NovelToon NovelToon

Menjadi Sugar Baby

Awal Mula

(Cerita hanyalah fiktif/rekaan/karangan hasil imajinasi penulis. Setting/latar belakang, sifat, karakter, alur mungkin tidak ada di dunia nyata. Ini sekedar hiburan/entertainment. ALUR CERITA LAMBAT, JIKA INGIN CEPAT TAMAT, SILAHKAN BACA CERPEN SAJA. THANK YOU.

Pagi-pagi sekali.

Kehebohan terjadi disebuah rumah sederhana, yang kreditnya masih sisa 15 tahun lagi.

"Lea, bangun buruan. Bantu ibu bereskan rumah dan siapkan peralatan sekolah adek-adek kamu."

Lea Michella menggeliat malas. Rasanya tak pernah sekalipun seumur hidup, ia bisa bangun agak siang sedikit. Ibunya selalu saja berisik dan menyuruhnya bangun di pagi buta.

"Kenapa nggak suruh mereka aja sih, bu. Beresin sendiri peralatannya. Suruh lah mereka tanggung jawab sama urusan mereka sendiri."

"Ibu nggak perlu nasehat kamu, yang ibu butuh kamu bangun sekarang. Ayo...!"

Lea beranjak dari ranjang ukuran tiga, yang hanya muat satu orang. Namun ia tidur berdua dengan Leo, adiknya yang sudah kelas 2 SMP.

Rumah mereka adalah rumah tipe 36, yang hanya memiliki dua kamar tidur. Satu telah ditempati oleh ibu dan ayah tirinya, satu lagi ditempati ia dan ketiga adiknya. Kini ibunya tengah hamil lagi.

Sepanjang Lea hidup, ibunya telah tiga kali berganti pria. Pertama ayahnya, yang hingga kini tak jelas siapa. Ibunya juga enggan menceritakan pada Lea, sekalipun Lea sudah lelah bertanya.

Namun bila dilihat dari fisik dan perawakan, Lea sepertinya keturunan orang asing. Ia memiliki kedua mata yang berwarna abu-abu, hidung mancung, bibir berisi dan kulit cenderung putih dengan undertone warm. Karena berpadu dengan warna kulit ibunya yang agak coklat.

Sedang Leo, adiknya. Adalah hasil dari perkawinan ibunya dengan seorang pria berdarah campuran Korea-Amerika. Hingga tampilan Leo mirip seperti orang Filipina. Jika dilihat dari jauh, ia seperti bule. Namun ketika didekati, aura Asia nya sangat kental terasa.

Sedang kedua adiknya yang lain, yakni si kembar Ryan dan Ryana. Adalah anak hasil pernikahan ketiga ibunya dengan ayah tiri yang sekarang, seorang asli negri ini.

Berbeda dengan ayah Leo, yang pernah ada di kehidupan mereka. Lea tak begitu dekat dengan ayah tirinya yang sekarang. Bahkan Lea sedikit was-was jika tengah berdua saja dengan pria itu. Pasalnya ayah Ryan dan Ryana, selalu memberinya pandangan yang tak mengenakkan. Seperti pria yang tertarik pada lawan jenis, ketika berhadapan dengan Lea.

Leo sendiri sangat jarang dirumah, ia lebih suka menginap dirumah temannya atau dirumah nenek dari ibu mereka. Lantaran Leo pun belum begitu menerima kehadiran ayah barunya ini. Ayah kandungnya telah bercerai dengan sang ibu dan kembali ke Amerika.

"Ryan, Ryana. Ayo buruan, mandi...!" teriak sang ibu pada kedua adik Lea. Kedua anak itu sudah bangun namun tampak masih malas-malasan.

"Lea, kamu udah beresin buku adek-adek kamu?"

"Udah, bu."

"ya udah, nyapu dulu sana..!"

"Leooo, bangun...!"

Ibu Lea sangat riweh di pagi hari, ia memerintah sambil membuat sarapan pagi. Sesekali ia mengelus perutnya yang tengah hamil 6 bulan itu.

"Perasaan di rumah temen gue, anaknya juga banyak. Ibunya nggak gini deh, kalau pagi. Selalu nice kalau bangunin anak-anaknya." Leo menggerutu dihadapan Lea.

"Namanya juga ibu, tau sendiri kan di rumah ini. Kalau ayah bangun, rumah masih kotor dan sarapan belum siap. Ibu yang jadi sasaran kemarahan ayah."

Leo pun bergegas bangun, ia mandi dikamar mandi luar. Kebetulan di rumah itu telah dibangun kamar mandi cadangan. Sedang Ryan dan Ryana mandi di kamar mandi dalam.

