Gabrian Gamaliel Atkinson, putra dari pasangan Drax Atkinson dan Kimberly Yovanka memasuki perpustakaannya dengan tegap dan percaya diri. Ia berjalan diikuti oleh sang asisten, Arav dan beberapa pengawal. Wajahnya yang tampan dan mata tajamnya menarik para pengunjung, apalagi para kaum hawa.
Ia terjadwal hari ini untuk mengunjungi dan mengecek data-data penting tentang perpustakaan yang ia dirikan setahun terakhir ini. Beberapa waktu lalu penjaga kamera pengawas melaporkan bahwa ada seorang penyusup yang berada di perpustakaan miliknya. Gabrian sangat geram dan ingin segera menangani insiden penyusup tersebut, meskipun waktunya bertepatan dengan istirahat makan siang. Nyali penyusup itu terlalu tinggi dengan berulah di daerah kekuasaannya.
Setengah jam berlalu, Gabrian sudah selesai mengecek data-datanya langsung memanggil Arav untuk membawa salah satu karyawannya untuk ke ruangannya untuk diinterogasi. Entah apa yang ia lihat dalam data-data itu dan juga rekaman kamera pengawas yang terpasang hingga membuat darahnya mendidih.
''Arav, panggil karyawan yang berjaga malam kemarin untuk menghadapku!'' kata Gabrian dengan tegas dan penuh penekanan.
''Baik tuan'' Arav bergegas mencari karyawan yang dimaksud oleh sang tuan
Sepuluh menit kemudian Arav datang bersama karyawan yang bekerja di shift malam yang sedang menundukkan kepala ke arah bosnya itu. Aura yang pria itu keluarkan membuat semua orang yang berada didalam merasa terintimidasi. Tatapan matanya yang tajam seperti elang dan juga alis yang tebal mempertegas bahwa ia mempunyai insting yang sangat tajam dan juga sangat menakutkan.
Gabrian yang melihat Arav datang dengan karyawan itu langsung mendekatinya dan langsung menatapnya dengan tajam. Karyawan yang bergender perempuan itu menatap kakinya dengan tangan yang sudah berkeringat dingin, walupun dirinya tidak mengetahui apa yang menjadi permasalahan saat ini. Namun, sangat jelas bahwa ia akan terkena amarah sang bos.
''Ini adalah karyawan yang berjaga kemarin malam disini, Tuan'' Ucap Arav dengan membawa seorang perempuan di belakangnya
''Baiklah, kamu keluarlah dulu!'' perintah Gabrian dan Arav mengangguk dengan setengah menundukkan badan langsung melenggang keluar ruangan.
''Duduklah!!'' perintah Gabrian kepada karyawan perempuan tersebut.
Karyawan perempuan itu sangat gemetar ketakutan lalu mendongak menatap sang boss dan bertanya,
''Tuan, saya duduk dimana?'' dengan polosnya sang karyawan itu bertanya
Deg .. deg... deg
Jantung Gabrian terpompa begitu cepat melihat perempuan di depannya itu. Ia terpana melihat kecantikan alaminya. Perempuan yang ditatap tak berkedip oleh Gabrian kembali menundukkan kepalanya kembali karena takut dengan tatapan tajam Gabrian.
Karyawan itu khawatir bahwa bosnya mungkin sudah mengetahui insiden buku yang tidak sengaja dijatuhkannya, meskipun ia sudah merapihkannya kembali.
''Tuan??'' Panggil sang karyawan dengan lirih tapi masih bisa didengar Gabrian
Gabrian seketika tersadar dari lamunannya dan kembali menormalkan ekspresinya, menampilkan wajah datar dan dingin biasanya
''Duduk saja di sofa itu!'' Gabrian dengan menatap perempuan itu dengan lucu dan menunjuk sebuah sofa agak panjang di ruangannya itu.
''Siapa namamu?'' Tanya Gabrian kepada perempuan yang sedari tadi menunduk itu.
''E..mm itu tuan nama saya Arelea Callista,'' ucap karyawan itu dengan menundukkan kepala nya kembali tanda sopan.
Namanya sangatlah cantik, sesuai dengan parasnya.
Gabrian tersenyum kecil, sesuatu yang jarang terlihat. Batinnya sedari tadi terpesona oleh kecantikan perempuan di hadapannya. Meskipun hubungannya dengan kedua orang tuanya sangat baik, senyum tersebut jarang muncul.
Setelah Gabrian menanyakan identitas gadis itu, ia kembali duduk di kursi kebesarannya untuk melontarkan beberapa pertanyaan kepada gadis di depannya.
"Apa kau tahu di mana letak ruang rahasia perpustakaan ini, gadis kecil?" tanya Gabrian, seraya menatap tajam Arelea.
"Maaf, bos. Saya tidak tahu. Memangnya ada ruang rahasia di sini?" tanya Arelea dengan suara pelan, takut dengan tatapan tajam Gabrian.
Gabrian yang penasaranpun akhirnya bertanya, "Sudah berapa bulan kamu bekerja di perpustakaan ini, gadis kecil?"
"Saya baru masuk dua bulan yang lalu, Bos." jawab Arelea dengan suaranya lirih.
Gabrian berdiri dari kursinya dan langsung mengambil ponsel di sakunya untuk menelepon seseorang.
"Tolong bawakan rekaman pengawas yang tersembunyi di ruang rahasia saya," perintah Gabrian kepada orang kepercayaannya.
"Baik, bos," jawab suara diujung telepon, sebelum Gabrian memutuskan panggilan.
Lea yang bingung menatap Gabrian, bertanya-tanya dalam benaknya mengapa sejak tadi Gabrian tidak langsung melihat kamera pengawas dan malah memanggilnya untuk ditanya soal ruang rahasia, padahal dirinya tidak mengetahui sama sekali. Arelea mengerucutkan bibir dengan ekspresi imut.
Gabrian yang mendengar suara hati Arelea hanya menatapnya dengan pandangan lucu. "Ya ampun, gadis ini, ingin sekali rasanya aku bawa pulang," batin Gabrian merasa gemas.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hingga terdengar ketukan keras di pintu.
