Prolog
Aku Xiao Di (萧迪XiāoDí), nama kecilku Didi (迪迪Dídí). Aku lahir di Beijing dan besar di Shanghai. Sejak kecil aku sudah tinggal di asrama, berpisah dengan orang tua dan juga kakak laki-lakiku Xiao Han (萧寒XiāoHán). Mungkin banyak orang bertanya-tanya mengapa aku berpisah dengan mereka, bukannya sangat bahagia dapat besar di dalam keluarga yang penuh cinta dan mempunyai seorang kakak yang begitu menyayangiku? Aku tentu tahu itu, namun karena penyakitku.., aku tidak ingin mereka selalu mengkhawatirkanku, jadi aku memilih berpisah dengan mereka, dengan begitu aku dapat menyembunyikan penyakit ini. Sebenarnya ayah dan ibu sering membawaku pergi ke dokter, dari Asia hingga Eropa. Obat yang sudah kutelan mungkin tidak ada orang yang dapat menandingi. Dari manis hingga pahit, walaupun sudah mencoba berbagai cara dan menjalani berbagai macam perawatan, hasilnya tetap nihil, tidak ada satu pun orang yang tahu aku telah mengidap penyakit apa, mereka selalu mengatakan jika aku sehat-sehat saja, lalu.. jika begitu kenapa aku sering jatuh pingsan? Jika bukan penyakit, lalu mengapa aku bisa seperti ini?
***
"Aku..di mana..?" Begitulah pertanyaan pertamaku ketika membuka mataku, seluruh penglihatanku remang-remang, aku bahkan tidak dapat melihat jelas benda di depan hadapanku.
"Didi." panggilan itu tidak asing, apakah itu kakak? Bayangan di depan hadapanku akhirnya terlihat jelas, itu.. orang di depan hadapanku, dia adalah Xiao Han, kakakku. Orang yang memiliki 7 ikatan kelahiran denganku, namun takdir tidak pernah memersatukan kami, tidak.. mungkin ini salahku, aku yang mencelakainya.
"Kakak," panggilku berusaha mengulurkan tanganku, namun tidak bisa, tanganku begitu lemah.
"Didi, akhirnya kamu sudah sadar." Sebuah pelukkan hangat dari kakak membuatku kembali teringat dengan 7 reinkarnasi.
***
BAB 1 (Part 1)
"Aku di mana..?" Aku sangat terkejut ketika melihat sekeliling ruangan, ini di mana? Kenapa terbuat dari kayu.. kenapa begitu panas.. aku.. apakah aku sudah meninggal?
"Anakku.., akhirnya kamu sudah sadar." Seorang perempuan tua di sana, dia menghampiriku dan membuatku syok, sejak kapan aku menjadi anak sang perempuan tersebut?
"Anakku, apakah kamu baik-baik saja?" Di dalam remang-remang, seorang laki-laki tua berjalan ke arahku, pertanyaannya lebih mengejutkanku, memangnya aku kenapa? Aku tentu baik-baik saja, namun di mana aku berada? Mengapa mereka memanggilku dengan sebutan anak? Aku berusaha untuk terbangun dan melihat seisi ruangan kayu nan panas ini, tidak ada yang spesial selain kasur kayu yang kutiduri, ruang kecil ini hanya terdapat sebuah rak kecil dan juga jendela yang sedikit rusak, aku kembali melihat kedua orang tua yang sudah beruban tersebut, wajah mereka terlihat tidak seperti orang jahat, namun kenapa mereka terus-terusan memanggilku dengan sebutan anak? Apakah aku telah bertemu dua orang gila? Ketika menyadari pakaian yang mereka pakai, aku hampir tidak dapat berkata apa-apa, baju mereka seperti rakyat jelata di dalam film-film dinasti kuno China. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat tanganku, melihat apa yang diriku pakai, astaga.. bagaimana bisa? Baju kuno berwarna biru muda, walaupun terlihat seperti baru, namun kenapa aku bisa memakai baju seperti ini? Pantas aku merasa gerah, aku berusaha berjalan turun dari atas kasur kayu beralas kain tipis tersebut.
