NovelToon NovelToon

KaShain After Married: Haruskah Kita Berpisah?

Chapter 1

...**Saling menjaga hati satu sama lain dalam sebuah ikatan keluarga adalah hal mutlak yang harus dilakukan agar kapal yang sedang berlayar tidak tenggelam....

...~KaShain**~...

Info : Cerita ini **mengandung unsur sakit hati dan ditujukan untuk yang sudah berusia 18+, terutama buat yang akan dan sudah menikah. Jadi harap bijak dalam membaca.

Buat yang masih single atau jomlo apalagi di bawah umur yang tetap nekat baca, nyimak aja ya... :) Inget cuma nyimak**!

♡♡♡

Seorang wanita muda memandang lemah wajah pria di hadapannya. Wajah pria itu pucat dengan mulut tersumbat alat bantu pernapasan. Pada tubuhnya juga menempel banyak alat medis, membuat yang melihatnya terenyuh.

Wanita itu membungkukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya untuk menatap lebih dekat wajah pria yang sedang tidak sadarkan diri itu. Tangannya terulur mengusap lembut puncak kepala pria itu. "Za?" ucapnya pelan dengan bola mata basah.

Ia menelan ludah sebelum kembali berucap. "Aku ada di sini, Za." Air matanya jatuh.

"Bangunlah." Suaranya terdengar bergetar.

"Bangunlah, Za." Ia terguguh sembari mengecup kening pria itu. "Bangunlah." Pundaknya bergetar.

"Sudah seminggu lebih kau tidur, Za. Apa kau tidak merindukanku? Apa kau tidak ingin melihatku?" Perempuan itu kembali menatap wajah pria yang sudut matanya terlihat berair.

"Aku rindu suaramu.

"Aku rindu senyummu.

"Aku rindu marahmu.

"Aku rindu diammu.

"Aku rindu saat kau tidak pernah lelah memperjuangkanku.

"Aku rindu saat kita makan bersama.

"Aku rindu saat kita bertengkar.

"Aku rindu saat kau menciumku.

"Aku rindu saat kau memelukku.

"Aku rindu tatapanmu.

"Semua yang kau lakukan ..., aku merindukannya, Za.

"Aku mohon bukalah matamu. Beri aku kesempatan, Za." Perempuan itu semakin terisak.

"Beri aku kesempatan untuk menjadi isterimu yang baik. Aku mohon, beri aku kesempatan, Za."

Suara deru mesin alat medis dan bunyi monitor mengisi ruangan itu.

Tit. Tit. Tit. Tit....

Saat telinganya menangkap bunyi melengking panjang, perempuan yang tengah menunduk lemah menyembunyikan wajah lelahnya pada sisi bantal, seketika mengangkat kepalanya, menoleh pada layar yang menunjukkan garis lurus. Pikirannya mendadak kosong. Ia menoleh pada pria yang sudah membuatnya tidak tenang selama seminggu terakhir. Dada pria itu tidak lagi naik-turun.

Hingga ....

Tangan seseorang menyentuh bahu perempuan itu, membuatnya menoleh dan mendapati salah satu dari tim medis yang baru saja datang. Perawat itu membawa perempuan itu keluar ruangan.

Namun saat di ambang pintu, perempuan itu bertanya dengan suara tercekat. "Kenapa dengan suami saya?"

"Suami Anda--"

"Tidak!" Perempuan itu menggeleng tidak setuju dengan apa yang hendak dikatakan sang perawat yang bahkan belum menyelesaikan kalimatnya.

Dan seketika perhatian keduanya teralihkan saat suara dokter memberi perintah pada perawat yang ada di sana. Dilihatnya tubuh suaminya yang terangkat akibat kejutan listrik dari alat yang digenggam oleh sang dokter yang sedang melakukan pertolongan.

"Mbak sebaiknya keluar."

"Tidak!" tolaknya tegas.