Tok... tok... tok...
Gabrian segera mengambil remote control dan membuka kunci pintu. Begitu pintu terbuka, dua anak buahnya masuk dan memberikannya sebuah flashdisk yang berisi rekaman pengawas. Di beberapa sudut tertentu dalam perpustakaan terdapat kamera pengawas tersembunyi dan letaknya tidak ada yang tau kecuali dirinya dan beberapa kepercayaannya.
"Maaf, bos, kami tidak tahu kalau ada tamu," ujar kedua anak buahnya.
"Ya," jawab Gabrian singkat
"Ini, bos, kamera pengawas dari ruang rahasia itu," ujar salah satu anak buahnya.
Dengan segera Gabrian mengambil flashdisk itu dan menancapkannya ke laptop, menampilkan gambar rekaman pengawas dari ruang rahasia.
"Apa ini! jelas jelas ini seorang pria dan bukan seorang gadis!" ujar Gabrian seraya menunjuk Arelea.
Ia menatap Arelea dengan diam lalu bertanya,"Arelea, apakah kamu mengenal pria yang ada di gambar ini?" Gabrian berbicara dengan nada sedikit lebih lembut, yang membuat anak buahnya sangat terkejut.
Anak buah Gabrian berpikir dalam hati bahwa Tuan sangat lembut sekali bicaranya kepada gadis kecil itu. Mereka juga berpikir bahwa gadis itu ternyata cantik dan menggemaskan. Karena itu, mereka merasa wajar jika Tuan muda bersikap berbeda padanya, sambil menatap Arelea yang sedang duduk di sofa panjang.
Mendengar hal itu, darah Gabrian langsung mendidih. Ia merasa tidak rela jika orang lain memuji kecantikan gadis itu. Ada perasaan yang aneh dalam dirinya, namun ia tidak sadar jika itu adalah perasaan cinta pada pandangan pertama. Selama ini, ia tidak pernah tertarik pada wanita, apalagi mencintainya. Ia adalah pria normal, jangan salah menyangka.
Gabrian melempar tatapan tidak sukanya dan membuat satu ruangan merasa terancam. Semua yang ada di sana merasa bulu kuduk mereka merinding, terintimidasi oleh aura yang dikeluarkan Gabrian.
"Ehmm... Bos, maaf, bagaimana dengan rekaman pengawasnya? Apakah sudah ada petunjuk?" tanya salah satu anak buahnya dengan gemetar. Meskipun tubuh mereka besar dan wajahnya sangar, mereka tetap merasa takut di hadapan bos yang mengeluarkan aura mengerikan itu.
"Ya! Arelea, bagaimana? Apakah kau mengenalnya?" tanya Gabrian kepada Arelea.
"Ehm aku tidak mengenalnya, akan tetapi aku tahu dia. Dia adalah pria yang kemarin menawarkan aku minuman..." Arelea terhenti saat terdengar teriakan seseorang di pintu.
"Hi, brother! Long time no see!" teriak seseorang dengan wajah ceria, tampak tanpa dosa. Dia adalah Nathan Arsenio, sepupu Gabrian.
"Apa-apaan kamu ini? Aku sedang membahas sesuatu yang penting, jangan ganggu! Lagipula, apa yang kamu lakukan di sini, Nathan? Sampai kapan kamu di negara ini?" tanya Gabrian, karena Nathan jarang pulang tanpa memberi kabar.
"Baiklah, aku minta maaf. Aku baru saja sampai di mansion utama. Kata bibi, kamu sedang berada di perpustakaan ini, jadi aku datang mencarimu! Aku sangat merindukanmu, sepupu." sahut Nathan dengan nada kesal.
Gabrian menjawab dengan hati-hati, "Aku sedang sibuk hari ini dan tidak bisa menyambut kedatanganmu." Ia tahu betul bahwa menghadapi sepupunya ini memerlukan ekstra kesabaran. Salah bicara sedikit saja, Nathan bisa mengadukannya ke ibunya, yang akan membuatnya marah.
Nathan berjalan menuju Gabrian dengan senyum lebar, tapi terhenti begitu melihat gadis cantik dan imut yang duduk di sofa panjang, menatap lantai dengan tubuh agak gemetaran.
Nathan menggoda sepupunya dengan senyuman mengejek."Wah, wah! Ternyata sepupuku ini tidak akan jadi perjaka tua lagi, selamat bro!"
"Diamlah, Nathan!" Sentak Gabrian dengan geram.
"Baiklah, sepupu." Nathan menyahut dengan santai lalu berjalan menuju sofa tempat Arelea duduk.
Gabrian segera mencegah Nathan untuk duduk di sana, menyuruh anak buahnya untuk membawa kursi lain untuknya. Ia tak akan membiarkan sepupunya itu duduk di dekat gadis yang mulai ia anggap 'miliknya' itu.
"Baiklah. Arelea, lanjutkan penjelasanmu tadi," kata Gabrian, seraya menatap gadis itu dengan tatapan serius.
"I... iya, bos. Kemarin itu, pria yang ada di dalam rekaman itu menawarkan aku segelas minuman, dia berkata kalau dia juga berjaga pada malam itu dan kasihan melihatku membereskan buku jadi memberikan aku minuman. Lalu dia berjalan ke rak paling kanan." jawab Arelea dengan seksama dan tampang serius, meskipun itu membuatnya terlihat imut di mata mereka berdua.
"Lalu, setelah itu apa yang terjadi?" tanya Nathan, yang sudah mulai paham dengan situasi dan memperhatikan dengan seksama sejak tadi.
"Setelah sampai di rak kanan aku sudah tidak melihatnya lagi, pria itu langsung menghilang begitu saja. Aku sempat mengira bahwa itu bukan manusia," sahut Arelea, bergidik ngeri membayangkan jika itu memang makhluk halus.
Gabrian dan Nathan hanya mencerna perkataan Arelea yang terdengar sedikit aneh.
Gabrian merasa sangat penasaran sambil bertanya-tanya dalam hati apakah mungkin ada makhluk halus di perpustakaan miliknya, karena dia tidak pernah melihatnya di mana pun selama berada di sana.