"Pelan-pelan." Begitulah kata perempuan tua yang menopangiku, dia tersenyum padaku, aku dapat merasakan dia bukan orang jahat. Ketika menginjak lantai berlapis kayu itu, kakiku langsung melemah, ada apa ini? Apakah mereka sudah membiusku? Kenapa aku merasa lesu? Aku berusaha untuk mengingat apa yang telah terjadi padaku. Ah ya! Aku bukannya sedang melakukan penelitian di kampus? Lalu..? Perasaan takut mengintaiiku, aku segera melepaskan tangan perempuan itu dan ingin berlari pergi, namun kakiku.. kenapa begitu lemas? Langkah demi langkah aku lewati, jarak di antara aku dan pintu ruangan tersebut hanya tersisa beberapa langkah. Tubuhku semakin lesu hingga akhirnya aku terjatuh di depan pintu.
"Anakku.. Anakku.. Kamu tidak apa-apa? Beristirahatlah," ucap sang perempuan berusaha menopangku kembali, tentu aku tidak ingin tinggal di tempat asing seperti ini, aku melanjutkan langkahku hingga melihat seorang laki-laki yang berbaring di atas kasur kayu di dekat luar pintu.
"Kakak," panggilku terkejut ketika melihat kakak berbaring tidak sadarkan diri di atas kayu beralas kain tipis tersebut, bajunya begitu kotor, lalu mengapa rambutnya begitu panjang? Apakah aku sedang bermimpi? Aku pelan-pelan berjalan ke arahnya dan melihatnya dengan lekat. Iya tidak salah, dia kakakku, XiaoHan. Kelopak matanya, hidung mancungnya, bibir kecilnya, telinganya, bahkan dagunya saja tidak berubah, dia kakakku, namun kenapa dia berada di sini juga? Ini sebenarnya di mana? Aku harus berbuat apa? Oh Tuhan? Dapatkah Anda menolong kami?
"Ini anak muda yang kemarin kamu tolong, dia terkena panah di lengannya, kamu kemarin demam tinggi, anakku, apakah kamu sudah merasa baikan?" Tanya sang perempuan segera menghampiriku. Panah? Demam? Pikiranku semakin kacau. Apakah kami sedang bermain film? Kakak cepatlah bangun, ayo kita pergi dari sini, kakak.. begitulah aku menguncangkan tubuh kakakku 'Xiao Han', aku tidak dapat berbicara dengannya selain bergumam sendiri. Kakak aku mohon cepatlah bangun. Waktu terus berlalu, bagaimanapun aku menguncangkan tubuh kakak, dia tetap tidak sadar. "Dia tidak apa-apa?" tanyaku kepada kedua orang itu tanpa melepaskan pandanganku dari kakak.
"Tidak apa-apa, ayahmu sudah mengobatinya." Begitulah jawab sang perempuan, aku merasa sedikit lega ketika mendengarnya.
"Kenapa kami berada di sini?" pertanyaan yang aku lontarkan membuat kedua orang tua itu bingung, laki-laki itu langsung berjalan ke arahku, kumis putihnya, rambut putihnya, bajunya yang sudah kusam, sepertinya umurnya sudah 60-an. Dia menarik tanganku dan mulai mencari urat nadiku.
"Anakku, kamu sudah membaik, Apa kamu sudah tidak ingat kejadian kemarin?" pertanyaan itu lagi-lagi mengundang kebingunganku? Aku tentu ingat! Aku berada di Shanghai, di kampusku, aku sedang melakukan penelitian.. dan kenapa aku berada di sini sekarang? Kakak kenapa berada di sini juga?
"JiangNv (Bacanya: Jiang Nui), anakku, kamu kenapa?" Perempuan itu terlihat panik. Nama aku? 'JiangNv?' Apa aku tidak salah dengar?"JiangNv? " Meng JiangNv (孟姜女Mèng JiāngNǚ) ? Tokoh perempuan di dalam kisah tembok China? "Meng JiangNv?" tanyaku pada mereka, ketika mendapatkan anggukan dari kedua orang tua tersebut, aku sangat syok, aku langsung menoleh ke arah kakak, apakah kakak adalah Fan XiLiang (范喜良Fàn XǐLiáng)? Ini lelucon macam apa? Tidak! Dia kakakku, mana mungkin aku kembali ke dinasti Qin, aku pasti sedang bermimpi. Aku harus segera keluar dari sini, aku mulai mengumpulkan seluruh tenagaku untuk berlari keluar, namun langkahku terhenti ketika melihat pemandangan di depan hadapanku, aku membesarkan mata melihat alam yang hijau ini, penuh dengan pepohonan , ini seperti hutan, kicauan burung-burung begitu merdu, suara air terjun terdengar tidak jauh dari sini. Oh! Tuhan.. sebenarnya apa yang sedang terjadi?
