Dear all readers, ini adalah karya pertamaku dan tulisannya mungkin sedikit berantakan di awalnya. Dari chapter 1 sampai chapter 65 itu berisi kisah pembuka yang menceritakan masa lalu tokoh Franda dan mantan suaminya, Nino. Cerita aslinya dimulai dari chapter "A New Life". Jadi, kalau mau baca yang aslinya, silahkan langsung di skip ke chapter itu, dari situ penulisannya lebih bagus dan lebih rapi karena aku baru nemu formula menulis yang nyaman dan asik. Atau kalau mau tahu persoalan lebih jelasnya, tidak masalah juga jika kalian membaca dari chapter 1 sampai habis, supaya lebih paham alurnya. So, enjoy!
***
"Sayang, tolong bantu aku!" Franda yang kesulitan membuka pengait gaun bagian belakangnya berteriak meminta tolong kepada suaminya, Elnino.
"Iya, sebentar sayang." Nino yang sedang menutup tirai jendela langsung mendatangi Franda dan membantunya.
"Sudah, Sayang." kata Nino sambil memeluk istrinya dari belakang.
"Thankyou, Baby!" Franda mencium pipi Nino. "Kau selalu menjadi malaikatku dalam hal ini, hahaha!" Franda melanjutkan membuka gaunnya.
"Hanya saat aku membantumu membuka gaunmu?" Nino menggoda Franda dengan pertanyaannya, diikuti tangan usilnya yang sudah bergerak menyisir tubuh mulus Franda.
"Ahh, tidak, Sayang! Kau malaikatku disetiap keadaan. The one and only, Elnino Wirawan!" Franda tersenyum lebar meyakinkan, sambil berbalik menatap Nino dan mengalungkan kedua tangannya keleher suaminya. Tangan manjanya sedang bermain ditengkuk suaminya.
"Apa kau yakin?" tanya Nino sambil mencuri satu ciuman cepat dibibir istrinya.
"Iya, Sayang. Memangnya siapa lagi? Hanya kau yang aku miliki didunia, aku merasa sudah sangat cukup hanya denganmu. Aku tidak membutuhkan yang lain." Franda dengan lembut menarik kepala suaminya dan mencium bibirnya dengan penuh cinta, yang tentunya dibalas dengan cara yang sama oleh suaminya.
Franda selalu melambung dengan sentuhan suaminya. Usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ke tujuh, namun hangatnya pernikahan mereka tetap sama seperti pengantin baru, bahkan tak jarang lebih hangat. Satu-satunya hal yang memicu pertengkaran adalah masalah anak. Ya, Franda dan Nino memang belum mempunyai anak.
Sebenarnya Nino tidak mempermasalahkan hal itu, tidak sekalipun Nino berbicara tentang memiliki anak pada istrinya. Ia tidak ingin membuat istrinya merasa terbebani dengan pembahasan tersebut. Karena baginya, istrinya saja sudah cukup untuknya. Namun lain hal dengan Franda, dia sangat ingin merasakan bagaimana menjadi seorang ibu. Franda ingin menjadi wanita yang sempurna dengan memberikan anak kepada Nino. Franda juga sering merasa terganggu dengan pertanyaan mertuanya, yang tak lain adalah Mama Nino.
Setiap mereka bertemu selalu hal itu yang ditanya oleh mertuanya. Franda dan Nino sudah berulang kali melakukan pemeriksaan kesuburan, dan tidak pernah ada masalah sama sekali, dokter selalu mengatakan mereka hanya perlu bersabar. Berbagai cara sudah pernah mereka coba sebelumnya, dari mulai memperbaiki gaya hidup, teknik dan waktu bercinta yang baik agar segera hamil, mengikuti program kehamilan, sampai mengkonsumsi berbagai macam obat dan vitamin, baik herbal maupun medis. Namun belum pernah sekalipun berhasil.
"Sayang, I'm on my periode!" Franda tahu suaminya itu sengaja bermain-main untuk menyiksanya, namun segera dipatahkannya dengan ucapannya. Wanita itu tersenyum simpul, puas dengan kemenangannya.
