untuk menggapainya.
Dengan cepat Liz duduk disalah satu kursi panjang yang ada di sana. “Mungkin ini nasib aku jadi janda di usia dua puluh lima tahun.”
“Busllshit, kamu cinta suami kamu. Dan suami kamu bucin sama kamu!? Kalian kaya di ciptakan memang untuk hidup bersama. Kaya sendok dan garpu dan saling tarik kaya magnet,” ucap Fany kesal, ia benar-benar ingin mencakar suami Liz.
“Iya aku cinta banget sama dia, Fan. Aku sayang dia,” ungkap Liz sambil terisak keras, hatinya sakit saat mengungkapkan kejujuran kalau dia cinta dan sayang dengan suaminya.
“Terus kenapa dia ceraiin kamu?” tanya Fany.
“Aku nggak bisa jawab.”
“Suami kamu punya perempuan lain?” tanya Fany, “selingkuh dia?”
“Nggak, suami aku cinta dan sayang sama aku. Nggak pernah dia mikirin perempuan lain, dia nggak berani selingkuh,” ucap Liz.
“Yakin?”
“Yakin, Fan. Aku yang paling kenal dia luar dan dalam. Aku tau dia dari bayi, Fan.” Liz berkata sambi mengusap air matanya. Rasa sesak benar-benar mencengkeram Liz tanpa ampun. Ternyata, kehilangan orang yang dicintai itu sakit yah.
“Terus kenapa dia ceraiin kamu?” tanya Fany lagi geram.
“Aku nggak bisa jawab, aku nggak mau jawab.”
Fany menyerah, jangan harap Liz akan membuka mulutnya dan memberitahukan pada dunia kenapa suaminya menceraikan dirinya. Sekali Liz menyimpan rahasia jangan harap dia akan mengungkapkannya.
“Ya udahlah. Besok aku ke tempat kamu, bye Liz. Take care,” ucap Fany sambil menutup sambungan teleponnya.
Liz menatap nanar layar ponselnya, dia bingung apa yang harus dilakukannya. Badannya lelah bukan main, hatinya? Jangan ditanya sakit sampai ke tulang sumsum.
“Sayang.”
Liz mengangkat kepalanya dan menatap suaminya berdiri kokok di depannya. Gagah, ganteng, dan menggairahkan. Namun, raut wajahnya tampak lelah dan sedih.
“Apa? Kamu mau apa lagi?” tanya Liz sambil menghela napasnya berat.
“Sayang udah jangan nangis, aku mohon. Aku nggak sanggup liat kamu nangis.”
Liz melihat suaminya itu berlutut dihadapannya sambil mengusap bulir-bulir air mata yang bercucuran di pipi Liz.
“Jangan nangis Sayang, aku nggak tega liat kamu nangi. Maafin aku,” ucap suaminya sambil mengecupi mata Liz.
“Kamu tega, kamu nggak sayang sama aku,” isak Liz sambil mengcengkeram kerah baju suaminya geram.
“Maaf Sayang, aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Aku mau kamu bahagia.”
“Aku bahagianya sama kamu, kenapa kamu ceraiin aku?” isak Liz sambil memeluk tubuh suaminya. Astaga … Liz rindu wangi tubuh suaminya, Liz rindu berbaring di atas tubuh suaminya.
“Aku tau, aku juga bahagiannya sama kamu Sayang. Kamu segalanya buat aku.”
“Terus kenapa kamu ceraiin aku? Kenapa kita nggak berjuang bersama? Kamu marah karena aku —“
“Nggak, Sayang aku nggak marah. Aku nggak bakal sanggup marah sama kamu, Sayang.”
Liz langsung merasakan bibir basah milik suaminya menciumnya, mengesap manisnya bibirnya. Rindu Liz rindu suaminya, Liz rindu Kama Trina Berutti.
••••
Xoxo Gallon yang Hobi Kellon
Seminggu sebelum persidangan.
“Aku nggak mau Kam, aku nggak mau,” isak Liz sambil melempar map berisikan surat perceraiannya dengan Kama.
Kama mengusap rambutnya dengan keras, Liz bukan wanita yang bisa diluluhkan dengan cepat. Pendiriannya teguh.
“Sayang, aku mau cerai.”
Plak ….
Rasa panas langsung menjalar di pipi Kama, Liz benar-benar marah dengan perkataan Kama.
“Sayang, sakit astaga.”
“Itu nggak seberapa sama sakitnya hati aku. Kamu jahat Kama. Kalau Papih tau dia bakal bunuh kamu,” maki Liz sambil menatap tajam Kama.
