Namanya Naura Salsabila. Wanita berusia 31 tahun itu didakwa sebagai pembunuh suaminya dua minggu yang lalu.
Aksi bungkamnya ketika diruang penyidik membuat pengacaranya cukup stres dan semakin kehilangan keinginan untuk membelanya.
Memang pengacara itu tidak mendapat bayaran dari wanita itu. Melainkan dipilih oleh pihak negara karena terdakwa tidak sanggup menyediakan pembela hukumnya sendiri.
Sedari awal, Polisi mencokoknya dari rumah yang ia dan almarhum suaminya tempati selama 10 tahun, Naura hanya diam. Tak mengucapkan sedikitpun pembelaan.
"Pusing aku menangani kasus wanita ini. Awalnya aku tertarik karena dia cantik. Tapi ternyata, kecantikan itu lama-lama membosankan. Terlebih setelah ia seolah menganggapku tak ada. Shit!" gerutu Wildan S.H sang lawyer diantara para lawyer lainnya disebuah Firma Hukum.
Affandi Rajata S.H yang sedari tadi hanya menyimak mendengarkan ocehan rekan sejawatnya itu, terkejut ketika Wildan menyodorkan map berisi berkas kasus Naura Salsabila.
"Apa ini, mas?"
"Sampeyan saja yang tangani Fan! Aku emoh urusi kasus pidana model begituan!"
Affandi mengambil berkas itu. Senyum tipis segaris, menandakan ia siap melanjutkan kerja mas Wildan.
Wildan memang seorang pengacara yang cukup genit meski usianya telah 47 tahun. Dia sudah berkeluarga bahkan memiliki 3 anak yang mulai beranjak remaja. Mungkin karena sedang terkena sindrom puber kedua. Jadi jika sang klien sulit ia taklukkan, ya begitu jadinya. Seenaknya mengundurkan diri jadi pembela/pengacara. Apalagi ini adalah kasus kere'.
Affandi kini menjadi pengacara Naura selanjutnya. Ia memang sudah setengah bulan nganggur. Tidak ada kasus yang ia tangani saat ini. Baik pidana maupun perdata.
Wajahnya menandakan keseriusan ketika membaca biodata calon klien yang akan ia bantu itu.
Naura Salsabila. Kini berumur 31 tahun. Menikah 10 tahun dengan Fendy Martin, korban pembunuhan yang juga adalah suaminya.
Naura dituntut atas pembunuhan suaminya dengan alat bukti sebilah pisau dapur. Dengan luka 9 kali tusukan tepat dijantung korban.
Semua bukti dan alibi mengarah padanya. Jelas dan tak terbantahkan. Termasuk sidik jari yang sangat jelas digagang pisau berlumuran darah yang berada diatas tubuh suaminya itu.
Bahkan tersangka Naura tidak mengeluarkan sepatah katapun ketika Polisi menemukan mayat suaminya yang tergeletak bersimbah darah tak bernyawa di lantai dapur rumahnya. Sedangkan dia hanya duduk dipinggir ranjang kamarnya, terdiam sendirian.
Seorang anak tetangga rumahnya, remaja berusia 14 tahun yang tak sengaja masuk pintu dapurnya, karena mengejar anak kucing peliharaannya. Melihat sesosok tubuh tinggi besar tidur terlentang dengan dada terluka parah. Hingga gegerlah kompleks perumahan itu seketika.
Sejam kemudian, Polisi memborgol tangannya serta membawanya ke polsek setempat untuk dimintai keterangannya.
Setelah 5 hari di polsek, Naura tetap bungkam meskipun penyidik selalu mencecar dan menyudutkannya dengan berpuluh-puluh pertanyaan. Naura tidak menjawab semua pertanyaan itu.
Bahkan ketika pihak pengadilan memberinya kelonggaran dengan memberinya pengacara dari negara, Naura tetap tak bergeming.
Tak ingin membela dirinya sama sekali. Tak ingin juga mendapatkan keringanan. Seolah pasrah pada putusan hakim nanti. Hukuman apa yang akan Naura dapatkan, meski itu hukuman mati sekalipun.
