Berdiri gadis belia berhijab instan menatap langit siang ini. Kepalanya menengadah menantang teriknya sinar matahari siang ini. Dia berdiri di tengah-tengah lapangan basket sekolahnya. Lapangan yang yang terletak di tengah-tengah salah satu SMU favorit di kotanya. Vira Azza Ifatunnisa seorang gadis belia yang baru saja lulus dari SMU tempatnya berdiri. Hari ini dia telah lulus dengan nilai terbaik dari sekolahnya. Hari terakhir dia berjuang mendapatkan kehormatan akan statusnya yang selalu direndahkan.
Dia bukan gadis layaknya teman-temannya. Vira terlahir dari keluarga sederhana, bahkab kekurangan. Vira harus bekerja keras agar bisa lulus sekolah. Lahir dari seorang wanita biasa dan miskin. Membuat kehidupan Vira tak seberuntung teman-temannya. Vira bisa sekolah sampai sekarang. Semua berkat beasiswa yang diterimanya. Mungkin Vira terlahir tanpa harta, tapi Vira terlahir dengan kecerdasan di atas rata-rata. Sebuah keberuntungan atau kelebihan yang sangat mahal bagi sebagian orang. Teman-temannya perlu membayar demi kepintaran yang dimilikinya. Namun Vira dibayar untuk kepintarannya.
Kehidupan serba kekurangan tak pernah membuat Vira putus asa. Meski ibunya tak lebih dari buruh cuci di rumah tetangganya. Vira tak pernah merasa rendah diri. Dia selalu bangga pada sang ibu yang terus berjuang mencari nafkah untuk dirinya dan sang adik. Semenjak sang ayah meninggal, ibunya yang bekerja membanting tulang demi sesuap nasi untuk dirinya. Tak pernah sekalipun Vira mendengar ibunya mengeluh. Meski terkadang Vira melihat sendiri. Ketika sang ibu sedang menahan rasa sakit. Vira hanya bisa terdiam melihat sang ibu yang kesakitan, tanpa bisa melakukan apapun. Vira hanya remaja yang belum mampu menanggung beban berat sang ibu. Hanya diam menangis dalam hati. Berharap sang ibu bisa merasakan bahagia kelak.
Demi impian membahagiakan sang ibu. Vira melupakan masa remajanya. Dia tidak pernah ikut bermain dengan teman-temannya. Vira selalu pulang tepat waktu. Dia membantu ibunya membersihkan rumah dan merawat adiknya yang masih kecil. Setelah sekian tahun Vira berjuang. Hari ini dia lulus dengan nilai terbaik. Hari dimana dia harus mulai berjuang mencari kabahagian bagi sang ibu. Hari dimana dia harus menanggung beban keluargannya. Vira harus bisa mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya. Dalam hati Vira bertekad akan membuat ibu dan adiknya bangga.
Vira menatap langit bukan ingin menantang. Dia menatap langit sebagai salam pada dunia yang kelak akan menempanya menjadi pribadi yang kuat dan berani serta mandiri. Dunia yang akan menguji kemampuannya, bertahan atau menyerah sebelum berjuang. Vira akan menantang dunia yang keras demi ibu dan adiknya. Dia yakin mampu membuat ibunya bangga. Vira akan menggantikan peran ibunya. Dia yang akan membanting tulang mencari nafkah. Vira sudah tidak sanggup lagi melihat rasa lelah sang ibu. Walau tak pernah ada kata lelah yang terucap dari bibir ibunya.
"Vira, ayo kita pulang. Hari semakin siang, kamu sudah janji ikut denganku. Kita akan pergi ke cafe depan untuk merayakan kelulusanku!" teriak Nadya lantang, seketika Vira menoleh. Dia melihat Nadya berdiri di tepi lapangan. Dia lebih memilih berteriak, daripada harus kepanasan. Siang ini langit sangat terik, entah apa yang membuat Vira begitu nyaman berada di tengah-tengah lapangan? Berada di bawah terik matahari. Seakan panas sinar matahari tak lagi terasa oleh tubuhnya.