“Sebelum aku dibunuh Papih kamu, mungkin aku udah dicingcang Daddy dan Mamih aku, Sayang.” Kama mencoba menenangkan Liz yang murka karena dia menyodorkan surat cerai kehadapannya.
“Kalau tau kamu bakal dibantai keluarga aku sama kamu. Kenapa kamu masih ngelakuin ini?” tanya Liz bingung. Apa yang ada dipikiran suaminya ini, sampai-sampai menggugat cerai dirinya.
“Aku harus, Sayang. Aku harus ngelakuin ini semuanya, aku nggak mau liat kamu menderita,” ucap Kama sambil mencoba memeluk Liz.
Liz berontak, Ia langsung mendorong badan Kama. “Muka aku emang keliatan menderita, Kam?” tanya Liz sambil menunjuk mukanya geram. “Menderita kah?”
“Bukan saat ini Liz, kamu ngertikan kenapa aku lakuin ini semuanya. Ayolah Sayang, jangan pura-pura nggak ngerti,” pinta Kama sambil berusaha untuk mendekati Liz lagi.
Liz terdiam dengan perkataan Kama, Liz tau apa yang dimaksudkan Kama. Jangankan Kama, Liz saja selalu frustasi akan hal itu. Tapi, bercerai? Astaga … Liz tidak pernah berpikir sampai ke sana. Tak pernah terlintas dipikirannya kata perceraian.
“Kama please, I love you so much.”
“Astaga, Liz kamu tau segimana aku cintanya sama kamu. Kamu tau kan? Kamu tau segimana aku sayangnya sama kamu?” tanya Kama pada Liz.
Air mata Liz mulai tergenang dia tidak mau bercerai. Sumpah demi apa pun dia tidak mau bercerai. Kakinya goyah, kakinya seakan tidak mampu lagi untuk menopang tubuhnya.
“Nggak mau Kama, aku nggak mau,” isak Liz sambil terduduk dan menutup wajanya. Isakkannya makin keras saar Kama memeluknya.
“Liz, ini demi kebaikkan kamu. Aku nggak mau kamu sengsara dan nelangsa, aku nggak mau. Aku sayang dan cinta sama kamu, makanya aku mau lepas kamu,” terang Kama sambil mengusap air matanya sendiri. Hatinya pedih bukan main, berat mengajukan surat cerai pada Liz. Dia cinta pada wanita yang sedang ada dipelukkannya ini.
“Kam, aku nggak mau. Aku cinta sama kamu, ayo … kita hadepin semuanya bareng-bareng. Jangan kaya gini, Kam,” pinta Liz sambil merengkuh wajah Kama, mengelus pipinya.
“Aku nggak bisa.”
“Kama, aku maunya sama kamu. Kama, kamu bilang cinta sama aku dari semenjak kita umur tiga belas tahun,” jerit Liz sambil mencium dan menggigit bagian bawah bibir Kama. “Kamu inget nggak perjuangan kamu buat dapetin aku kaya gimana? Inget nggak Sayang? Kama aku nggak mau cerai.”
Liz menautkan kembali bibirnya, mengesap bibit Kama yang manis dan memabukkan. Diselusupkan lidahnya dan dengan pelan menggoda lidah Kama untuk membalas ciumannya. Gayung bersambut, Kama menyesap bibir Liz dengan hangat. Menggigit bagian bawah bibir Liz dengan pelan.
Kama menguraikan ciumannya sambil mengecup kening Liz. “Aku juga sayang sama kamu. Tapi, ini demi kebaikkan kamu, Sayang.”
“Kama aku mohon, aku nggak mau cerai.” Liz mengatupkan kedua tangannya di dada. Dia akan melakukan apa pun juga untuk membuat Kama merubah pikirannya. Bahkan, bila Kama memintanya untuk mengecup kakinya Liz akan lakukan. Liz tidak mau bercerai, hatinya sakit.
“Sayang ini—“
“Aku nggak mau cerai!?” bentak Liz sambil memukuli tubuh Kama dan menjerit juga menangis sekencang-kencangnya.
Kama hanya diam menerima pukulan Liz yang bertubi-tubi dan menggila. Dia akan menerima semuanya ini sudah menjadi konsekuensinya, ini semua adalah hal yang harus diterimanya.
Badan Kama sakit menerima pukulan, gigitan bahkan cakaran dari Liz. Namun, sejujurnya hatinya yang sakit bukan main melihat betapa sengsaranya istrinya itu. Tapi, Kama harus melakukannya. Demi kebaikkan Liz.