Setelah semuanya beres, Lea pun mandi dan berganti pakaian. Ia anak yang tiba paling terakhir di meja makan, namun sebelum ayah tirinya. Mereka sarapan dengan tertib, suasana pun biasa saja. Sampai kemudian sang ayah tiri tiba di meja makan.

"Nasi goreng lagi?" tanya nya pada sang istri. Nada bicara pria itu seakan melenyapkan selera makan semua orang yang ada disitu.

"Ya mau gimana, mas. Uang yang mas kasih nggak cukup, bersyukur dulu aja masih bisa makan."

"Ya tapi nggak nasi goreng tiap hari juga. Sebenarnya uang kita cukup, kalau cuma untuk kita aja."

Ibu Lea menghentikan makan dan masuk kedalam kamar. Ia lalu membanting pintu, membuat sang suami naik pitam dan menyusulnya.

"Kenapa kamu banting pintu?"

Sebuah teriakan terdengar. Lea, Leo, dan adik kembar mereka hanya bisa menunduk dan berusaha menelan makanan. Kejadian yang sama hampir terjadi setiap hari.

"Mas tadi kenapa ngomong kayak gitu dihadapan Lea dan juga Leo."

"Citra, aku ngomong hal yang sebenarnya. Bahwasannya aku berat menghidupi kedua anakmu itu."

"Mas, sebelum nikah sama kamu aku kerja ya. Aku mampu menghidupi kedua anak aku. Kamu sendiri yang saat itu meyakinkan aku bahwa kamu mampu memberi nafkah. Kamu yang meminta aku supaya di rumah, dengan alasan sebaik-baik perempuan itu di rumah. Ini sekarang aku udah di rumah, kamu yang menggerutu lantaran cari uang sendirian."

Ayah dan ibu Lea terus bertengkar. Lea dan adik-adiknya akhirnya memilih tak menyelesaikan sarapan dan berjalan bersama menuju sekolah masing-masing.

"Gue udah nggak tahan tinggal sama mereka." ujar Leo pada Lea, ketika mereka belum terlalu jauh dari rumah.

"Sabar, tunggu sampai kita lulus sekolah. Minimal SMA, kita bisa kerja abis itu. Bisa ngekos dan tinggal sendiri." ujar Lea.

"Lo liat kan tadi, bapaknya mereka berdua ngomong gitu."

Lea memperhatikan si kembar yang berjalan agak jauh didepan sana. Kedua anak itu tak mendengar pembicaraan antara dirinya dan juga Leo.

"Dia tuh ngusir kita secara perlahan, tau nggak. Mending lo sama gue balik ke rumah nenek."

"Kalau dari rumah nenek, sekolah kita tuh jauh. Kita mesti ongkos lagi, Leo. Mau minta sama siapa coba?. Kita nggak mungkin kan minta sama nenek, nenek aja hidup dibiayai sama tante Cintya dan om Danu suaminya. Tau sendiri om Danu juga pelit. Sama anak-anaknya sendiri aja pelit, apalagi ke kita."

Leo hanya diam dan lanjut melangkah. Tak lama setelah itu, kedua adik kembar mereka pun tiba di depan sekolah.

"Dadah, Lea, Leo." ujar keduanya seraya tersenyum. Lea melambaikan tangan, sementara Leo hanya berkata dengan singkat.

"Ya." ujar Leo tak begitu ramah.

"Janganlah gitu, Leo. Ryan sama Ryana nggak salah apa-apa."

"Hmm." ujar Leo dengan nada tak senang.

Ryan dan Ryana memang tak ada salah apapun kepadanya, tapi ayah kedua anak itu menyebalkan. Setiap kali melihat adik tiri kembarnya itu, Leo selalu teringat akan ayah tirinya yang sekarang. Rasanya kebencian yang ia miliki menjadi dua kali lipat. Mereka terus berjalan, hingga Leo pun sampai di sekolahnya.

"Bye Lea."

Leo berujar dengan nada sedikit malas. Lalu ia pun masuk ke pekarangan sekolahnya.

"Bye." ujar Lea kemudian.

Gadis berusia hampir 17 tahun itu pun lanjut berjalan.

"Lea." Seseorang menghampirinya dengan sebuah motor besar yang keren.

"Rangga?"

Lea menatap teman seangkatannya itu. Seorang cowok tampan, yang menjadi idola sejak tahun pertama mereka masuk.

"Hai." ujar Rangga kemudian.

"Hai." jawab Lea sambil tersenyum.

Ia tak tau mimpi apa dirinya semalam, hingga pagi ini Rangga menghampirinya. Rangga adalah idola sekolah, cukup cool dan jarang bicara. Meskipun para siswi kecentilan padanya, Rangga tak pernah sekalipun menggubris mereka. Namun hari ini, entah ada angin apa tiba-tiba Rangga menyapanya.