Nathan berpikir bahwa yang terlibat pasti adalah orang dalam, karena hanya orang-orang tertentu yang mengetahui tentang ruang rahasia itu.
Gabrian yang mendengar hal tersebut langsung mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Jika itu benar, dia merasa kesal karena tidak tahu siapa orang yang dimaksud. Dalam hati, dia merasa bahwa orang tersebut berani membangunkan "singa yang sedang tidur". Nathan pun berpikir hal yang sama.
"Memangnya apa yang terjadi di ruangan rahasia itu, bos?" tanya Arelea, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
Setelah pembicaraan serius itu, semua orang keluar ruangan untuk kembali bekerja. Saat perjalanan pulang, Arelea berjalan sambil bertanya-tanya dalam hati apakah tuan tampan yang ia temui di perpustakaan tadi adalah bos baru atau lama, dan siapa namanya. Sebab, orang yang biasa ia panggil bos bernama 'Tristan' dan tampangnya juga berbeda.
Arelea terus berjalan sambil melamun, memikirkan hal yang sepertinya tidak penting itu. Tanpa sengaja, ia menabrak seorang wanita yang sedang menelepon. Wanita itu menoleh ke belakang dan menatap Arelea dengan penuh kesal.
Melihat reaksi wanita itu, Arelea langsung meminta maaf karena telah membuat ponsel sang wanita terjatuh, meskipun untungnya tidak pecah. Namun, wanita itu marah karena merasa terganggu saat sedang bertelepon penting dengan bosnya.
“Maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja menabrak Anda tadi,” ucap Arelea dengan sopan sambil membungkuk sedikit, kemudian memungut ponsel wanita yang terjatuh. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang tulus.
Wanita di depannya, yang mengenakan pakaian mewah dan berkacamata hitam besar, langsung berkacak pinggang. “Ya ampun! Apakah kamu tidak punya mata sehingga bisa menabrak saya yang sedari tadi berdiri di sini? Hah!” jawabnya dengan nada penuh amarah.
Arelea mengangkat wajahnya, berusaha tetap tenang. “Maaf, Nona. Saya tadi sungguh tidak melihat ada orang di depan saya. Sekali lagi, maafkan saya,” katanya sambil menyerahkan ponsel wanita itu.
Namun, sebelum wanita itu sempat merespons, Arelea menambahkan dengan nada polos, “Lagian, Nona juga salah berdiri di tengah jalan. Itu mengganggu pejalan kaki dan pengendara lainnya.”
Wanita itu—Devita Siregar, seorang model yang meskipun belum terkenal, sudah memiliki sikap arogan seperti model papan atas—terbelalak. “Heh! Kau malah menyalahkan aku, gadis kecil? Apa kau tak tahu siapa aku?” katanya dengan nada tinggi.
Arelea mengerutkan kening, berpikir sejenak. “Hmm… siapa ya?” tanyanya dengan polos, sambil menggaruk kepala.
“Aku ini Devita Siregar! Seorang model terkenal, tahu?! Dan kau berani menyalahkanku?” serunya, menekankan namanya seolah itu harus dikenali semua orang.
Arelea mengangguk perlahan. “Oh, begitu. Tapi Nona Devita,” katanya sambil berkedip polos dan sedikit menggembungkan pipinya, “memang bukan hanya saya yang salah. Tapi Anda juga, karena berdiri di tengah jalan.”
Devita mendengus kesal. “Dasar anak kecil tak tahu aturan! Aku ini model, aku bisa berdiri di mana saja yang aku mau!”
Arelea menatapnya dengan serius, lalu berkata, “Kalau begitu, Nona mungkin lebih cocok berdiri di panggung, bukan di tengah jalan. Itu lebih aman.”
Kalimat sederhana itu membuat Devita sejenak terdiam. Namun, alih-alih merespons, ia hanya mendengus keras, meraih ponselnya dengan kasar.
Arelea hanya bisa menghela napas, menatap punggung wanita itu sambil bergumam pada dirinya sendiri, “Orang terkenal kok sikapnya begitu ya? Tapi… model terkenal? Kenapa aku nggak pernah dengar namanya di mana-mana?” Ia kemudian melanjutkan langkahnya dengan senyum kecil, merasa sedikit geli dengan kejadian barusan.
------------------------------------
Di rumahnya yang megah, Gabrian duduk termenung di tepi kolam renang, matanya menatap air yang memantulkan bayangan langit. Namun pikirannya melayang jauh, kembali ke perpustakaan, ke momen saat gadis itu mengerjapkan mata lucu di hadapannya. Ia mendesah panjang, merasa dirinya mulai kehilangan kendali atas perasaan.
“Ah, apakah aku sudah gila, memikirkan gadis itu terus-menerus?” gumam Gabrian pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam dalam semilir angin sore. Namun, senyuman kecil muncul di wajahnya, dan tanpa sadar, ia tertawa lirih.
Arav, yang baru saja keluar ke halaman belakang untuk memberi laporan, berdiri diam beberapa meter di belakang tuannya. Ia memperhatikan Gabrian yang tampak berbeda dari biasanya. Tuan muda tersenyum? Dan... tertawa sendiri? Apa aku harus khawatir? pikir Arav dengan dahi berkerut.
Tidak tahan dengan rasa penasaran, Arav akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Maaf, Tuan. Apakah ada yang lucu sehingga membuat Anda tersenyum begitu?” tanyanya hati-hati.
Gabrian menoleh sedikit, tapi senyumnya tidak hilang. Ia menatap kembali ke kolam renang, lalu berkata dengan nada datar, “Ya, Arav. Katakan padaku, apakah kau pernah jatuh cinta pada pandangan pertama?”
Pertanyaan itu membuat Arav terbelalak. Ia menatap tuannya dengan mulut sedikit terbuka, berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Apakah Tuan sedang berbicara... soal cinta?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Gabrian tetap menatap air kolam, tapi sudut bibirnya melengkung sedikit lebih lebar. “Jawab saja pertanyaanku. Pernahkah kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” ulangnya, kali ini dengan sedikit nada penasaran.