Naura kini dipindahkan ke sel rumah tahanan pusat kota. Menunggu hingga sidang digelar dan putusan pengadilan dijatuhkan.
............
Klotak, klotak.
Seorang sipir datang membukakan pintu penjara Naura.
"Terdakwa Naura Salsabila! Ditunggu pengacara barumu diruang nomor 12!" suara sipir wanita yang terdengar besar menggelegar mengagetkan Naura yang tengah duduk dipojokan sel tahanannya dengan wajah kepala menghadap lantai.
Pengacara baru? Hhhh... Berarti pengacara yang mesum kemarin itu mengundurkan diri rupanya.
Naura bangkit perlahan. Membetulkan pakaian tahanan yang ia kenakan.
Bangsal nomor 12.
Ia mendapati seorang lelaki duduk memunggunginya. Cukup kaget Naura, setelah mengetahui pengacara barunya masih muda dan tampan pula.
"Naura Salsabila! Perkenalkan,... saya Affandi Rajata. Tidak mengapa khan kalau saya memanggil namamu saja, tanpa embel-embel Kak atau Mbak?"
Naura hanya mengangguk lesu. Ia hanya duduk dengan wajah ditekuk.
"Kita sepantaran! Bahkan hanya beda 10 hari ulang tahun kita, Naura!" kata Affandi membuat Naura menatap wajahnya tajam.
"Aku lebih tua 10 hari dari kamu. Aku tanggal 4 September 1990 dan kamu lahir 10 hari kemudian. Tapi kita masih berada dalam naungan zodiak bintang VIRGO. Dan Virgo adalah bintang paling keren diantara semua zodiak bintang! Hehehe.... betul khan?" tutur Affandi lagi seolah tak pusing pada tatapan Naura yang semakin menyeramkan.
Naura mengalihkan pandangannya pada dua buah dus sterofoam tertutup yang ada dihadapannya.
Juga dua cup jus segar. Yang satu berwarna merah hati dan satunya lagi berwarna hijau agak keputihan. Sepertinya jus buah naga dan jus alpukat. Keduanya adalah jus kesukaan Naura.
"Ah, saya belum makan siang Naura! Makanya saya beli bakmi ayam tadi dijalan Gajah Mada sekaligus jusnya. Saya ingin makan siang bersama Naura saat ini juga!"
Bakmie ayam Gajah Mada. Itu juga makanan favoritnya. Membuat airmatanya tiba-tiba menetes satu persatu. Hampir lima bulan lamanya, ia tak makan bakmie kesukaannya itu. Setelah....... Hhhh....
Affandi menyodorkan kotak tissue dihadapannya. Naura segera menarik lembarannya guna menyusut buliran bening yang jatuh dipipinya.
Pria itu juga membukakan penutup bakminya. Mendorongnya satu lengkap dengan sumpit alat makan tepat kearahnya. Hingga aroma sedap menggugah selera menusuk indera penciumannya. Terbit seketika air liurnya.
Ia tersenyum mengangguk ketika Naura menarik satu kotak, menatapnya seolah meminta izin untuk makan.
Keduanya makan bakmie tanpa banyak suara. Affandi kembali menyodorkan jus alpukat, sedang jus buah naga ia sendiri yang meminumnya.
"Terimakasih!"
"Sama-sama."
Keduanya kembali sibuk makan dan minum. Terlihat Naura mulai sedikit nyaman karena ia makan dengan lahap meski sesekali ujung matanya mencuri-curi pandang ke arah Affandi.
Hanya suara alat makan yang bergesekan dan plastik penutup cup jus yang terdengar. Mereka terlihat begitu menikmati menu makan siang mereka.
"Ini, buku teka-teki silang. Besok siang aku akan kemari lagi. Aku akan bawa bakso Malang jika tak ada halangan! Hehehe, tapi kumohon jangan terlalu diharapkan...karena sekarang ini Bakso Malang mulai sulit dicari!"