“Sayang … denger aku, aku harus lakuin ini,” ucap Kama sambil memeluk Liz dan mengecupi pucuk rambut Liz.
“Nggak mau Kam, nggak mau. Aku nggak mau, aku cinta kamu!?” ucap Liz sambil mencakar bagian punggung Kama.
“Aku juga cinta kam—“
“Terus kenapa kamu cereiin aku? Kamu gila apa? Kalau cinta kamu nggak bakal ceraiin aku!?”
“Liz kamu udah tau jawabannya apa.” Kama mengusap bibir ranum Liz, mata istrinya itu tampak cantik saat berkaca-kaca. Tuhan, dia mencintai istrinya.
“Aku nggak mau Kama, aku mau kamu,” ucap Liz lirik sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya ke dada Kama.
“Liz, Sayang. Aku nggak mau sengsara, nikah itu seumur hidup Sayang.”
“Kita hadapin bareng-bareng Kama, aku mohon. Aku maunya kamu, aku nggak mau CERAI,” jerit Liz diakhir katanya. Lebih baik dia mati daripada bercerai dengan Kama.
Liz menggila dia menjerit dan menangis keras, sesekali ditarik-tariknya rambut miliknya. Beberapa kali Kama menahan tangan Liz yang berusaha mencakar dan memukuli dirinya.
“Sayang, tolong. Udah jangan sakitin diri kamu,” pinta Kama dengan napas tertahan.
“Terus gimana aku nggak mau cerai!?” seru Liz sambil menatap bola mata Kama yang coklat.
“Aku juga nggak mau—“
“Yah, terus kenapa kamu paksa aku buat tanda tanganin surat sialan ini?” ucap Liz sambil menatap kertas yang entah bagaimana caranya sudah terbuka dan di sampingnya terdapat pulpen.
“Karena harus, Liz. Aku yang salah, aku yang bikin kamu nggak bahagia. Aku ….”
“Dan aku nggak peduli!?” potong Liz sambil mencengkeram surat cerainya.
“TAPI, AKU PEDULI!?” teriak Kama keras, membuat Liz terkesiap dan menatap kaget Kama.
“Kama,” bisik Liz tidak percaya kalau Kama berteriak pada dirinya. Selama mereka kenal bahkan memadu kasih tidak pernah Kama berteriak atau membentak dirinya. “Segitu inginnya kamu cerai sama aku?”
Kama terkesiap, dia kelepasan berteriak dihadapan Liz. Kama tidak pernah berteriak pada Liz, semarah atau sekesal apa pun. “Sayang aku ….”
Liz diam mematung, rasa kaget menyergapnya. Sebegitu ingin kah, suaminya itu menceraikan dirinya. Padahal, pernikahan mereka baru berusia tiga bulan. Bahkan seminggu yang lalu mereka baru saja pulang dari Italy. Bertemu dengan keluarga besar Kama dan adik iparnya Kafta yang sudah menyelesaikan kuliahnya.
“Sayang, maaf aku kelepasan,” ucap Kama menyesal, dengan cepat diusapnya rambut Liz dan dikecupinya setiap jengkal wajah Liz.
Liz mematung, “Kamu nggak pernah bentak aku. Sebiadap apa pun kelakuan aku, kamu nggak pernah teriak ke aku!?”
“Aku kelepasan.”
“Sebegitu jijik kah kamu sama aku Kam? Sampai kamu ingin kita cerai, hanya karena aku be—“
“Nggak, aku nggak punya pikiran kaya gitu,” ucap Kama sambil mengusap rambut Liz berkali-kali.
“Atau karena aku memu—“
“Nggak Sayang, itu hak kamu. Aku nggak bisa larang. Astaga … Liz aku nggak pernah sepicik itu.”
“Terus kenapa kamu mau kita cerai?” maki Liz sambil memukul dada Kama keras hingga tubuh Kama mundur ke belakang.
“SAKIT LIZ!?”
Plak ….
Tanpa sadar Kama menampar Liz, Liz kaget dan Kama pun Kaget. Suasana benar-benar sudah tidak bisa dikontrol lagi.
Liz hanya bisa menatap nanar dan bingung pada Kama. Disentuhnya pipinya, sakit bukan main, ini pertama kalinya dirinya ditampar, papihnya sendiri tidak berani menamparnya. Ini suaminya malah menamparnya. Sakitnya bukan main.
