Terik mentari yang terasa membakar kulit dirasakan oleh Andi. Ia keluar dari gerbang sekolahnya dan disambut dengan terik mentari di musim kemarau ini. Andi baru saja menyelesaikan ujian akhir. Kini ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan.
Andi sendiri belum mengetahui apa yang akan ia lakukan setelah ini. Melanjutkan sekolah atau malah memilih bekerja. Andi enggan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Bukan karena nilai sekolahnya yang jelek, bukan. Ia berada di peringat menengah di setiap angkatannya. Jadi dengan nilai seperti itu dirinya bisa melanjutkan kuliah.
Keadaan ekonomi keluarganya lah yang membuat Andi enggan untuk melanjutkan pendidikannya. Orangtuanya bukalah pegawai dengan gaji bulanan yang tetap. Ayahnya hanyalah driver ojek online yang pendapatan hariannya tidak menentu. Sementara ibunya yang membuka bisnis katering itu juga tidak memberi pendapatan yang tetap. Meski kadang banyak pesanan, tetapi tidak jarang juga dalam sebulan ibunya hanya menerima lima kali pesanan.
Semua itu tidak mencukupi kebutuhan keluarganya yang beranggotakan lima orang itu. Andi masih memiliki dua orang adik yang masih bersekolah. Amira adiknya yang terpaut dua tahun darinya, duduk di kelas sepuluh SMA, di sekolah yang sama dengan Andi. Sedangkan Arfan adik bungsunya akan masuk SMP di tahun ajaran baru.
Sudah jelas itu akan menambah beban orangtuanya jika Andi memilih untuk berkuliah. Memang guru BK di sekolahnya sudah mensosialisasikan program beasiswa pemerintah bagi siswa kurang mampu. Tetapi tetap saja jika Andi kuliah akan mengeluarkan uang.
Meski program beasiswa tersebut menggratiskan semua UKT yang ada dan juga adanya uang bulanan tetapi itu tidak cukup. Andi tinggal di salah satu Kabupaten di Jawa Timur. Di tempatnya tinggal tidak ada universitas negeri. Jadi jika Andi ingin mengikuti program beasiswa tersebut ia harus berkuliah di luar kota.
Biaya kos dan uang makan yang perlu Andi keluarkan tidak sepenuhnya bisa ditutup dengan uang bantuan pemerintah. Jika Andi bekerja, setidaknya ia bisa meringankan beban ekonomi dari ayah dan ibunya.
Memikirkan hal itu saja sudah membuat kepala Andi pusing. Belum lagi terik matahari yang panas ini membuat Andi bertambah pusing. Andi pun bergegas menaiki sepedanya dan mengayuhnya pulang. Mungkin jika berada di rumah ia bisa menghindar dari terik panas matahari.
Memang setiap hari Andi berangkat sekolah dengan menaiki sepedanya. Jarak antara sekolahnya dan rumah yang hanya tiga kilometer membuat Andi memilih menaiki sepeda. Keluarganya memiliki dua motor. Satu untuk ayahnya bekerja, satu lagi untuk di rumah, dipakai ibunya jika ia perlu untuk keluar rumah. Hal itu membuat Andi menjadi satu-satunya murid di angkatannya yang ke sekolah dengan bersepeda.
Terkadang beberapa temannya mencemooh Andi yang tidak membawa motor ke sekolah seperti temannya yang lain. Terkadang ban sepeda Andi juga dikempesi. Meski Andi sudah memarkirkan sepedanya di tempat yang paling dekat dengan pos satpam, tetapi masih ada anak yang berhasil menjahili Andi.
*****
“Aku pulang.” Ucap Andi ketika memasuki rumahnya.
“Kakak sudah pulang. Gimana ujiannya tadi?” tanya Amira adiknya.
Andi duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Ia kemudian melepas sepatu yang dipakainya. Ketika Andi melepaskan sepatunya, dari sudut matanya Andi melihat Amira setengah berlari masuk kembali ke dalam rumah.
“Semuanya lancar. Untung aja jaringan internetnya tidak bermasalah ketika Kakak menjawab soal.” Jawab Andi singkat.
Rumah mereka tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Hanya rumah dengan tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, ruang makan dan ruang tamu. Jadi Andi tidak perlu berbicara keras dengan Amira yang kini berada di dapur. Letak dapur dan ruang tamu yang hanya dipisahkan oleh almari membuat suara Andi masih bisa terdengar oleh Amira.