Arav menelan ludah, mencoba menenangkan diri dari rasa terkejut. “Err… sejujurnya, tidak, Tuan. Tapi...” Ia berhenti, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Apakah ini berarti... Tuan sedang jatuh cinta? Siapa wanita beruntung itu? Kapan Tuan akan membawa calon nyonya ke rumah ini? Dan—”
“Diam,” potong Gabrian, menatap asistennya dengan ekspresi datar namun penuh arti. Tapi semburat merah samar di pipinya membuat Arav semakin yakin bahwa dugaan itu benar.
“Tuan, ini luar biasa!” seru Arav, sulit menahan rasa gembiranya. “Saya tidak pernah menyangka akan melihat Tuan muda seperti ini. Jadi, siapa gadis itu? Apakah saya mengenalnya? Ah, pasti gadis itu luar biasa cantik dan cerdas!”
Gabrian menghela napas panjang, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. “Diamlah, Arav. Kau terlalu banyak bicara.”
Arav tersenyum lebar, mengangguk hormat. “Baik, Tuan. Tapi jika Anda butuh bantuan untuk mendekatinya, saya siap membantu. Saya ahli dalam hal ini,” katanya penuh percaya diri.
Gabrian hanya menggelengkan kepala. “Kalau begitu, fokus saja pada pekerjaanmu. Dan jangan berani-berani menceritakan ini pada siapa pun, terutama pada Ibu.”
“Tentu, Tuan! Mulut saya terkunci rapat!” balas Arav, meskipun dalam hati ia merasa ini adalah berita terbaik yang pernah ia dengar sepanjang tahun.
Gabrian menghela napas panjang sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Entahlah, rasanya ingin sekali membawanya ke rumah ini!” gumamnya, kali ini dengan nada penuh tekad.
Arav yang berdiri di belakangnya tersenyum lebar, menyambut pernyataan itu dengan semangat. “Semoga berhasil mendapatkan hatinya, Tuan! Saya yakin, dengan pesona Anda, itu bukan hal yang sulit.”
Gabrian berdiri dari kursinya, gerakannya penuh determinasi. “Aku akan menemuinya sekarang,” katanya tiba-tiba.
Arav terkejut, matanya membesar. “Tuan akan ke mana?” tanyanya penuh rasa penasaran.
Gabrian melangkah menuju pintu utama. “Ke rumahnya. Aku harus melihatnya, sekarang juga. Kau tidak usah ikut, ini urusanku sendiri.”
Arav mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Anda tahu alamat rumahnya, Tuan?” tanyanya dengan nada hati-hati. Dalam pikirannya, bagaimana mungkin seseorang yang baru bertemu gadis itu sekali sudah tahu alamatnya?
Gabrian berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh sambil tersenyum tipis. “Kau meragukan kemampuanku? Hanya dengan menggerakkan jari, aku bisa mencari tahu asal-usulnya dengan detail. Semua berkat koneksi dan teknologi, Arav,” katanya penuh percaya diri, lalu melenggang keluar tanpa menunggu tanggapan.
Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil terdengar mengaum di halaman rumah, sebelum Gabrian melaju pergi dengan kecepatan tinggi.
Arav, yang masih berdiri di tempatnya, menggaruk kepalanya sambil bergumam, “Eh, baiklah, Tuan…” Lalu ia mendesah panjang, sambil bergumam lebih keras kali ini, “Belakangan ini, Tuan muda lebih cerewet dari biasanya. Apa ini efek jatuh cinta? Kalau iya, aku harus bersiap lebih banyak sabar.”
Arav berjalan kembali ke dalam rumah, tetapi sebelum sampai di pintu, ia berhenti sejenak sambil tersenyum kecil. “Tapi sejujurnya, ini cukup menghibur. Setidaknya rumah ini tidak terlalu sunyi lagi.”
-----------------------------
Setelah perjalanan panjang, Arelea berjalan dengan langkah gontai menuju halte bus. Tubuhnya lelah, tetapi ada rasa lega karena hari itu akhirnya berakhir. Setelah beberapa menit menunggu, bus yang ditunggunya tiba, dan ia naik dengan wajah yang hampir tak berekspresi, hanya menginginkan satu hal—istirahat di rumah.
Setibanya di rumah kecilnya yang sederhana, Arelea langsung mengganti pakaian dan mandi. Hawa air dingin yang mengalir membasuh tubuhnya membuatnya sedikit lebih segar. Setelah itu, ia merebahkan diri di kasur kecilnya yang empuk seadanya. Rumah itu tidak besar, hanya cukup untuk satu orang. Namun bagi Arelea, rumah ini adalah tempat teraman di dunia.
Dinding rumah yang dicat putih mulai menguning di beberapa sudut, dan beberapa furnitur tua menghiasi ruangan. Tapi suasana di sana terasa hangat. Tetangga-tetangga Arelea terkenal ramah, dan lingkungan sekitarnya bersih meski sederhana. Tempat ini mungkin tidak sempurna, tetapi Arelea mencintainya.
Dalam kesunyian malam, pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Hidupnya tidak mudah, terutama sejak ia keluar dari panti asuhan di usia 15 tahun. Kala itu, ia membuat keputusan besar untuk hidup mandiri, meninggalkan tempat yang selama ini ia anggap sebagai rumah.
Arelea tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Saat bayi, ia ditemukan di depan panti asuhan dengan kalung kecil berinisial "A" yang melingkar di leher mungilnya dan secarik kertas lusuh bertuliskan nama "Arelea Calista A." Itu saja jejak yang ia miliki tentang masa lalunya.
Kadang-kadang, ia bertanya-tanya apakah orang tua kandungnya pernah berusaha mencarinya. Apakah mereka bahkan mengingat keberadaannya? Tetapi seiring waktu, pertanyaan itu kehilangan bobotnya. Arelea belajar untuk menerima bahwa dirinya adalah sebuah misteri, bahkan bagi dirinya sendiri.
Baginya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang instan. Kebahagiaan adalah hasil dari perjalanan panjang, seperti memunguti serpihan-serpihan kecil cahaya di tengah gelapnya malam. Arelea percaya, hari ini mungkin ia harus bekerja keras dan bersusah payah, tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok?