"Kenapa tidak mengatakannya dari tadi?" protes Nino kesal, Ia harus menunda untuk melakukannya hingga minggu depan, paling cepat enam hari ke depan.
Franda langsung duduk, diciumnya pipi suaminya berkali-kali. "Maaf, aku akan membayarnya nanti, jangan marah lagi." katanya dengan wajah yang sebisa mungkin dibuat memelas.
Nino mengerang dan mengibaskan rambutnya, mengusir rasa kecewa yang hinggap karena tidak mendapatkan apa yang di inginkannya. Menunggu hingga seminggu kedepan sudah pasti akan menyiksanya, jangankan seminggu, sehari saja tanpa bermesaraan dengan Franda sudah dipastikan membuatnya menggila.
Nino sangat mencintai Franda, selain karena wajah cantiknya yang diatas rata-rata, Franda juga sangat ahli dalam hal menyenangkan suaminya. Franda mampu melakukan apapun yg bisa membuat Nino bahagia, Ia sudah lulus sekolah mengurus rumah dan suaminya. Segala hal sudah ditamatkan oleh Franda, kecuali memasak.
"Kau marah, Sayang?" Franda bertanya, masih dengan manjanya memainkan kancing kemeja suaminya, bibirnya mengerucut saat Nino tidak meresponnya.
"Hmm." Nino menjawab dengan singkat, bertahan dengan rasa kesalnya.
Franda menarik paksa wajah Nino agar menghadapnya, "Jangan marah lagi, aku mencintaimu!" ucapnya, bibirnya kembali mencium pipi suaminya berkali-kali.
"Tidak usah merayuku, aku benar-benar kesal sekarang! Kau mendorongku saat aku tepat berada di puncak, kau tahu bagaimana rasanya? Ah, aku bisa gila!" Nino mengusap kasar rambutnya, sesuatu yang sudah siap terbang dibawah sana harus ditunda sampai seminggu membuatnya begitu frustasi.
"Maaf..." Kata Franda singkat, lalu beranjak turun dari ranjang menuju meja riasnya.
Nino hanya menatap Franda. Mengamati istrinya yang sedang membersihkan wajah di meja rias. Ia tahu ada pasti sesuatu yang mengganggu istrinya. Nino sangat hafal dengan semua tingkah istrinya. Selama hampir tujuh tahun pernikahan mereka, Nino mengenal istrinya dengan baik. Beranjak dari tempat tidur dan melepas kemejanya, lalu mendekati Franda dan langsung memeluk dari belakang.
"Apakah Mama mengatakan sesuatu padamu, Sayang?" Sambil menatap istrinya dicermin, Ia memperhatikan wajah istrinya. Franda menghentikan gerakannya, berbalik dan memeluk Nino sambil menenggelamkan wajahnya di perut suaminya. Menarik napas dalam, lalu menghembuskan dengan kasar.
"Aku lelah, Sayang! Setiap saat Mama menyalahkanku. Kau tahu Mama sering melakukannya, tapi aku rasa kali ini aku tidak sanggup lagi. Aku selalu bersabar menghadapinya, mencoba mengalah dengan melupakan semua kata-kata Mama, berharap suatu saat aku hamil dan Mama akan berhenti menyalahkanku, tapi sampai saat ini aku masih belum juga hamil. Tidak tahu berapa lama lagi akan seperti ini. Aku tidak kuat jika harus mendengar kata-kata Mama terus-menerus! Sungguh, aku tidak kuat lagi." Franda berbicara mengungkapkan perasaannya. Banyak hal yang Ia simpan selama ini. Setiap bertemu dengan Mama Rossa, tidak pernah ada kata-kata baik untuknya, selalu menyalahkan Franda yang belum hamil selama hampir 7 tahun pernikahan dengan Nino.
"Sayang, aku tidak tahu apa yang dikatakan Mama padamu, tapi aku yakin itu pasti menyakitkan. Aku minta maaf untuknya. Mama hanya menginginkan cucu dari kita. Meskipun dia salah, kita harus mengerti maksudnya, Sayang." kata Nino sambil mengusap punggung Franda, berusaha menenangkannya.
