"Han, kamu ikut kan nanti malam," tanya Rani sambil menyerahkan beberapa sisa berkas.
"Gimana yaa ..., aku ada janji kencan malam ini dengan Morris, kau kan tahu sendiri bagaimana Morris ..., dia nggak akan suka kalau aku pulang kerja keluyuran nggak jelas, " sahut Hana, namun tangannya masih sibuk dengan ketikan.
"Over protect Morris kadang tidak jelas, kamu yakin dia tulus sama kamu Han, atau ..., jangan-jangan dia tuh lagi nutupin kesalahannya lagi," Rani yang memberikan kode pada Hana, karena seminggu yang lalu Rani tanpa sengaja melihat Morris sedang makan siang dengan wanita lain.
"Enggak Rani..., Morris itu pria paling jujur, setia dan sayang banget sama aku," Hana yang sudah bucin di butakan cinta.
Ya... ampun Han, gimana aku ceritanyaa, kamu tuh baik dan polos banget, di bohongin buaya darat seperti Morris. Pekik Rani di hati.
"Sesekali-lah Han, lagian kan ini pesta ulang tahun pak Gerry, nggak enak lah kalau sampai tidak hadir..., coba kamu chat dia minta izin dari sekarang," bujuk Rani.
Hana berpikir, mengingat kembali kalau dia memang sama sekali tidak pernah keluyuran ke mana pun setelah pulang kerja. Pulang selalu on time, laporan kemana pun dia akan pergi. Sedangkan Morris selalu seenaknya sendiri, kalau hatinya sedang buruk langsung memaki Hana, kalau dia sedang butuh sesuatu sikapnya manis seperti gulali.
"Aku coba dulu Ran ..., izin dia," mengambil tas dan mengeluarkan ponsel.
"Oke, cepat Han ...," menunggu di sudut meja sambil bersandar.
Deringan telpon berbunyi di ponsel Morris, ia meraih ponselnya,
"Ada apa Hana ..., cepat katakan?," sahut di seberang dengan nafas tertahan.
"Kau sedang apa Morris?," Hana seolah mendengar sesuatu yang tidak beres, namun dia hanya bisa menebak-nebak.
"Ada apa, cepat katakan!!," teriakannya terdengar tidak sabar.
"Aku ..., izin pulang telat ya ..., dari kantor ada acara ulang tahun bos dan semua karyawan di undang hadir,"
"Begitu saja, mengganggu!!," telpon terputus. lalu tangan seseorang meraih perut Morris, "Sayang ..., siapa sih ..., ayok kita lanjutkan," suara manja bergelayut leher Morris.
"Wanita bodoh itu selalu saja membuatku kesal, dua tahun pacaran apa pun di sentuh tak boleh, sungguh membosankan, kalau tidak karena uangnya mana mungkin aku menempel padanya,"
"Sudahlah sayang ..., jangan marah lagi, kan ada aku, apa pun boleh kau sentuh dan nikmati ...,"
"Lona, lona ..., untung ada kamu..., teman Hana yang selalu bisa memuaskanku," meraih tengkuk Lona dan mereka melanjutkan adegan panasnya di balik selimut.
.
.
.
.
Hana terkejut telpon nya ke Morris langsung terputus,
"Gimana Han?," Rani yang menunggu jawaban Hana.
"Mmm, oke aku ikut,"
"Sip, kalau begitu aku balik meja ya, selesaikan sisa pekerjaanku," Hana mengangguk.
Morris di mana ya, sepertinya aku tadi mendengar sesuatu. Hana yang merasa hatinya tidak enak.
.
.
Jam Kantor usai, para karyawan bersiap ke undangan ulang tahun pak Gerry ...
"Loh kok turun di sini Ran ..., apa kita tidak salah tempat?," raut wajah Hana berubah takut saat turun dari taksi.
"Nggak kok Han, ayok kita masuk ...," tarik Rani menggandeng masuk Hana ke dalam pub.
"Ta-tapi Ran ...," kaki Hana seakan menolak untuk masuk ke dalam.
"Tuh Han ..., anak-anak kumpul di sana," tunjuk Rani yang sudah melihat para teman kantornya dan melepaskan gandengan lengan Hana, kabur menghampiri mereka.