"Bareng yuk." ujar Rangga pada Lea.

"Ba, bareng?" Lea terpekik tak percaya.

"Iya, ayo. Bentar lagi masuk loh." ujar Rangga. Lea masih diam dalam keraguan, ia takut jika Rangga tak serius mengajaknya.

"Ayo...!" ajak Rangga sekali lagi. Akhirnya Lea pun naik ke atas motor pemuda itu. Kini mereka melaju menuju ke sekolah.

***

IGF School

Seluruh siswa dan siswi yang tengah berdiri di sekitaran halaman dan lobi gedung sekolah tersebut, kini tercengang. Pasalnya belum pernah sekalipun Rangga pergi bersama gadis manapun disekolah itu.

Namun hari ini ia berangkat bersama Lea Michella, gadis dari kelas 2 IPS 3. Tentu saja hal tersebut membuat seisi sekolah seakan syok setengah mati. Apalagi Sharon dan teman-temannya, yang merupakan geng cewek paling populer di angkatan mereka saat ini.

"Anjrit tuh anak, bisa-bisanya dia pergi sama Rangga."

Maya Monica Fawzi, teman dari Sharon mencoba memanas-manasi sang ketua geng, yang diketahui selama ini menaruh hati pada Rangga.

"Bener, May. Kurang ajar itu anak. Sok kecakepan." timpal Tasya Faradila yang juga merupakan teman satu geng Sharon.

Sementara kini Sharon hatinya terbakar. Gadis cantik itu pun menatap Lea dan Rangga dengan penuh kemarahan.

"Makasih ya, Rangga." ujar Lea ketika Rangga menurunkannya di depan lobi pintu masuk.

"Sama-sama." ujar Rangga lalu berjalan ke arah parkiran. Kini Lea berjalan masuk, dengan banyak pasang mata yang tertuju ke arahnya.

"Heh, sini lo."

Tiba-tiba seseorang menjambak rambut Lea, ketika dirinya melintas di koridor dalam menuju tangga.

"Sharon?"

Lea meringis kesakitan dan mencoba melepaskan tangan Sharon. Sementara Sharon menyeretnya hingga ke bawah tangga.

"Kenapa lo bisa bareng sama Rangga?" tanya Sharon dengan nada ketus. Disisi Sharon ada Maya dan juga Tasya.

"Gue, gue."

"Braaak."

Sharon mendorong tubuh Lea dengan keras, hingga gadis itu terhentak ke dinding.

"Awww." Ia meringis kesakitan.

"Nggak usah sok kecakepan, lo. Rangga Dion Haryanto itu anak orang kaya, anak pejabat. Nah elo upik abu miskin, yang masuk ke sekolah ini karena beasiswa. Nggak usah mimpi, bisa dapetin Rangga."

Sharon makin mengencangkan tangannya di rambut Lea.

"Cuma gue, Amanina Sharon Wijaya yang sepadan buat jadi pacarnya Rangga. Bokap gue dan bokap dia sama-sama pejabat. Lo miskin, miskin aja. Nggak usah mimpi ketinggian. Gue kalau mimpi ketinggian, jatuhnya di kasur empuk seharga puluhan juga. Elo yang miskin kalau mimpi ketinggian, jatoh lo di ranjang reyot. Rusak ranjang lo, mau beli lagi nggak punya duit."

Sharon menghempaskan Lea sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Tinggallah kini Lea dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. Ia merapikan rambut dan bajunya, lalu perlahan keluar dari tempat itu seraya menunduk.

Ia berjalan gontai dan sempat berpapasan dengan seorang kakak kelas bernama Dian, yang tengah berdiri seraya memperhatikannya.

Lea menunduk saja ketika melewati Dian, lalu ia pun menaiki tangga menuju ke atas.

Kehidupan Sugar Daddy

Lampu tembak bersinar di seantero ruangan sebuah klub malam. Menyoroti banyak orang yang tengah berjingkrak di sebuah floor.

Malam itu musik mengalun cukup keras, dari seorang DJ profesional yang memang sudah akrab dengan pengunjung klub tersebut.

Disebuah sudut masih ditempat yang sama, Daniel Edsel Roberts tengah bersama dengan seorang gadis cantik bernama Karenina. Gadis itu belakangan tengah viral, di kalangan para pengusaha dan bos seperti dirinya. Berdasarkan desas-desus yang ada, Karenina di sebut-sebut sebagai penakluk hati banyak pria berduit. Dan malam ini Daniel ingin membuktikannya.

"Ikut aku ke atas." bisik Daniel di telinga Karenina.

