Tap! Tap! Tap!
Mocca Yola, seorang gadis cantik berambut hitam panjang dan bermata biru, dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam bermotif berpadu dengan dress cantik berwarna biru dongker berdiri disebuah gedung mewah bernama Love Hotel.
"Apa ini tempatnya?"
Ditangannya dipegang sebuah berkas.
Beberapa saat yang lalu dia menerima telpon dari kakak tirinya, Ruri Yola. Dia tiga tahun lebih tua dari Mocca dan kini bekerja di perusahaan milik ayah mereka.
Suatu urusan mengharuskannya menemui klien malam itu, namun sesuatu yang sangat penting tidak sengaja tertinggal. Berkas yang kini berada di tangan Mocca.
Karna ragu, Mocca kembali mengecek ponselnya, andai saja dia salah lihat dan pergi ke tempat yang salah. Namun benar, tempat itu yang kakaknya kirim melalui sebuah pesan.
"Bertemu klien di hotel?" Mocca menghela nafas panjang, dia membuang pikiran kotor itu dan mulai melangkahkan kaki. Memasuki tempat itu.
Masuk dengan menundukkan kepala dan tergesa, mempercepat langkah kaki agar lekas sampai ditempat tujuan dan segera pergi dari sana. Tak lama Mocca berhenti, memeriksa pesan Kak Ruri untuk mengantisipasi salah masuk kamar.
"Nomor ... 201?" Dilihatnya nomor pintu didekatnya, hampir mendekati nomor yang dia cari. Mungkin di lantai berikutnya. Namun belum sempat pergi, Mocca mendapati sesosok bayangan di belakangnya. Sontak dia menoleh waspada.
Brak!
Beberapa pria brandal berdiri dengan sebuah tongkat ditangannya, baru saja dia melayangkan sebuah pukulan pada Mocca namun dia berhasil menghindar.
"Siapa kalian?"
Perlahan berjalan mundur, Mocca sadar mereka berusaha mencelakainya namun gagal. Tapi siapa mereka? Kenapa melakukan hal itu padanya yang bahkan Mocca saja tidak mengenal mereka.
"Mocca Yola, malam ini ... kau milik kami!"
Pria bertubuh kekar itu kembali mengangkat tongkat di tangannya dengan senyum menyeringai menjijikan diikuti oleh beberapa pria lainnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki dibuat gemetaran oleh mereka. Untung sebelum pukulan selanjutnya mendarat, Mocca melarikan diri.
"Siapa mereka? Mereka bahkan tahu namaku, tapi aku tidak pernah menyinggung siapapun," batin Mocca dibuat riuh. Semua tenaga dia pusatkan pada kedua kaki tak kala menoleh kebelakan dan mendapati mereka tengah mengejarnya.
Keringat menetes di pelipis, namun harus berjuang, jangan sampai ditangkap oleh mereka!
Lift! Lift! Lift! Lift!
Melihat Lift terbuka didepannya membuat Mocca merasa sangat lega, asalkan bisa masuk dan menutup pintu segera, maka dia sudah selamat. Tinggal mencari bantuan melalui ponsel.
Masuk!
Dengan nafas terengah perjuangannya tidak sia sia, dia berhasil masuk ke dalam lift. Didalam terdapat beberapa orang pria dewasa ber-jas, melihat Mocca meminta bantuan pada mereka membuat pria pria brandal itu lari terbirit birit.
"Huh, selamat."
Ia merasa lega.
Menyenderkan tubuhnya ke dinding sembari menghela nafas panjang dengan mata terpejam. Dia menurunkan kewaspadaannya, menganggap diri sudah aman. Namun siapa sangka dia jatuh ke tangan yang lain.
Beberapa pria ber-jas membekap Mocca dengan sebuah sapu tangan yang sudah diberi sebuah obat. Mocca meronta hebat sambil berusaha melepaskan genggaman tangan yang membekapnya itu.
"Mmmmhh ... Mhh ... M ...." Perlahan rontaan Mocca kian melemah, obat itu sudah bekerja, kini membuatnya tak sadarkan diri.
"Tuan besar, kami sudah menemukan seorang wanita." Ia berbicara pada seseorang melalui earphone.
"Bawa dia, segera!"