Saat perempuan dengan wajah lelah itu hendak mendekati suaminya yang dikelilingi oleh tim medis, tubuhnya tertahan oleh tangan dua orang yang tiba-tiba mendekapnya dari belakang. "Shain!" teriak perempuan dengan rambut sebahu dan rambut terkucir kuda sembari menarik tubuh perempuan yang bernama Shain itu untuk keluar.

"Lepas!" Shain meronta saat dirinya dipaksa keluar.

Perawat yang tadi berhadapan dengan Shain, cepat menutup pintu ruangan begitu perempuan yang masih meronta itu sudah berada di luar ruangan.

"Lepas!"

"Tenang, Shain, Kaheza sedang mendapat pertolongan dari tim medis," ujar perempuan yang terkucir kuda.

"Lepas!" Shain masih meronta.

"Tenang, Shain." Perempuan dengan rambut sebahu memeluk erat tubuh perempuan yang masih meronta meminta masuk.

"Lepas!"

"Tenang, Shain." Perempuan rambut sebahu itu semakin erat memeluk tubuh Shain.

"Lepas!" Shain mulai melemah.

"Tenanglah, Shain."

"Kaheza, Za," lirih Shain. Setelahnya tidak ada lagi suara maupun gerakkan dari perempuan itu karena jatuh pingsan dalam pelukan erat temannya.

...*****...

"Cantik," sindir Shain berucap pada suaminya, Kaheza. Perempuan itu fokus pada novel yang sedang dibacanya.

Merasa tersindir, Kaheza yang baru saja merebahkan tubuh lelahnya, menarik kembali tubuhnya menjadi duduk. "Harus aku jelaskan berapa kali, Shain, kalau dia itu hanya pelanggan," katanya.

Shain membalas. "Iya, pelanggan." Ia menutup bukunya kemudian menoleh, "Tapi pelanggan spesial!" ketusnya kemudian meletakkan bukunya di atas nakas di sisi kanan ranjang. Dan berakhir menarik selimut dengan merebahkan tubuh membelakangi suaminya.

Melihat sikap isterinya yang begitu dingin, membuat Kaheza ikut merebahkan tubuhnya dengan posisi miring menatap punggung isterinya yang tidak tertutup selimut. Tangannya terulur memeluk tubuh yang membelakanginya itu. "Aku harus gimana biar kamu percaya?" ucapnya pelan. Namun mampu menusuk hati sang isteri. Shain tahu, suaminya sangat baik. Bukan hanya padanya tetapi semua orang. Namun sifatnya yang terlalu baik itu justru membuatnya takut. Takut orang yang menjadi teman hidupnya itu berkhianat.

"Maaf." Kaheza berucap lagi sembari mengikis jarak antara tubuhnya dengan tubuh perempuannya. "Maaf, Shain, kalau aku buat kamu marah."

Tak ada sahutan.

"Shain?"

Menyingkirkan tangan suaminya dan menarik selimut hingga menenggelamkan seluruh tubuhnya di balik selimut adalah respons Shain terhadap suaminya itu.

Yah, usia pernikahan yang masih terbilang baru seumur jagung itu awalnya memang baik-baik saja. Tetapi tidak di saat rasa cemburu terpercik di dalam hati mereka. Ditambah lagi usia keduanya yang sebaya dan masih sangat muda, 27 dan 28 tahun. Dan diperburuk oleh wajah keduanya yang selalu menghipnotis lawan jenis. Shain dengan kulit kuning langsatnya bak bangsawan yang memiliki wajah tidak bosan untuk dipandang, hidung mancung, bibir tipis merah alami, pipi yang tirus dan diperindah oleh rambut kepalanya yang sedikit pirang dan terurai. Belum lagi ia sangat ramah dan murah senyum terhadap semua orang. Dan saat dia tersenyum, hati para kaum Adam dibuatnya meleleh. Dan kerena kecantikan alaminya itu ia mendapat julukan "malaikat berwujud manusia."