Seakan telah terusik pertahanannya, Karenina pun melayangkan senyuman yang menggoda pada pria itu. Daniel lalu menarik Karenina, untuk menuju ke atas. Klub tersebut adalah milik sahabatnya, Ellio. Di atas ada banyak room yang tersedia untuk melakukan segala tindakan.

Daniel membawa Karenina ke salah satu ruangan yang telah ia pesan sebelumnya, dan kini ia siap memulai sebuah kesenangan. Pada saat semuanya mulai memanas, tiba-tiba Daniel berhenti.

Seketika keinginannya menjadi hilang, mendadak turun drastis begitu saja. Sebab kini ada orang lain yang terlintas dibenaknya. Daniel menghentikan aktivitas tersebut secara sepihak. Ia lalu merapikan baju serta memakai kembali jas yang tadi sempat ia lepaskan.

"Dan, why?" tanya Karenina heran. Ia merasa tak berbuat salah apa-apa, pada CEO tampan itu.

"Sorry, I can't." ujar Daniel kemudian.

"Why, did I do something wrong?" tanya Karenina lagi.

"No, sorry."

Daniel langsung pergi meninggalkan tempat itu, tanpa memberi penjelasan apapun pada Karenina.

***

Esok harinya.

"Mau sampai kapan lagi, Dan?"

Richard William sang sahabat bertanya pada Daniel Edsel Roberts, yang kini tengah duduk di meja kerjanya sambil meminum segelas wine.

Di kursi lain ada Ellio Rodriguez, teman mereka yang satunya lagi. Pemilik klub malam yang semalam didatangi oleh Daniel. Mereka bertiga merupakan pengusaha sukses yang memiliki darah blasteran.

Usia mereka sudah di atas 30 tahun. Daniel berusia 35 tahun, sedang Richard dan Ellio telah menginjak angka ke 36. Namun diantara ketiganya, belum ada yang berumah tangga. Mereka masih betah bermain-main, karena sejatinya mereka dikelilingi wanita-wanita cantik bak model.

Dengan tampilan wajah serta tubuh yang rata-rata nyaris sempurna. Agaknya sangat disayangkan, jika mereka harus berlabuh pada satu wanita saja. Kemudian terikat pada pernikahan yang membosankan didalamnya.

"Gue nggak tau." ujar Daniel pada Richard.

"Why?"

"Pasti alasan klasik lo itu, kan?" tanya Ellio seakan telah mengetahui isi kepala Daniel.

"Grace?" tanya Richard padanya.

Daniel tak menjawab, ia hanya mereguk wine yang ada di gelas hingga habis.

"Jadi semalam, Karenina nggak lo unboxing?" tanya Richard pada Daniel. Daniel menggeleng lalu menghisap vape yang baru saja ia ambil dari dalam laci.

"Oh, come on Dan. Karenina itu reputasinya bagus dikalangan para bos. Dia sangat-sangat professional." ujar Richard lagi.

"Goyangan Karen, beh mantap." Ellio menimpali.

"Emang lo udah pernah nyoba?" tanya Daniel.

"Udah dong, sampe capek banget gue."

Daniel dan Richard tertawa.

"Gue nggak bisa." ujar Daniel.

"Mau sama cewek mana pun, gue suka awalnya doang. Pas udah berdua, gue inget Grace lagi." lanjutnya kemudian.

"Dan, Grace itu udah sama bapak lo. Udah jadi nyokap tiri lo."

Richard mencoba menyadarkan temannya itu. Namun Daniel kini menuang kembali wine ke dalam gelas, lalu kembali mereguknya.

"Hhhhh."

Ia menghela nafas panjang sebelum mereguk habis wine tersebut. Bayangan Grace kini kembali melintas di benaknya.

Grace, Wanita yang ia temui 4 tahun lalu di sebuah party yang diadakan salah satu rekannya sesama bos. Saat itu Daniel tengah duduk di depan sebuah bartender, dan minum sambil menunggu kedatangan Richard serta Ellio.

Grace lalu menyapanya, awalnya Daniel cuek saja. Namun ketika menoleh, ia melihat sesosok wanita yang nyaris sempurna tengah tersenyum kepadanya.

Grace memiliki kecantikan setara model Victoria's secret. Dengan tinggi 179cm, tubuh langsing, namun memiliki bagian-bagian yang padat berisi. Hingga ketika ia mengenakan dress bodycon, Daniel seperti melihat Dewi yang turun ke bumi.

Grace juga memiliki rambut panjang berwarna hitam, kulit tidak terlalu putih. Bibir penuh serta senyuman yang menawan. Membuat Daniel jatuh hati sejak pandangan pertama. Singkat cerita malam itu mereka berakhir di sebuah kamar.