"Baik."
Ting!
Pintu lift terbuka, Mocca yang sudah tidak berdaya digendong dan dibawa masuk ke sebuah kamar hotel. Disana sangat gelap, namun disebuah ranjang tidur, yang sekilas terkena sinar bulan menunjukan bahwa adanya seseorang terbaring disana.
Ia menggeliat-geliat kecil dibawah selimut.
Lalu pria pria itu membaringkan Mooca disampingnya "Tuan muda, silahkan menikmati."
Brak!
Mereka pergi begitu saja, meninggalkan Mocca disana bersama seorang pria dewasa. Pria dewasa yang bertingkah sangat aneh dengan suhu tubuh yang sangat panas, keringat sudah membasahi tubuhnya.
"Ssshh~ Panas," desahnya.
Lalu Mocca tersadar.
Ia memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing dan berusaha mengingat apa yang terjadi padanya, juga dimana dia sekarang. Mocca beranjak dan terduduk tanpa menyadari adanya seorang pria di sampingnya.
"Dimana ini, gelap seka---Ah!"
Bruk!
Seseorang menariknya jatuh ke ranjang dan langsung menyerang Mocca dengan sangat brutal. Tubuh yang sangat kekar berotot dan tenaga yang sangat besar membuat Mocca kesulitan melepaskan diri.
Hilang sudah, hancur sudah.
Air matanya mulai mengalir saat pria itu mulai melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan pada Mocca. Pria yang tidak dia kenal merenggut kesuciannya.
Beberapa saat kemudian ...
Semua berakhir, Mocca menangis tersedu lalu menatap pria yang langsung tertidur pulas seperti tidak ada yang terjadi diantara mereka.
"Pria bermata merah dengan tahi lalat kecil di bawah mata kanan. Aku ... Mocca Yola, suatu hari akan membalasmu," ucap batin Mocca.
Ia terduduk di tepi ranjang, memungut kembali satu persatu pakaiannya dan memakainya. Kejadian malam itu tidak akan bisa Mocca lupakan, "Berdo'alah agar kita tidak dipertemukan lagi."
Mocca beranjak, hendak memungut heels- nya namun tiba tiba terdengar suara derap langkah kaki di koridor hotel. Itu mungkin mereka, mereka yang membawa Mocca ke sana.
Aku harus segera pergi!
Sialnya dia tidak bisa menemukan heels sebelahnya, namun derap itu kian mendekat membuat Mocca mengabaikan heels satunya untuk segera pergi dari sana.
Brak!
"Tuan muda!"
Panggil salah satu dari mereka seraya mendobrak pintu kamar, masuklah beberapa pria dengan pakaian formal serba hitam. Namun sepertinya mereka bukan beberapa pria yang Mocca temui di Lift.
Trek!
Lampu dinyalakan, mereka melihat pria yang mereka sebut tuam muda itu tengah terduduk linglung dengan selimut membalut tubuhnya. Tangannya memegangi kepalanya yang agak terasa pusing itu.
"Tuan muda Leon!"
Pria bernama Leon itu menoleh, "Kalian, kenapa ada disini? Aku, kenapa bisa ada di-sini?" tanyanya terbata sembari menyerengit kesakitan.
"Kami menerima kabar bahwa Tuan Danial, paman anda, telah merencanakan sesuatu. Setelah mengetahui lokasi keberadaan Tuan, kami langsung bergegas."
Sekilas ingatan ingatan saat itu bermunculan, siapa gadis yang bersamanya beberapa saat yang lalu? Mata biru, dengan dua tahi lalat kecil ke dada. Ingat itu membuat Leon sontak menyibakkan selimut.
Darah kesucian!
Mereka dibuat terkejut karna hal itu. Bagaimana bisa Tuan Leon berhubungan dengan seorang wanita? Pasalnya, menurut kabar yang beredar Tuan Leon seorang pria impoten.
"S-siapa wanita itu? Cari dan bawa ke hadapanku!"
Ia berteriak lantang, membuat bulu kuduk para bawahannya berdiri. Satu bentakkan membuat mereka langsung melakukan pergerakan.
"Wanita ajaib, wanita pembawa berkah," pikir mereka. Apapun yang terjadi harus mendapatkan wanita itu!