Naura hanya ternganga melihat senyum Affandi yang manis menawan. Sungguh indahnya ciptaan Tuhan. Pahatan-Nya begitu sempurna sedap dipandang mata.
"Aku pamit ya? Selamat siang Naura!" Affandi berdiri. Seperti hendak akan pergi.
"Pak Pengacara! Terima kasih!" kata Naura.
"Panggil saja aku Affan! Biar kita bisa akrab satu sama lain. Aku juga akan tetap memanggil namamu, Naura! Kita ini satu angkatan, lulus SMU tahun 2008." Affan menoleh kearah Naura.
Tinggal Naura sendirian, masih duduk dengan wajah memandang kearah Affan yang semakin jauh dan menghilang.
Affandi! Apakah kau bisa membelaku hingga mengurangi vonis tahananku? Hhhh.... Hanya Tuhanlah yang mengatur skenario ini untukku!
Wajah datar Naura kembali menguasainya. Seiring ia kembali masuk kedalam sel tahanan.
.........BERSAMBUNG.........
Malam ini, serasa panjang dan lama bagi Naura. Entah mengapa. Seolah ada banyak fikiran yang mengganjal dihati dan juga dikepalanya.
Ia kembali mengingat pertemuannya dengan pengacara barunya yang hanya berbeda 10 hari katanya, dengan Naura. Entah benar atau hanya mengarang saja, ia tak tahu.
Atau mungkin itu adalah taktik si laywer, agar bisa mengorek keterangan lebih lanjut tentang diri Naura.
Tapi yang ia bingung, hari ini si lawyer itu hanya datang untuk makan siang sekotak bakmi ayam Gajah Mada dan se cup juice buah kesukaannya.
Tak ada sepatah kata pun pertanyaan terlontar dari bibir pria pengacara yang begitu tampan mempesona itu. Bahkan setelah selesai makan, ia hanya beranjak begitu saja seraya memberinya buku TTS yang juga salah satu kegemarannya. Mengisi buku Teka Teki Silang.
Itu yang membuat Naura Salsabila salut pada 'pendekatan' persuasifnya.
Satu lembar kotak teka-teki berhasil ia selesaikan dalam beberapa jam saja. Masih ada puluhan lembar lagi. Sengaja ia simpan untuk esok hari. Karena buku TTS itu lumayan mengusir kejenuhannya dalam sel.
Memang untuk saat ini, ia masih dalam pengawasan dan penyelidikan pihak kepolisian. Otomatis ruang geraknya masih sangat sedikit, belum bisa beraktifitas layaknya penghuni LAPAS lainnya.
Hhhh..... Naura menghela nafas pendek. Ia memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena sudah dua minggu ia menjadi 'pesakitan'. Seminggu di polsek wilayahnya, seminggu di RUTAN ini.
Matanya menerawang ke arah beberapa orang perempuan yang satu sel dengannya. Tepatnya, ada 6 orang dalam sel yang kemungkinan berukuran 10×10 meter itu. Ada kamar mandi tak tertutup dengan benar dipojoknya.
Bersyukur Naura berada dalam penjara yang mayoritas penghuninya tidak suka buat keonaran. Hanya tatapan mata sinis saja yang ia dapatkan. Tidak membuat ia dan kelima orang lainnya saling baku hantam, apalagi jenggut-jenggutan seperti yang sering digambarkan di film-film atau drama Indonesia kebanyakan.
Entah pukul berapa ini. Terlihat kelima perempuan beda usia yang se-sel dengannya begitu lelap tertidur meski hanya beralas kasur lantai tipis dan bantal kecil tanpa guling saja.
Naura ikut merebahkan tubuhnya dipinggiran tembok. Ia orang baru. Cukup wajar jika hanya bisa melipir dipinggiran saja. Masih mending daripada harus tidur didalam kamar mandi yang lembab karena jamur didindingnya dan kusam gelap tanpa penerangan.