Grace pun ternyata sangat piawai dalam memberi kesenangan pada Daniel. Sejak saat itu juga, mereka memulai sebuah hubungan. Namun satu tahun belakangan, hubungan mereka merenggang. Lantaran Grace mengungkapkan keinginannya untuk menikah dan memiliki anak.

"Usia aku sudah hampir 40 tahun, sudah saatnya kita serius memikirkan hubungan ini." ujar Grace pada Daniel saat itu. Namun agaknya Daniel memang belum siap dengan perubahan status.

Sepanjang hidup, ia tidak pernah mempercayai pernikahan. Saat berusia 14 tahun, ibunya pergi dengan laki-laki lain. Karena sang ayah, yang masih doyan bermain bersama banyak perempuan. Ia ragu menerima keinginan Grace, hingga akhirnya hubungan mereka gantung begitu saja.

Lalu, terdengar kabar jika Grace akan menikah dengan seorang pengusaha kaya-raya, berusia 65 tahun. Daniel mulai terpukul, bahkan yang lebih membuatnya sakit adalah. Ternyata pengusaha kaya-raya yang dimaksud tak lain adalah Edmund Roberts, ayah kandungnya sendiri.

Entah dari mana mereka berkenalan, yang jelas Edmund dan Grace tidaklah salah. Edmund tidak mengetahui jika Grace adalah mantan kekasih anaknya dan Grace pun belum pernah dikenalkan pada orang tua Daniel sebelumnya.

Jadilah mereka menikah, dan Daniel terpuruk hingga hari ini. Meski ia selalu menutupi dengan mengadakan party, pergi ke tempat-tempat liburan yang eksotis bersama para perempuan cantik..

Namun itu semua tak cukup mengobati luka hati Daniel, ia masih sangat mencintai Grace. Bayangan wanita itu saat bersamanya, selalu terbayang dalam benak Daniel hingga detik ini.

"Kayaknya lo harus cari sugar baby, bro. Biar hati lo tenang." Ellio mengeluarkan ide yang terasa asing ditelinga Daniel.

"Sugar baby?" tanya Daniel seraya mengerutkan kening.

"Ya, kayak Richard." ujar Ellio seraya menoleh pada Richard. Richard pun tertawa lalu menghisap vape miliknya.

"Emang lo punya sugar baby?" tanya Daniel pada Richard. Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Siapa?. Bukannya lo masih sering party dan happy-happy sama banyak cewek." ujar Daniel lagi.

"Iya, tapi gue punya satu yang gue keep. Tempat dimana gue balik, kalau gue lagi penat sama semua yang ada diluar."

"Siapa?. Bianca, Dina atau Chloe?"

Richard menggeleng.

"Bukan, ada lagi yang lain. Lo nggak tau, Ellio yang udah pernah ketemu."

Daniel melirik ke arah Ellio dan Ellio pun membenarkan ucapan Richard.

"Cantik, masih muda. Baru 18 tahunan."

"Hah, what the..." ujar Daniel tak percaya.

"Wah parah lo." ujar Daniel lagi.

Richard dan Ellio tertawa.

"Gue seneng saat lagi bersama perempuan-perempuan yang ada disekitar circle kita. Tapi lo tau sendiri kan, perempuan-perempuan itu berlabuh ke siapa aja secara bergantian. Sedangkan sugar baby yang gue dapatkan dan gue keep, dia cuma ada buat gue."

"Dari mana lo tau, kalau dia cuma ada buat lo."

"Gue selalu pantau dia dimana pun, dan gue memberikan dia tempat tinggal yang nggak jauh dari jangkauan gue."

"Dia masih semuda itu?" tanya Daniel lagi seakan masih belum percaya.

"Yes, anak umur segitu masih nurut dan bisa di dominasi." ujar Richard.

"Wah, sakit jiwa lo." ujar Daniel seraya tertawa, ia lalu menghisap kembali vape miliknya.

"Justru lo lebih tenang, dan meminimalisir rasa kecewa. Kalau kayak cewek-cewek disekitar kita, mereka adalah tipikal cewek bebas yang kita sendiri nggak tau, hari ini mereka berlabuh di pelukan siapa."

"Dan resiko penyakit juga, bro." ujar Ellio kemudian.

"Udah sadar lo?" tanya Daniel seraya tersenyum kecil.

"Iya, makanya gue sekarang udah mulai pengen nyari yang satu aja buat gue." ujar Ellio lagi.

"Ya lo minta cariin lah sama Richard. Dimana bro, lo dapetin tuh bocil?"

Richard tertawa.

"Ada agency nya. Kalau lo mau."