“Yang kita tahu hanyalah berdoa dan terus berusaha,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil memejamkan mata.
Dengan hidup sederhana seperti ini pun, Arelea merasa bahagia. Ia tidak butuh kemewahan, tidak juga butuh kasih sayang berlebihan. Hanya dengan ketenangan dan kemandirian, Arelea tahu ia bisa bertahan.
Namun, rasa nyaman itu terusik ketika terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Tok… tok… tok…
Arelea membuka mata dan mengerutkan kening. “Siapa lagi yang bertamu malam-malam begini?” gumamnya, setengah kesal karena baru saja hendak terlelap.
Namun begitu melihat sosok Gabrian berdiri di depannya dengan senyum khasnya, Arelea terdiam. Matanya membulat, dan rasa kantuknya hilang seketika.
“Bos? Eh, apa? Bos? Kenapa... kenapa ada di sini?” katanya dengan suara tergagap, masih bingung.
Gabrian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia dengan santai melangkah masuk ke rumah Arelea tanpa permisi, membuat gadis itu hanya bisa menatap dengan ekspresi terkejut.
“Apa ini rumahmu, Lea?” tanyanya sambil mengamati sekeliling ruangan. Dengan sofa kecil di sudut dan dinding yang dihiasi poster bunga sederhana, rumah itu terlihat hangat namun sangat sederhana.
Arelea segera menutup pintu dan mengikuti Gabrian. “Bos, maaf, ada keperluan apa Anda datang ke sini malam-malam begini?” tanyanya, mencoba terdengar sopan meskipun pikirannya penuh pertanyaan aneh.
Gabrian duduk di sofa kecil itu dan menyandarkan punggungnya dengan santai. “Aku kebetulan lewat,” jawabnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Dan, ya, aku penasaran...”
Arelea mengerutkan dahi. “Penasaran tentang apa?” tanyanya.
“Bagaimana kamu bisa hidup di tempat sekecil ini,” jawab Gabrian dengan nada serius, tetapi ada senyum kecil di wajahnya.
Arelea langsung merasa darahnya naik ke kepala. “Bos, ini rumah saya. Memang kecil, tapi saya nyaman di sini!” katanya dengan nada defensif, meskipun wajahnya mulai memerah karena malu.
Gabrian tertawa kecil, membuat Arelea semakin bingung.
“Apa yang lucu, bos?” tanyanya, kali ini dengan nada kesal.
Gabrian menggeleng, masih tersenyum. “Tidak ada. Hanya saja... aku suka caramu marah. Lucu sekali,” katanya santai.
Arelea hanya bisa mendengus sambil melipat tangan di dada.
“Sudah makan, Lea?” Gabrian tiba-tiba bertanya, mengubah suasana percakapan.
Arelea terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Belum, bos. Tadi lupa beli makanan.”
Gabrian menatapnya dengan alis terangkat. “Kamu lupa makan? Lea, kamu ini bekerja keras sepanjang hari. Bagaimana bisa lupa makan?” katanya, terdengar sedikit mengomel.
“Saya terbiasa, bos. Tidak masalah,” jawab Arelea santai, mencoba menghindari perhatian lebih.
Namun Gabrian sudah berdiri. “Ayo, kita makan,” katanya sambil meraih tangan Arelea.
“Makan? Di mana, bos? Ini sudah malam...” Arelea mencoba menolak, tetapi Gabrian menariknya dengan lembut.
“Di restoran. Tidak jauh dari sini. Anggap saja ini bonus karena kamu jujur bilang belum makan,” katanya sambil tersenyum.
Arelea merasa ragu, tapi ia tidak punya keberanian untuk menolak. Dengan pipi sedikit memerah, ia mengikuti Gabrian ke mobilnya.
“Bos, bukannya terlalu mewah makan di restoran hanya karena belum makan?” tanya Arelea saat mereka memasuki mobil.
Gabrian menatapnya sekilas dengan ekspresi datar. “Kamu tidak tahu standar makanku, Lea. Tapi tenang saja, untukmu, semua pantas.”
Arelea hanya bisa menghela napas sambil menatap keluar jendela, bertanya-tanya bagaimana hidupnya bisa tiba-tiba berubah menjadi seperti ini.
--------------------
Situasi di ruangan privat itu terasa sedikit canggung, namun juga diwarnai suasana yang menggelitik. Gabrian, biasanya dikenal tegas dan berwibawa, kini terlihat seperti pria biasa yang gugup di depan wanita yang disukainya.
Setelah Arelea menarik tangannya dari pipi Gabrian dengan cepat, ia tersadar akan tindakannya dan langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, bos, refleks," katanya, merasa malu.
Gabrian tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Tidak apa-apa, Lea. Aku justru senang kamu peduli."
Arelea tidak tahu harus merespons seperti apa, jadi ia hanya tertawa canggung dan segera meminum jus di depannya. Dalam hati, ia berpikir, Kenapa bosku ini sedikit aneh malam ini? Biasanya tegas, tapi sekarang...
Tidak lama kemudian, makanan mereka datang, dan mereka mulai makan dalam keheningan. Gabrian, yang sebenarnya ingin terus berbicara dengan Arelea, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia tahu dirinya bukan tipe pria yang pandai merayu, tetapi ia ingin Arelea melihat dirinya lebih dari sekadar bos.
“Lea,” Gabrian akhirnya membuka suara lagi, “kamu pasti lelah bekerja setiap hari, kan? Apa tidak pernah terpikir untuk berhenti sejenak dan menikmati hidup?”
Arelea meletakkan sendoknya dan menatap Gabrian dengan serius. “Tentu saja lelah, bos. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku berhenti, aku tidak tahu bagaimana cara bertahan hidup. Aku harus bekerja keras untuk diriku sendiri.”
Jawaban Arelea membuat Gabrian merasa kagum sekaligus sedih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya hidup Arelea selama ini. “Kamu benar-benar wanita yang kuat, Lea,” katanya pelan, matanya menunjukkan rasa hormat yang tulus.