Sedangkan suami dari perempuan itu yakni Kaheza, adalah laki-laki tampan yang mendapat julukan "pangeran idaman." Rambut hitamnya yang selalu tersisir rapih miring kanan, kulitnya yang putih bersih, bentuk wajahnya yang sedikit kotak, rahang tegas, sifatnya yang penuh tanggungjawab namun sedikit pemalu, selalu menundukkan pandangan dan sangat hemat bicara, membuat para kaum Hawa sangat gemas terhadap laki-laki itu. Ingin dibungkus dan dibawa pulang kalau saja belum menikah.

Oh, ya, jangan lupakan fakta bahwa banyak yang mendaftar menjadi isteri keduanya. Namun laki-laki itu selalu menolak dengan tegas bahwa ia tidak mau berpoligami. Karena baginya, Shain adalah jantung kehidupannya. Kalau isterinya sakit, maka ia lebih sakit.

Dan saat ini laki-laki itu dibuat frustasi oleh sikap dingin isterinya.

 -----

Diam.

Shain memakaikan dasi kepada suaminya tanpa mau bersuara. Membuat sang suami benar-benar harus putar kepala, cara apa yang harus ia lakukan untuk membuat isterinya itu kembali bersikap baik padanya.

"Maaf."

Tak ada respons.

Dasi sudah rapih. Shain memakaikan jas hitam pada suaminya. Dan suaminya menurut saja. Takut. Takut membuat perempuan itu semakin marah.

"Kali ini kau terlihat sangat tampan. Aku yakin hari ini kau akan mendapatkan banyak pelanggan wanita cantik di rumah makanmu itu." Shain menarik sudut bibirnya. "Sekarang berangkatlah. Pelanggan-pelanggan spesialmu itu pasti sudah menunggumu lama," lanjutnya.

"Kenapa kau semarah ini, Shain?"

"Aku?" Shain menunjuk dirinya. "Untuk apa aku marah?" Kaheza menatap dalam perempuan di hadapannya.

"Kalau kau selingkuh, aku juga bisa selingkuh. Jadi tenang saja."

Tatapan Kaheza yang sendu berubah tajam. Membuat sang isteri sedikit menciut. Ia menurunkan tangannya dari pundak suaminya.

"A-aku--"

"Aku berangkat. Assalamu'alaikum." Kaheza memotong kalimat isterinya dan beranjak keluar kamar meninggalkan sang isteri yang menyesali perkataannya barusan.

"Wa'alaikum salam."

 -----

Gimana pendapat kalian dengan Chapter awal ini?

Sudah penasarankah dengan kelanjutannya?

kalau iya, yuk merapat! Dan kawal sampai ending*. :)

Chapter 2

"Aku berangkat. Assalamu'alaikum." Kaheza memotong kalimat isterinya dan beranjak keluar kamar meninggalkan sang isteri yang menyesali perkataannya barusan.

"Wa'alaikum salam."

 -----

"Hey, Bos!" sapa Lian-sahabat dari Kaheza yang dipercaya mengurus bisnis rumah makannya yang bernama Griya Dahar.

Senyum Lian beringsut karena sapaannya diabaikan. Ditambah lagi Kaheza melewatinya begitu saja menaiki tangga menuju lantai dua rumah makan tersebut.

"Kenapa tuh anak? Jangan bilang berantem lagi sama Shain." Qyza-perempuan berambut sebahu, bertanya pada Lian. Ia juga sahabat dari Kaheza. Ia adalah orang kedua yang mendapat kepercayaan mengurus bisnis rumah makan dari Kaheza saat sang pemilik sedang tidak ada di tempat itu.

"Sepertinya gara-gara kemarin," balas Lian.

"Kemarin?" Qyza bertanya antusias.

"Memangnya apa yang terjadi kemarin?"

Lian menghela napas sebelum menjawab. "Kau ingat dengan pelanggan kita yang sering datang saat malam hari?"