Tak ada pertanyaan basa-basi, apalagi sambutan dari sang penghuni lama. Begitupun ia, tak perlu senyam-senyum tebar pesona memperkenalkan diri pada mereka.
Bahkan hingga saat ini, ia telah 7 hari tinggal bersama mereka. Hanya untuk ke kamar mandi saja, ia harus mengalah menjadi yang terakhir mendapat giliran.
Airmata Naura, seolah telah mengering sumbernya. Tak lagi ia menangisi nasib buruknya yang harus meringkuk dibui tahanan polisi.
Naura berusaha memejamkan matanya, guna meredam semua rasa yang berkecambuk didadanya.
Nyamuk-nyamuk nakal sesekali mencuri darah manisnya dengan menancapkan jarum moncongnya pada kulit putihnya, membuat Naura sesekali menepuk bahkan kadang dengan kencang saking kesalnya digigit.
..............
"Mbak mau langsung dibawa pindah, Buk?" Naura kecil bertanya pada Ibuknya, tatkala melihat Mbak Ayuni Kartika dibawa suaminya langsung setelah ijab kabul sejam yang lalu.
Naura memandangi kakaknya dengan bingung. Pandangan seorang gadis cilik berusia 7 tahun, melihat kakak satu-satunya menangis sedih berpamitan satu persatu pada Bapak juga Ibuknya.
Mobil Toyota Kijang Innova berwarna hitam metalik itu meluncur membawa kakaknya pergi setelah mencium pipi Naura kiri kanan.
Suami Mbak Ayuni, seorang Kepala Dusun dikampung sebelah. Dan usianya terpaut jauh sekali dengan Mbaknya Naura. Bahkan mungkin lebih tua dari Bapak umurnya.
"Buk! Suaminya mbak sudah tua, ya?" kata Naura pelan tapi langsung dipukul pelan pipinya.
"Ndak boleh ngomong gitu!" bentak Ibuk setengah berbisik ketika Naura mendekatinya setelah ijab kabul mbak Ayuni selesai.
Naura kecil saat itu tak mengerti, ada konfrontasi apa antara Bapak-Ibuk dan mbak Ayuni.
Karena seminggu yang lalu, mbaknya itu menangis meraung-raung setelah ribut besar dengan Bapak Ibuk. Tapi sekarang, mbak Ayuni justru dinikahkan kepada seorang pria setengah baya yang nyaris seumuran Bapak.
Dan setelah Naura cukup dewasa, barulah ia tahu. Mbak Ayuni dinikahkan paksa dengan Kepala Dusun kampung sebelah, karena bapak memiliki banyak hutang padanya dan tak sanggup bayar. Jadi, mbak Ayuni adalah barteran nya agar hutang Bapak lunas.
Hhhhh......
Naura kecil sejak saat itu tidak pernah lagi bertemu mbaknya. Padahal jarak kampungnya dan kampung sebelah hanyalah beberapa kilometer saja. Tak perlu waktu berjam-jam untuk pulang kerumah.
Bahkan Mbak Ayuni tidak pulang di hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Hanya ada orang suruhannya suaminya yang sering datang sebulan sekali memberikan Bapak sepucuk amplop coklat, yang entah isinya apa. Dan baru Naura tahu setelah dewasa, kalau itu isinya adalah uang.
Dan Naura juga baru tahu, kalau dengan uang itu jugalah ia bisa melanjutkan sekolah menengah pertama dan menengah atasnya. Meski dengan imbalan menahan rasa rindunya pada kakak satu-satunya.
Enam tahun lamanya, mbak Ayuni tak pulang-pulang kerumah mereka yang memang sangat sangat sederhana. Apakah mungkin itu bentuk konsekuensi perjanjian suaminya dengan Bapak Ibuk, yang pasti....kedua orangtua Naura tak pernah sekalipun membicarakan alasan kenapa mbaknya tidak pernah pulang.
Bahkan disetiap hari Raya, mereka hanya bertiga. Bulan demi bulan, tahun demi tahun...hingga setamat Naura di bangku SMU.
"Bapaaak, Ibuuuk!!!"