Amira kembali mendatangi Andi. Kini ditangannya sudah ada segelas air putih. Amira kemudian menyerahkan gelas tersebut kepada Andi.
“Makasih.” Andi merasa bersyukur memiliki adik perhatian seperti Amira. Kakaknya pulang sekolah di tengah terik matahari seperti ini, langsung disodori air minum ketika sudah sampai di rumah.
“Ah segarnya. Kemana ibu dek?” tanya Andi yang hanya melihat keberadaan Amira. Biasanya ibunya pasti akan datang juga jika dirinya pulang sekolah.
“Ibu ke tokonya Bu Jum. Mau beli beras, besok ada pesanan katering. Kalo Kak Andi mau makan aku gorengin telor.”
Andi mengeleng pelan. Dirinya masih enggan makan, belum lapar untuk saat ini. “Mungkin nanti dek. Kakak mau tidur dulu bentar. Nanti bangunin setengah jam lagi.” ucap Andi.
“Oke Kakak.”
Andi berjalan menuju kamarnya, kamar yang ia tempati berdua dengan adiknya Arfan. Kamarnya letaknya di tengah, diapit diantara kamar Amira yang paling depan dan kamar orangtuanya di belakang. Kamarnya terlihat sedikit berantakan. Banyak buku yang berserakan di sana sini.
Maklum saja kedua pemilik kamar ini beberapa minggu terakhir melakukan belajar intensif sehingga beberapa buku mereka masih berada di sana sini. Mereka belum sempat membereskan semua ini. Andi sedikit membereskan ranjang yang akan ditidurinya. Setidaknya ia tidak mau tidur di atas buku-buku.
Andi merebahkan dirinya di atas ranjang. Ia sebenarnya tidak benar-benar berniat untuk tidur. Ia hanya ingin memikirkan langkah selanjutnya yang perlu ia ambil setelah ini. Apa yang ia pilih tidak hanya mempengaruhi dirinya tetapi juga keluarganya.
Ketika sedang asik merenung, Andi mendengar suara notifikasi dari ponselnya. Dengan sedikit enggan, Andi bangun untuk meraih ponselnya yang masih berada di dalam tas. Ponsel milik Andi hanyalah ponsel android model lama. Ia membelinya bekas dengan uang tabungannya. Setidaknya poselnya ini masih bisa digunakan untuk berkomunikasi.
Ada sebuah pesan dari group kelasnya di WhatsApp. Dengan sedikit penasaran Andi membukanya.
“Hoy teman-teman. Sabtu besok aku mengundang kalian makan-makan di rumah. Ibuku bilang ia ingin mengadakan syukuran kecil karena aku sudah selesai ujian. Jangan lupa datang ya. – Jony.”
Jony, salah satu teman sekelas Andi yang terlahir dari keluarga kaya. Setiap hari anak itu berangkat ke sekolah mengendarai mobil. Meski sekolahnya tidak menyediakan lahan parkir untuk mobil, namun anak itu tetap membawanya ke sekolah. Ia akan memarkirkan mobil itu di pertokoan yang ada di depan sekolah.
Andi dengar keluarga Jony memiliki beberapa pabrik. Usahanya juga beragam. Keluarga Jony termasuk orang yang sangat kaya di tempat Andi tingal. Dan Andi menjadi teman sekelas Jony sejak kelas sepuluh hingga sekarang.
Jony memang sering mentraktir teman-teman sekelasnya. Jadi tidak heran jika sekarang dia mengundang teman-temannya untuk makan-makan bersama. Jony ini adalah salah satu orang yang melakukan perundungan kepada Andi. Meski tidak terang-terangan, tetapi dia sering membayar beberapa anak untuk mengempesi ban sepedanya.
Andi mengetahui semua itu dari Dinda, ketua kelasnya yang kebetulan mencuri dengar pembicaraan Jony dan komplotannya. Andi sendiri tidak mengetahui kenapa Jony memusuhinya hingga seperti itu. Ia rasa dirinya tidak pernah menyinggung anak itu.
“Wah boss Jony mau mengundang kita ke rumahnya.” Balas salah satu teman Andi.
“Boss Jony kita tidak perlu membawa apapun kan?” tanya temannya yang lain.