"Agency?" Daniel tak percaya.

"Gila ya, ada agency nya loh." selorohnya lagi seraya tertawa.

"Jangan salah, di agency itu rata-rata sugar baby nya berattitude baik, berpengetahuan luas, tau table manner, tau cara bersikap, berdiri, berbicara."

"Oh ya?"

"Kayak sekolah kepribadian, bro." timpal Ellio.

"Serius lo?"

"Serius, dan ok punya."

"Really?"

"Ya, ntar kapan-kapan kita kesana." ujar Richard.

Daniel hanya tertawa karena merasa hal ini begitu konyol.

Lagi-lagi Sharon

"Lea."

Rangga mendekat pada Lea yang habis mengikuti pelajaran olahraga. Gadis itu tengah berjalan ke arah ruang ganti. Ia dan Rangga memang tak sekelas, Rangga sekelas dengan Sharon. Namun entah mengapa akhir-akhir ini Rangga jadi sering menyapa dan mendekatinya. Padahal sebelum itu, bahkan bertegur sapa pun tidak.

"Lo kenapa sih, akhir-akhir ini ngikutin gue mulu." tanya Lea seakan ingin menuntaskan rasa penasarannya.

"Emang nggak boleh ya?" tanya Rangga.

"Boleh aja, tapi gue heran. Lo yang sependiam itu selama ini, tiap ketemu diem. Koq tiba-tiba lo mau ngomong sama gue. Kayak kesambet setan, tau nggak lo?"

Rangga tersenyum, bahkan nyaris tertawa.

"Lo tau nggak, dompet yang lo kembalikan ke sebuah rumah tempo hari. Itu dompet bokap gue, dan gue ngeliat lo dari kaca."

"I, itu rumah lo?" tanya Lea tak percaya. Ia bahkan baru saja teringat kembali, jika ia mengembalikan sebuah dompet yang terjatuh minggu lalu.

"Iya, gue nggak nyangka aja. Di jaman kayak gini, masih ada orang jujur kayak lo. Padahal kata bokap, isi dompetnya ada cash sekitar 8juta."

Lea masih tak percaya menatap Rangga. Ia benar-benar tak tahu, jika Rangga tinggal dirumah semewah itu.

"Ya, itu karena bukan hak gue. Gue takut si pemiliknya lagi butuh banget duit itu, jadi gue balikin." .

Lagi-lagi Rangga tersenyum.

"Jadi cuma karena itu, akhirnya lo mau ngomong sama gue?" tanya Lea.

"Sebenernya dari kelas 1, waktu kita sekelas. Gue udah merhatiin lo. Kayaknya lo pendiem banget, dibanding cewek lain dikelas."

"Gue pendiem itu karena nggak punya temen. Lo tau kan kalau gue bukan anak orang kaya. Mana mau cewek-cewek di sekolah kita, nemenin gue. Jangankan nemenin, ngomong pun seperlunya aja. Kayak berasa dianggap nggak ada gue. Sekarang aja mendingan, di kelas udah banyak yang mau ngomong sama gue. Secara kelas gue juga buangan. Anak-anak nilai standar bahkan nilai rendah dikelas mereka sebelumnya, dilempar ke jelas gue yang sekarang."

"Pokoknya mulai hari ini, gue akan selalu ngomong sama lo." ujar Rangga. 

Lea menghela nafas lalu tersenyum, mereka telah tiba di muka ruang ganti siswa perempuan.

"Gue mau ganti baju dulu." ujar Lea.

"Ya udah, gue balik ke kelas ya." ujar Rangga kemudian.

Lea mengangguk, gadis itu lalu masuk ke ruang ganti. Saat jam istirahat tiba, Lea pergi ke kantin sendirian. Karena memang ia tak memiliki satu teman akrab pun disekolah ini. Teman sebangkunya, Vina selalu makan bersama pacarnya yang seroang kakak kelas.

Sedang teman sekelasnya yang lain rata-rata adalah anak orang berada. Mereka memiliki kantin khusus di sekolah ini. Mereka makan di sana bersama para anak orang kaya lainnya, yang makanannya terjamin serta higienis dan juga mahal.

"Hai, Lea." Tiba-tiba Rangga muncul dengan membawa semangkuk mie ayam.

"Rangga, lo ngapain disini?" tanya Lea heran. Rangga meletakkan makanannya di meja dan duduk di dekat Lea.

"Emangnya gue nggak boleh duduk disini?" tanya Rangga kemudian.

"Ya, boleh. Tapi kan lo biasanya di kantin khusus sama yang lain.

"Bosen gue di sana, pengen makan micin." ujar Rangga.

Lea pun tertawa.

"Emang di sana, masakannya nggak pake micin?" tanya Lea.