"JiangNv anakku," panggil kedua orang tua itu segera mengejarku keluar. "Kamu harus banyak istirahat, anakku," ucap sang perempuan menarikku masuk ke dalam. "Di luar sangat dingin. Ayo masuk, jangan sampai kedinginan."
Di tengah hutan seperti ini, aku tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti mereka masuk. "Ayo pergi istirahat anakku, ibu akan membuatkan makan malam kesukaanmu." Langkahku terhenti di dekat kakak, aku tidak ingin kembali ke ruang asing dan menakutkan itu sendirian, aku ingin di samping kakak, dengan begitu aku akan merasa lebih tenang. "Aku ingin di sini sebentar," gumamku langsung duduk di dekat kakak.
"Baiklah, kamu di sini dulu, ibu akan menyiapkan makanan untukmu," ucap sang perempuan berjalan ke dapur bersama laki-laki itu.
Di ruang yang dapat dikatakan ruang tamu, kini hanya tersisa aku dan juga kakak, aku pelan-pelan menyampingkan rambut kakak dan melihatnya dengan lekat. Bagaimanapun aku melihat, kakak tetaplah kakak. Balutan di lengan kirinya, apakah kakak benar-benar terkena panah? Kenapa bisa? Apakah dia benar-benar Fan XiLiang? "Kakak," panggilku lagi, kita sudah lama tidak bertemu, namun kenapa harus di dalam keadaan seperti ini, kakak? "Bangunlah, kak." Tidak lama setelah aku berusaha mengucangkan tubuh kakak, akhirnya dia membuka matanya. "Kakak," panggilku merasa senang, perasaan takutku menghilang seketika.
"Di mana ini?" tanyanya padaku, dia melepaskan tangannya dari gengamanku. "Kenapa aku berada di sini?" tanyanya berusaha untuk bangun, mungkin perasaan dia sama seperti aku di waktu bangun tadi.
"Kakak," panggilku kembali ingin mengapai tangannya, namun dia menghindar, apakah dia lupa denganku? Apakah dia kakakku? Perasaan takutku kini mulai muncul.
"A.." kakak merintah kesakitan, memegang lengan yang dibaluti kain putih tersebut, sepertinya lukanya masih sakit.
"Kakak, kamu terkena panah.. jangan banyak bergerak."
"Panah?" Awalnya kakak sedikit terkejut, tetapi dia terlihat normal kembali, dia mungkin tahu penyebab dirinya bisa terkena panah. "Kamu yang menolongku?" tanyanya.
"Tidak," gelengku pelan, kakak benar-benar tidak mengenaliku, dia tidak seperti biasanya ketika bertemu denganku, dia akan memelukku, namun tidak untuk kali ini.
"Oh..," angguknya kecil, tatapan terlihat begitu asing, dia tidak seperti kakak yang aku kenal. "Bagaimanapun, terima kasih sudah menolongku, aku harus pergi."
"Kenapa?" tanyaku panik melihat kakak tergesa-gesa turun dari kasur.
" Aku harus pergi dari sini sebelum para.., tidak apa-apa.. aku harus pergi dari sini."
Apakah alasan dia mau pergi karena takut ditangkap para prajurit? Apakah dia benar-benar Fan XiLiang? Aku yang masih mempunyai banyak pertanyaan langsung menarik tangannya. "Ini sudah malam, di luar sangat gelap, tinggalah di sini dulu," ucapku mencegatnya. "Tenanglah, di sini sangat aman," lanjutku untuk meyakinkannya.
Dia kembali melepaskan tanganku. "Maaf merepotkan."
Aku mengeleng kecil sambil tersenyum membalasnya. "Siapa namamu?"