Vira tersenyum ke arah Nadya, satu-satunya sahabat sejak dia menginjakkan kaki di sekolah ini. Dia sahabat yang ada di kala suka dan duka Vira. Nadya berasal dari keluarga berada, tapi Vira tidak pernah memanfaatkan persahabatannya dengan Nadya. Dia selalu menolak bantuan Nadya. Vira hanya akan menerima bantuan Nadya dengan kerja kerasnya. Jika tidak dengan bekerjan, Vira tidak akan bersedia menerima bantuan Nadya. Meski sebenarnya, Nadya membantu Vira dengan ikhlas. Bahkan keluarga Nadya sangat menyukai Vira. Kakak laki-laki Nadya menyimpan rasa pada Vira. Namun Nadya melarangnya, sebab dia tidak ingin melihat Vira merasa terpaksa menerima cinta kakaknya.
"Baiklah, aku segera kesana!" ujar Vira, sembari berjalan menuju Nadya. Keringat Vira bercucuran membasahi hijab yang dipakainya. Nadya memberikan sebuah sapu tangan pada Vira. Dengan ramah Vira menolak, dia tidak ingin mengotori sapu tangan milik sahabatnya.
"Tidak perlu, nanti akan kering tertiup angin. Kita pergi sekarang. Aku hanya bisa sebentar menemanimu. Aku harus membantu ibu menyetrika baju milik tetangga. Adikku juga sendirian di rumah. Jadi mungkin aku pulang lebih dulu. Kamu tidak keberatan bukan?" ujar Vira lirih, Nadya menggeleng lemah. Dia memasang muka cemberut, sontak Vira menangkupkan kedua tangannya meminta maaf pada Nadya. Berkali-kali Vira menolak ajakan Nadya, sekalinya Vira bersedia hanya sebentar. Rasa kecewa Nadya itu wajar. Bagaimanapun dia ingin merasakan pergi bersama sahabatnya?
"Tidak perlu minta maaf, aku maklum jika kamu sibuk dengan pekerjaanmu. Aku cukup senang bisa pergi denganmu. Sebentar saja bagiku sudah sangat berarti. Tanggungjawabmu tidak akan membuatku marah atau kecewa padamu. Seandainya aku bisa membantumu, dengan senang hati aku akan melakukannya. Namun penolakanmu seolah tidak akan pernah memberikan diriku kesempatan. Aku menyayangimu dan keluargamu seperti keluargaku. Jadi bebanmu akan menjadi bebanku. Sudahlah, kita pergi sekarang!" ujar Nadya lalu memeluk Vira, dengan anggukan kepala Vira menerima ajakan Nadya. Mereka berjalan menuju tempat parkir. Beberapa teman sekelas Vira dan Nadya sedang menunggu. Tanpa sepengetahuan Vira, acara makan siang hari ini akan diikuti teman satu kelasnya. Nadya bertugas mengajak Vira agar bersedia ikut. Semua teman Vira sangat peduli padanya, tapi terkadang mereka sulit menyatu dengan Vira. Sikap dingin dan pendiam Vira menjadi benteng yang tidak mudah diterjang.
"Sudah selesai drama kalian, aku sudah kepanasan menunggumu. Hanya untuk makan saja, harus melihat dramamu yang tidak selesai-selesai!" sahut Fariz ketus, Nadya melotot ke arah Fariz. Sebaliknya Vira menunduk merasa kesindir. Dengan sekuat tenaga, Nadya menginjak kaki Fariz. Dengan cepat Vira menarik tangan Nadya menjauh dari Fariz. Dia menggeleng berharap Nadya tidak melakukan semua itu.
"Maaf, telah menungguku!" ujar Vira singkat, dia lalu berjalan menuju mobil Nadya. Secepat kilat Fariz menahan tangan Vira. Semua mata melihat sikap Fariz pada Vira. Nadya mengedipkan mata berkali-kali tidak percaya. Dia tidak pernah menyangka Fariz akan bersikap sehangat itu pada Vira. Selama ini Fariz selalu ketus pada gadis-gadis yang mengejarnya.