“Liz maaf, astaga aku kelepasan, Sayang.” Kama panik, saking paniknya Kama langsung memeluk Liz dan menciumi pipi Liz sambil menangis kencang. Tubuhnya bergetar hebat, rasa sesal langsung menyergapnya karena sudan menampar wanita yang dia cintai seumur hidupnya. “Maaf.”
Liz diam dia mematung, hati dan pikirannya kacau bukan main. Jantungnya berdetak dan bertalu-talu, dia keget dengan kelakuan Kama yang menamparnya.
“Kamu mau cerai Kam?” desis Liz.
“Liz.”
Didorongnya badan Kama dan dicarinya pulpen dan surat cerainya. Matanya menggila berusaha mencari semuanya, saat menemukannya Liz langsung mengambilnya dan langsung menandatanganinya dengan cepat.
“Kita cerai, aku tunggu kamu di pengadilan!?” seru Liz sambil melemparkan surat cerai beserta pulpennya ke wajah Kama.
Kama terdiam dan hanya bisa menangkap surat cerai dan pulpen yang Liz lemparkan. Napasnya terhenti saat melihat Liz beranjak meninggalkan dirinya keluar dari kamar mereka.
Brak …
Liz membanting pintu dengan keras. Kama terdiam sambil melihat kertas di tangannya. Tanda tangan Liz tertoreh di kertas itu. Sakit.
•••
Xoxo Gallon yang Hobi Kellon.
Kama memejamkan matanya mengingat peristiwa yang terjadi seminggu yang lalu. Di mana Liz melemparkan surat cerai ke wajahnya sambil menangis.
Dengan cepat Kama mengusap wajahnya dan mengutuki hidupnya yang tidak karu-karuan. Hidupnya benar-benar hancur hanya karena satu hal, walau Liz mau menerimanya dan menemaninya, harga dirinya benar-benar tidak sanggup melihat Liz ikut terjerembab bersamanya. Berpisah adalah jalan terbaiknya. Walau ia harus merasa sakit.
“Kam,” panggil Kalila.
“Iya Teh.” Kama menjawab panggilan kembarannya. Kakanya yang hanya berbeda dua menit terlahir ke dunia.
“Di panggil Daddy ama Mamih,” ucap Kalila sambil menunjuk pintu di belakangnya.
Kama memejamkan matanya lagi, orang tuanya benar-benar murka saat mengetahui Kama menceraikan Liz, ditambah Kama dan Liz bungkam mengenai apa penyebab mereka bercerai, membuat orang tuanya uring-uringan.
“Bilang aku udah tidur,” tolak Kama.
“Kamu tidur atau pingsan? Ini masih jam tiga sore, Kam,” ucap Kalila dengan dengan kesal.
“Aku males, Teh.” Kama menatap Kalila sambil mengusap rambutnya dengan keras dan berulang.
Kalila mendekati Kama dan memeluk adik kembarnya itu. Memiliki dua adik laki-laki cukup membuat Kalila pusing kepala. Kafta sebenarnya yang selalu membuat Kalila pusing, Kama lebih mudah diatur karena dia bucin dengan Liz, pusing-pusing Kalila bakal meminta tolong pada Liz untuk mengurus Kama.
“Kamu kenapa cerai sih, Kam?” tanya Kalila.
Kama bungkam, “Kan di pengadilan udah dibilang, nggak ada kecocokan dan aku tampar Liz sekali.” Kama membalas pelukkan Kalila.
“Jangan bohong Kam, kamu mana berani nampar Liz. Kamu bentak dia aja kamu nggak mau, kamu tuh cinta banget sama dia. Teteh tau,” ucap Kalila.
‘Karena aku cinta sama dia makanya aku ceraiin dia, Teh,’ batin Kama.
“Kam,” panggil Kalila yang kesal Kama tidak menjawabnya sama sekali.
“Iya.”
“Kenapa?” paksa Kalila. “Kamu kenapa cerai? Kamu tau kan dampaknya kamu cerai sama Liz apa? Gede Kam.”
“Tau Teh. Tapi, Kama harus menceraikan Liz,” ucap Kama.
“Yah kenapa? Ada alasannya Kama, kamu taukan Daddy sama Om Juan itu rekan bisnis dan udah kaya kelurga banget. Bahkan Tante Iis itu udah dianggap anak sama Abah?” Kalila mengingatkan Kama, kalau Kakek dari pihak ibunya sangat sayang dengan ibunya Liz.
“Tau,” jawab Kama pendek.