"Nggak, mostly masakan Eropa. Penyedapnya paling keju sama cream. Enak sih, tapi lama-lama ya bosen juga. Udalah gue dirumah makan itu mulu, disekolah ketemu lagi."

"Emang dirumah lo masaknya Eropa juga?"

"Ya gitu deh, nyokap-bokap gue kan kebarat-baratan. Kadang saking bosennya, gue makan sama pembantu di dapur. Biasanya mereka bikin sayur asem tuh, sama sambel, ikan goreng. Makan deh gue."

"Kalau ketahuan nyokap lo, dimarahin nggak?"

"Dimarahin lah pasti, nyokap gue udah bela-bela in sewa chef buat masakin gue. Gue malah makan di dapur."

"Gue malah belum pernah makan masakan Eropa. Kecuali pizza sama spaghetti instan yang tujuh ribuan." seloroh Lea, membuat Rangga tersedak karena menahan tawa.

"Ntar deh, kapan-kapan gue ajak ke rumah gue ya."

"Emang boleh?"

"Boleh dong, masa iya nggak boleh ngajak temen." ujar Rangga lagi.

Lea tersenyum dan mereka pun lanjut makan.

***

"Plaaak..."

Sebuah tamparan mendarat di wajah Lea, membuat sudut bibirnya kini mengeluarkan darah.

"Lo udah gue peringatkan, jangan dekat-dekat lagi sama Rangga. Kenapa masih aja?"

Sharon berkata dengan nada penuh kebencian pada Lea. Sedangkan Maya dan Tasya kini memegangi tangan gadis itu.

"Lo itu diem-diem. Kalem, kalem tapi tambeng. Nggak tau diri, dasar."

Sharon menoyor kepala Lea dengan kasar.

"Sekali lagi gue liat lo kecentilan sama Rangga, gue ancurin hidup lo."

"Braaak."

Sharon mendorong Lea hingga jatuh terjerembab, tak lama ia pun keluar dari dalam toilet. Saat itu suasana sekolah telah sepi, karena sudah jam pulang. Usai mencuci wajah dan menyeka sisa darah di bibirnya dengan tissue toilet, Lea berjalan keluar dan dalam gedung sekolah.

"Tiiin."

Sebuah klakson terdengar, Lea yang terkejut pun menoleh. Ternyata Dian, kakak kelas yang tempo hari melihatnya dirundung oleh Sharon, Maya dan juga Tasya.

"Masuk...!" ujar Dian kemudian.

"Sa, saya kak?" tanya Lea tak percaya.

"Iya, ayo masuk." ujar Dian kemudian.

Lea bingung, karena sebelumnya ia tak begitu mengenal Dian dengan baik. Ia hanya tau jika Dian adalah cewek terpopuler di angkatannya. Bahkan Sharon dan teman-temannya pun tak berani mengusik Dian. Karena Dian cantik, berprestasi, dan tentu saja kaya-raya.

"Ayo, tunggu apa lagi." ujar Dian.

Lea pun akhirnya masuk ke dalam mobil gadis itu, lalu mereka meninggalkan pelataran sekolah.

"Lo kenapa bisa dipukuli sama Sharon dan teman-temannya itu."

Dian bertanya seraya mengobati luka disudut bibir Lea. Kini mereka telah tiba di apartemen mewah milik Dian.

Beberapa saat yang lalu, ketika masuk. Lea sempat tertegun dan takjub dengan tempat tinggal kakak kelasnya tersebut. Sampai detik ini pun ia masih terkagum-kagum.

"Sharon marah karena gue deket sama Rangga, kak." ujar Lea.

"Rangga, yang anak basket itu?" tanya Dian.

"Iya kak."

"Ya elah sampe segitunya mukulin anak orang, demi itu cowok." ujar Dian lagi.

"Nggak tau deh, kak. Padahal gue sama Rangga nggak ada hubungan apa-apa loh, sekedar temenan aja."

"Si Sharon itu sok kecakepan, sok hebat. Mentang-mentang bapaknya pejabat."

Dian menyelesaikan pengobatannya..

"Lo mau minum apa?" tanya Dian.

"Mmm, apa aja deh kak." jawab Lea kemudian.

Dian pun bergegas menuju kulkas dan  mengambil sebotol jus jeruk siap minum dan memberikannya pada Lea.

"Makasih, kak." ujar Lea seraya membuka tutup kaleng dan meminumnya.

"Yup." jawab Dian lalu duduk di depan Lea.

"By the way, koq kakak mau nolongin gue. Kan kakak nggak terlalu kenal sama gue."

Dian tertawa, ia mengambil rokok di atas meja lalu menyalakannya. Lea sendiri tak menyangka jika Dian merokok.