"Kamu akan pergi kemana sekarang? Aku menunggumu selama setengah jam lebih. Bukan untuk melihatmu pergi lagi. Masuk ke dalam mobilku. Aku tidak akan membiarkanmu masuk mobil Nadya. Kamu akan punya kesempatan untuk kabur lagi!" ujar Fariz, Vira menunduk malu saat dia merasakan pegangan tangan Fariz. Vira tidak mungkin menolak, sebab dia tidak ingin membuat keributan. Cukup dirinya alasan teman-temannya menunggu. Sedangkan Nadya tersenyum mengerti alasan sikap kurang ajar Fariz.
"Nadya, masuk ke dalam mobilku. Berikan kunci mobilmu pada Teguh. Aku tidak ingin temanmu kabur lagi!" ujar Fariz, Nadya mengangguk pelan. Lalu melempar kunci ke arah Teguh sahabat Fariz. Nadya msuk ke dalam mobil sport milik Fariz. Dia membuka pintu belakang mobil. Vira mengikuti Nadya, dia akan duduk di belakang bersama Nadya. Lagi dan lagi Fariz marah padanya.
"Aku bukan supirmu, duduk di depan bersamaku!" teriak Fariz, Vira terdiam mematung. Lalu Nadya turun dari mobil dan mendorong Vira duduk di depan. Dengan kedipan mata Nadya memberikan isyarat pada Fariz. Seolah mengatakan pada Fariz, agar tidak menyakiti sahabatnya.
"Aku mengerti!" sahut Fariz sembari mengangguk. Sekilas Fariz menoleh ke arah Vira yang kikuk duduk di mobilnya.
"Vira Azza Ifatunnissa, selama tiga tahun aku, menunggu hari ini. Selama tiga tahun aku, mencoba mendekati hatimu yang beku. Selama tiga tahun, aku mengharapkan perhatianmu. Selama tiga tahun pula, aku diam menyimpan rasa ini. Hari ini semua terasa indah, penantian selama tiga tahun terbayar lunas dengan kehadiran dirimu. Maaf, jika aku harus memarahimu. Maaf, jika aku memaksa dirimu. Sekali saja izinkan aku egois, aku hanya ingin melihat wajahmu sepuas hatiku. Aku ingin dirimu wanita pertama yang duduk di sampingku. Izinkan hari ini aku membuatmu bahagia meski sesaat!" batin Fariz sembari menatap Vira yang terus menunduk.
Sekitar setengah jam mobil sport Fariz melaju membelah jalanan kota. Akhirnya mereka sampai di sebuah cafe anak muda. Cafe yang terletak di tepi laut menjadi tempat favorit para anak muda berkumpul. Suasana cafe sangat nyaman dan ramah. Pemandangan laut yang terlihat dari lantai dua cafe sangat indah. Menu yang ditawarkan sangat beragam, tapi kebanyakan semua favorit para anak muda.
Fariz sengaja mengajak teman-temannya makan siang di cafe ini. Demi memenuhi impian yang terpendam selama tiga tahun. Faiq telah menyewa cafe ini satu hari full. Fariz tidak ingin ada tamu lain yang datang. Hari ini dia akan mentraktir teman satu kelas sepuasnya. Acara perpisahan yang sengaja disiapkan secara spesial oleh Fariz demi sang pemilik hati.
Fariz Maher Putra bukan pemuda sembarangan. Terlahir dari keluarga yang tak biasa, keluarga Fariz merupakan keluarga paling kaya dan dermawan di kota ini. Fariz putra kedua dari keluarga besar Atmaja. Dia memiliki seorang kakak laki-laki yang berbeda usia hampir 8 tahun darinya. Kakak yang tidak terlalu dia kenal. Meski dia putra keluarga kaya, Fariz tidak pernah sombong. Dia pribadi yang bersahaja dan hangat. Fariz tidak pernah membedakan teman-temannya.
Setelah menemukan tempat duduk, Vira yang merasa telah dibohongi, terus menatap tajam ke arah Nadya. Vira menunggu penjelasan Nadya atas kebohongannya. Namun Nadya bersikap acuh, seakan dia tidak melihat tatapan marah Vira. Nadya tidak pernah berniat membohongi Vira. Fariz yang memaksa Nadya, agar membuat Vira setuju makan siang bersama. Jika Nadya tidak bisa mengajak Vira. Maka tidak akan ada makan siang yang artinya Nadya akan mendapat amarah teman satu kelasnya. Sehingga Nadya lebih memilih membohongi Vira sahabatnya. Setidaknya Vira akan memaafkannya setelah dia menjelaskan semuanya.