Karena canggung dan bingung dengan suasana pub, bagi Hana ini pertama kalinya dia masuk ke tempat seperti ini, ia hampir terseret jatuh oleh kakinya sendiri, namun seseorang menangkap tubuh Hana,
Ah, wanita ini ..., aroma manis nya membuatku lapar.
"Maaf Tuan, saya tidak sengaja ...," Hana segera menarik tubuhnya, menjauh dari laki-laki yang menatap tajam dan memeluknya, bergegas lari bergabung dengan yang lain.
Lelaki tadi tak bergeming, dia seakan tidak rela melepaskan pelukan nya dari Hana.
"Tuan, mata anda ...," segera tersadar dan menunduk, bola mata birunya kembali berubah menjadi hitam kembali.
"Aku lapar,"
"Makanan anda ada di atas Tuan," melirik ke arah Hana yang sedang di paksa minum oleh yang lain. Hana berusaha menolak, namun kalah dengan permainan yang membuatnya menerima hukuman minum tiga gelas besar penuh.
Lelaki tadi melewati Hana, menaiki tangga ke arah makanan yang sudah di persiapan untuknya.
"Ini kamarnya Tuan, ruangan kedap suara, jadi anda bisa makan sampai kenyang, kami akan berjaga di sini," mereka membuka pintu, hawa dingin langsung terasa, suasana remang, terlihat di atas ranjang seorang wanita menggunakan lingerie merah, kedua tangannya di ikat di tepi ranjang dengan matanya yang di tutup ...
"Tu-Tuan, apakah itu anda?," suara wanita tadi manja, menggoda.
Lelaki tadi duduk di pinggir ranjang, mengusap pipi, membelai rambut wanita tadi dengan lembut, mengusap lembut bibirnya yang merona seperti mawar, melepaskan perlahan ikatan kedua tangan wanita tadi, seperti gayung bersambut wanita langsung melepaskan ikatan kedua matanya...
"Tuan ..., kenapa lama sekali, aku sudah kedinginan dari tadi loh ...," menggoda tanpa rasa malu.
Lelaki tadi tersenyum dengan bibir rapat, wanita tadi membuka bibirnya, mengalungkan kedua tangannya di leher dan bersiap memberikan serangan manja, namun seketika matanya membulat lebar ketika melihat mata laki-laki tadi berubah menjadi biru, menyeringai penuh amarah,
"Aaakkhhh" teriak wanita tadi berusaha melarikan diri, memberontak, namun satu terkaman mendarat di lehernya dengan cepat, sepersekian detik kemudian wanita tadi sudah tak bergerak dan berontak lagi ...
"Hmm ..., rasanya tidak enak," lelaki tadi melemparkannya, berdiri dan mengusap bibirnya yang penuh darah.
Ia membuka pintunya,
"Aku sudah selesai, kalau kalian suka bisa habiskan," melewati beberapa orang, mereka berebutan masuk ke ruangan dan menutup pintunya.
"Lebih cepat dari dugaan saya Tuan,"
"Rasanya tidak enak, aku masih lapar, malam ini biarkan aku mencari makananku sendiri," sambil terus menatap Hana dengan tajam.
"Ta-pi Tuan," memberi isyarat tutup mulut dengan jarinya.
"Kau siapkan saja mobil, aku akan menjemput makanannya dulu,"
"Baik Tuan," pergi menatap Hana yang tengah berpamitan pulang.
.
.
.
"Ran, aku pulang duluan yaa," Hana yang merasa tubuhnya sudah tidak sanggup, kalau dia lanjutkan dia pasti tidak akan bisa pulang.
"Lanjut saja Han, nanti kamu menginap di tempat ku, besok kan libur,"
"Terima kasih Ran, aku takut Morris mencariku, aku pulang ya, daghh semua ...," pamit Hana yang berjalan sedikit sempoyongan.
Aduh, pusing banget, sepertinya aku telpon Morris saja ..., minta dia menjemputku.
Hana berjalan memegangi tembok, keluar dari pub, tangan satunya mencari ponsel dalam tasnya, dia tak sadar seseorang dari belakang terus mengikutinya. Baru beberapa langkah keluar pub, sambil memegang ponsel, perutnya bergetar terasa mual, dia segera berlari dan tak tahan mengeluarkan semua isi dalam perutnya.