“Kamu tau perusahaan Daddy sekarang yang pegang sahamnya tiga puluh persen itu keluarga Liz?” tanya Kalila lagi.
“Tau.”
“Yah terus kenapa, Kam?” cecar Kalila sambil melepaskan pelukkannya dan menatap manik mata Kama.
Kama melihat mata biru milik Kalila, mata yang sama dengan milik Daddy-nya. “Karena aku udah nggak cocok sama Liz.”
“Bullshit!?” maki Kalila kesal. “Jangan bohong kamu, Kam. Kamu tuh bucin sama Liz!?”
“….”
“Kamu sama Liz bukan nikah karena dijodohin. Tapi, emang kalian berdua aja saling cinta, iya kan!?” cerocos Kalila.
“Iya, Teh.”
“Yah terus kenapa? Kamu hamilin anak orang?”
“Nggak.”
“Liz selingkuh?”
“Nggak mungkin, Liz setia Teh.” Entah mengapa Kama tidak rela kalau ada yang menjelek-jelekkan Liz.
“Yah terus kenapa?” tanya Kalila bingung, “nggak cocok dari mana? Teteh masih inget betapa mesranya kalian saat Kafta selesai wisuda di Italy.”
Kama tersenyum mengingat betapa bahagianya Liz saat dirinya memberikan sebuket besar mawar putih sambil menaikki gondola. Dan betapa asiknya mereka berjalan-jalan di Italy menggunakan motor vespa milik Nonno (Kakek) Gio.
“Kama!? Astaga … fokus. Kenapa?” cecar Kalila.
“Teh, Kama nggak bisa bilang.”
“Kama ini Teteh loh yang nanya buka Daddy atau Mamih.” Kalila mengingatkan Kama.
Bibir Kama kelu umurnya memang sudah dua puluh delapan tahun. Tapi, bila sudah berurusan dengan cerewetnya Mamih dan amukkan Daddy-nya Kama menyerah.
“Kama Trina Berutti, rispondimi!? (Jawab aku),” paksa Kalila dengan menggunakan bahasa Itali, darah Itali mengalir kental dari pihak Daddynya. Sedangkan, mamihnya yang orang Sunda asli membuat Kalila, Kama dan Kafta menjadi blesteran.
*“Ok, Sorella, Risponderò alla tua domanda. Ho risposto a tutto. Ma non dirlo a Mamih e Daddy, (*Oke kak, aku bakal jawab semuanya. Tapi, jangan kasih tau Mamih dan Daddy.)”
“Śi (iya).”
Kama menatap manik biru mata Kalila, dengan cepat dia beritahu semua alasannya. Selama hampir satu jam mereka berbincang dan selama itu pula Kalila hanya bisa terdiam, bibirnya kelu.
“Kam … jadi—“
“Aku ceraikan Liz, itu keputusan final.”
“Tapikan, Liz —“
“Aku sayang dia Teh, udah aku mau ketemu Daddy dan Mamih. Tolong, jangan bilang siapa pun juga.” Kama beranjak dari duduknya dan merapihkan polo shirt yang ia kenakan.
“Kam, kalian bisa ber—“
“Aku nggak mau bikin Liz menderita, nggak mau.” Kama berkata sambil tersenyum pada kakaknya itu.
•••
“Kama kamu kenapa cerai sama Liz?” tanya Taca.
“Udah nggak ada kecocokan, Mih,” jawab Kama pelan.
“Kama tolong,” pinta Taca sambil menatap anak keduanya itu, “jangan bohong.”
“Kama nggak bohong Mih.”
Taca hanya bisa menggelengkan kepalanya, pusing. Ternyata memiliki anak itu membuat kepalanya sakit. “Kama, Mamih tau mana yang bohong dan tidak. Dan saat ini kamu tuh bohong.”
Jantung Kama mencolos, Taca memang paling ahli untuk mengetahui kapan anak-anaknya berbohong atau berkata jujur.
“Mih, Kama nggak bohong. Kama pukul Liz dan Kama sama Liz emang udah nggak cocok.”
“Ka—“
“Beresin baju kamu, pindah kamu dari rumah ini!?” potong Adipati dengan suara yang menggelegar.
“Di,” panggil Taca pada suaminya. Sampai hari ini Taca selalu memanggil suaminya itu Di. Entah kenapa tapi, Taca menyukainya.
“Amore, dia udah punya penthouse sendiri, tinggal di sana. Nggak usah kamu kesini-sini lagi sampai kamu bilang kenapa kamu ceraiin Liz!?” Adipati berkata sambil melemparkan koran ke arah Kama. Adipati kesal bukan main dengan anak keduanya ini, masih untung dia tidak memukulinya dengan koran.