"Yang mana, Lian? Pelanggan kita banyak. Apalagi perempuan."

"Ah, iya. Benar juga." Lian menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Euh, gini deh. Kau ingat tidak dengan pelanggan cewek yang datang ke sini selalu pakai kemeja sama blizer yang cukup ketat dan roknya yang terlalu pendek?" Lian detail menjelaskan.

"Oh, perempuan itu. Tahu, Yan. Yang hampir tiap malam makan di sini sampai tempat ini tutup, 'kan?"

"Ah, iya. Dia orangnya. Jadi kemarin," Lian menjeda karena beberapa karyawan yang sudah selesai membersihkan meja dan lantai ikut bergabung.

"Kalian ngapain?" Dahi Qyza berkerut.

"Ikutan, Mbak Qyza. Dari tadi saya perhatikan, kelihatannya seru sekali ngobrolnya," balas salah satu karyawan cewek yang memakai rok hitam selutut dengan atasan kemeja hitam berhias batik dibagian kancing dan ujung lengan pendeknya.

"Memangnya sudah dibersihkan semua meja dan kursinya?" Qyza bertanya pada karyawan itu.

Pegawai itu mengangkat tangan dengan ujung ibu jari dan telunjuk bertemu membentuk 'o.' "Sudah, Mbak," jawabnya disertai anggukkan dan cengiran.

"Bagus."

"Iya, Mbak."

"Jadi kemarin gimana, Yan?" Qyza kembali ke topik pembicaraannya dengan Lian.

"Jadi kemarin itu, pas Kaheza sedang mengantar perempuan itu ke parkiran, pas banget Shain jalan ke sini. Jadi mereka bertemu di pintu masuk. Lalu mereka berkenalan dan ... yah, raut wajah Shain berubah begitu perempuan itu pergi dengan mobilnya," jelas Lian.

"Oh, yang kemarin itu ya, Mas Lian?" seru karyawan yang tadi. Karyawan yang memang terkenal biang gosip di antara para karyawan lainnya.

"Kau tahu?" Qyza bertanya, merasa tertinggal sejuta informasi karena tidak masuk kemarin.

"Tahu dong, Mbak. Apa sih yang Minah enggak tahu?" Karyawan yang bernama Minah itu berbangga diri.

"Benar kata Mas Lian, Mbak Shain kelihatannya sangat marah pada Mas Pangeran--"

"Ekhm!" Qyza berdeham memperingatkan Minah yang menyebut Kaheza dengan sebutan Mas Pangeran.

"Eh, maksudnya Tuan Kaheza," ralatnya.

"Jadi pas waktu itu, Mbak Shain itu datang dengan senyumannya yang indah seperti biasanya. Tetapi senyuman itu tiba-tiba sirna begitu perempuan itu pergi," jelasnya.

"Oh ..., jadi karena itu Tuan Kaheza mengabaikan sapaan Mas Lian?" tanya seorang karyawan lelaki yang memegang tongkat pel.

"Sepertinya, Rif," balas Minah pada rekannya itu yang bernama Syarif.

"Ya sudah. Kembali bekerja!" Qyza memberi perintah.

"Siap, Mbak Qyza!" seru lima karyawan perempuan dan tiga karyawan laki-laki yang ikut berkerumun.

Karyawan-karyawan itu membubarkan diri, kembali membicarakan hal tadi sembari beraktivitas. Sedangkan Lian dan Qyza beranjak naik untuk menemui sang pemilik rumah makan.

 -----

Sedari tadi Shain berdecak sebal sembari membuka-tutup novelnya. Ia tidak fokus membaca. Hatinya dipenuhi rasa bersalah atas perkataannya tadi pagi terhadap sang suami. Rambutnya juga sudah berantakan karena berkali-kali diremas olehnya. "Aku yang tersakiti, Za. Tapi kenapa malah kamu yang marah? Argh!" Shain membanting bukunya di atas meja dan berakhir meremas kembali rambutnya.