Mencari tissu dalam tasnya, namun tidak ketemu, seseorang memberikan tissu dan air mineral, Hana melihatnya, mencoba berdiri namun sempoyongan, meraih apa yang di berikan orang tadi,
"Terima kasih," segera mengusap bekas mutah dan membuka air mineral tadi.
"Mau di antar, sepertinya sangat berbahaya kalau anda pulang sendiri," tatapannya seperti membuat hipnotis kepada Hana.
Sesaat Hana terpaku, " Terima kasih Tuan, tapi saya sudah ada yang jemput," tak lama deringan ponsel Hana berbunyi, "Saya pamit, sekali lagi terima kasih," Hana berlari kearah mobil yang melambaikan tangannya.
Ah, sial, makan malamku lepas. Geram lelaki tadi menyaksikan kepergian Hana.
.
.
.
...Bersambung...
Hallo semua, Terima kasih ya masih setia membaca karyaku. Ini karya terbaruku loh.. lagi buat sesuatu yang berbeda, semoga kalian suka yaaa...
Jangan lupa Like, Komen, Fav dan Ratenya yaa, Terima kasih semua 🙏🙏
Hana berlari dari kejaran puluhan serigala yang siap memangsanya, deru nafasnya mendera, peluh keringat membasahinya, nafas tersengal berlarian tanpa arah tujuan ...
"Di mana ini, apakah aku sudah mati?. Tolong siapa saja ..., tolong akuuuu ..., aku masih belum mau mati ...," batin Hana berteriak hebat, airmatanya mengalir dengan deras sampai dia tersungkur di tanah berumput.
"Kau mau lari kemana lagi, kemana pun kau berlari, kau tetap tidak akan ku-lepaskan," teriakan laki-laki menggema di udara dengan keras.
Hana membalikkan tubuhnya, seketika dia tersentak, hening, puluhan serigala yang mengejarnya lenyap, berganti dengan puluhan prajurit dan seorang pria di hadapannya menatapnya dengan tajam ...
"Si-si-apa kalian?? Dimana aku?," merangkak mundur ketika laki-laki tadi terus menghampirinya ...
"Kau ..., kau melupakanku? Aku ..., Eliot suami-mu," bersujud meraih tangan Hana dan menciumnya ...
Hana tersentak, terbangun dari mimpi. Mimpi buruk. Bahkan mimpi itu terasa sangat nyata baginya.
Akh, ini karena aku terlalu banyak minum semalam.
Hana membenarkan posisinya, duduk di tepi ranjang, meraih gelas berisi air di samping ranjang tidurnya. Meletakkan gelas tadi dan berdiri. Baru selangkah dia berjalan, Hana meringis kesakitan, melihat telapak kakinya yang kotor dan penuh luka seperti dia habis berlari tanpa mengenakan alas kaki.
"Apa ini, dari mana aku, kakiku sakit sekali," berjinjit perlahan memasuki kamar mandi.
Ponsel Hana berdering saat dia mengenakan baju, dia lirik Rani yang menelpon.
"Hanaaa," teriakan Rani dari sebrang telpon, Hana menjauhkan ponselnya sebentar sebelum dia menjawab telpon Rani.
"Iya Ran, ada apa?'
"Kau sedang apa, temani aku keluar, sekarang," pinta Rani.
"Kau di mana sekarang?"
"Aku di salon langganan, cepatlah ke sini, aku bete nih sendirian"
"Iya, aku ke sana sekarang"
Hana meraih tasnya di meja, melirik kembali kakinya.
Sepertinya aku harus ke apotik dulu, batin Hana.
Hana mengunci pintunya, berjalan menuruni tanga perlahan, kakinya masih terasa sakit. Ia berdiri tak stabil di depan gedung sewaannya menunggu taksi. Sebuah taksi berhenti di hadapannya, Hana membuka pintunya, saat dia akan menutup pintu taksi Hana terkejut karena ada seorang pria masuk bersamanya.
"Ah, maaf, anda yang memberhentikan taksinya ya," Hana yang canggung, malu sendiri menerobos masuk ke taksi.
Lelaki tadi hanya menatap Hana. Hana yang merasa tidak enak, "Kalau begitu saya yang keluar, sekali lagi maaf ya," lelaki tadi bergeser sambil mengusap hidungnya, membuka pintu..