Arelea tersenyum kecil. “Terima kasih, bos. Tapi aku tidak merasa sekuat itu. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
Gabrian ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bisa membuat Arelea menyadari perasaannya. Tetapi ia menahan diri, takut mengagetkan gadis itu. Jadi, ia hanya berkata dengan suara lembut, “Kalau begitu, biarkan aku membantu. Apa pun yang kamu butuhkan, katakan saja.”
Arelea menatap Gabrian dengan bingung. “Kenapa bos ingin membantu saya? Saya hanya karyawan biasa.”
Gabrian tersenyum misterius. “Karena... mungkin aku melihat sesuatu yang luar biasa dalam dirimu, Lea.”
Kata-kata itu membuat suasana kembali canggung. Arelea merasa tidak nyaman, tetapi juga tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Ia hanya menunduk dan melanjutkan makan tanpa berkata apa-apa lagi.
Di sisi lain, Gabrian merasa lega karena setidaknya ia sudah mengungkapkan sedikit perasaannya, meskipun masih dalam batas wajar.
Malam itu, meski sederhana, adalah langkah awal bagi Gabrian untuk mendekati hati Arelea. Namun, ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Ada dinding tinggi yang mengelilingi gadis itu—dinding yang harus ia tembus dengan kesabaran dan ketulusan.
------------------
Setelah makan, Gabrian mengantar Arelea pulang dan dirinya pun kembali ke rumah untuk beristirahat, bersiap untuk bekerja esok hari.
Sementara Arelea, setelah pulang dari acara makan malam bersama Gabrian, langsung tertidur. Lain halnya dengan Gabrian, pria itu masih berada di balkon kamar sambil tersenyum-senyum sendiri dan merasa sedikit malu karena dipuji Arelea sebagai pria tampan.
"Entah sihir apa yang kau berikan padaku sehingga aku menjadi tergila-gila padamu, Lea?"
Gabrian mengucapkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri, sambil tersenyum tipis yang terasa sedikit kaku karena sudah terbiasa tanpa senyum. "Lea, kamu sudah membuatku gila dan harus bertanggung jawab telah membuatku seperti ini," pikirnya.
Arav yang sedang di luar rumah untuk membeli makanan dan minuman untuk dirinya sendiri, tanpa sengaja melihat penampakan sang tuan muda yang tersenyum di balkon kamarnya.
"Apa yang kau berikan pada tuanku, nona Arelea, sampai-sampai tuan muda bisa tersenyum sangat tampan seperti itu! Sepertinya tuan muda sudah jatuh cinta kepada nona Arelea, sampai-sampai tersenyum-senyum sendiri."
"Aku sudah lama sekali tidak melihat tuan muda tersenyum sangat lebar seperti itu, berkat nona Arelea senyumannya pun kembali," ucap Arav pada dirinya sendiri sambil menatap tuan mudanya yang tengah tersenyum sambil menatap langit itu. Ia kemudian pergi melanjutkan perjalanannya menuju kafe terdekat untuk membeli makanan, meninggalkan tuan mudanya yang tengah tersenyum sendiri.
----------------
Pagi harinya, Arelea sudah siap mengenakan seragam kerjanya sambil mengikat rapi rambut indahnya. Sebelum keluar rumah, ia mengunci pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada maling yang bisa masuk. Setelah itu, Arelea berjalan menuju halte bus dan menaikinya, menuju restoran dekat perpustakaan tempat ia bekerja, yang buka dari siang hingga malam hari.
Jadi, waktu Arelea ditanya sama Gabrian tentang shift malam itu, dia lagi menggantikan rekan kerjanya yang sedang sakit.
Arelea sudah bekerja di restoran sebelum bekerja di perpustakaan milik Gabrian, karena perpustakaan itu sedang membutuhkan tenaga kerja, jadi dia bekerja paruh waktu di perpustakaan itu untuk membiayai hidupnya.
Saat ini, Arelea sudah berada di dalam restoran, ia sedang menyiapkan nampan berisi makanan untuk disajikan ke pengunjung restoran tersebut. Bakatnya memang memasak, namun dalam pekerjaan ini ia harus memendam bakatnya itu dan menjadi pramusaji.
"Silakan dinikmati makanannya, tuan dan nona," ucap Arelea sopan seraya menaruh makanan ke meja pengunjung itu.
"Terima kasih," jawab dua pengunjung itu dengan sopan.
Arelea berjalan, dan belum sampai di dapur, ia melihat bosnya di depan gerbang perpustakaan, sepertinya sedang menunggu seseorang. Ia tak menghiraukan hal itu, dan ketika melihat bosnya sudah masuk ke dalam perpustakaan, ia juga masuk ke dalam dapur untuk menyiapkan pesanan lagi.
-----------------
Di sisi Gabrian, pria itu tampak gelisah menunggu kedatangan Arelea. Sesekali ia menghela napas panjang sambil melirik pintu, berharap gadis itu segera muncul. Entah kenapa ia merasakan kerinduan yang begitu mengusik, padahal mereka baru semalam tidak bertemu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke ruangannya dan mengecek berkas-berkas perusahaan bersama asistennya, Arav. Namun, bahkan ketika sibuk dengan dokumen-dokumen itu, pikirannya tetap melayang ke Arelea. Ia merasa aneh sendiri—mengapa perasaan ini begitu kuat?
“Tuan, tanda tangan di sini,” ujar Arav, yang tampak seperti biasa, tenang dan fokus. Gabrian hanya mengangguk tanpa banyak berkata, lebih banyak tenggelam dalam lamunannya.
Sementara itu, ia tetap menunggu dengan penuh harap bahwa Arelea akan datang ke perpustakaan untuk bekerja. Namun, ia tidak tahu bahwa Arelea sebenarnya hanya bekerja di siang atau sore hari. Ketidaktahuan itu membuatnya semakin sering melirik jam dinding, menghitung waktu yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.
"Arav,jika gadis kemarin itu sudah datang, beritahu saya!" perintah Gabrian.
"Baik, tuan, kalau begitu saya permisi," ucap Arav lalu keluar pintu.