Suara yang Naura rindukan itu terdengar menggema dirumah mungilnya yang sangat sederhana itu.
"Mbak Ayuniii!"
"Ya Tuhaaan, Cimplung-kuuuu!! Kau sudah besar, Dek! Kau sudah jadi gadis remaja!"
Naura terkejut seketika. Dihadapannya berdiri seorang perempuan bertubuh kurus kering. Sangat kurus bahkan, karena postur tubuh mbaknya yang cukup tinggi semampai begitu mempengaruhi penampilannya.
"Mbaaak! Mbak sakit? Kenapa tubuh mbak kurus sekali?"
Pecah airmata Naura dan Ayuni seketika. Keduanya berangkulan. Saling berpelukan erat satu sama lain.
Naura masih ingat. Masa-masa kecilnya yang bahagia bersama mbak Ayuni. Mandi dikali salah satunya. Saling mencipratkan air sungai yang dingin tapi menyejukkan. Saling mencubit dan menjahili satu sama lain.
Tubuh mbak Ayuni dulu begitu sintal. Meski kecil, tinggi semampai... Tapi bodi nya bohay dan aduhai. Dada mbaknya itu penuh berisi. Juga bokongnya, besar dan menggiurkan.
Tak jarang setiap hari sepulang dari kali, selalu ada laki-laki baik muda maupun setengah baya yang menggoda Ayuni walau hanya sekedar kenalan.
Umur Ayuni dan Naura terpaut 8 tahun. Dan mbak Ayuni dinikahkan Bapak disaat usianya baru menginjak 15 tahun.
Kini, wajah manis dengan pipi chubby dan bibir sensual itu telah berubah bentuknya. Tinggal mata yang semakin besar karena lingkaran hitam dan pipi tirus banyak bintik bekas jerawat.
Hidungnya mbak memang terlihat lebih bangir karena wajahnya yang kecil hingga tulang rahangnya menonjol jelas. Juga bibir indah yang dulu begitu mbak agungkan, seperti menghilang begitu saja. Menjadi bibir yang dobleh pucat pias tanpa pulasan lipgloss apalagi lipstik warna menggoda.
Naura menangis semakin kencang memeluk tubuh mbaknya. Teraba semua kerangka tulang punggungnya.
"Mbak! Apakah mbak menderita tinggal bersama suami mbak?"
.......BERSAMBUNG........
Bapak dan Ibuk kami hanya bisa berpandangan. Ketika mbak Ayuni mengatakan akan membawa Naura turut serta dengannya atas perintah suaminya. Datuk Irhamsyah.
Tak ada penolakan apalagi sangkalan dari mereka, agar mbak Ayuni tidak membawa putri remajanya yang baru lulus SMU itu untuk menemani mereka dihari tua.
Plak.
Kaget Naura, mendapati tamparan pedas dari sesama penghuni sel yang tidur pulas disampingnya.
Hhh.... Farida. Usia 29 tahun, menjadi 'pesakitan' karena dakwaan menganiaya bahkan hampir membunuh nyawa Wanita Idaman Lain (WIL) suaminya.
Naura perlahan menurunkan tangan Farida dari wajahnya. Sangat pelan, agar sang pemilik tangan tidak terbangun dari tidurnya.
"Hei, kau sedang apa? Hendak mesum kau? Apa kau seorang lesbong? Hingga ingin menggerayangi tubuh teman se-sel mu yang sesama jenis ditengah malam buta?"
Pucat kaget wajah Naura seketika. Ia menoleh. Nona 'Rambut Mie' rupanya melihat gerakannya pada Farida. Wanita berusia 43 tahun itu salah faham.
Naura bangkit dari rebahnya. Menggoyang-goyangkan kedua tangannya membuat isyarat 'tidak/bukan seperti itu'.
Naura kembali merebahkan tubuhnya. Tak ingin membuat keributan yang memancing kegaduhan dan membuat keempat penghuni lainnya bangun. Ia memunggungi Farida. Berhadapan tepat kearah tembok.