Setelah cukup lama dengan ketidakjelasan aktivitasnya, perempuan itu merapihkan kembali rambutnya dan meraih ponsel yang terabaikan. Jemarinya mengusap dan menekan layar.

"Hallo, Nad," ucap Shain begitu teleponnya diterima.

"Hallo, Shain?" Suara perempuan di balik telepon. Dia ..., Nada. Sahabat Shain sejak SMA.

"Di mana?" tanya Shain.

"Kedai. Lagi siap-siap mau buka. Kenapa?"

"Aku kesitu ya?"

"Oke."

"Ya sudah, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

 -----

Qyza dan Lian saling bertukar pandang setelah mendapati bos sekaligus sahabatnya itu hanya menyembunyikan wajahnya dengan ujung kepala menyentuh tepian meja di depannya dengan posisi duduk di atas kursi.

"Sabar, Za. Kalian 'kan dulu enggak pernah pacaran. Jadi wajar kalau setelah menikah kalian suka berantem meski masalah sepeleh." Qyza memberanikan diri untuk menyampaikan pendapatnya.

"Em. Benar kata Qyza, Za. Meskipun dulu kalian saling suka, tapi kenyataannya hubungan kalian hanya sebatas teman. Belum lagi dulu kau dan Shain beda agama, Za, jadi wajar kalau Shain marah kalau tahu kau dekat dengan wanita lain. Yah, bisa dibilang kalian itu sekarang sedang pacaran tapi setelah menikah. Jadi jalani saja, Za. Dan jangan terbawa emosi. Ingat! Shain punya masa lalu yang kelam. Jadi kau harus lebih banyak bersabar dan mengalah menghadapinya." Lian menasehati panjang lebar. Namun tidak ada sahutan dari orang yang sedang diajaknya bicara.

"Za, cemburu itu tandanya cinta." Qyza berucap lagi. Dan Kaheza masih dengan posisinya.

Qyza bangun dari duduknya. "Ya sudah, Za, hari ini kamu tenangin diri dulu. Pelanggan-pelanggan perempuan yang punya maksud lain datang ke tempat ini, biar saya dan Lian yang urus," ucapnya kemudian memberi kode pada Lian yang masih duduk untuk ikut bersamanya.

Lian menepuk sekali pundak sahabatnya itu sebelum pergi.

"Kau tenang saja, Za. Kalau kau selingkuh, aku juga bisa selingkuh." Perkataan Shain tadi pagi masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Apa maksud perkataanmu itu, Shain?" ucap Kaheza pelan bertanya pada dirinya sendiri setelah dua sahabatnya keluar dari ruangan.

"Apa kau punya lelaki lain di luar sana?

"Atau kau berniat mengkhianatiku?

"Apa Shain?

"Apa maksud dari perkataanmu itu?"

 

"Sering-seringlah kemari, Shain. Lihat," Nada menoleh gerobak baksonya yang sudah sepi padahal waktu baru menunjukkan pukul 14:30, "habis dengan cepat."

"Itu karena sudah rezekimu, Nad." Shain membalas dengan senyuman tipis menghiasi wajah kalemnya.

"Iya, Bu Ustadzah ...."

"Mana ada ustadzah yang baca Al-Qurannya belum lancar, Nad."

"Ada! Kamu!"

"Terserah deh, Nad." Shain malas berdebat.

"Oh iya, bagaimana kabar suamimu?"

"Baik." Shain membalasnya dengan raut wajah terlihat enggan. Membuat dahi Nada berkerut. "Lagi berantem?"

"Kelihatan banget ya?"

Nada mendekatkan wajahnya yang terhalang meja panjang. "Kenapa?"

Mata Shain terlihat berkaca-kaca. Ia menunduk.

Nada bangkit dari duduknya dan berpindah di sisi kiri sahabatnya. "Kenapa, Shain?" tanyanya sembari mengusap punggung Shain.

"Kaheza, Nad."

"Iya, kenapa dengan dia?"