Hana keluar menahan sakit di kakinya, lelaki tadi melirik kaki Hana yang berdiri tidak stabil, berjalan melewati laki-laki tadi.
"Kau mau ke mana," lelaki tadi menarik lengan Hana menghentikan langkah Hana.
"Aku mau ke apotik depan, kakiku sedang sakit," tatap Hana, melihat wajah lelaki di hadapannya seolah ada dejavu yang terlintas di ingatan Hana, namun bayangannya masih terasa samar.
"Masuk-lah," membuka kembali pintu taksi.
"Ti-tidak usah, saya masih bisa menunggu taksi yang lain kok," tolak Hana.
Lelaki tadi mendelik tajam tiba-tiba, "Aku bilang masuk," perintahnya tidak bisa di tolak, Hana tambah terkejut ketika dia masih berdiam diri dan lelaki tadi menariknya masuk ke dalam taksi.
Apa ini, siapa dia, memerintahku dengan seenaknya. Batin Hana.
" Apotik lampu merah pertama, Pak" ucap lelaki tadi berbicara kepada sopir taksi.
Hana hanya meliriknya, ponsel Hana kembali berdering, Hana merogoh tas dan mengangkat telponnya.
"Kau di mana Han, kok lama sekali," suara Rani dari semberang telpon.
"Tunggu sebentar ya Ran, aku mampir ke apotik dulu," sahut Hana setengah berbisik melirik lelaki di sampingnya yang terus memandanginya tanpa berkedip.
"Apotik, kau sedang sakit," suara Rani terdengar Khawatir.
"Tidak, nanti aku ceritakan ya, aku tutup sekarang," Hana mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tasnya.
Suasana hening bercampur canggung, karena tatapan mata lelaki tadi seolah ingin menerkam Hana seperti makanan. Tak lama taksi berhent,
"Terima kasih, Tuan, saya turun di sini saja," Hana mengeluarkan dompet memberikan uang kepada sopir taksi, suara dehaman dari lelaki tadi membuatnya tak berani menerima uang dari Hana, Hana melirik kembali orang tadi yang menatapnya, segera memasukkan uang dan dompet ke dalam tasnya, mencoba membuka pintu di sebelahnya, namun tak bisa dia buka, namun lelaki tadi tetap tak bergeming.
"Maaf, Nona pintu yang itu rusak, Nona hanya bisa bisa menggunakan satu pintu," melirik ke arah lelaki tadi.
Hana membalikkan tubuhnya lagi, "Maaf, Tuan, saya numpang lewat dan terima kasih atas tumpangannya," duduk Hana bergeser ke arah lelaki tadi, meminta untuk keluar.
GREEPP!! Lengan Hana di cengkram, "Berikan hal lain sebagai pengganti ongkosmu," Hana memundurkan tubuhnya.
"Apa maksudmu, Tuan, tolong beri saya jalan Tuan, teman saya sedang menunggu," pinta Hana terus menjauhkan tubuhnya dari lelaki tadi, sepersekian detik Hana melihat mata lelaki tadi berubah warna.
"Tu-tuan, kenapa dengan mata anda," lelaki tadi tersentak atas ucapan Hana, tangannya meraih pintu, membuka, turun dan mempersilahkan Hana keluar. Hana berlari tertatih memasuki apotik, tak berani menengok ke belakang lagi.
BRAAKK!! Pintu taksi tertutup, seketika berubah menjadi mobil hitam yang sangat mewah.
"Sial, aku kehilangan makan siang lagi," ucapnya geram, matanya kembali berubah warna.
"Anda bisa makan camilan yang sudah saya siapkan, Tuan," ucap si sopir taksi yang sudah berubah wujud.
"Baiklah, kita makan camilan dulu, sebelum aku makan makanan utama-ku," seringai lelaki tadi, mobil pun melesat, menghilang dalam keramaian.
Hemm, padahal aku semalam sudah mendatanginya, tapi sepertinya dia belum mengenaliku.
.
.
.
"Kau beli apa sih, Han," tanya Rani dari bangku creambath saat melihat Hana masuk tertatih.
"Aku beli salep, kaki-ku sakit sekali," Hana yang duduk, melepaskan sepatunya, memeriksa kondisi kakinya.
"Kau terluka di mana sih," Rani duduk menghampiri Hana, ia menyeringit ketika melihat kedua kaki Hana lebam penuh luka.