Kakak melihatku dengan lekat, sepertinya dia meragukanku hingga akhirnya dia membuka mulut dan memberi tahu namanya "Fan XiLiang." Sebuah nama yang sudah kuduga namun tetap membuatku syok. Apakah aku benar-benar kembali ke dinasti Qin di mana kisah cinta menyedihkan Meng JiangNv dan Fan XiLiang terjadi? Jika cerita tersebut merupakan kenyataan berarti mereka akan menikah, dan berarti Fan XiLiang akan mati di tembok China. Tidak! Dia kakakku, kami kakak-adik, tidak mungkin timbul perasaan cinta, dan kakak tidak akan mati.. aku harus segera terbangun dari mimpi buruk ini, harus! Aku segera mencubit diriku sendiri sekencang-kencangnya, mataku terpenjam seerat-eratnya, namun di waktu aku membuka mata, keadaan tetap tidak berubah, aku tetap berada di sini.. di tempat yang kumuh dan hanya tersisa remang-remang lilin.
"Anakku.. makan malam sudah siap," ucap sang perempuan membawa dua piring lauk-pauk keluar, juga seorang laki-laki tua yang ikut mengambil mangkuk keluar. "Anak muda, kamu sudah sadar? Apakah sudah merasa baikan?" tanya sang laki-laki tua berjalan ke dekat kakak.
Dia menarik tangan kakak dan mengecek nadi kakak, sepertinya laki-laki tua itu mengerti tentang ilmu tabib.
"Kamu sudah sehat. Mari makan bersama-sama," ucap sang laki-laki membawa kakak datang ke meja makan yang terbuat dari kayu tua dan sedikit goyang tersebut.
"Kalian siapa?"
"Kami.. orang tua Meng JiangNv, kemarin kamu terkena panah dan tidak sadarkan diri di depan halaman rumahku, JiangNv, anakku yang menolongmu," ucap sang perempuan sambil menatapku, tatapannya begitu lembut, kakak ikut menatapku, dia pasti terheran-heran kenapa tadi aku bilang tidak menolongnya dan kini kedua orang tua itu bilang aku telah menolongnya, namun bagaimana aku harus menjelaskan? Aku saja tidak tahu kenapa aku muncul di sini? Apakah aku sudah mati dan rohku masuk ke dalam tubuh Meng JiangNv? Tetapi ini sungguh tidak masuk akal, cerita Meng Jiangnv hanyalah sebuah legenda, kalaupun terjadi juga sudah berabad-abad yang lalu, bagaimana aku bisa di sini? Apakah aku harus menjadi Meng JiangNv hingga menemukan cara untuk keluar dari sini?
"Tidak, ayahku yang telah menolongmu, dia yang telah mengobatimu," ucapku segera tersenyum menjawab pertanyaan dari tatapan kakak. "Sudah, mari makan, aku sangat lapar." lanjutku mengalihkan pembicaraan. Aku bergegas berjalan ke arah meja makan dan mengambil semangkuk nasi. Lauk-pauk di atas meja terlihat begitu sederhana, hanya sayur-sayuran, tidak ada daging.
Aku kembali menatap kedua orang tua itu dan juga kakak, mereka kini duduk di sekelilingku. Semangkuk nasi dan sepasang sumpit telah berada di tangan masing-masing.
"Selamat makan," ucapku segera melahap nasi di mangkukku, walaupun lauk-pauk yang tidak seberapa, namun rasanya sangat lezat, aku menyukainya.
"Makan yang banyak, anakku," ucap perempuan tua itu mencapitkanku sayur.
"Terima kasih, Anda juga makan yang banyak," ucapku pelan. Aku kembali melahap, namun tanganku terhenti dengan sendirinya ketika melihat kakak tidak menyentuh nasinya sedikitpun. "Makanlah," ucapku mencapitkan sedikit sayur untuknya, aku melemparkan senyumanku untuknya, seperti biasa aku menyunggingkan senyuman ini di depan kakak, kakak selalu mengatakan senyumanku adalah senyuman termanis di dunia, namun kakak yang kini duduk di depan hadapanku, apakah dia akan mengatakan hal yang sama kepadaku?
"Terima kasih.," gumamnya mulai memasukkan sedikit demi sedikit nasi ke dalam mulutnya. Aku menatap kakak dengan lekat. Cara makannya sedikitpun tidak berubah, sangat mirip dengan sekarang.
Tidak lama setelah itu, kami akhirnya menyelesaikan makan malam, setelah dipikir-pikir, kini aku adalah anak dari kedua orang tua ini, aku harus menjadi anak yang berbakti, apalagi Meng JiangNv memang terkenal sebagai anak yang berbakti. "Aku saja yang mencucinya," ucapku segera menarik mangkuk yang disimpan laki-laki tua itu.