“Tidak perlu tentu saja tidak perlu. Jangan lupa kalian perlu berpakaian rapi. Jika tidak satpam komplek perumahanku tidak akan mengijinkan kalian masuk. Hahahaha.” Jony membalas.
Andi menarik nafas panjang. Ia sudah memahami bahwa tulisan Jony barusan ditunjukkan kepada dirinya. Pakaian yang biasa Andi pakai memang tidak terlalu modis. Ia hanya memakai pakaian murah yang dijual di pasar pakaian di tempatnya tinggal. Andi lebih memilih menabung uangnya untuk yang lain daripada membeli pakaian.
Andi menutup aplikasi chat tersebut. Ia kemudian membuka-buka deretan aplikasi yang ada di ponselnya. Pandangan Andi tertuju kepada aplikasi dompet digital yang ada di sana. Andi membukanya dan melihat saldo yang dimilikinya.
Rp 200.000,-
Hanya duaratus ribu. Itu adalah uang terakhir Andi. Sejak banyaknya transaksi melalui dompet digital, Andi memilih menyimpan uangnya di sana. Ia tidak lagi repot-repot mengeluarkan dompet ketika akan berbelanja. Cukup scan QR code dengan ponselnya maka pembayaran akan segera selesai. Sekarang toko kecil pun sudah menyediakan QR code untuk pembayaran digital.
Ketika Andi tengah fokus memperhatikan nominal uang yang ada di dompet digitalnya, sebuah pop up notifikasi keluar di layar ponselnya. Andi membaca dengan seksama tulisan yang ada di sana.
[Apakah Anda ingin menjadi kaya raya? Jika ya tekan tombol setuju maka kami akan membuat Anda semakin bertambah kaya.]
[Tidak Setuju] [Setuju]
Begitulah isi dari notifikasi yang tertulis di sana. Andi cukup kaget membaca notifikasi tersebut.
“Cih. Masih ada aja notifikasi seperti ini. Pasti ini hanya sebuah iklan seminar cara menjadi kaya. Tidak semua orang bisa mengikuti jejak orang kaya. Apa mereka pikir dengan mengikuti seminar mereka bisa dengan mudah menjadi kaya seperti halnya narasumber? Sungguh naïf.”
Andi mencoba menghilangkan notifikasi tersebut dari layar ponselnya. Ia menekan tombol kembali pada layar ponselnya namun tidak ada yang berubah. Notifikasi tersebut masih berada di sana. Andi juga mencoba menekan tombol power, berharap dengan begitu ponselnya akan terkunci dan notifikasi itu hilang. Tetapi tetap tidak ada perubahan. Bahkan Andi juga mencoba merestart ponselnya. Tetap tidak berubah.
“Sial. Saat seperti ini kenapa ponselku hang. Apa maumu? Apa ini karena notifikasi ini membawa virus?”
Itu semua mungkin saja terjadi. Sekarang ini banyak sekali notifikasi-notifikasi yang berisi virus. Jika kita menekannya, maka virus tersebut akan dikirimkan ke device milik kita. Entah itu ponsel, PC, maupun Laptop.
“Sial. Siapa pula yang mengirimiku notifikasi seperti ini. Demi Tuhan saldo di dompet digitalku hanya duaratus ribu. Dan itu juga adalah semua tabunganku. Kenapa ada yang mengirimiku virus seperti ini.”
Andi sering sekali membaca berita online tentang banyaknya pencurian akun keuangan digital untuk menguras uang yang ada di sana. Andi rasa saat ini dirinya akan menjadi salah satu korban dari pencurian akun tersebut. Lihat saja ketika dirinya membuka akun dompet digitalnya hal ini langsung terjadi.
“Oke kalo itu mau kalian aku akan menurutinya. Aku mau lihat apa yang akan kalian lakukan kepada akunku yang hanya berisi uang duaratus ribu itu.”
Andi kemudian menekan tombol setuju pada layar ponselnya. Tidak lama kemudian notifikasi baru muncul disana.
[Terimakasih telah melakukan pilihan. Silahkan tunggu beberapa saat lagi, semuanya masih dalam pemrosesan]
[0%]
[8%]
[30%]
[60%]
[99%]
[100%]
Setelah angka sudah menunjukkan 100% notifikasi tersebut menghilang. Layar ponselnya kembali menunjukkan beranda pada aplikasi dompet digital yang sebelumnya Andi buka. Nominal saldo yang tertera di sana masih tetap duaratus ribu rupiah. Tidak ada perubahan yang terjadi.