"Aku tahu itu, sangat tahu kalau Mama ingin memiliki cucu. Aku juga ingin memiliki anak, tidak bisakah dia berhenti menyudutkanku seolah-olah aku tidak bisa hamil? Kita sudah berkali-kali melakukan tes, dan tidak ada yang salah sedikitpun. Dokter mengatakan aku baik-baik saja, kau juga. Tidak bisakah Mama berhenti menyalahkanku?" Franda menatap Nino dengan wajah sendu, berusaha menyampaikan apa yang ada dihatinya.
Nino menghapus airmata yang sejak tadi tumpah di pipi Franda, menarik istrinya berdiri dan memeluk erat serasa mencium kening istrinya.
"Lupakan untuk sekarang, aku akan berbicara pada Mama besok. Kau tidak perlu memikirkan apapun, aku akan selalu bersamamu. Tidak akan ada yang berubah. Kita akan hadapi ini bersama-sama." Nino lalu mendorong pelan istrinya ke ranjang, membaringkannya san menutup tubuhnya dengan selimut.
"Istirahatlah, jangan memikirkan apapun." kata Nino, lalu mencium kembali kening istrinya. Sedikit lebih lama kali ini.
Begitulah kehidupan pernikahan Nino dan Franda selama hampir tiga tahun belakangan. Mereka sudah berusaha untuk mendapatkan anak, tapi belum membuahkan hasil sampai saat ini. Franda yang awalnya bisa melupakan kata-kata mertuanya mulai tidak tahan, Mama Rossa selalu menyalahkan Franda. Ia tidak terlalu memikirkannya jika Mama Rossa mengatakan hal itu hanya didepannya dan keluarga, tapi kemarin Mama Rossa mengatakannya ditempat umum.
Saat itu mereka sedang menghadiri pesta pernikahan Chloe, adik sepupu Elnino.
Franda dan Nino masuk diiringi tatapan kagum siapapun yang melihat mereka. Pasangan paling sempurna, bukan hanya cantik dan tampan, tapi juga sukses. Nino dengan perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang kontraktor, Franda dengan butik yang ia bangun sejak sebelum menikah dengan Nino. Keduanya sukses dengan jalan masing-masing.
Sejak kecil Franda tinggal dengan keluarga pamannya yang selama ini Ia panggil Ayah Satya dan Ibu Marissa. Orangtuanya meninggal akibat kecelakaan ketika ia berumur 4 tahun. Franda sangat disayang oleh keluarga pamannya, tidak ada perbedaan ketika mereka menyayangi anak-anak mereka. Edward dan Mia, kakak dan adik sepupu Franda juga sangat menyayanginya. Ia sangat bersyukur dengan kehidupannya. Meskipun tidak banyak waktu yang ia ingat dengan orangtua kandungnya, ia sangat bahagia dengan keluarga pamannya, yang juga keluarganya saat ini.
Saat di pesta kemarin, Franda yang melihat Mama Rossa duduk bersama teman-temannya menghampiri mereka ketika Nino sedang berbincang dengan rekan kerjanya.
"Hai, Ma! Mama cantik sekali hari ini." Franda berbasa-basi, tersenyum cerah dan memeluk Mama Rossa.
"Iya, Nino kemana?" tanya Mama Rossa tanpa menngucapkan terimakasih untuk pujiannya.
"Sedang berbicara dengan temannya, Ma." jawab Franda masih tersenyum hangat. Lalu mengalihkan pandangan ke teman-teman mertuanya.
"Halo, Tante! Apa kabar?" tanya Franda sambil memeluk mereka satu persatu. Mereka semua mengenal Franda dengan baik.
"Baik. Kamu sendiri bagaimana? Sudah ada kemajuan?" tanya salah satu teman Mama Rossa.