"Biar ayah saja yang mencucinya, kamu baru sembuh, tidak boleh terkena air lagi."
"Tidak.., aku sangat sehat sekarang, hanya cuci piring saja, aku bisa," ucapku melemparkan senyuman kepadanya, setelah itu aku mulai menyimpan piring-piring kotor tersebut.
"Anakku, biar ibu saja yang mencucinya."
"Tidak, biar aku saja, kalian istirahtlah." Setelah berbicara, aku mengambil piring-piring berjalan pergi tanpa arah, aku bahkan tidak tahu di mana dan bagaimana cara mencuci piring-piring di zaman seperti ini. Hari sudah mengelap dan lagi rumah ini juga sudah mengelap, yang ada hanyalah remang-remang lilin.
"Biar aku bantu," ucap kakak segera mengambil lilin di atas meja makan dan mengikutiku. Aku yang takut gelap merasa sangat lega ketika kakak berada di sisiku.
"Kita cuci di dekat sumur saja," ucapku langsung berjalan keluar ketika mengingat di tengah halaman rumah ini ada sebuah sumur.
"Anakku, ini garam dan sikatnya." Sang perempuan menyusul keluar. "Biar ibu saja yang mencucinya." Lagi-lagi dia menawarkan diri. Aku segera mengambil garam dan sikat dari tangannya, lalu membawa dia masuk ke dalam rumah kembali.
Setelah kembali duduk di dekat kakak, aku menatapinya cukup lama, dia begitu polos menatap piring-piring di depan hadapan kami.
"Biar aku yang mencucinya saja," gumamnya sedikit mengejutkan.
"Tidak, tidak, luka kakak tidak boleh terkena air," tolakku cepat.
"Kakak?" gumamnya.
Aku merasa gugup ketika menyadari apa yang baru aku lontarkan, dia yang sekarang bukanlah kakakku, melainkan calon suamiku? "Kakak Fan," panggilku lagi. "Aku rasa kamu lebih besar dariku, jadi aku memanggilmu kakak." Aku segera mulai mencuci piring sambil mengalihkan pandanganku, walau tidak melihatnya secara langsung, namun aku dapat merasakan kakak sedang mengangguk pelan.
Di malam yang gelap seperti ini, aku dan kakak duduk berdua di samping sumur, kakak melihatku mencuci piring, kami saling terdiam karena tidak tahu ingin berkata apa. "Wah!" begitulah reflekku ketika melihat ke atas langit, tanganku bahkan tidak lanjut mencuci piring, aku hampir tidak bisa berkata apa-apa, bintang-bintang di atas langit, begitu banyak dan begitu terang, tidak seperti zaman sekarang kita bahkan tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Indahnya."
Kakak tersenyum tipis melihatku. "Kamu menyukainya?"
"Iya," anggukku dengan semangat. "Kakak, apakah kamu ingat, di waktu kecil kita pernah berdoa kepada bintang jatuh?" Ucapan tanpa sadarku mungkin mengejutkan kakak lagi. "Maaf." Aku segera kembali mencuci piring. Aku tahu kakak sedang menatapiku dengan penuh pertanyaan, dia pasti berpikir apakah aku sudah tidak waras mengatakan hal-hal aneh seperti itu.
"Kenapa harus berdoa kepada bintang jatuh?" tanyanya.
Aku kembali menatapnya. "Karena bintang jatuh dapat mengabulkan harapan kita."
"Benarkah?" tanyanya dengan polos, tentu itu adalah omong kosong, bintang mana yang dapat mengabulkan pemohonan kita.
"Seseorang pernah mengatakannya padaku, namun aku merasa itu hanyalah dongeng, karena doaku tidak pernah terkabul," gumamku lagi, aku mengingat kembali doa di masa kecilku, aku ingin penyakitku lekas sembuh, dengan begitu aku dapat segera kembali ke sisi orang tua dan juga kakakku, namun.. sekarang aku malah tidak tahu mengapa aku bisa muncul di sini, mungkin karena aku sudah meninggal karena penyakit aneh itu.
"Mungkin belum saatnya," ucapnya menghibur. "Ngomong-ngomong terima kasih sudah menolongku."