"Aku juga nggak tahu Ran, saat terbangun tadi pagi, tahu-tahu kakiku seperti ini, padahal pas pulang semalam nggak apa-apa, hanya saja semalam aku mimpi, mimpi aneh ...," sambil mengoleskan salep di kakinya, Hana mencoba mengingat kembali mimpinya, namun yang terlihat hanya gambaran buram, dia tak bisa lagi mengingat mimpinya.
"Sudahlah, nggak usah di pikirkan ..., ngomong-ngomong semalam kamu pulang dengan siapa," selidik Rani.
"Dengan Morris, dia menjemputku," sahut Hana.
"Benarkah, hari ini kau ada janji dengannya"
"No,no, dia bilang hari ini ada meeting bertemu dengan klain," Hana yang menggeleng sambil memasukkan sisa salep ke dalam tasnya.
"Jadi kau free dong," Hana mengangguk
"Oke, kalau begitu habis ini kita nonton dan belanja sampai puas," Rani yang sudah selesai dengan aktifitas salonnya langsung menggandeng Hana keluar dari salon.
Hana menghabiskan waktu dengan menonton dan berbelanja, kaki sakitnya seakan hilang kalau sudah menikmati hal seperti itu. Yang Hana tidak tahu, kemana pun dia pergi seseorang terus mengintainya dari kejauhan, Terus mengikuti kegiatan Hana.
Saat Hana sedang mengantri minuman, seseorang mengambil kesempatan berdesakkan, kaki Hana yang memang masih sakit, berdiri tidak stabil terdorong ke belakang, tubuh Hana hampir terjatuh, namun sesorang lelaki menariknya dengan cepat sehingga Hana terjatuh di pelukannya, dan tanpa sengaja bibir Hana menyentuh bibir lelaki tadi. Mata mereke beradu, Hana tersentak, segera menarik tubuhnya dari lelaki tadi.
"Ma-maaf, tidak sengaja," ucap Hana yang masih duduk di atas tubuh lelaki tadi. Lelaki tadi menekan rasa dalam tubuhnya,
"Sampai kapan kau akan tetap di situ," seringainya menatap Hana tajam.
"Hah," Hana tersadar dan segera bangkit dari tubuh pria tadi, berdiri dengan kaki tidak stabilnya. Lelaki tadi membereskan bajunya. Hana menatap lelaki di hadapannya, yang ternyata lelaki yang memberikannya tumpangan saat dia akan ke apotik.
"Kau'' tunjuk Hana, lelaki tadi meninggalkan Hana.
Cih, dia pergi. Apa maksudnya, aku juga di rugikan tahu, itu kan ciuman pertamaku. Batin Hana.
"Ada apa Han," Rani yang menghampiri karena lama menunggu Hana yang tak kunjung datang dengan minumannya.
"Ah, tidak apa-apa, tadi ada yang mendorongku"
"Kau tidak apa-apa Han, mana yang terluka" Rani yang segera memeriksa kondisi Hana, khawatir.
"Tidak, ta-pi minumannya aku belum dapat, tuh masih ngantri" Hana yang melirik ke arah antrean minuman tado.
"Ya ... sudah, kau tunggu di sana, aku saja yang antri minumannya ya," Rani menunjuk kursi tunggu di dekat eskalator. Hana menuruti dan berjalan duduk di kursi yang di tunjuk Rani.
Hana menyandarkan tubuhnya sambil matanya berkeliling ke sana kemari.
"Nih," Rani yang sudah kembali dengan dua minuman di tangannya.
'Makasih ya Ran" Hana menyeruput minumannya dan melanjutkan matanya yang berkeliling tadi, dan,
"Uhuk, uhuk!!!" Hana tersedak, " Kenapa Han," Rani berbalik, segera menepuk punggung Hana yang tersedak, tangan Hana menunjuk sesuatu.
"Apa Han,"
"It-itu, orang itu" Hana yang gelagap ketakutan, karena orang yang menolongnya tadii saat jatuh sedang menatapnya dengan tajam.
"Orang, orang yang mana Hana, tidak ada orang" seketika Hana melihat ke tempat mereka tadi saling bertatapan. Kosong. Hana celingak celinguk sendiri.
Hiihh, apa aku salah lihat tadi. Tengkuk Hana bergidig.