Tidak lama kemudian, Andi mendengar bunyi notifikasi. Tetapi layar ponselnya masih tetap menujukkan beranda aplikasi dompet digital. Ia juga tidak melihat adanya notifikasi lainnya di ponsel miliknya.
[Ding]
[Modul menjadi kaya telah terinstal. Host silahkan nikmati semua proses menjadi kaya]
Andi mendengar suara monoton seperti suara yang dihasilkan oleh sebuah kecerdasan buatan. Monoton seperti robot. Andi mencoba mencari sumber dari suara terebut. Tetapi tidak menemukannya. Suara itu tidak berasal dari ponselnya. Tetapi kenapa suara itu terdengar sangat dekat. Seperti ada seseorang yang berbisik di telinganya.
[Ding]
[Host selamat datang pada modul menjadi kaya dengan cara bernafas level 1]
[Setiap tarikan satu tarikan nafas Host akan dikonversikan menjadi 1 rupiah]
[Host perlu menaikkan level dari modul untuk mendapatkan konversi yang lebih tinggi lagi]
[Setiap rupiah yang host keluarkan, baik itu untuk membeli sesuatu, berinvestasi, atau memberikannya kepada orang lain akan mempercepat naiknya level dari modul]
[Selamat berjuang menghabiskan uang Host]
[Ding]
[Modul Menjadi Kaya]
[Level 1 (0/100000)]
[Saldo Host : Rp 200.000,-
[Tingkat Konversi : 1 kali nafas \= 1 rupiah]
Suara itu masih terdengar jelas di telinga Andi. Setelah mengingat dengan jelas setiap kata yang terdengar di telinganya baru lah Andi bisa menarik sebuah kesimpulan.
“Sial.” Umpat Andi dengan suara keras. “Jangan bilang aku baru saja mendapatkan sistem?”
“Kakak apa kau baik-baik saja?” Terdengar suara Amira dari luar kamar.
Sepertinya gadis itu mendengar umpatan Andi yang cukup keras. Andi mencoba mencari alasan untuk mengelabuhi adiknya. Setidaknya pemuda itu tidak ingin adiknya tahu bahwa dirinya baru saja mendatkan sistem.
Ia belum yakin dengan kebenaran hal ini. Seandainya Andi mengatakan hal ini kepada Amira pun, belum tentu adiknya itu percaya. Yang ada Amira akan mengatakan bahwa Andi hanya sedang berhayal. Gadis itu juga pastinya akan mengatakan hal ini kepada ibunya.
Jika sampai orangtuanya tahu, sudah pasti hobinya yang sering menonton anime akan dilarang oleh kedua orangtuanya. Mereka pasti akan menganggap hal tersebut memberikan pengaruh buruk dan membuat Andi berhayal memiliki sistem seperti sekarang ini.
Jadi untuk sekarang dan mungkin selamanya, fakta bahwa dirinya memiliki sistem akan Andi tutup rapat-rapat. Cukup dirinya saja yang mengetahui hal ini. Tidak perlu ada orang kedua yang mengetahuinya. Jika ada orang kedua, nantinya pasti aka nada orang ketiga, keempat dan seterusnya. Dan Andi tidak ingin hal itu terjadi.
“Ah tidak apa-apa Amira. Aku hanya kaget. Ada kecoa terbang di kamar. Sepertinya hari minggu besok aku akan mengajak Arfan untuk membersihkan kamar ini. Pasti banyak kotoran di kamar ini sehingga ada kecoa di dalam kamar.” Andi memberi alasan.
Dengan mengatakan bahwa ada kecoa terbang di kamarnya, sudah pasti Amira tidak akan memasuki kamarnya. Adiknya itu sangat jijik dengan yang namanya kecoa. Apalagi jika kecoa itu terbang. Ia pasti akan langsung berlari menghindar karena takut kecoa itu hinggap di tubuhnya.
“Ah kecoa, kenapa bisa ada kecoa di dalam sana? Kalau Kak Andi tidak bisa tidur karena ada kecoa, Kak Andi bisa tidur di kamarku Kak. Aku bisa menyelesaikan prku di ruang makan jadi Kak Andi bisa memakai kamarku untuk beristirahat.” Ucap Amira menawarkan kamarnya untuk Andi beristirahat.