Piring-piring akhirnya selesai dicuci, aku dapat kembali menatap kakak dengan lekat. "Kakak Fan, apakah lukamu baik-baik saja?"
Kakak mengangguk kecil.
"Kamu kenapa bisa terluka?" tanyaku sengaja, aku tentu tahu cerita di balik ini semua. Luka kakak tentu karena dipanah oleh prajurit yang akan membawanya ke tembok China untuk dijadikan budak pembangun tembok China, dan kakak tidak mau, makanya dia kabur.
"Sebenarnya, aku telah terpilih untuk ikut membangun tembok China, namun.. aku kabur."
Ketika mendengar kejujuran dari kakak, akhirnya aku dapat tersenyum, kakak memang orang yang jujur. "Jika begitu, kamu tinggalah di sini sampai lukamu sembuh total." Senyumanku mungkin telah membuat kakak larut dalam lamunannya, mungkin dia tidak percaya denganku. aku mengambil piring-piring yang kini telah bersih. "Sudah, ayo masuk, di luar sangat dingin."
"Biar aku yang mengambilnya, kamu ambil saja lilin itu," ucap kakak segera mengambil piring-piring di tanganku dan berjalan masuk.
***
Pagi yang cerah, matahari mulai terbit di antara perpohonan di luar sana, aku terbangun dan berjalan keluar, hal yang ingin kutanyakan tentu bagaimana cara menyuci muka dan sikat gigi. Ini zaman yang begitu berbeda dengan kehidupanku, melihat perempuan tua yang merupakan ibu Meng JiangNv berdiri di pinggir sumur sambil mengoleskan garam ke giginya, aku pun mengerti, dulu nenek juga pernah bercerita, orang zaman dulu selalu menggunakan garam ataupun bahan alam untuk mencuci sesuatu. Aku berjalan ke dekatnya, dengan penuh senyuman menyapanya. "Pagi," sapaku.
"Anakku," panggilnya dengan senang.
"Bersihkanlah wajahmu, setelah itu bantulah ayahmu pergi ke hutan memunggut kayu."
Ke hutan? Memunggut kayu? Itu terdengar menyenangkan, aku segera mengangguk dan mulai membersihkan wajahku.
Kakak berjalan keluar, dengan penuh sopan santun dia menyapa perempuan tua yang kini merupakan ibuku.
"Anak muda, apakah sudah merasa baikan?" tanya Ibu. Kakak hanya membalasnya dengan menganggukan kepalanya.
"Anakku, ayo kita pergi," ajak sang laki-laki tua yang merupakan ayahku sekarang, dia memakai topi petani dan membawa sebuah keranjang.
"Baiklah," ucapku segera menghampirinya setelah mengeringkan wajahku.
"Boleh aku bantu," sela kakak sebelum kami melangkahkan kaki berjalan keluar dari halaman ini, kami menoleh ke arah kakak. "Kalian ingin pergi mencari kayu? Biarkan aku membantu kalian. Sebagai tanda terima kasih Anda telah menolongku juga," ucap kakak menghampiri Ayah. Dia mengambil keranjang yang sudah lusuh itu dan menetenginya.
"Tetapi, lukamu belum pulih anak muda," ucap Ayah cepat, itu juga merupakan hal yang aku khawatirkan.
"Tidak apa-apa, hanya memunggut kayu, aku dapat melakukannya," ucap kakak lagi, setelah dipikir-pikir aku juga merasa tidak enak menyuruh orang yang sudah tua meneteng kayu yang begitu berat.
"Ayah beristirahatlah di rumah, biarkan kami berdua pergi memungut."
"Tetapi.."
"Kami bisa," ucapku segera memotong pembicaraan ayah, aku langsung menarik kakak berjalan pergi meninggalkan mereka.
Setelah berjalan tidak jauh dari rumah, akhirnya kami masuk ke dalam hutan. Begitu banyak ranting kayu. Aku mulai memunggut, begitupun dengan kakak. Aku begitu menyukai pekerjaan ini, apalagi ditemani oleh kakak, kami berjalan semakin jauh dari rumah, hari mulai panas, untung saja pohon-pohon lebat dapat menutupi kepanasan tersebut, kami yang kelelahan memilih duduk sebentar di dekat sungai. Air terjun yang begitu deras, aliran air yang begitu jernih, ini benar-benar sangat indah.