"Mmmhh?"
Ia menyadari sesuatu yang berada di bawah ranjang tidur, sebuah heels berwarna hitam dengan sebuah motif ukiran sebelah sayap kupu-kupu berwarna keemasan. Ia tersenyum menyeringai, "Wanita, aku pasti akan menemukanmu."
Beberapa jam berlalu, para bawahan Tuan Leon kembali menemuinya. Namun sayangnya mereka tidak bisa menemukan wanita itu dimanapun, "Jangan terburu-buru, kita masih mempunyai banyak waktu."
Ia yang kini sudah berpakaian rapi pun beranjak dari tempatnya, kembali dilihat sepatu hitam milik Mocca yang tertinggal itu, tak lama dia melemparkannya pada bawahannya.
"Simpan itu baik baik, lain hari cari wanita itu sampai dapat. Tapi sekarang, sesuatu yang penting harus di urus terlebih dahulu."
Ya, masalah malam itu tidak sesederhana yang dipikirkan. Pasti ada campur tangan sang paman serakah itu. Keluarga kaya memang tidak pernah terlepas dari masalah internal, apalagi saat menyangkut tentang harta keluarga.
Leonard Domino, cucu satu satunya dari keluarga Domino. Diberkahi paras yang sangat tampan dan kecerdikkan diatas rata rata, sejak kecil sudah menorehkan banyak prestasi. Membuat semua orang iri padanya.
Karna hal itu pula dia sangat disayang oleh nenek yang kini menjadi kepala keluarga dan memegang hak penuh atas keluarga Domino. Bahkan nenek sudah menulis surat wasiat bahwa Leon akan menjadi hak waris sepenuhnya atas keluarga Domino.
Saudara ayah yang terdiri dari 3 paman dan 2 bibi tentu saja sangat menentang keputusan itu dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan bagian harta tersebut.
Tapi yang perlu diwaspadai adalah paman Danial, dia mengetahui rahasia Leon yang menderita importen. Bukan hanya itu, tanpa sepengetahuan siapapun dia sedang membangun sebuah perusahaan yang kelak dapat menandingi perusahaan keluarga Domino.
Pukul 3 dini hari ...
Dengan pakaian compang-camping dan tanpa alas kaki, Mocca sampai dirumahnya dengan berjalan kaki dari hotel. Mengandalkan tenaga di kakinya karna enggan naik transportasi publik dengan keadaan kacau seperti itu.
Namun sesuatu didepannya membuatnya terkejut, tak kala melihat rumah dipenuhi banyak orang asing hatinya mulai gelisah, apalagi melihat mereka berpakaian serba hitam dengan mata yang terlihat memerah mungkin karna habis menangis.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
Mocca beranikan diri melangkahkan kakinya, semakin dekat suara tangisan mulai terdengar. Hatinya semakin gundah tak karuan, dia berusaha menerobos masuk dalam kerumunan.
Kemudian langkahnya terhenti saat melihat sebuah peti jenazah dengan foto ayah di dekatnya, ibu serta kakak tiri menangis tersedu di sampingnya. Mocca membelakkan matanya, "Tidak! Tidak mungkin!"
"Ayah ... Ayah!" Hatinya remuk bagai dipukul palu besi berkali-kali. Kakinya gemetar hebat, semua orang yang mendengar suara Mocca kemudian menoleh dan menatapnya, mereka mulai berbisik satu sama lain membicarakan keadaan Mocca, namun dia tidak memperdulikan hal itu.
"Tidak mungkin!"
Tetesan demi tetesan air mata mulai berjatuhan beriringan dengan langkah kaki yang terasa sangat berat untuk melangkah. Di depan sana, ibu dan kakak beranjak sembari menghapus air mata mereka.
Mereka menghadang Mocca yang ingin mendekati peti mati, jika memang itu ayah, maka ijinkan Mocca berduka di dekatnya.
Plak!
Tiba tiba ibu menamparnya dihadapan banyak orang, "Anak tidak tahu diri! Ayahmu meninggal dunia tapi lihat dirimu, menjijikan!"
Semua orang kembali bergunjing, sekarang dia baru menyadari bahwa tak hanya penampilannya saja yang buruk, tapi juga ada banyaknya tanda merah ditubuh Mocca.