“Iya, Daddy.” Kama hanya bisa menghela napas dan menatap ujung sepatunya. “Hari ini Kama pindah.”
“Sekarang juga!?” bentak Adipati.
“Di!?” sergah Taca sambil mengusap paha Adipati pelan. Entah kenapa Taca tidak terima kalau Kama dimarahi Adipati.
“Nggak ada maaf, kamu tau kan Daddy sama Om Juan itu apa? Kamu tau kan, Liz itu udah Daddy anggap anak sendiri. KAMU INGET APA YANG DADDY KATAKAN SAAT KAMU MENIKAH!?” teriak Adipati keras, saking kerasnya semua urat-urat di lehernya terlihat jelas.
Deg ….
Jantung Kama mencelos saat mengingat petuah Adipati saat akan menikahi Liz. “Inget.”
“Apa?” tanya Adipati.
Kama berjuang menelan salivanya, “Kamu sudah memilih Liz sebagai pendamping hidup kamu. Kamu harus jaga dia sampai akhir hayatnya.”
“Terus kamu jaga Liz sekarang?” tanya Adipati.
“Da—“
“Tau kamu kelakuan Daddy waktu muda kaya apa? Daddy itu brengsek, playboy bahkan Mamih kamu ini sampai nggak mau sama Daddy. Dia sampai kabur!?” kenang Adipati, mengingat masa mudanya bersama Taca.
“….”
“Tapi, apa Daddy tinggalin Mamih kamu? Nggak. Karena, Daddy bakal jaga Mamih kamu ini sampai Daddy mati!?”
“Daddy, aku sama Liz emang nggak cocok. Beda sama Daddy dan Mamih.” Kama membela dirinya.
“Kalau gitu masalahnya, selesaiin Kama. Bukan cerai, Mamih telat bilang begini karena kalian udah cerai. Kamu juga nggak bakal bisa nikahin Liz lagi. Kecuali Liz nikah sama orang lain, terus nikah lagi sama kamu. Tapi, kenapa sih kamu ambil keputusan nggak ngomong dulu sama Mamih dan Daddy?”
Kama beranjak dari duduknya dan berkata pelan, “Mamih, Daddy. Kama udah gede, umur Kama udah dua puluh delapan tahun, ini keputusan final Kama sama Liz. Jadi, tolong hormatin keputusan kami.”
Adipati rasanya ingin menendang anak keduanya itu. “Oke, keluar kamu sekarang!?”
“Di ….” Taca mengusap paha Adipati dan langsung dibalas dengan tatapan tajam suaminya. Taca diam, dia paling tidak bisa melawan manik mata biru suaminya itu.
“Baik Daddy, aku beres-beres dulu.”
“Kama, maksud Daddy bukan gitu,” ucap Taca waswas bila anaknya tidak kembali lagi ke rumah itu.
“Aku tau Mih. Tapi, sepertinya aku harus tinggal di penthouse aku dulu.” Kama berkata sambil berjalan ke kamarnya dan bersiap untuk mengambil semua barang-barang yang dibutuhkannya.
Kama menatap sekeliling kamarnya, napasnya sesak. Masih segar diingatannya di mana saja Liz pernah berada. Di bagian mana saja dirinya dan Liz saling menggerayangi dan bercumbu.
Bahkan kalau boleh jujur kupingnya masih mendengar suara Liz yang memanggilnya atau tawa Liz yang membuatnya makin jatuh cinta.
“Sayang aku kangen,” bisik Kama sambil berjalan ke dalam walking closet dan mengambil baju tidur kesayangan Liz. Menciuminya.
Wangi mawar langsung menyeruak kehidungnya seketika itu juga Kama terduduk dan tangisannya pecah.
Hatinya sakit bukan main, pikirannya kalut. Dengan membabi buta Kama mencium pakaian tidur Liz berharap itu adalah tubuh mantan istrinya. Wanita yang dicintainya.
“Sayang kamu, aku rindu kamu Sayang. Maafin aku, Sayang maafin aku.” Kama terisak sambil terus mencium baju tidur Liz.
Kama menumpahkan segala kesedihannya sambil mengutuk pada tuhan. Mengapa dia harus bernasib seperti ini, kenapa hidupnya harus sebangsat ini!?
Kama memaki tuhannya.
•••
Xoxo Gallon yang Hobi Kellon
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!