"Aku sangat menyukai tempat ini," teriakku. Sudah lama aku tidak melihat tempat seindah ini. Aku mulai berlari-lari di pinggir sungai, bermain air menari-nari di sana, aku hampir lupa untuk mencari cara keluar dari sini. Di sini terlalu indah, dan aku tidak sendirian, kakak selalu menemaniku, walau dia tidak mengingat apapun tetapi dia tetaplah kakakku. Aku pun menoleh ke arah kakak, gerakanku terhenti ketika menyadari dia telah menatapiku. Senyumannya begitu manis, mungkin orang yang dapat disukai kakak adalah orang yang paling bahagia di dunia ini, namun sayangnya orang itu bukan aku, aku hanyalah adiknya, suatu saat nanti, kami akan memiliki keluarga masing-masing dan aku akan berpisah dengannya.
"Kakak," panggilku menghampirinya. Pinggir sungai ini penuh dengan berbatuan, aku berjalan meninggalkan air jernih dan mendekati kakak, namun aku terjatuh. "Ah..," rintihku, sakit sekali. Batu-batu ini telah melukai kaki dan juga tanganku. Kakak segera berlari ke arahku dan membangunkanku. "Kamu tidak kenapa-napa?" tanyanya segera menopangku ke daratan.
Aku mengeleng pelan, walaupun sebenarnya aku merasa sangat kesakitan.
"Kamu benar-benar tidak apa-apa?" tanyanya memastikan. Melihat wajah kakak, tentu aku tidak dapat berbohong, aku pelan-pelan memegang lututku. "Sakit," gumamku.
"Maaf." Kakak pelan-pelan menaikkan gaunku, ketika melihat kakiku yang sudah memar, dia terlihat sangat panik. Tatapan kakak seperti itu membuatku teringat masa kecil kami berdua, kakak juga pernah mengunakan raut wajah seperti itu ketika aku terjatuh dari atas pohon.
"Ayo kita pulang," ucapnya menyodorkan punggungnya untukku. "Naiklah," tawarnya membuatku melamun. "Kamu sebaiknya naik saja, jika tidak, mungkin kita tidak akan pulang dan lukamu akan bertambah parah jika tidak diobati." Tanpa basa-basi kakak langsung menarik tanganku dan mulai mengendongku. Sambil mengendongku kakak masih harus membawa satu keranjang ranting, aku merasa sangat tidak enak terhadapnya, namun bahu kakak, aku menyukainya, begitu nyaman, sejak kecil aku selalu berpura-pura sakit agar kakak dapat mengendongku, walau kakak tahu aku sengaja, walau kakak selalu meledek aku sangat berat, namun dia selalu mengendongku. "Terima kasih," ucapku.
"Sama-sama."
Aku mempererat pelukanku sambil menyandarkan daguku di bahunya. Alangkah indahnya jika waktu dapat berhenti di sini, di tengah hutan penuh dengan kicauan burung dan juga bau alam yang begitu menenangkan hati, aku menyukai keadaan seperti ini.
"Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan," gumam kakak membuatku segera menatapinya, walau tidak dapat melihat raut wajahnya dengan jelas, namun aku dapat melihat sedikit tatapan matanya, dia begitu serius mengatakan hal tersebut. "Aku berterima kasih kepadanya dapat mempertemukanku denganmu." Ucapan itu hampir membuatku tidak dapat berpikir dengan baik, apa maksud kakak? "Aku menyukaimu, maaf, aku tahu ini aneh, namun di waktu pertama kali aku membuka mata dan melihatmu, aku sudah menyukaimu, aku tidak tahu bagaimana perasaan ini dapat muncul., tetapi aku tahu jika diriku mungkin sudah tidak memiliki masa depan, jadi aku ingin mengatakan hal ini kepadamu sebelum terlambat." Kata-kata tersebut, aku butuh waktu untuk mencernanya. Aku dan kakak memiliki ikatan darah, mana mungkin kami membicarakan soal percintaan, tetapi, di dalam cerita, Fan XiLiang dan Meng JiangNv memang saling mencintai, jika aku merubah alur cerita mereka, apakah Meng JiangNv akan memaafkanku? Jika ini adalah masa lalu kakak sebelum reinkarnasi, lalu aku merusaknya, apakah dia akan memaafkanku juga? Kisah cinta mereka berdua memang tragis, tetapi aku dapat memperbaikinya menjadi lebih indah, aku tidak ingin memisahkan mereka berdua hanya karena aku adalah adiknya yang kini masuk ke dalam tubuh Meng JiangNv. Jika cerita Meng JiangNv adalah kenyataan maka.. mereka hanya memiliki tiga hari untuk bersama bukan? Lalu mengapa aku tidak merestui mereka saja? Benar! Aku harus memerankan peran Meng JiangNv ini dengan baik, dengan begitu kakak akan bahagia, namun jika aku merestuinya, berarti setelah tiga hari, di waktu Meng JiangNv menikah dengan Fan XiLiang, maka Fan XiLiang akan dibawa para prajurit, hingga akhirnya kisah buruk Meng JiangNv akan terulang, tidak.. tidak boleh, kisah masa lalu kakak tidak boleh begitu menyedihkan, aku harus memikirkan cara agar mereka dapat saling mencintai dan kakak tidak tertangkap para prajurit itu.