Tak berapa lama, semua makanan yang dipesan Fariz datang. Terlihat raut wajah senang teman-temannya. Satu wajah yang ingin Fariz bahagiakan malah terlihat bersedih. Fariz terus menatap Vira yang menunduk. Seolah Vira sedih berada di tengah-tengah mereka. Tak ada senyum yang ingin dilihat Fariz. Apalagi saat makanan sampai di meja Vira. Fariz melihat tak satupun makanan yang disentuh oleh Vira. Piring Vira tetap terbalik, seakan tak akan ada makanan di piringnya.
"Vira, bisa kita bicara!" ujar Fariz tegas, Vira mendongak melihat Fariz yang berdiri tepat di depannya. Fariz memberanikan diri berbicara pada Vira. Sudah cukup Fariz diam menyimpan semua rasa kagumnya. Selama seminggu Fariz merencankan makan siang ini. Hanya demi bisa bicara dengan Vira. Fariz sudah bertekad, hari ini dia akan mengenal Vira.
Vira menganguk ragu menjawab perkataan Fariz. Selama ini Vira tidak pernah bicara dengan Fariz atau laki-laki di kelasnya. Vira bukan pribadi yang sombong atau angkuh. Namun Vira mencoba menjaga jarak dengan yang bukan mukhrim. Dia tidak ingin timbul fitnah diantara dirinya dan teman laki-lakinya. Sebab itu Vira selalu bersikap dingin pada laki-laki yang ingin mengenalnya.
"Bicaralah, tidak ada yang melarangmu. Aku akan mendengarkan. Memangnya ada masalah apa? Aku merasa tidak ada yang perlu dibicarakan diantara kita!" sahut Vira dingin lalu menunduk lagi. Terdengar helaan napas Fariz, seolah dia bingung harus bersikap seperti apa pada dingin sikap Vira? Sedangkan Nadya yang duduk tepat disamping Vira. Terkekeh melihat perjuangan Fariz yang ingin mengenal Vira. Perjuangan yang tentu tidak akan mudah.
"Bisa kita bicara di tempat lain. Kita bisa bicara sembari berjalan-jalan. Bukankah kamu tidak akan makan siang. Piringmu masih terbalik, jadi kita bisa bicara selama menunggu mereka makan!" ujar Fariz, Vira terdiam sesaat. Lalu dia mengangguk pelan. Fariz tersenyum bahagia saat melihat Vira mengangguk setuju. Dia tidak pernah membayangkan, Vira akan setuju jalan berdua dengannya. Pertama kalinya Fariz melihat Vira bersedia jalan berdua dengan laki-laki. Fariz berjalan lebih dulu, dia berpikir Vira akan mengikuti langkah kakinya. Fariz terlihat semangat, tanpa berpikir menoleh lagi pada Vira. Dia yakin Vira akan berjalan di belakangnya.
"Nadya, ikut aku mengikuti Fariz. Jangan menolak, aku ada disini kerena kebohonganmu. Jika kamu menolak, aku akan membencimu dan memutuskan persahabatan diantara kita!" bisik Vira lalu menarik tangan Nadya. Vira menarik tangan Nadya tanpa menunggu kata setuju dari Nadya. Sebaliknya Nadya yang sedang makan, langsung tersedak ketika Vira menarik tangannya paksa. Sedangkan Vira tidak peduli dengan kondisi Nadya yang tersedak. Sebab salah Nadya, Vira berada di cafe ini dan harus bersedia bicara dengan Fariz.
"Vira, apa salahku padamu? Selama ini kamu selalu menghindar dariku. Saat di sekolah kamu seolah tidak pernah melihatku. Di rumahku kamu seakan tak pernah mengenalku. Aku hanya ingin mengenalmu tidak lebih. Bahkan hari ini, sengaja aku menyiapkan acara perpisahan. Namun bukannya bahagia, aku melihat kesedihanmu. Makanan yang tersaji tidak mampu membangkitkan seleramu!" ujar Fariz lantang, Vira diam mendengarkan perkataan Fariz. Sedangkan Nadya kikuk berada diantara Fariz dan Vira. Dengan segala cara Nadya berpura-pura tidak mendengar apapun? Meski sejujurnya perkataan Fariz membuat Nadya terkejut. Dia mulai memahami alasan dibalik makan siang hari ini.