"Apa dia berzina dihari kematian ayahnya?"
"Kasihan sekali Tuan Yola."
"Tidak! Ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Ibu aku mohon, aku ingin menemui ayah, tolong jangan menghalangiku," pintanya.
Jangan saat ini, hati Mocca hancur dan hanya ingin mendekat pada ayah terlebih dahulu. Walaupun semuanya terlalu tiba tiba, kematian ayah tidak mungkin bisa dia terima begitu saja, tapi setidaknya Mocca ingin meminta maaf pada ayah.
"Tidak bisa!" Ibu kembali menghadang.
Mocca melirik Ruri, kakak tirinya. Ya, seharusnya dia bisa bantu menjelaskan semuanya, dia yang meminta Mocca datang ke tempat itu, "Kak, kak Ruri.. Beritahu mereka, Mocca pergi kesana untuk antarkan berkas pada kakak."
Ruri terdiam, dia memalingkan wajahnya dan pura pura bersedih. "Kenapa adik melemparkan kesalahan padaku? Berkas apa yang adik maksud?"
Dia berbohong, jelas jelas menelepon dan meminta Mocca mengantarkan berkas yang tertinggal. Meski begitu, Mocca tetap mempunyai bukti. Pesan berisi alamat hotel dan juga nomor kamar, seharusnya masih tersimpan.
Mocca mengambil ponselnya, mencari pesan dari Ruri yang merupakan bukti bahwa kakaknya yang memintanya datang ke tempat itu. Namun belum sempat ditunjukkan pada banyak orang, ibu merebut ponsel Mocca dan melemparnya jauh jauh.
"Sudah salah masih berani berbohong! Memfitnah kakak sendiri, tidak tahu malu! Penjaga!" Dengan lantang ibu memanggil para penjaga dan menyuruhnya menyeret keluar Mocca.
Bruk!
Mocca jatuh berlutut di hadapan ibu, "Tidak! Ijinkan aku bertemu ayah, ibu jangan usir aku, aku mohon!"
Derap langkah kaki khas para pengawal rumah berdatangan, berdiri dibelakang Mocca, "Seret dia keluar! Dia tidak pantas menjadi putri keluarga Yola!" seru ibu.
Para bawahan yang dulu sangat menghormati Mocca kini berani menatapnya tanpa rasa sopan, tak membuang waktu lama mereka segera memegangi tangan Mocca untuk segera diseret keluar.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Ayah! Ayah! Aku ingin ayah! Tolong jangan lakukan ini, aku ingin bertemu ayah untuk yang terakhir kalinya, aku mohon."
Mocca meronta-ronta, tangannya menjulur ingin menggapai peti mati ayah tak kala para bawahan itu mulai menyeretnya dengan sangat kasar, "AYAH! AYAAAAAAH!"
Duar!
Gemercik hujan mulai turun membasahi bumi, disertai kilatan kilatan halilintar dan suara-suara keras. Ingin sekali Mocca menjerit sekelas-kerasnya, ia kembali dipukul. Lagi lagi menyaksikan orang tercintanya berakhir di dalam peti mati.
Terduduk diluar rumah, diguyur hujan yang seakan berusaha mewakili hancurnya hati Mocca. Tak lama dua pasang kaki berdiri didepannya, ia melempar sebuah tas yang sangat besar.
"Ibu, Kak Ruri," ucap Mocca sembari menengadah.
Tidak seperti saat didalam yang sangat terlihat rapuh dan putus asa, disana ibu dan kakak tampak baik baik saja, bahkan melemparkan senyum menyeringai pada Mocca.
Dengan payung hitam ditangannya ibu kemudian berjongkok tepat di hadapan Mocca, "Anakku sayang, untuk ketiga kalinya kau ditinggalkan oleh orang orang terdekatmu, bagaimana rasanya?"
Benar, ini ketiga kalinya. Pertama ibu, kedua kakak laki laki, dan sekarang ayah. Betapa kejamnya hidup ini, perlahan merenggut orang orang yang paling dicintainya di dunia ini.
Tapi sikap ibu dan kakak itu ...