"Dia terlalu dekat dengan pelanggannya, Nad."

"Bukannya bagus? Itu 'kan baik untuk perkembangan bisnisnya."

"Iya. Tapi masalahnya pelanggan-pelanggan itu cewek, Nad. Dan kemarin aku ke rumah makannya dan enggak sengaja ketemu dia lagi jalan sama cewek di pintu keluar rumah makan itu, Nad."

"Terus?"

"Terus Kaheza ngenalin dia ke aku dan sebaliknya. Aku lupa siapa nama cewek itu. Yang pasti dia cantik dan ...," Shain menghembuskan napas lelah.

"Dan?" Nada tidak sabar dengan kelanjutannya.

"Dia seksi."

Nada tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Nad?"

"Iya, maaf-maaf." Nada berusaha keras mereda tawanya.

"Kalau mendengar ceritamu barusan, sepertinya kau merasa takut."

"Takut?"

"Iya. Takut."

"Takut kenapa?" Shain bertanya dengan raut wajah yang menggemaskan.

"Takut kalah seksi dengan perempuan itu," jelas Nada kemudian melanjutkan tawanya yang reda.

"Ck." Shain berdecak sebal. "Aku serius, Nad."

"Aku juga," sahut Nada dengan sisa tawanya.

Kening Shain tampak berkerut. Benar juga apa kata sahabatnya itu. Apa dia takut kalah saing dengan tubuh seksi yang dimiliki perempuan yang sudah membuatnya panas di dalam hati?

silakan lanjut chapter berikutnya....

Chapter 3

Kening Shain tampak berkerut. Benar juga apa kata sahabatnya itu. Apa dia takut kalah saing dengan tubuh seksi yang dimiliki perempuan yang sudah membuatnya panas di dalam hati?

"Biar aku jelaskan, Shain." Nada tampak serius. Dan Shain pasang wajah tak kalah serius.

"Kau itu jangan termakan pikiran negatifmu, Shain. Jangan karena kau merasa tubuh perempuan lain jauh lebih sempurna dibandingkan dengan tubuhmu, lantas kau menganggap dirimu penuh dengan kekurangan. Itulah yang mengusik hatimu, Shain. Kau jadi mudah berprasangka buruk pada suamimu itu. Padahal kenyataannya belum tentu sama dengan yang kau pikirkan. Lagipula kau itu sangat cantik, Shain. Banyak lelaki yang menaruh hati padamu kalau kau lupa itu, Shain."

"Jadi aku harus bagaimana menyikapinya? Diam saja? Pura-pura biasa saja? Tidak semudah itu, Nad."

"Kemarilah!" Nada meminta Shain untuk mendekatkan telinganya. Shain menurut saja. Nada berbisik. Membuat Shain membulatkan matanya dengan kening berkerut. Lantas menoleh pada sahabatnya itu yang sudah membisikkan sesuatu yang membuatnya menggelengkan kepala. "Lebih baik aku menghilang dari dunia ini, Nad, dari pada harus melakukannya."

Nada menyenggol lengan Shain. "Kau dan dia itu sudah sah, Shain. Halal."

"Sudahlah. Jangan bahas masalah itu." Shain bangkit dari duduknya. "Sekarang temani aku ke toko buku."

"Baiklah." Nada ikut berdiri.

"Oh, iya," Shain menoleh pada Nada, "jangan beritahukan keberadaanku pada Kaheza."

"Siap, Nyonya Kaheza!"

"Nad?"

 -----

Hari sudah sangat gelap. Waktu menunjukkan pukul 21:10. Awan hitam terlihat menghiasi langit kota.

Kaheza menghela napasnya berkali-kali di ruang tamu. Kakinya sudah bolak-balik melangkah seperti setrikaan. Sudah banyak pesan yang dia kirimkan pada sang isteri, namun tidak ada satupun balasan. Dan teleponnya berkali-kali tak kunjung diangkat. Dan berakhir nomor Shain tidak bisa dihubungi. Ia juga sudah menghubungi semua teman dekat Shain termasuk Nada. Dan tidak ada yang tahu keberadaannya. Membuat pria itu cemas setengah mati.