“Tidak perlu Amira. Kecoa itu sudah pergi lewat jendela. Jadi sekarang tidak ada lagi kecoa di kamarku. Aku akan beristirahat di sini saja, tidak perlu pindah ke kamarmu. Kau bisa lanjutkan belajarmu.”
“Ah baiklah Kak. Tapi Kak Andi yakin kan kecoa itu sudah pergi? Kecoa itu tidak bersembunyi di belakang lemari kan?”
Andi hampir saja tertawa mendengar ucapan Amira. Pasti adiknya itu khawatir jika kecoa yang ada di kamar ini pindah ke kamarnya. Jadi dia ingin memastikan hal itu kepada Andi. Sudah jelas kekhawatiran Amira itu tidak perlu. Karena di sini memang tidak ada kecoa. Tetapi pemuda itu masih harus menyakinkan adiknya itu.
“Tenang saja. Kecoanya sudah benar-benar pergi melewati jendela. Aku lihat tadi kecoanya sudah menjauh dari rumah. Jadi kamu nggak perlu khawatir kecoanya bakalan masuk ke kamarmu.” Ucap Andi mencoba meyakinkan adiknya.
“Baiklah kalau begitu Kak. Selamat beristirahat.”
Setelah memastikan bahwa Amira tidak lagi mengajaknya berbicara, Andi menarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Pemuda itu kemudian kembali menatap layar ponselnya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali. Ia bahkan mengucek matanya itu. Andi tidak percaya dengan apa yang ia lihat di layar ponselnya.
Nominal dari saldo yang tertera di dompet digitalnya berubah. Nominalnya tidak berkurang, malahan itu bertambah. Setiap Andi bernafas, maka nominal saldo dompet digitalnya akan bertambah satu angka. Ini sama seperti perkataan suara yang Andi dengar. Setiap tarikan nafas akan dikonversikan menjadi satu rupiah.
Andi kembali mengucek matanya berharap apa yang dilihatnya bukan ilusi. Namun angka di saldo dompet digitalnya terus bertambah dengan setiap tarikan nafas. Andi buru-buru menutup aplikasi dompet digitalnya, dan kembali membukanya. Tetap sama.
Pemuda itu kemudian membuka browsernya. Ia ingin mencari tahu berapa banyak manusia menarik nafas dalam waktu satu menit. Dengan begitu Andi akan tahu berapa uang yang bisa ia dapatkan selama satu jam atau bahkan satu hari.
[Berapa banyak nafas yang diambil manusia dalam 60 detik]
Beberapa hasil penelusuran muncul disana. Dari sana Andi mengetahui bahwa dalam satu menit rata rata manusia bernafas enam belas hingga delapan belas kali. Berarti dalam satu hari manusia bernafas sebanyak 23000 kali.
Jika semua ini adalah benar, maka dalam sehari Andi bisa menghasilkan uang sebanyak duapuluh tiga ribu rupiah hanya dengan bernafas. Itu hanya bernafas, Andi tidak perlu melakukan apapun.
Bayangkan di luar sana banyak orang yang kerja banting tulang hanya mendapatkan uang belasan ribu dengan bekerja berjam-jam. Ini Andi hanya perlu bernafas dan ia sudah mendapatkan uang sebanyak itu dalam sehari.
Bernafas juga adalah kegiatan yang sudah manusia lakukan sejak mereka bayi. Bisa dibilang bernafas adalah hal yang sangat mudah dilakukan oleh manusia. Mereka tidak perlu mempelajarinya karena itu sudah menjadi kebutuhan manusia.
Beberapa orang yang kesulitan bernafas biasanya pernafasan dibantu dengan oksigen yang disalurkan melalui selang oksigen. Itupun mereka harus membayar oksigen tersebut. Sedangkan ini Andi, dia benafas normal seperti manusia pada umumnya dan ini dia mendapatkan bayaran.
Hal tersebut membuat Andi masih tidak mempercayai semua ini. Apakah ini semua hanya prank? Tapi jika ini prank, kenapa dirinya bisa mendengar semua suara-suara itu? Itu semua terdengar jelas di telinganya. Jadi, apa alasan logis dibalik suara-suara itu.