"Vira, kenapa kamu diam? Jawablah, aku butuh penjelasan. Selama tiga tahun, aku hidup dengan pertanyaan yang sama!" ujar Fariz lirih, sembari menoleh ke arah Vira. Fariz memutar tubuhnya 180° menghadap Vira. Kedua matanya membulat sempurna, ketika dia melihat Vira berjalan berdampingan dengan Nadya. Fariz melihat tangan Vira yang memegang tangan Nadya sangat erat. Sontak Fariz menunduk lemah. Kebahagian bisa jalan berdua dengan Nadya, seketika menghilang saat Nadya ada di tengah-tengah mereka. Saat Fariz menatap Vira, Nadya mengangkat kedua jarinya. Seakan mengisyaratkan kata damai, sebab dia telah berada di tengah-tengah mereka.
"Maaf, aku tidak mungkin jalan berdua denganmu. Kita bukan mukhrim, jadi tidak pantas bila berjalan bersama tanpa ada mukrimku. Selama ini aku sudah mengenalmu dengan baik. Di sekolah aku menganggapmu sebagai seorang teman tidak lebih. Aku hanya akan bicara padamu saat aku memang perlu bicara denganmu. Jika selama tiga tahun kita saling mengenal, tapi tidak pernah bertegur sapa. Itu artinya kita memang tidak ditakdirkan dekat satu dengan yang lain. Sebaliknya jika di rumahmu, aku menganggapmu putra majikan ibuku. Sebagai putri seorang pembantu, sangat tidak pantas aku mengenal putra majikannya. Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu. Bisakah aku pulang sekarang, hari semakin sore!" tutur Vira ramah, Fariz mengangguk mengerti. Meski dia tidak sependapat dengan jawaban Vira. Namun dalam hatinya dia bahagia. Bisa selangkah lebih maju untuk mengenal Vira. Akhirnya Vira dan Nadya meninggalkan Fariz yang termenung mencoba memahami perkataan Vira.
"Tunggu, kamu belum makan sesuatu. Apa kamu menolak makanan ini? Sebab aku yang membelinya!" teriak Fariz, Vira menoleh lalu menggeleng.
"Maaf dan terima kasih, aku sedang berpuasa!" sahut Vira datar lalu terus berjalan menjauh dari Fariz.
"Wanita dengan kesederhanaan dan iman yang mengetuk hati beku milikku. Kini aku menyadari, sikap dinginmu bukan karena keangkuhanmu. Sikap acuhmu atas dasar iman yang kamu pegang teguh. Sedangkal pikiranku akan sikapmu. Seluas itu pula makna iman dalam setiap sikapmu. Aku bahagia mendengar suaramu, sebuah suara yang selalu melantunkan ayat suci Al-quran. Suara yang terdengar bak air hujan yang membasahi gersang imanku. Terima kasih wanita berhijabku!" batin Fariz.
Setiap hari setelah sholat magrib, Vira tidak langsung berdiri. Dia selalu menyempatkan waktu membaca beberapa ayat suci Al-quran. Sembari menunggu waktu sholat isya, biasanya Vira mengaji terlebih dahulu. Seperti malam ini, Vira tidak langsung berdiri setelah sholat magrib. Dia duduk bersila sembari memegang Al-quran. Vira mengaji beberapa ayat suci Al-quran yang biasanya di khususkan, untuk almarhum sang ayah.
Kebetulan malam ini Vira sendirian di rumah. Ibu dan adiknya berada di mushola dekat tempat tinggalnya. Mereka biasanya setelah sholat magrib langsung pulang. Namun karena ada acara pengajian. Sehingga ibu dan adiknya akan pulang setelah sholat isya. Vira sengaja tidak sholat berjamaah. Selain dia harus menjaga rumah. Vira takut akan timbul fitnah bila Vira sholat di mushola.