"Mocca Yola, setelah sekian lama akhirnya hari ini tiba. Hari dimana kau jatuh didepanku. Bersyukurlah karna kau masih diberi kesempatan hidup, karna dari pada melihatmu mati.. Aku lebih suka ketika melihatmu hancur, tidak memiliki apa apa dan hidup dalam penderitaan," batin Ruri.
Tujuan mereka hampir tercapai, sekarang tinggal mengalihkan semua harta milik keluarga Yola menjadi atas nama anak tersayang ibu, Ruri Yola.
"Mocca, sebagai ibu yang baik aku akan menawarkan sesuatu padamu. Aku akan mengijinkanmu masuk dan berduka untuk ayah, asalkan kau mau menandatangani pengalihan hak waris menjadi atas nama Ruri kakakmu."
Ibu menyodorkan sebuah berkas dan bolpoin yang tadinya dipegang oleh Ruri.
Ia baru tersadar, dua orang bermuka dua itu pasti sudah merencanakan hal itu sebelumnya. Kematian ayah pasti tidak sesederhana itu. Tapi saat ini Mocca tidak memikirkan hal lain, bisa bertemu dengan ayah untuk yang terakhir kalinya sudah cukup baginya.
"Ayah, maafkan Mocca. Tapi saat ini Mocca hanya punya ayah dan ingin menemui ayah untuk yang terakhir kali."
Setelah menandatangani surat itu, Mocca beranjak. Perlahan berjalan masuk meninggalkan kedua wanita itu diluar "Tapi suatu hari nanti ... Mocca ... Mocca pasti akan merebut kembali apa yang menjadi milik ayah, milik kita."
Di dalam, semua peduka memberikan jalan pada Mocca. Lagi, dilihat peti dengan foto ayah diatasnya. Membuat hatinya hancur berkeping keping.
Bruk!
Kakinya tak kuasa lagi melangkah, tapi ayah kini didepannya, Mocca harus meminta maaf segera, "Ayah," ucapnya lirih pelan.
Ia merangkak menyeret kakinya yang dipenuhi luka, penuh perjuangan dibawah tekanan para penggunjing. Sampai akhirnya dia berhasil menyentuh papan kayu berisi ayah yang sedang tertidur itu.
"Maafkan Mocca, tidak bisa menjadi gadis baiknya ayah. Bahkan dengan bodohnya menandatangani surat pengalihan harta, tapi Mocca tidak menyesal. Asalkan bisa dekat ayah seperti sekarang, Mocca bahagia ...
... Ayah pasti khawatirkan Mocca saat ayah akan pergi, jangan khawatir, Mocca bisa jaga diri. Meski kini tanpa ayah, Mocca punya tabungan untuk bertahan hidup ...
... Ayah, disana hendak bertemu ibu dan kakak kah? Katakan pada mereka juga, Mocca baik baik disini. Mereka jangan khawatir."
Ia menumpahkan semua isi hatinya, dengan sendu tangisan pilu yang kini sudah tidak terdengar lagi. Air mata pun sudah mengering dan enggan keluar lagi.
Dalam halusinasi alam bawah sadarnya, Mocca melihat ayah dengan wajah yang sangat bersih tengah tersenyum padanya. Dia berdiri membelakangi sebuah cahaya, "Anak ayah yang baik, anak ayah yang cantik." begitu ucapnya.
Sampai akhirnya ayah pergi, bertemu ibu dan kakak.
Tap! Tap!
"Sudah cukup menangisnya?"
Ingatan Mocca saat dia berusia 4 tahun.
Dia terduduk di sebuah kursi dijajaran paling depan, tepat di depannya terdapat sebuah peti yang sangat besar, disana pun terlihat kakak laki laki tengah menangis dengan tersedu.
Mocca kecil masih tidak mengerti, banyak sekali orang berdatangan kerumah namun hanya untuk menangis. Semua orang menangis, tidak terkecuali sang ayah yang duduk tertunduk disampingnya, ia menyembunyikan frustrasi- nya.
Dia memberanikan diri, dengan jemari kecilnya menarik kain hitam yang ayah pakai, "Ayah, kenapa ibu tidur disana?" tanyanya sembari menunjuk peti mati.