Tidak ada. Andi belum menemukan logika yang tepat di balik semua itu.
Jadi kemungkinan besar semua ini adalah nyata. Ini berarti cerita mengenai system yang kadang Andi baca itu bisa terjadi. Buktinya dirinya sekarang ini mendapatkannya. Andi masih memiliki cara lain untuk mengetahui apakah semua ini benar adanya.
Andi kembali membuka aplikasi dompet digitalnya. Ia membeli pulsa sepuluh ribu rupiah untuk nomer ponselnya. Kebetulan sekali pulsanya sedang habis jadi ia ingin mengisi pulsanya. Sekalian melihat apakah akan terjadi perubahan.
[Ding]
[Host telah berhasil menghabiskan uang Rp 10.000,-]
[Ding]
[Modul Menjadi Kaya]
[Level 1 (10000/100000)]
[Saldo Host : Rp 190.160,-]
[Tingkat Konversi : 1 kali nafas \= 1 rupiah]
[Selamat berjuang menghabiskan uang Host]
Benar saja ada perubahan. Exp yang Andi perlukan untuk menaikkan levelnya berubah. Ia masih perlu menghabiskan sembilan puluh ribu lagi untuk menaikkan level modul systemnya. Sekarang Andi perlu memikirkan dikemanakan uang sembilan puluh ribu itu.
Setidaknya Andi ingin semua uang yang ia keluarkan dipergunakan untuk hal yang cukup perlu. Andi belum sepenuhnya yakin dengan semua ini. Setidaknya, jika semua ini adalah prank, maka semua uang yang Andi keluarkan tidak terbuang sia-sia. Tabungannya tidak banyak sehingga ia harus memikirkan dengan seksama pengeluarannya.
“Sepertinya voucer listrik rumah tinggal sedikit. Lebih baik aku membali voucer listrik saja.”
Andi kemudian membeli voucer listrik untuk rumahnya sebesar limapuluh ribu, ia kemudian mengisi pulsa ayah, ibu dan kedua adiknya. Semuanya pas menjadi sembilan puluh ribu. Setidaknya dengan begini uangnya yang ia keluarkan cukup berguna bagi keluarganya.
Jika mereka menanyakan kenapa dirinya membeli voucer listrik rumah dan pulsa untuk mereka, Andi bisa menjawab bahwa semua itu adalah bentuk rasa syukurnya sudah menyelesaikan semua ujiannya. Jumlah pulsa yang tidak seberapa itu adalah bentuk syukuran kecil yang dilakukan Andi.
[Ding]
[Host telah berhasil menghabiskan uang Rp 90.000,-]
[Ding]
[Modul Menjadi Kaya]
[Level 2 (0/250000)]
[Saldo Host : Rp 100.176,-]
[Tingkat Konversi : 1 kali nafas \= 2 rupiah]
[Selamat berjuang menghabiskan uang Host]
Sekarang modul systemnya sudah mencapai level dua. Ia butuh menghabiskan uang duaratus lima puluh ribu lagi untuk menaikkan levelnya. Sekarang ini tingkat konversi modulnya adalah dua rupiah untuk satu kali nafas. Berarti sekarang dirinya bisa menghasilkan uang sebanyak empatpuluh tiga ribu dalam waktu duapuluh empat jam.
Dengan sisa uang yang masih ada di dompet digitalnya, Andi memerlukan waktu empat hari untuk menaikan kembali level modul systemnya. Sekarang Andi mulai memikirkan akan dihabiskan untuk apa uang sebanyak itu. Setidaknya ia harus membeli sesuatu yang dapat ia jual kembali. Atau kalau tidak, ia akan membeli barang yang benar-benar ia butuhkan.
“Ah aku belikan tas dan sepatu baru saja untuk Amira dan Arfan. Jika begini pasti tidak akan sia-sia. Tetapi, apa yang harus aku katakan agar ayah dan ibu tidak memarahiku. Mereka pasti marah jika tau aku membelikan tas dan sepatu untuk Amira dan Arfan. Mereka pasti akan mengomel menyuruhku menabung uang yang aku punya atau menghabiskannya untuk kebutuhanku sendiri.”
“Hah. Baru kali ini aku kebingungan memilih menghabiskan uang.”