"Belum, Tante. Mohon doanya, ya." jawab Franda yang sudah terbiasa dengan pertanyaan itu. Hampir setiap hari selalu saja ada yang bertanya tentang kehamilannya. Sampai Ia bosan menjawab hal yang sama.
"Dia tidak akan bisa memberikan Nino anak. lihat saja, sudah hampir tujuh tahun tapi belum ada anak satupun, bahkan belum pernah hamil sama sekali." kata Mama Rossa tiba-tiba, sambil menatap sinis Franda.
Franda yang mendengar itu langsung terdiam, senyumnya hilang. Hatinya sangat sakit. Bagaimana tidak, mertuanya mengatakannya di depan orang banyak. Siapapun yang mendengar langsung melihat ke arah Franda. Sebagian sinis, sebagian lagi iba.
Tante Diana yang sebelumnya menanyakan kehamilan Franda merasa tidak enak saat melihat wajah Franda.
"Kak Rossa, tidak boleh begitu. Ini hanya masalah waktu, bukankah Franda dan Nino sudah banyak melakukan tes? Mereka baik-baik saja, kak." kata Tante Diana sambil mengusap punggung Franda dengan halus, berusaha menghiburnya.
"Tidak apa-apa, Tante. Aku mengerti Mama hanya ingin memiliki cucu." Franda berbicara sambil bersusah payah berusaha tersenyum.
Lalu Nino datang untuk mengajak Franda untuk mengucapkan selamat kepada Chloe. Nino tidak menyadari apa yang terjadi sebelumnya karena saat Ia datang, Franda sedang tersenyum.
"Mama cantik sekali hari ini." kata Nino sambil memeluk dan mencium pipi mamanya.
"Mama selalu cantik setiap hari, apalagi sejak kamu lahir, kecantikan Mama bertambah, hehe." Mama Rossa mengucapkan itu dengan sengaja. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa perempuan akan cantik ketika menjadi seorang ibu.
Nino yang tahu maksud mamanya langsung menatap Franda. Istrinya masih tersenyum, tidak terlihat terganggu sama sekali. Lalu menarik Franda kearah Chloe dan suaminya, setelah sebelumnya pamit kepada Mama Rossa dan teman-temannya.
Franda dan Nino berjalan ke arah Chloe dan suaminya untuk mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Sesekali mereka juga berbincang dengan rekan kerja Nino. Ada beberapa dari mereka yang dikenal oleh Franda.
Sejenak Franda lupa yang terjadi sebelumnya saat Ia bersama Mama Rossa. Ia terlihat menikmati malam itu sampai mereka pulang.
Tidak sedikitpun ia berbicara kepada suaminya tentang kejadian tadi. Ia berusaha melupakan. Memaafkan perkataan Ibu mertuanya.
Sampai saat pulang dan berada dikamar bersama Nino setelah acara selesai, barulah Ia mengingat kejadian itu.
.
Matahari sudah mulai naik, cahaya yang menerobos tirai jendela tanpa malu-malu seakan memaksa sepasang suami istri itu untuk membuka mata. Nino bangun dan melihat istrinya masih terlelap karena membelakangi tembok kaca dikamar mereka, tidak terganggu dengan cahaya tersebut.
Ia memperhatikan wajah istrinya, mengagumi betapa sempurnanya ciptaan Tuhan yang ada dihadapannya saat ini. Kulit wajah yang bersinar, putih dan mulus. Alisnya yang tebal, hidung mancung, dan bibir seksi yang sangat disukai olehnya. Mata istrinya sedikit sembab karena menangis tadi malam. Ia sedih sekaligus merasa bersalah atas apa yang terjadi pada mereka. Mengingat istrinya selalu disalahkan oleh mamanya.
Nino tidak ingin istrinya terus disakiti, namun Ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Ada rahasia yang disimpannya. Sangat ingin rasanya mengatakan pada istrinya, namun Ia takut Franda akan meninggalkannya.
Benar. Nino memalsukan semua hasil tes yang dilakukan selama ini sejak 4 tahun lalu. Pertama kali mereka melakukan tes, Nino yang mengambil hasilnya dan sangat terkejut melihat bahwa dirinya yang bermasalah. Nino yang sulit memiliki keturunan, dokter menjelaskan bahwa kemungkinan mereka akan memiliki anak sangat kecil.