***
Bersambung
"Kita makan di sana saja ya, Han" Rani yang menarik Hana turun ke salah satu restoran.
"Oke, tapi habis makan aku pulang ya" pinta Hana.
"Sip" Rani mengacungkan jempolnya.
Saat mereka makan, sepasang mata pria yang sempat bertatapan dengan Hana tadi mengekorinya tanpa berkedip.
"Tuan Eliot, apa perlu saya turun tangan" ucap seorang pria yang berdiri menatap ke depan di samping pria yang bernama Eliot tadi.
"Tidak perlu, aku tidak ingin membuatnya takut"
"Tapi malam ini pertengahan bulan, kalau Tuan tidak mengambil tindakan akan berbahaya untuk Tuan dan kemarin Tuan hanya makan sedikit"
"Tenanglah malam ini aku pasti makan, kau tak perlu khawatir, Lucas"
Lucas mengangguk, sambil mengamati kembali mangsa incaran Tuannya.
Hana dan Rani beranjak dari duduknya, mereka telah selesai makan.
"Nanti aku drop kamu dulu ya, Han" ucap Rani saat keluar Restoran.
"Siap" Hana menghentikan taksi, dan mereka berdua melesat pergi.
Hana berjalan pelan memasuki gedung tempat dia menyewa kamarnya. Ia merogoh tasnya, memeriksa ponselnya yang sama sekali tidak ada pesan dari Morris pacarnya.
"Apa dia sesibuk itu, bahkan seharian ini tidak menghubungiku" mulut Hana komat kamit sendiri saat menaiki tangga lantai empat menuju kamarnya.
Hana membuka pintu kamarnya sambil menghubungi Morris, namun berkali dia hubungi Morris tidak mengangkatnya.
Menyalahkan lampu, melepaskan sepatu dan masuk ke dalam. Ia mengambil handuknya, masuk ke dalam kamar mandi, menggantikan pakaian tidurnya, malam ini entah kenapa tangan Hana memilih pakaian yang sangat tipis untuk tidurnya. Hana menarik selimutnya, dan tiba-tiba Hana terbangun...
"Dimana aku? Bukankah tadi aku ada di kamarku?" Hana yang bingung menatap sekeliling ruangan penuh batu, dia seperti di dalam goa. Dia terbangun di sebuah batu besar yang di sulap menyerupai ranjang tidur. Ranjang tidur dari batu dengan kelambu berwarna putih.
Hana bangun dan duduk di tepi ranjang batu, menurunkan kakinya perlahan, rasa dingin langsung menyergap di kakinya.
"Kau sudah bangun" suara seorang pria menggema di hadapan Hana, Hana melihat sepasang kaki tegap dan berotot berdiri di hadapannya, Hana menelitinya dari kaki, beralih ke pahanya, lalu badan dan perutnya yang berotot seperti roti sobek, Hana langsung menutupi wajahnya karena malu, karena dia melihat pria di hadapannya hanya menutupi bagian titik vitalnya seperti tarzan.
"Si-siapa kau? Dimana aku? Kenapa aku bisa disini?" Hana mencercanya dengan beberapa pertanyaan. Pria tadi berjalan menghampiri Hana, Hana yang ketakutan berjalan mudur hingga tubuhnya mentok di ranjang bebatu tadi.
"Lihat dengan jelas, siapa aku... kau masih saja melupakanku" menahan tubuh Hana yang sudah terjatuh di ranjang batu dengan kedua tangannya.
"Aku melupakan-mu, bagaimana bisa... kenal pun tidak" sahut Hana acuh tak acuh, menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
Ah, sial kenapa bajuku seperti ini sih, gerutu Hana kesal sendiri.
Pria tadi memandangi Hana dari ujung rambut sampai kaki, di depan Hana tanpa malu ia menelan salivanya sendiri. Lalu tangannya mulai menyentuh wajah Hana, perlahan sampai dia jongkok menyentuh kaki Hana.
"Hei, sedang apa kau, jangan coba-coba menyentuhku, kalau tidak... kalau tidak" Suara Hana bergetar ketakutan. Tangan pria tadi begitu dingin membuat tubuh Hana seperti mengigil.
"Kalau tidak apa" balasnya menatap tajam Hana.
"A-a-aku... akan teriak sekencengnya" ucap Hana dengan tubuhnya yang seolah membeku karena dingin tangan pria tadi.