Tak tenang, ia beranjak keluar, menoleh kiri dan kanan jalanan rumahnya dan mendapati sebuah motor dari arah kiri melaju ke arahnya.

Motor berhenti. Seorang dengan jaket putih dengan celana jeans hitam panjang, turun. Menyerahkan helm dan membayar ongkos pada tukang ojek.

"Terima kasih, Pak," ucap Shain pada tukang ojek itu.

"Iya, sama-sama, Mbak. Mari, Mas, Mbak." Tukang ojek itu memutar laju motornya dan beranjak pergi.

Shain hanya bisa menunduk ditatap suaminya yang terlihat menahan amarahnya.

"Assalamu'alaikum," ujar Shain ragu sembari mengulurkan tangannya.

Kaheza mengulurkan tangannya. "Wa'alaikum salam."

Shain melangkah ragu masuk rumahnya setelah mencium tangan suaminya itu. Hati kecilnya terselip perasaan bersalah karena pulang sangat malam. Belum lagi ia dengan sengaja mengabaikan pesan dan telepon dari suaminya itu dan memilih menon-aktifkan ponselnya.

 

"Kau sudah makan?" Kaheza bertanya dingin pada Shain yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Sudah." Shain menjawab sembari menuju sisi kasur sebelah kanan. Diraihnya buku novel di atas nakas dan dibukanya.

Shain menoleh suaminya yang tengah fokus membaca terjemahan Qur'an. "Kau sendiri sudah makan?" tanyanya.

Tak ada jawaban.

"Tadi ke mana?" Kaheza bertanya tanpa mengalihkan fokusnya.

Serangan balasan. Shain memilih mengunci rapat mulutnya dan tidak mau membuang waktu untuk sekedar melirik suaminya yang juga sedang duduk bersandar pada kepala ranjang.

Kaheza menutup Quran terjemahan di tangannya dan meletakkannya di atas nakas di sisi kiri ranjang.

Ia langsung merebahkan tubuhnya memunggungi sang isteri. Membuat Shain lagi-lagi diserang perasaan bersalah.

Ditutupnya novel dalam genggaman dan diletakkannya di atas nakas. Kemudian ia ikut merebahkan tubuhnya. Awalnya memilih memunggungi suaminya yang sudah memunggunginya lebih dulu. Namun akhirnya ia memilih berbalik, menatap punggung Kaheza.

"Tadi aku ke kedai baksonya Nada. Setelah itu ke toko buku dan duduk-duduk di taman sebentar." Akhirnya Shain memberitahukan ke mana ia seharian ini. Tak ada respons.

"Za?" Shain berucap lembut.

Lagi. Tak ada sahutan. Ia pun memilih kembali berbalik. Tiba-tiba sebuah tangan melingkari tubuhnya. "Lain kali beri aku petunjuk untuk menemukanmu, Shain. Jangan pergi tanpa kabar lagi. Aku benar-benar putus asa jika tidak mendapat kabar darimu. Apa kau masih belum puas menghilang selama sepuluh tahun tanpa memberitahu sedikit pun kabar padaku?"

Shain memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berbalik. Membuatnya menatap penuh wajah suaminya tanpa penghalang.

"Aku sudah lelah, Shain."

"Maaf." Shain berkata dengan bola mata yang sudah berair.

"Aku juga."

Shain mengangguk.

Dua netra yang beradu semakin dalam perlahan menggerakkan dua raga itu mengikis jarak.

 -----

Pagi-pagi otak Shain sudah berkali-kali memikirkan saran dari Nada di kedai bakso waktu itu.