Nino yang mendengar itu seakan tidak percaya, ia terduduk lemas. Memikirkan bagaimana cara mengatakannya kepada Franda dan keluarganya. Mungkin dengan keluarganya tidak akan bermasalah, karena mereka tetap akan mendukungnya, bukan? Tapi bagaimana dengan Franda? Apakah Franda bisa menerimanya? Apakah Franda akan bertahan dengannya? Pertanyaan semacam itu terus muncul dibenaknya.
Sampai pada akhirnya ia memalsukan hasil tes tersebut. Mengganti hasilnya yang sebelumnya Ia bermasalah menjadi baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan mereka berdua. Empat tahun lamanya Nino menyembunyikan hal itu, setiap hari berharap keajaiban datang kepadanya. Ia tidak sanggup harus kehilangan Franda.
Franda menggeliat, merasakan tanyan suaminya mengusap pipinya lembut.
"Sayang, jam berapa ini?" tanyanya dengan suara khas bangun tidur sambil kembali menutup mata.
"Jam 8, Sayang." Nino menjawab, masih menahan tangannya di pipi istrinya.
Franda terlonjak.
"Hah? Kenapa tidak membangunkanku, Sayang? Aku ada pertemuan dengan klien pagi ini!" Segera bangun dan turun dari ranjang.
"Kau tidak mengatakannya padaku, Sayang. Aku tidak tahu kau ada kegiatan apa hari ini." Nino menjawab santai. Tersenyum memandang istrinya yang menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Nino masih santai diatas kasur sambil menunggu istrinya selesai mandi. Hari ini ia akan ke kantor setelah bertemu Mama Rossa, Nino akan menunjukkan hasil tes yang sebenarnya kepada mamanya. Ia sudah memutuskan akan mengatakan kebenarannya agar mamanya berhenti menyalahkan istrinya. Selanjutnya baru akan mencari cara untuk memberitahu istrinya.
Franda keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe dan rambutnya digulung dengan handuk. Sekilas memandang suaminya yang sedang melamun. Franda mendekat dan memperhatikan Nino, menyipitkan mata karena suaminya tidak menyadari keberadaannya.
"Kau memikirkan apa, Sayang?" kata Franda.
"Ah? Kau sudah selesai? Aku mau mandi, sayang" Nino turun dari ranjang dan menuju kamar mandi tanpa menjawab pertanyaan Franda.
"Aneh sekali! Apa yang dipikirkannya?" Franda bertanya dalam hati, kemudian berjalan menuju ruang ganti dikamar mereka. Setelah selesai Ia menyiapkan pakaian Nino dan langsung menuju ke meja rias, bersamaan dengan itu Nino keluar dari kamar mandi.
"Apa yang kau pikirkan, Sayang?" tanya Franda tanpa memandang suaminya, saat ini dia sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu mengambil hair dryer.
"Bukan apa-apa." kata Nino.
"Hari ini aku akan bertemu Mama. Aku ingin Mama berhenti mengganggumu." sambung Nino lagi. Memakai pakaian yang sudah disiapkan Franda.
"Jangan memarahi Mama, berbicaralah baik-baik. Aku memang kesal, tapi kita tidak boleh jadi anak kurang ajar." kata Franda.
"Biar bagaimanapun dia mamamu, yang artinya mamaku juga. Aku tidak ingin kau memperkeruh suasana dengan memarahinya, Sayang. Bicara baik-baik." katanya lagi sambil menatap Nino.
"Aku tahu, Sayang. Aku hanya ingin Mama berhenti menyalahkanmu. Aku tidak pernah keberatan tidak punya anak denganmu. Aku bahagia walaupun hanya berdua denganmu.".
"Karena aku yang tidak bisa memberimu anak." sambung Nino dalam hati.
"I know! Tapi ingat, jangan memarahinya!" kata Franda yang kini sudah selesai dengan rambutnya, mendekati Nino dan mengambil dasi lalu memasangkannya.