"Hahaha... hahaha... berteriaklah, silahkan aku mau lihat siapa yang akan menolongmu" tantang pria tadi tertawa dengan keras, Hana merasakan tubuhnya kembali mengigil dingin ketika pria tadi menyentuh kedua telapak kakinya. Ia kembali pada posisinya setelah menyentuh kedua telapak kaki Hana. menahan kembali tubuh Hana yang bergetar karena kedinginan.
"Mau tahu bagaimana caranya kau tidak merasakan dingin" seringainya menatap Hana tanpa berkedip. Dengan tubuh bergetarnya Hana mengangguk perlahan, dia seperti berada di gurun salju, tubuhnya dingin bagai es batu.
"Ingat, namaku Eliot, dan aku adalah suami-mu. Mengerti!" Hana mengangguk sayup dengan matanya yang sudah mau tertutup.
Seketika tubuh Hana kembali menghangat perlahan dari ujung kaki naik perlahan-lahan, Hana terbuai oleh ciuman hangat pria yang bernama Eliot tadi.
.
.
.
"Ah" Hana membuka matanya terbangun dari mimpi dan kembali berada di dalam kamarnya. Nafasnya sedikit tersengal, Hana menyentuh bibirnya, ia bermimpi aneh lagi, namun dia merasa seperti sangat nyata.
Ah, ternyata aku mimpi aneh lagi. Hana mengeluh dadanya.
Lalu dia mengingat nama dalam mimpinya,
"E-E-Eliot" Hana memanggil nama pria dalam mimpinya lirih.
"Iya, aku disini" seketika tubuh Hana merinding ketika dia mendengar suara pria yang menjawab panggilannya. Hana menarik selimutnya ketika pria yang di panggilnya sudah berada di samping tubuhnya.
"Ka-kau" Hana tergagap melihat pria yang di sebut nya dengan Eliot adalah pria yang sama yang memberikan dia tumpangan saat ke apotik, dan dia juga pria yang mengambil ciuman pertama Hana.
"Iya aku" menarik selimut Hana perlahan hingga menyibakkan tubuhnya yang terbalut baju tidur tipis.
"Ba-bagaima kau bisa masuk, kau pencuri ya" replek Hana meraih ponselnya yang berada di pinggir tempat tidur, dia berencana akan menelpon polisi. Eliot mencengkam tangan Hana, mengambil ponsel Hana paksa dan melemparkannya sembarang.
"Ayolah, jangan bermain lagi, aku sudah sangat lapar" ucapnya memeluk tubuh Hana dari belakang, mata Eliot berubah warna, dua taring muncul dari giginya.
"Aroma-mu manis sekali, membuatku mabuk kepayang" Eliot yang menciumi setiap helai dan leher Hana.
"Tolong, tolong jangan bunuh aku, aku janji akan melakukan apa saja, aku tidak akan melaporkan pada polisi, asal kau jangan bunuh aku" Hana yang bergetar setengah mati, mencoba bernegosiasi dengan pria yang bernama Eliot tadi.
"Hahaha... hahaha" tawanya terdengar kembali, persis seperti dalam mimpi Hana, membuat Hana ketakutan setengah mati.
"Oya..., asal aku tidak membunuhmu, kau akan menuruti semua keinginanku" Hana mengangguk cepat.
"Hmmm... tawaran yang menarik, selama ribuan tahun aku hidup, cuma kau saja yang berani bicara itu terhadapku" seringainya, membalikkan tubuh Hana agar bertatapan dengannya.
Ahh, sial, dingin sekali, aku tidak bisa menahannya terlalu lama lagi. Batin Eliot.
Ia segera merebahkan tubuh Hana, Hana seperti terhipnotis melemah saat menatap mata Eliot,
"Baiklah gadis pintar, sekarang naikan kedua kakimu" tubuh Hana seakan reflek bergerak mengikuti perintah dari bibir Eliot, "Ingat, aku Eliot, suami-mu, jangan menyesalinya" Eliot melepaskan semua pakaiannya, sebuah kecupan lembut di mulai dari bibir Hana, Eliot meremas kedua tangan Hana, dia melakukan penyatuan dengan Hana dengan suhu tubuhnya yang dingin, dan kehangatan yang keluar dari tubuh Hana...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!