Dihela nafasnya, lega. Nona 'Rambut Mie' tidak terdengar memperpanjang pertanyaannya yang sedikit menohok hatinya.
Lesbong. Naura menelan air liurnya. Tiada terfikir untuknya menjadi kaum seperti itu. Bukan men-judge, tapi memang ia normal-normal saja selama ini. Menyukai dan selalu tertarik pada pria, bukan wanita.
Malam merayap begitu lambat. Hingga tanpa sadar, akhirnya bisa juga ia terlelap meskipun sekejap.
Naura bangun dan tersontak. Lima pasang mata menatapnya penuh kecurigaan. Bahkan kelimanya duduk membentuk lingkaran dihadapannya yang masih tergoler dilantai ubin keramik dingin bertilamkan selimut bedcover yang ia bawa dari rumah.
"Cuih!" Nona Rambut Mie bertingkah seolah tengah meludah.
"A a selamat pagi!" sapa Naura gelagapan. Bau air seni menyergap indera penciumannya.
"Apa yang kamu lakukan semalam padaku?" Farida tiba-tiba menangkap dagu lancip Naura. Membuat Naura hanya termangu dengan mata tak berkedip menatap netra Farida yang hanya berjarak beberapa inci saja darinya.
"Aku tidak melakukan apa-apa!" jawab Naura. Kali ini ia lebih berani. Berusaha menepis tangan Farida dari wajah bawahnya meski dengan pelan saja.
"Bohong!" Nona Rambut Mie menempas ucapannya.
"Tidak! Justru Farida yang mengigau dan menampar mukaku!" bela Naura dengan suara lantang.
Naura wanita pemberani aslinya. Sejak kecil memang dia dipaksa bungkam dengan semua keadaan. Tapi tidak setelah ia dewasa. Ia akan mengungkapkan semua rasa yang ada dihatinya, jika ia tidak sefaham apalagi bertolak belakang.
"Kau berani bicara!" ujar Farida.
"Aku bicara karena benar!"
"Jadi kau diam dalam kasusmu karena kau salah?"
Naura diam. Pertanyaan Farida menjebaknya. Mereka pasti telah tahu kasus Naura lewat cerita para sipir atau mungkin dari berita di televisi. Apalagi mereka bisa wara-wiri keluar masuk sel keluar ruangan LAPAS untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang wajib mereka jalani.
"Hei, kenapa diam?"
Naura menatap lagi tepat kearah mata Farida. Lalu bergantian menatap mata nona Rambut Mie.
Kentreng kentreng kentreng!!!!!
Seorang sipir wanita mengguncang anak kunci pintu sel sehingga terdengar suara berisik dari pukulan alat yang digebuknya ke pintu ruang tahanan.
"Naura Salsabila! Cepat bangun, ada pengacaramu yang ingin bertemu!"
Sipir itu membuka pintu. Menunggu Naura bangkit dan berjalan kearahnya.
"Saya, belum mandi bahkan gosok gigi, bu sipir!" tutur Naura agak kurang nyaman.
Sipir itu menatap tajam Naura. Seolah tak suka perintahnya Naura coba bantah. Membuat Naura akhirnya diam mengekornya dari belakang.
"Ekslusif juga perempuan itu, sampai sepagi ini pengacaranya datang menyambanginya!" terdengar suara nona Rambut Mie ditelinga Naura.
Naura agak ragu menghampiri Affandi, pengacaranya yang tengah duduk di ruang bangsal khusus pertemuan menatap lembut kearahnya meski tanpa senyuman.
"Aku belum mandi, bahkan belum cuci muka dan gosok gigi."
Affandi tersenyum tipis. Menyodorkan sebuah tas ransel hitam agak besar.
"Pergilah mandi! Aku tunggu disini!" katanya penuh pengertian.
"Aku tidak bisa bolak-balik sel seenak udelku!"
"Aku sudah minta izin kalapas, agar kamu bisa mandi dikamar mandi tamu pengunjung. Dengan catatan tidak lebih dari 20 menit."