"Aku tidak akan memarahinya." jawab Nino tersenyum sambil menarik pinggang istrinya agar merapat.
"Kau berjanji?" kata Franda masih menyelesaikan memasang dasi.
"Aku berjanji padamu, Sayang." Jawab Nino lalu mencium kening istrinya berlali-kali.
"Aku percaya padamu." Franda membalas dengan mencium pipi Nino, dan menggantungkan kedua tangannya dileher suaminya, menarik turun dan mencium bibir Nino. Sedikit ******* yang disukai Nino.
"Aku mencintaimu!" ucap Franda setelah melepas bibirnya.
"Aku juga. Sangat mencintamu!" Nino mencium kening Franda lagi, dan memeluk erat.
.
Setelah selesai mereka berdua turun untuk sarapan. Ada Mbak Ika, asisten rumah tangga yang membantu mereka sehari-hari, dari urusan rumah sampai memasak. Hanya kamar yang tidak boleh disentuh oleh Mbak Ika, karena bagi Franda kamar adalah ruangan pribadi yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain selain pemiliknya. Keseluruhan kamar yang berjumlah 6 termasuk ruang kerja Nino ketika dirumah akan dibersihkan oleh Mbak Ika, terkecuali kamar mereka. Franda yang akan mengurusnya.
Rumah mereka memang besar, bahkan terlalu besar untuk mereka tempati. Awalnya Franda meminta pindah ke apartemen milik Nino yang tidak terlalu jauh letaknya agar mereka bisa tinggal berdua dan tidak membutuhkan asisten rumah tangga, tapi Nino menolak. Nino ingin ada orang yang menemani Franda saat Ia tidak dirumah, meskipun mereka pindah ke apartemen, tetap akan ada asisten rumah tangga disana. Akhirnya Franda mengalah dan memilih tinggal dirumah, sementara apartemen disewakan kepada orang lain.
"Sayang, hari ini ke kantor jam berapa? Mau makan siang bersama?" tanya Franda saat akan keluar dari rumah dan menuju mobil mereka masing-masing.
"Aku belum tahu. Aku kabari nanti setelah selesai dengan Mama." jawab Nino.
"Baiklah. Hari ini aku hanya meeting jam 10, setelahnya hanya di butik. Ingat jangan memarahi Mama" kata Franda dengan menggoyangkan telunjuknya didepan Nino, dengan tatapan sedikit mengancam.
"Iya, Sayang!" jawab Nino, lalu membuka pintu mobil istrinya.
"Hati-hati, jangan mengebut." Franda membalas dengan anggukan. Nino mencium bibir Franda sekilas lalu menutup pintu.
Nino dan Franda berangkat menggunakan mobil masing-masing. Franda menuju butik, sementara Nino menuju kerumah orangtuanya.
Sepanjang perjalanan Nino terus mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kebenaran tenta hasil tes dirinya dan Franda kepada Mama Rossa. Dia berharap Mamanya bisa menerima dan berhenti menyalahkan Franda, istrinya.
45 menit berikutnya Nino sudah sampai didepan rumah orangtuanya langsung masuk setelah memarkirkan mobilnya. Disambut oleh asisten rumah tangga yang bernama mbak Marni.
"Mas Nino, tumben pagi-pagi kesini?" Mbak Marni yang merasa heran, sebab jarang sekali Nino datang, apalagi sejak Mama Rossa tidak senang dengan keadaan Franda yang menurutnya mandul.
"Iya, Mbak. Mama dimana?" tanya Nino.
"Ada dikamar sepertinya, Mas. Tadi setelah sarapan masuk kamar dan belum turun lagi." sahut Mbak Marni.
"Oke, saya ke kamar dulu." Nino langsung melangkah menuju kamar Mama Rossa yang ada di lantai 2, dan langsung mengetuk pintu. Setelah dijawab dari dalam, Nino lamgsung masuk dan melihat Mamanya sedang santai membaca buku duduk di kursi malas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!