Tanpa sadar kami sudah kembali ke dalam rumah kayu, kakak menurunkanku dan juga keranjang kayu, dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada kedua orang tua . Ayah segera mengambilkan obat untuk mengobatiku.
"Tahan ya anakku," ucapnya dengan lembut mengoleskan obat di lutut dan juga siku-ku. Perih, sangat perih, aku hanya dapat menahannya.
"Maafkan aku tidak menjaga JiangNv dengan baik," ucap kakak segera membungkuk.
Ini tentu bukan salah kakak. "Tidak.., bukan salah kak.. kakak Fan, aku yang tidak hati-hati," sela-ku segera.
Kedua orang tua itu seperti tahu sesuatu, mereka tersenyum. "Kami tidak menyalahkan siapapun, kalian tenang saja." Ucapnya yang membuatku merasa lega.
"Jika begitu, aku ambil ini ke belakang dulu." Kakak mengambil keranjang berisi ranting pohon tersebut berjalan ke belakang.
Ayah menatapiku dengan tatapan seriusnya. "Anakku, apakah kamu menyukainya?" pertanyaan itu membuatku syok, dari mana dia mengetahuinya?
"Dulu kamu tidak seperti ini, jika kamu menyukainya, ayah akan membicarakan hal tersebut dengannya, ayah merasa dia adalah anak muda yang baik, sangat cocok menjadi suamimu." Kata-kata itu lebih membuatku syok, walau ingin membantu Meng JiangNv dan juga Fan XiLiang untuk bersatu, namun apakah ini tidak terlalu cepat? Dan apakah orang zaman dahulu begitu mudah untuk mempercayai seseorang?
Kakak entah dari kapan mendengar kata-kata tersebut, dia segera berjalan keluar dan bersujud di depan ayah. Aku dapat melihat matanya begitu serius. "Izinkan aku menjaga nona JiangNv selamanya." Apakah ini yang dimaksud dengan lamar? Namun apakah ini tidak terlalu sembrono? Aku belum menyetujuinya, aku belum memikirkan cara yang baik untuk menangani permasalahan ini.
"Apakah kamu serius anak muda?" tanya ayah yang membuat kakak mengangguk. "Aku tidak bercanda, aku sangat menyukai nona JiangNv, jika Anda mengizinkan, aku akan menjaganya selamanya, mencintainya dan membahagiakannya." Kata-kata itu, mungkin di zaman sekarang bagaikan omong kosong, namun kata-kata tersebut dapat dengan mudah mendapatkan restu dari kedua orang tua.
"Baiklah jika kalian saling menyukai. Aku harap kamu dapat menjaga JiangNv dengan baik, kami sudah tua, hidup juga hanya tinggal sebentar. Besok adalah hari yang bagus, cocok untuk kalian menikah. Istriku, mari kita pergi menyiapkan barang penikahan." Setelah berbicara, kedua orang tua itu berjalan pergi, aku bahkan belum sempat membuka mulut.
"Ayah, Ibu." Begitulah panggilku, namun mereka tidak mendengarnya.
Kini melihat kakak, aku semakin gugup, aku belum siap sama sekali, namun sudah harus menikah dengannya besok, apakah ini tidak terlalu cepat? Bagaimana aku mencegat cerita malang ini terjadi? Oh Tuhan! Berikanlah aku ilham untuk memikirkan cara menyelesaikan masalah ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!