Ayah tertegun, bagaimana bisa dia melupakan gadis kecilnya dan malah berlarut dalam sebuah duka. Tapi sekarang bagaimana? Apa yang harus ayah katakan pada Mocca kecil yang polos.
Tak lama ayah beranjak kemudian berjongkok dihadapan Mocca, "Nak, ibu akan pergi ke surga." sebuah kata yang hanya bisa dia ucapkan agar tidak membuat Mocca bersedih.
"Surga itu dimana? Apa ibu pergi sendiri? Kapan akan kembali?"
Mocca terus mengoceh menanyakan beberapa hal, semua orang yang menyaksikan hal itu dibuat haru, padahal Mocca masih kecil tapi sudah ditinggalkan ibu. Mereka merasa sangat kasihan.
Ayah tidak menjawab satu pun pertanyaan Mocca, dia kemudian menggendongnya, juga menggendong kakak laki laki dan membawanya ke kamar untuk menenangkan mereka.
Begitu pukulan pertama terjadi, saat beranjak dewasa ibu tak kunjung kembali sampai dia mengerti semuanya. Tapi sudah terlambat, ibu tidak akan pernah pulang lagi.
"IBU!" Mocca tersadar, membuka mata kemudian bangun dan duduk. Di lihatnya ruangan dimana dia berada tampak sangat asing, lalu di tangannya tertancap jarum infus, "Apa yang terjadi?" batin Mocca.
Tak lama pintu terbuka, dan masuklah seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan, "Sudah bangun?" tanyanya.
Dia memegang sebuah nampan berisi air hangat dalam mangkuk agak besar dan sebuah handuk kecil.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ah dia ingat, saat itu ketika Mocca menangis di dekat peti, ibu dan kak Ruri datang bersama beberapa bawahan yang sebelumnya telah menyeret Mocca.
Tanpa berbelas kasih mereka memukul Mocca sampai tak sadarkan diri, samar dalam kesadaran yang tidak stabil, Mocca merasa bahwa dirinya tengah berada didalam sebuah pesawat terbang.
Dua wanita keji itu mengirimnya keluar negeri.
Benar benar kejam, apa mereka masih belum merasa puas sampai melakukan hal itu pada Mocca meski dia sudah memberikan semuanya pada mereka?
Bibi itu menghela nafas panjang, dia mencelupkan handuk kecil ke dalam air hangat dan memerasnya, "Meski sudah bangun tapi harus tetap beristirahat, ya." Ia mulai menyeka wajah Mocca dengan handuk itu.
"Apapun yang sudah terjadi jangan terlalu dipikirkan, harus perhatikan bayi dalam kandunganmu juga."
Perkataan bibi membuat Mocca membelakkan matanya, nafasnya seketika berhenti saat mendengar hal yang tidak bisa dipercaya itu, "Salah dengar, pasti hanya salah dengar." Itu yang dia yakini untuk menenangkan hatinya.
"Sebenarnya dimana ini? Dan sudah berapa lama aku berada disini?"
"Sebuah Vila tua terpencil milik keluarga Julian. Dan ... sudah satu bulan lamanya sejak saat itu."
Wanita itu, pasti wanita biadab itu yang mengirim Mocca ke tempat itu, jauh dari tempat kelahiran, jauh dari kenangan bersama keluarga dan kini harus tinggal di tempat terpencil, benar benar wanita berhati iblis.
"Oh ya, kandunganmu pun berusia satu bulan, selamat," ucap bibi.
Tepat sekali, tepat saat kecelakaan malam itu terjadi. Sekarang bagaimana, bagaimana bisa dia mengandung sedangkan ayahnya saja dia tidak tahu. Kini malah terjebak disebuah Villa antah-berantah.
...~ * ~...
7 tahun kemudian ...
Tinggal di Villa yang dikelilingi oleh sebuah hutan mati, tidak sedikitpun terlihat sebuah kehidupan lain diluar Villa. Tanpa adanya barang barang teknologi apapun, mereka benar benar terputus dari dunia luar sana.
Bruk!
Terdengar suara benda terjatuh dari dalam ruang baca, Mocca yang tengah duduk santai dengan sebuah rajutan yang belum selesai di tangannya pun kemudian beranjak dan pergi memeriksa tempat itu.