"Emangnya harus kenal dulu, baru boleh nolong orang lain?" ujarnya setengah tertawa.

"Ya, nggak gitu sih kak. Cuma aneh aja. Selama ini disekolah, nggak ada yang peduli sama gue."

Dian menghela nafas, lalu menghisap rokoknya sekali lagi.

"Dulu gue juga dibully, semasa gue SMP."

Dian mengeluarkan pernyataan yang membuat Lea tercengang.

"Secantik kakak, dibully juga?" tanya Lea tak percaya.

Dian mengeluarkan sebuah album dan memperlihatkan foto dirinya dimasa lalu.

"I, ini?"

"Itu gue." ujar Dian kemudian.

Lea tercengang tak percaya, ia menatap foto itu lalu menatap Dian.

"Gue dulu dekil, hidung gue pesek. Apa yang lo liat sekarang, itu hasil filler dan juga infus whitening."

"Ta, tapi nggak keliatan kak. Kayak alami."

Dian tertawa.

"Dulu selain jelek, gue juga miskin." ujar Dian membuat Lea kian tercengang.

"Apartemen ini?" tanya Lea kemudian

"Ini dikasih sama daddy gue."

"Daddy?. Maksudnya ayah kak Dian?"

Kali ini Dian tersedak karena menahan tawa.

"Lo ini beneran polos ya, Lea. Pantes aja lo di bully, sama kayak gue dulu."

"Maksud kakak, apa?" tanya Lea masih tak mengerti.

"Daddy yang gue maksud tadi, adalah om-om yang nge keep gue."

"Keep, simpan?" tanya Lea lagi.

"Iya, gue ini simpanan seorang CEO kaya-raya."

"Maksudnya kak Dian, pelakor?" tanya Lea dengan nada takut-takut. Ia takut Dian tersinggung dengan ucapannya.

"Bukan, om nya disini itu single. Alias belum menikah, tapi usianya di atas 30 bahkan ada yang hampir 40 tahunan atau lebih."

"Emang ada, orang yang belum menikah di usia segitu?"

"Banyak, karena mereka itu nggak mau terikat pernikahan."

"Jadi mereka pacarin kak Dian, gitu?"

"Lebih dari itu, gue dapat kekayaan. Tiap bulan gue dikasih duit. Duit jajan gue aja bisa tiga puluh juta sebulan, belum duit belanja keperluan dan lain-lain."

"Ti, tiga puluh juta?"

Lea bahkan belum pernah melihat uang sebanyak itu didepan matanya. Paling bisa melihat saat ada tersangka korupsi yang tertangkap. Ketika barang bukti dipamerkan di televisi. Selebihnya, bahkan melihat uang 10 juta rupiah saja ia belum pernah.

"Tapi, orang tua kak Dian tau?"

"Mereka dikampung. Dulu saking bosennya gue dibully mulu disekolah yang lama, gue minta nyokap untuk ikut tante disini. Gue pikir hidup gue akan lebih baik, tapi suami tante gue malah melecehkan gue."

Dian menghembuskan asap rokok.

"Kakak dilecehkan?"

"Lebih dari itu." jawab Dian kemudian.

Ada bulir bening yang merebak di pelupuk matanya, saat menceritakan hal tersebut. Lea sendiri mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi, meski Dian tak mengatakannya secara gamblang.

"Tante gue, malah nyalahin gue. Dibilang karena pakaian gue terlalu terbuka. Padahal dirumah, gue selalu pakai celana panjang dan baju panjang. Gue ngadu, tapi malah gue yang di usir. Gue pengen pulang ke kampung, tapi tante gue keburu ngadu yang nggak-nggak sama orang tua gue. Dibilang gue godain suaminya dia."

"Akhirnya kak Dian?"

"Akhirnya gue ketemu mami Bianca, pemilik agency SB Model School. Tempat berkedok agency model dan sekolah kepribadian, padahal ajang perekrutan para sugar baby."

"Emang ada agency kayak gitu, kak?"

"Ada, mereka mencari orang-orang yang mau menjadi sugar baby."

"Piaraan kayak kak Dian."

"Ya, kalau lo mau. Kalau bosen miskin, gue bisa bantu lo." ujar Dian kemudian.

"Hidup lo bakalan terjamin, Sharon nggak bakal berani lagi ngebully elo. Lo bisa punya biaya buat kuliah dan memperbaiki hidup lo." lanjut Dian lagi.

Lea terdiam menatap Dian, ia tak menyangka jika obrolan mereka akan sampai ke titik ini.

"Tapi itu kalau lo mau sih, kalau nggak mau juga gue nggak maksa."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!