Nada berbisik. "Berpakaianlah sedikit terbuka saat suamimu hendak berangkat bekerja. Karena itu akan membuat suamimu itu terus memikirkanmu. Dan akhirnya ... ia tidak akan betah berlama-lama di luar sana. Ia akan selalu merindukanmu dan ingin segera pulang. Kalau kau tak percaya, coba saja."

Terlalu lama berdebat, suara Kaheza memanggilnya membuatnya mengakhiri perdebatan batinnya. Akhirnya tanpa sadar ia keluar hanya dengan memakai hotpants dan atasan tanktop. Ia lupa memakai baju yang masih menggantung di lengannya.

Deg!

Setelah beberapa langkah dan merasakan dingin yang tak biasa pada kulitnya, kakinya terkunci di tempat. Ditambah lagi netranya sempat bertemu dengan netra Kaheza yang sudah berpakaian rapih duduk di tepi ranjang sebelum akhirnya pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Sial. Kenapa aku malah lupa memakai bajuku," umpat Shain dalam hati.

Hening.

"Euh, kalau begitu aku berangkat, assalamu'alaikum." Kaheza berjalan keluar dengan tergesah.

Tepat setelah menutup pintu, Kaheza memegangi dadanya. Detak jantungnya benar-benar berpacu cepat.

Sedangkan di dalam kamar, Shain terduduk. Entah wajahnya sudah semerah apa. Ia sangat malu. "Ini semua gara-gara aku terlalu memikirkan saran Nada kemarin. Dan berakhir aku lupa memakai bajuku," gumamnya.

"Aish." Ia meremas rambutnya. Ia benar-benar malu mengingat kejadian beberapa detik yang lalu karena menunjukkan penampilan ala kadarnya seperti itu di depan Kaheza. Ini kali pertamanya. Catat.

Dengan perasaan yang tak karuan, Kaheza yang masih berdiri di depan pintu kamar, akhirnya melangkah menuruni tangga dan beranjak keluar.

Saat baru saja membuka pintu mobil, Kaheza teringat sesuatu, tas kerja dan jasnya tertinggal. Ia pun kembali masuk rumah.

Ceklek!

Shain yang masih terduduk, mendongak ke arah Kaheza yang membuka pintu secara tiba-tiba.

Beberapa detik keduanya membeku dengan tatapan beradu.

"Shain?" Akhirnya Kaheza yang panik dengan posisi Shain sekarang dan rambut yang sedikit acak yang mencairkan kebekuan itu. ia mendekati Shain. "Kau kenapa? Sakit?"

"Ah." Shain mengangkat kedua tangannya di depan wajah dengan telapak tangan terbuka saat suaminya itu hendak menyentuhnya, meminta Kaheza agar berhenti mendekatinya. "Aku tidak apa-apa," ucapnya dengan jantung yang berdemo.

"Kau yakin?"

Shain mengangguk lemah sembari merapihkan rambut terurainya.

"Baiklah." Jantung Kaheza yang juga bergemuruh lantas bergerak ke arah meja mengambil tas kerja juga jasnya dari dalam lemari.

"Kau yakin tidak a--"

"Iya," potong Shain cepat saat Kaheza hendak menanyakan keadaannya kembali.

"Baiklah. Aku berangkat, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

 

Di perjalanan, pikiran Kaheza dipenuhi oleh sang isteri. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Siapa yang mengajarinya berpakaian seperti itu? Atau ... isterinya itu memang sudah sering berpakaian seperti itu saat dirinya tidak ada di rumah? Setahunya Shain tidak seperti itu.

Kaheza berdecak kesal. Pikiran negatif menyerangnya. Bagaimana kalau ada laki-laki lain yang melihatnya berpakaian seperti itu? Bagaimana kalau isterinya itu melakukan video call dengan lelaki lain dan masih mengenakan pakaian seperti itu? Memikirkannya saja membuat pria itu frustasi.

Tepat di lampu merah, Kaheza meraih ponsel di dashboard. Diusap layar dan mencari kontak nomor.

"Hallo, assalamu'alaikum, Yan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!