Sesampainya segera membuka pintu sangat keras, lalu terlihat seorang gadis kecil tengah menangis dengan beberapa buku yang berserakan dilantai.
Mocca menghampirinya. "Candy, kenapa menangis?" tanyanya sembari membantu Candy berdiri. Tak lama Candy menunjuk sesuatu dibalik rak buku, seorang anak laki laki yang tengah mengintip ketakutan.
"Huh!" Mocca menghela nafas panjang, "Jean! Keluar!"
Anak laki laki bernama Jean pun menampakkan diri, perlahan, dengan sedikit rasa takut dia mulai menghampiri Mocca dan Candy.
"Kenapa adik bisa nangis?" tanya Mocca.
"Jean ingin pinjam buku, tapi Candy tidak kasih. Kami berebut dan tidak sengaja menabrak rak buku dan.. Bukunya berjatuhan," balas Jean dengan tertunduk.
"Lalu kenapa Jean sembunyi?"
"Jean takut kena marah Mama."
Kembali menghela nafas kasar, Tapi bagaimanapun mereka tetap menjadi kesayangan Mocca, keluarganya yang sangat berharga.
"Ya sudah, sekarang berbaikan, atau Mama tidak temani kalian tidur."
Mereka pun berbaikan, berjabat tangan dan berpelukan. Mocca mengajarkan pada mereka bahwa mereka harus selalu akur sebagai saudara, ikatan darah lebih tinggi dari apapun. Dan setelah itu mereka membereskan ruangan bersama sama.
Jean Yola, anak laki laki berusia 6 tahun, rambut hitam tebal dengan belahan di sebelah kanan, bermata merah menyala seperti pria brengsek yang merusak hidup Mocca malam itu. Dan yang paling istimewa, Jean adalah Anak Genius.
Rasa keingintahuan yang sangat besar telah menuntunnya untuk mencoba, sesuatu yang ahli dia geluti adalah bidang teknologi.
Dari barang barang yang dia temukan di gudang Vila, Jean sudah berhasil membuat penyedot debu otomatis dengan remot kontrol, robot mainan, dan masih banyak lagi.
Putri bungsu tercinta bernama Candy Yola, seorang gadis kecil yang sangat anggun, sering disebut duplikat dari ibunya yaitu Mocca. Pasalnya, dari ujung kaki sampai ujung kepala semuanya mirip dengan sang ibu.
Candy pun merupakan Anak Genius, dia memiliki IQ yang sangat tinggi dan dengan kepala kecilnya dia mampu mengingat isi sebuah buku hanya dengan sekali membacanya saja. Ingatan yang begitu menakjubkan, dia juga berwawasan luas karna kegemaran membacanya.
Mereka pengisi kekosongan dihati Mocca, sedikitpun dia tidak pernah menyesal karna memilih mempertahankan kandungan dan melahirkan mereka dengan baik.
Tapi Mocca ingin terbebas dari sana, dia ingin menunjukan banyak hal pada kedua anaknya tentang dunia, menghadapi dunia yang keras ini mereka sudah harus di didik dengan baik sedini mungkin.
"Ngomong-ngomong, kalian berebut buku apa? Kenapa tidak membacanya bergiliran?" tanya Mocca.
"Sebuah buku tentang cara membuat sebuah kamera," jawab Jean membuat Mocca tersenyum, lagi-lagi tentang kegilaan teknologinya itu. Mocca menggelengkan kepalanya, menghampiri Jean diikuti oleh Candy. Dia hendak merampas buku itu karna tidak ingin Jean terlalu terobsesi.
Anak kecil seharusnya gemar bermain dan belajar, Mocca tidak mau mereka kehilangan masa kanak-kanaknya. Namun ...
"Aku akan membuat kamera yang bisa terbang, disini tertulis kalau namanya adalah Drone. Mama, kalau Jean berhasil membuat kamera itu. Kita ... pergi dari sini ya." Mocca terperajat kaget.
Benar juga, dengan adanya kamera itu mereka bisa memantau keadaan hutan disekitar Vila. Merekamnya untuk membuat jalur pelarian, melarikan diri dari Vila? Bagaimana bisa anak berumur 6 tahun bisa memikirkannya sejauh itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!