-------------
Matahari telah mencapai puncaknya, sinarnya terasa terik menyentuh kulit, menandakan hari telah beranjak ke siang. Arelea baru saja selesai bekerja di restoran, wajahnya sedikit lelah namun tetap dihiasi senyum kecil. Ia melangkah dengan mantap menuju perpustakaan, tempat ia biasanya menghabiskan waktu untuk membersihkan dan menata buku.
Saat ini, ia sudah berdiri di depan gerbang perpustakaan. Gerbang besi itu tertutup rapat, dan tidak ada tanda-tanda seseorang di sekitarnya. Arelea menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan satpam yang biasanya berjaga.
“Ke mana ya, Pak Satpam?” gumamnya pelan, sambil menghapus keringat di dahinya.
Ia tahu, jam makan siang seperti ini perpustakaan biasanya ditutup sementara dan baru akan dibuka kembali pukul satu siang. Namun, Arelea tetap berharap ada seseorang yang bisa membantunya masuk lebih cepat. Sambil menunggu, ia bersandar di dinding dekat gerbang, memandang jalanan yang mulai sepi karena orang-orang sibuk beristirahat di tengah hari.
Tiba-tiba pintu gerbang dibukakan oleh Arav karena disuruh oleh Gabrian saat melihat kamera pengawas bahwa gadisnya sudah datang dan sedang mencari satpam untuk membukakan gerbang.
"Silakan, Nona," ucap Arav dengan nada tenang, sambil membukakan pintu dan memberikan sedikit anggukan hormat.
"Terima kasih, Tuan Asisten," sahut Arelea sambil tersenyum manis. Senyumnya yang mengembang terlihat tulus, membuat ruangan terasa sedikit lebih hangat.
"Sama-sama, Nona," balas Arav, ikut tersenyum tipis. Matanya sesaat memperhatikan Arelea sebelum kembali ke sikap formalnya, tangan terlipat di belakang punggung.
Gabrian memandang dari jauh dengan wajah yang merah padam. Matanya membara penuh amarah melihat Arav membalas senyum Arelea, bahkan berani menatap gadis itu lebih dari lima detik. Ia mengepalkan tangan, jemarinya gemetar menahan gejolak yang tak bisa ia ungkapkan.
“Dasar Arav sialan! Awas saja kalau kau mendekati dia lagi!” geram Gabrian dengan napas terengah-engah, suaranya hampir terdengar di antara ruangan yang sepi. Ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya, berusaha menenangkan diri tapi gagal setiap kali bayangan senyum Arelea untuk Arav melintas di benaknya.
Sementara itu, Arelea sudah melangkah masuk ke perpustakaan, tak menyadari drama kecil yang sedang terjadi. Ia langsung menuju ruang ganti untuk melepas pakaian kasualnya dan mengenakan pakaian kerja. Setelah berganti pakaian, ia mematut diri sejenak di depan cermin. Dengan sigap, ia mengambil masker dari tasnya dan mengenakannya.
“Aku harus cepat merapikan buku-buku hari ini,” gumam Arelea sambil menepuk-nepuk masker untuk memastikan pas di wajahnya.
Ia tahu, debu di rak buku perpustakaan sering kali tebal, dan ia tidak ingin terkena flu seperti beberapa hari lalu. Arelea melangkah keluar dari ruang ganti dengan langkah ringan, matanya langsung tertuju pada rak-rak yang sudah menunggu untuk dirapikan. Aroma khas perpustakaan—percampuran buku tua dan udara lembap—langsung menyambutnya.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Arelea memutuskan untuk membeli minuman dingin di kantin perpustakaan. Ia berjalan santai sambil mengibaskan kerah bajunya, mencoba meredakan rasa gerah yang menyergap tubuhnya.
“Huhh, cuacanya kenapa sangat panas hari ini!” keluh Arelea seraya mengusap keringat di dahinya dengan lengan bajunya. Ia kemudian mengambil tempat duduk di dekat jendela, mencoba mencari sedikit kesejukan sambil menyesap minumannya.
Dari kejauhan, sepasang mata tajam menatapnya. Gabrian, yang sudah berkeliling mencarinya, akhirnya menemukan gadis itu. Ada kelegaan bercampur kesal dalam dirinya—kenapa Arelea tidak berada di tempat yang ia harapkan? Namun, saat melihatnya duduk santai, ia segera melangkah mendekat.
“Akhirnya aku menemukanmu, Arelea. Ternyata kau di sini,” batin Gabrian, matanya tak lepas dari gadis itu.
“Hi, Lea,” sapa Gabrian dengan suara khasnya.
Arelea, yang sempat terkejut, menoleh cepat. Melihat Gabrian berdiri di hadapannya, ia segera menguasai diri. “Hai juga, Bos!” balasnya dengan senyum kecil.
Gabrian menarik kursi di depannya dan duduk tanpa permisi, sikapnya tegas namun sedikit gelisah. “Sedang apa kamu di sini, Lea? Di sini sangat panas. Apa kamu tidak merasa kepanasan?” tanyanya, tatapannya tajam seperti biasa.
“Hehe… iya, Bos, memang panas,” jawab Arelea sambil terkekeh kecil. Ia mengangkat bahunya santai. “Tapi kalau ada angin yang lewat, lumayan sejuk, kok.”
Jawaban itu diiringi dengan senyum cengengesannya yang khas, seolah ia tidak peduli pada tatapan mata Gabrian yang terasa begitu menusuk. Gabrian mendengus pelan, mencoba menahan diri agar tidak terlihat kesal. Namun, di dalam hatinya, ia tak bisa menyembunyikan rasa frustrasi sekaligus kagum pada gadis itu—entah kenapa Arelea selalu berhasil membuat emosinya campur aduk.
“Ayo masuk!” ucap Gabrian dengan nada kesal, kedua alisnya bertaut, dan nada suaranya penuh tekanan. “Di sini sangat panas. Kalau kamu terus-terusan di luar, kulitmu bisa terbakar, dan itu bisa menyebabkan infeksi kulit.”