Andi mengela nafas panjang. Meski banyak barang yang bisa ia beli, tetapi ia masih harus mencari alasan yang tepat kepada orangtuanya. Tidak mungkin bukan Andi tiba-tiba mengatakan kepada ayah dan ibunya bahwa tiba-tiba dirinya mendapatkan system yang menggajinya hanya karena dirinya bernafas.
Jika Andi berkata demikian, yang ada mereka akan menganggap Andi gila. Dan Andi tidak mau hal itu terjadi.
“Ah lebih baik aku pikirkan itu ketika aku sudah mengumpulkan uangnya. Sekarang lebih baik aku makan.”
Andi keluar dari kamarnya. Di ruang makan masih ada Amira yang tengah mengerjakan prnya. Memang ketika kelas duabelas menjalani ujian akhir, Amira yang notabenenya kelas sepuluh diliburkan. Ia mendapatkan setumpuk pr yang perlu diselesaikan selama liburan ini.
“Bagaimana Amira, apakah kau bisa mengerjakan semua prmu? Apa ada yang sulit kau kerjakan. Jika kau kesulitan tanyakan saja padaku, siapa tau aku bisa membantu.” Tanya Andi yang kini duduk di depan Amira.
“Ah Kak Andi. Apa katanya Kakak mau tidur. Tidak jadi?”
Andi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku sulit tidur.”
“Apa karena kecoa terbang tadi?”
Andi sedikit tertawa dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal ketika mendengar ucapan Amira. “Hahaha. Ya, itu karena kecoa terbang. Itu membuatku kehilangan rasa kantukku.” Jawab Andi sedikit canggung.
“Oh ya, apakah ibu sudah pulang?” tanya Andi yang masih belum melihat keberadaan ibunya di rumah.
“Belum. Mungkin sebentar lagi ibu akan pulang. Ada apa? Apakah Kakak sudah lapar sekarang? Mau aku gorengkan telur?” tanya Amira.
“Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri. Lebih baik kau lanjutkan kerjakan prmu.” Ucap Andi yang kemudian bangkit dari tempat duduknya. Ia kemudian berjalan menuju dapur dan membuka kulkas. Andi mengambil dua buah telur dan tiga buah sosis dari dalam kulkas.
“Apakah kau sudah makan Amira.”
“Sudah Kak. Jika kau mau menggoreng telur kau cukup menggoreng yang sesuai dengan porsimu saja. Kau tidak perlu memikirkanku.”
Andi memandang Amira dari sudut matanya. “Baiklah jika kau sudah makan. Aku tetap akan menggorang telur sedikit lebih banyak. Jika kau masih lapar kau bisa makan lagi.”
Selagi menunggu wajan yang ia taruh di atas kompor memanas, Andi memecahkan kedua telur itu kedalam mangkuk, mengiris semua sosis dan mencampurkan semuanya dengan garam dan penyedap rasa. Andi mengecek kesiapan dari wajan yang sudah ia panaskan dengan meneteskan sedikit kocokan telur. Setelah merasa minyak sudah cukup panas, Andi menuangkan campuran telur dan sosis itu ke dalam wajan.
“Oh ya Amira, berapa nomer sepatumu? Apakah sepatu lamamu masih muat untuk kau pakai?”
Bukannya Andi tidak mengetahui nomer sepatu adiknya, hanya saja ia ingin memastikan nomer sepatu adiknya. Siapa tau sepatu yang sekarang Amira pakai sudah kekecilan. Jika Andi tidak bertanya dan kemudian membelikan sepatu dengan nomer yang sama dengan yang Amira pakai sekarang, maka itu semua akan sia-sia.
Arfan tidak bisa memakai sepatu Amira. Adik laki-laki Andi itu meskipun terpaut empat tahun dari Amira tetapi dia memiliki nomer sepatu satu nomer lebih besar dari sepatu Amira. Jadi Andi ingin memastikannya terlebih dahulu.
“Untuk apa kakak menanyakannya? Kakak ingin membelikanku sepatu?” tanya Amira dengan mata sedikit berbinar.
“Tentu. Tabunganku cukup banyak. Aku melihat di online marketplace ada yang menjual sepatu diskon. Aku rasa jika hanya untuk sekolah aja sepatu-sepatu itu cukup awet untukmu. Jadi berapa nomer sepatumu?”