"Ah iya, baiklah!"
Naura tergesa mencari kamar mandi. Masuk ia kedalamnya. Tapi sebelum membuka seluruh pakaiannya, ia terlebih dulu memeriksa isi ransel yang Affandi berikan padanya.
Handuk warna merah hati, plastik hitam berisi lengkap peralatan wajib mandi. Lalu juga beberapa potong kaus oblong berwarna putih bergambar dan celana katun hitam serta seperangkat daleman yang cukup memerahkan wajahnya.
Affandi benar-benar pengacara profesional. Tanpa bertanya, ia telah menyelidiki dulu Naura sampai sedetil-detilnya. Bahkan ukuran pakaian dalamnya. Affandi mengetahuinya dengan pasti.
Waktu 20 menit benar-benar Naura pergunakan dengan maksimal. Tepat keluar kamar mandi sesuai peraturan dengan tubuh segar wangi sabun dan rambut yang basah beraroma menthol yang dibawa Affandi, pengacaranya.
Naura terpesona melihat Affandi yang juga sudah melepas jas semi-nya tengah duduk dan menyandarkan dagunya diatas meja.
Hanya berpakaian kaos oblong membuat pengacaranya itu terlihat jauh lebih muda dan lebih terlihat santai.
Sangat berbeda dengan pengacaranya yang terdahulu. Flamboyan dan parlente dandanannya.
"Maaf, aku membuatmu menunggu lama!" tutur Naura membuat Affandi kembali duduk dengan biasa. Senyum setengah bulan sabitnya terpancar indah diwajah tampannya.
"Aku fine, Naura! Hehehe.... duduklah! Nasi uduk dengan taburan bawang goreng yang banyak, ditambah bihun dan kentang bumbu kacang juga kerupuk bentuk bunga yang di-list bingkai warna-warni."
Affandi membuka karet pengikat kertas koran beralaskan daun pisang. Terbuka aura wangi nasi uduk tercium dari dalamnya. Terbitkan air liur Naura.
"Selamat makan!" Affandi menyodorkan sendok plastik putih padanya. Ia juga sibuk dengan bungkus nasi uduk miliknya sendiri.
Mereka makan dengan diam. Tiada suara sama sekali sampai selesai.
"Terima kasih banyak!" ucap Naura sangat bersyukur.
"Sama-sama!"
"Apakah kamu tidak apa-apa mengunjungiku pagi-pagi begini?" tanya Naura setelah melihat jam didinding menunjukkan pukul 7 kurang.
"Tidak apa, karena kasusmu masih on going. Jadi kita masih ada kebebasan bertemu sebagai lawyer dan klien."
"Keluargamu?"
"Santai aja, aku single belum doble! Hehehe...!"
Ternyata dia masih bujangan! gumam hati kecil Naura.
Naura duduk dengan agak tegang. Sedikit memprediksi, semua pertanyaan-pertanyaan Affandi bisa ia jawab dengan baik dan benar.
"Kenapa sikapmu seperti anak sekolahan yang sedang menghadapi ujian?" goda Affandi membuat Naura merona. Tingkah polosnya ternyata dibaca pengacara itu.
"Tidak. Aku hanya ingin membalas budi saja padamu! Karena kau baik padaku, jadi aku harus juga mempermudah pekerjaanmu dengan menjawab semua pertanyaanmu padaku!"
"Balas budi? Namaku Affandi bukan Budi!"
Naura dibuat tak berkutik dihadapan Affandi.
Ternyata pria ini player sejati. Buktinya tanpa kata yang gombal melambung tinggi, ia mampu meluluhkan hatiku bahkan sejak pertama jumpa. Sungguh berbahaya sekali!
Naura hanya bisa menundukkan kepalanya. Berusaha sedikit me-refresh semua kepenatannya dalam beberapa bulan terakhir. Bagaikan mimpi buruk yang panjang, mengiringi langkah dikehidupannya yang melelahkan.
...........BERSAMBUNG...........
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!