Sebab di wilayah Vira beredar gosip, jika Vira sedang dekat dengan ustad yang mengajar di mushola. Wilayah tempat tinggal Vira sangat padat penduduknya. Sehingga gosip akan dengan mudah menyebar. Seandainya Vira mengenal sang ustad. Mungkin Vira akan bersikap biasa-biasa saja. Namun kenyataannya, Vira tidak pernah mengenal sang ustad. Berpapasan dengannya saja tidak pernah. Berita yang semakin liar, membuat Vira risih. Sehingga dia memutuskan untuk sholat di rumah saja.
Suara merdu Vira mengaji terdengar hingga luar rumahnya. Dia sedang mengaji di dalam kamarnya. Kebetulan kamar Vira berada paling depan. Tanpa Vira sadari ada sepasang telinga yang sedang mendengarkan suara merdunya saat mengaji. Lantunan ayat suci yang keluar dari bibir Vira, menghipnotis telinga yang mendengar. Meski sepasang telinga yang mendenga, tapi sekujur tubuh yang terdiam mematung. Terperangah akan suara merdu Vira , serta kagum akan kesholehan Vira.
Rumah Vira tidaklah besar dan mewah. Hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi yang menyatu dengan dapur. Ruang tamu hanya berisi kursi kayu yang sangat tua dan sebuah TV kecil yang di depannya terbentang tikar lusuh. Hanya TV yang menjadi satu-satunya hiburan keluarga ini. Vira tidak pernah kecewa atau mengeluh akan keadaan rumahnya. Dia cukup bersyukur atas apa yang dimilikinya?
Hampir setengah jam, Vira mengaji dan membaca tahlil. Dia rutin melakukan semua itu, demi mendoakan sang ayah. Dia selalu ingat akan sosok ayah yang telah lama tiada. Sebagai anak pertama, Vira memiliki tanggungjawab yang tidak mudah. Lalu sayub terdengar murrotal dari speker masjid. Vira berhenti mengaji, menanti waktu sholat isya. Tak lama tepat saat suara azan isya. Terdengar pintu rumahnuya diketuk. Vira mencoba menajamkan telinganya. Berharap dia salah mendengar.
Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu semakin nyata terdengar. Bergegas Vira berdiri, tanpa melepas mukena yang dipakainya. Vira merasa tidak perlu melepas mukena, karena Vira masih dalam kondisi memiliki wudhu. Vira berjalan perlahan menuju pintu. Sebenarnya dia ragu membuka pintu. Sebab di rumahnya sedang tidak ada orang. Namun dia teringat akan pesan sang ayah. Jika tamu ada membawa rejeki. Setelah mengingat peaan sang ayah. Segera Vira membuka pintu.
"Tunggu sebentar!" ujar Vira menyahut dari dalam rumahnya. Tepat setelah berada di belakang pintu. Vira menarik handle pintu, lalu membuka pintu perlahan. Kedua bola mata Vira membulat sempurna. Dia terkejut sekaligus tak menyangka saat melihat siapa yang datang ke rumahnya? Bukan hanya Vira yang terkejut. Sang tamu jauh lebih terkejut, lebih tepatnya terperangah melihat Vira membuka pintu dengan mukena yang masih lengkap.
"Assalammualaikum!" ujar Azzam ramah, Vira mengangguk sembari tersenyum ke arah Azzam.
"Waalaikumsalam, maaf ada keperluan apa? Ibu sedang tidak ada di rumah!" ujar Vira tak kalah ramah, Azzam terdiam menatap Vira. Gadis yang dulunya kecil, kini telah tumbuh dewasa. Baik Azzam atau Vira tidak pernah mengenal satu dengan yang lain. Malam ini pertama kalinya mereka bertemu. Namun Azzam pernah melihat Vira saat ikut dengan Siti ke rumahnya.
Azzam Aulian Putra Atmaja, putra pertama keluarga Atmaja. Pewaris sekaligus pemimpin perusahaan Atmaja. Kakak laki-laki Fariz Maher Atmaja yang jauh dari kata kakak. Sifat keduanya sangat bertolak belakang. Usia yang terpaut cukup jauh. Membuat hubungan keduanya tidak terlalu dekat. Azzam pribadi yang dingin dan pekerja keras. Dia menjadi pembisnis yang handal dan disegani. Sebaliknya Fariz lebih periang dan hangat. Namun sifat Fariz lebih manja dari kakaknya.
"Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu bik Siti datang. Sebab mama memintaku membawanya ke rumah. Ada yang harus dikerjakan bik Sumi. Mama ingin meminta bantuannya!" ujar Azzam, Vira mengangguk pelan. Lalu Vira masuk ke dalam rumahnya. Dia mengambil kursi plastik dan meja kecil. Vira meletakkannya di teras rumahnya. Azzam heran melihat Vira melalukan semua itu.
Meski Azzam penasaran, tapi dia tidak berpikir ingin membantu Vira. Malah Azzam mundur menjauh. Bukan tak sudi berjumpa atau menyentuh tangan Vira. Namun Azzam mengetahui, jika Vira masih dalam keadaan berwudhu. Mungkin Azzam melakukan kesalahan dengan menjauh dari bersujud. Namun dia mengerti, jika Vira bisa batal bila bersentuhan dengan yang bukan mukhrim.
"Silahkan duduk, ibu sebentar lagi datang dari mushola. Aku akan buatkan teh!" ujar Vira lirih, Azzam menggeleng. Sebenarnya Azzam tidak ingin berada di rumah ini terlalu lama. Namun dia memiliki amanah dari sang mama. Apalagi Azzam harus duduk di luar rumah. Seakan dia bukan tamu yang penting.
"Terima kasih, aku tidak haus. Lagipula kamu harus segera sholat. Jika tidak wudhumu terlanjur batal!" ujar Azzam, Vira mengangguk pelan. Dia lalu masuk ke dalam rumahnya. Pintu rumahnya sengaja dibiarkan terbuka. Vira tidak mungkin menutupnya. Ketika ada tamu di luar. Vira segera sholat isya, dia harus segera membuatkan minuman untuk putra majikan ibunya. Vira tidak ingin memberikan kesan yang buruk pada majikan ibunya.
Setelah selesai sholat, Vira langsung membuatkan teh untuk Azzam. Saat Vira datang membawa secangkir teh dan sepiring singkong rebus. Dia melihat Azzam sedang sibuk dengan laptopnya. Kacamata minus melekat di kedua mata indahnya. Semakin menambah ketampanan dan wibawa Azzam. Sedetik Vira menganggumi Azzam. Lalu dia mengucap isthighfar berkali-kali. Sebab Vira telah mengagumi sesuatu yang tidak halal untuknya.
"Silahkan, maaf hanya ada teh dan singkong!" ujar Vira, Azzam mendongak lalu mengangguk. Azzam selalu fokus dalam mengerjakan sesuatu. Dia tidak akan peduli pada sekitarnya. Bahkan saat Vira berjalan melewatinya. Azzam seakan tidak melihat, hanya harum hijab Vira yang tercium Azzam. Ketika Vira berjalan melewati Azzam, tanpa sengaja hijabnya tertiup angin dan menyentuh wajah Azzam.
"Terima kasih!" sahut Azzam dingin, Vira mengangguk pelan. Dia berjalan masuk ke dalam rumah. Vira gelisah menunggu ibu dan adiknya yang tak kunjung pulang. Entah kenapa ibu dan adiknya tak kunjung pulang? Padahal jam sudah menunjukkan pukul 20.00 wib.
Azzam merasa sudah lama menunggu bik Siti. Akhirnya dia memutuskan pulang dan tidak menunggu lagi. Azzam meminum teh yang dibuat oleh Vira. Tenggorokannya merasa kering selama menunggu ibunya Vira. Azzam menghabiskan sscangkir teh buatan Vira dengan sekali teguk.
"Ternyata selain suaranya merdu saat mengaji. Dia juga pintar dalam hal dapur. Aku tidak terlalu suka teh, tapi kenapa aku menikmati teh buatannya? Pantas mama sering memuji masakan putri bik Siti. Dengan merasakan teh buatannya, aku sudah bisa menduga. Dia mampu mengurus dapur dengan baik!" batin Azzam lalu berdiri. Dia hendak berpamitan pada Vira.
"Tuan Azzam, sedang apa di rumah bibik!" sapa bik Siti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!