“Ah benarkah Kak kau akan membelikannya? Kau tidak menghabiskan semua uang tabunganmu untuk membeli sepatu untukku bukan?” Amira memicingkan matanya. Memandang tajam ke arah Andi yang masih sibuk menggoreng telurnya.
“Hahahaha. Tentu saja tidak. Aku mendapat voucer belanja dari temanku. Ditambah dengan diskon event dari marketplace semuanya jadi lebih murah. Kau tidak perlu takut uangku akan habis.”
Ini adalah alasan yang tiba-tiba saja terpikirkan oleh Andi. Bukankah sekarang ini banyak online marketplace yang banyak memberikan event diskon setiap bulannya. Promo 1.1, promo 5.5 dan promo-promo lainnya di tanggal yang sama seperti angka bulan. Bukannya semua online marketplace sedang berlomba memberikan diskon yang tinggi pada tanggal-tanggal tertentu. Jadi ini bisa Andi jadikan sebagai alasan dirinya membelikan sepatu dan tas untuk kedua adiknya.
“Benarkah? Online marketplace yang mana kak? Apakah Shopmee, Tokobebia, ataukah Lazaza? Jika memang ada diskon besar aku juga ingin membeli beberapa kaos bergambar idol.”
Andi berjalan mendekat ke arah Amira. Ditangan kanannya kini sudah ada telur dadar yang sudah dipotong menjadi empat bagian dan sepiring nasi putih di tangan satunya.
“Bukankah kaos bergambar idol milikmu sudah cukup banyak?”
Seingat Andi adiknya ini memiliki baju bergambar idol korea yang sudah cukup banyak. Dinding kamarnya pun dipenuhi dengan gambar dari idol dari negeri gingseng itu. Menurut Andi semua idol itu memiliki wajah yang sama. Mungkin karena Andi tidak terlalu mengenal mereka tetapi mereka memiliki wajah yang sama bagi Andi.
“Ah tapi ini baru lagi Kak. Aku belum punya yang ini.”
Amira menunjukkan wajah memelasnya kepada Andi. Meski Andi terkadang terlihat sering memarahinya, tetapi Amira tau bahwa ketika dirinya menunjukkan wajah memelas seperti ini Andi akan luluh. Amira menduga kakaknya itu memliki syndrome sister complex. Liat saja betapa Andi sering memanjakan Amira dengan memberikan beberapa uang sakunya kepada Amira agar adiknya itu bisa membeli barang yang diingkan.
Jika Arfan memasang wajah memelasnya di depan Andi, mencoba meniru apa yang dilakukan Amira, yang anak laki-laki itu dapatkan bukanlah uang, tetapi omelan Andi. Andi akan mengomel kepada Arfan memintanya lebih berhemat dan menabung uang jajannya jika ingin membeli seseuatu. Sudah terlihat dengan jelas bukan perbedaan cara Andi memeperlakukan adik-adiknya.
“Baiklah-baiklah kau bisa memilih, membeli tas dan sepatu sekolah atau barang-barang tentang idol itu. Aku akan membelikannya. Semuanya tidak lebih dari dua ratus ribu. Hanya dua ratus ribu tidak bisa lebih. Aku tidak bisa memberimu lebih. Aku masih tetap harus membelikan sesuatu untuk Arfan.”
“Jika anak itu tau aku membelikanmu sesuatu tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa maka anak itu akan merengek kepada ayah dan ibu. Anak laki-laki kok masih saja merengek ke orangtua.” Ucap Andi mencibir adiknya Arfan.
Beruntung Arfan sedang tidak ada di sana untuk mendengarkan ucapan Andi. Jika tidak anak laki-laki itu pasti kan bertengkar dengan Andi. Hal yang biasa mereka lakukan setiap minggunya.
“Wah baiklah terimakasih Kakakku yang paling ganteng. Tetapi ini tidak akan mebuatmu menghabiskan semua tabunganmu kan Kak?” Amira kembali bertanya ingin memastikan semuanya.
“Tenang aja. Tidak akan menghabiskan tabunganku. Lagipula aku sudah selesai ujian. Jadi aku bisa kembali bekerja di warnet Mas Bejo. Pokoknya paling lama empat hari lagi kau akan aku belikan jadi kirimkan saja link barang yang inginkau beli. Aku akan belikan.” Ucap Andi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!