Ia sebenarnya ingin sekali langsung menggendong Arelea dan membawanya masuk ke dalam, tapi ia menahan diri. Sebagai bos, ia tahu batasannya—meskipun sering kali keinginan itu membuatnya frustrasi.
Arelea sempat tertawa kecil mendengar omelan bosnya. Namun, melihat ekspresi Gabrian yang serius, ia memilih mengangguk patuh. “Baik, Bos. Ayo kita masuk,” ucapnya dengan nada ringan, sambil membawa minuman yang masih setengah diminum.
Gabrian menghela napas panjang, merasa sedikit lega meskipun masih ada sisa kesal di dadanya. Ia berjalan lebih dulu ke arah pintu perpustakaan, memastikan Arelea mengikutinya dari belakang.
Begitu masuk ke dalam, udara sejuk langsung menyambut. Arelea segera kembali ke pekerjaannya, membersihkan rak buku yang penuh debu dan merapikan tumpukan buku yang berserakan. Sesekali ia bersenandung pelan, menikmati rutinitasnya yang selalu membawa ketenangan.
Sementara itu, Gabrian duduk di salah satu sofa dekat jendela, menatap Arelea yang sedang sibuk bekerja. Matanya tak pernah lepas dari gadis itu. Ada perasaan campur aduk di dalam dirinya—antara kesal, khawatir, dan tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Arelea yang terlihat begitu fokus.
Tiba-tiba, teleponnya berdering, mengusik lamunannya. Gabrian melirik layar ponselnya, dan nama yang muncul membuatnya mendengus pelan. Arav. Siapa lagi kalau bukan asisten.
Gabrian segera mengangkat teleponnya dan melangkah menjauh dari Arelea, memastikan pembicaraannya tidak mengganggu gadis itu yang sedang fokus merapikan buku-buku. Ia berhenti di dekat jendela besar perpustakaan, memandang keluar sambil berbicara.
“Halo, ada apa, Arav? Apakah ada masalah?” tanyanya dengan nada tegas, suaranya sedikit menurun agar tak terlalu keras.
“Tidak, Tuan,” jawab Arav dari seberang. “Tapi saya ingin mengingatkan, 10 menit lagi kita ada meeting bersama klien di restoran mall dekat mansion.”
Gabrian menghela napas pendek, sejenak matanya melirik ke arah Arelea yang masih sibuk dengan tugasnya. “Baiklah,” ucapnya singkat, sebelum bertanya lagi, “Kau sedang berada di mana sekarang?”
“Saya sudah berada di dekat parkiran mobil, Tuan Muda,” sahut Arav, dengan nada sopan namun terdengar terburu-buru.
“Ya... Tunggu aku sebentar lagi. Aku akan ke sana,” jawab Gabrian sebelum langsung memutus panggilan tanpa memberi kesempatan Arav untuk membalas.
Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku jas dengan gerakan cepat. Tatapannya sekali lagi tertuju pada Arelea. Ia ingin mengatakan sesuatu padanya, namun akhirnya mengurungkan niat. Dengan langkah yang mantap, Gabrian berjalan keluar dari perpustakaan, pikirannya kini terbagi antara pekerjaannya dan gadis yang baru saja ia tinggalkan di dalam sana.
----------------
Setelah memutus panggilan dari Arav, Gabrian kembali menghampiri Arelea. Langkahnya mantap namun ada sedikit keraguan di matanya, seperti tengah memikirkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
“Arelea,” panggilnya lembut, membuat gadis itu menoleh dari rak buku yang sedang ia rapikan. “Aku akan pergi sebentar untuk meeting dengan klien,” lanjutnya dengan nada yang lebih santai, meskipun dalam hatinya ia menyadari betapa anehnya memberi tahu hal ini. Kenapa aku harus memberitahunya? Dia bahkan mungkin tidak peduli, pikir Gabrian, namun tetap berdiri di sana menunggu respons.
“Baiklah, Bos,” jawab Arelea dengan nada netral, disertai anggukan kecil. Ia tidak terlalu memikirkannya, meskipun matanya sempat memandang Gabrian sekilas, lalu kembali ke pekerjaannya.
Gabrian tersenyum tipis, kemudian mendekat. Tangannya terulur dengan lembut, mengelus rambut Arelea. Sentuhan itu mengejutkan gadis itu, tetapi ia tetap diam, hanya menatap Gabrian dengan sedikit bingung.
“Sampai jumpa nanti, sayang,” ucap Gabrian setengah berbisik, suaranya begitu pelan hingga Arelea hampir tak mendengarnya. Gadis itu hanya mengangguk kecil, namun rona merah muncul di pipinya, tak mampu disembunyikan.
Gabrian menatapnya sebentar lagi sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar dari perpustakaan.
Di luar, di parkiran mobil, Arav sudah menunggu dengan wajah yang jelas menunjukkan rasa kesal. Melihat tuannya akhirnya muncul, ia segera menghampiri, namun ekspresi kesalnya tak sepenuhnya hilang.
“Kau kenapa, Arav? Wajahmu seperti belum disetrika saja,” kata Gabrian, menatap asistennya dengan nada yang setengah mengejek. Nada suaranya terkesan santai, namun ekspresinya tetap datar—gabungan yang membuat pernyataannya terasa ambigu.
Arav menghela napas panjang, mencoba menahan diri untuk tidak membalas. “Saya hanya menunggu agak lama, Tuan,” jawabnya dengan sopan, meskipun ada sedikit nada sindiran yang nyaris tak terdengar.
Gabrian hanya mengangkat alisnya, lalu membuka pintu mobil dan masuk. “Ayo cepat. Aku tidak suka klien menunggu, tapi kau membuatku terlihat seperti aku yang terlambat,” katanya dengan nada datar namun penuh tekanan, membuat Arav hanya bisa menuruti tanpa membantah.
-------------------
Setelah Gabrian pergi, Arelea kembali ke rutinitasnya di perpustakaan. Ia berjalan ke bagian tengah ruangan, memeriksa rak demi rak untuk memastikan semuanya sudah rapi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah rak yang berantakan, dengan buku-buku tersusun acak dan beberapa bahkan tergeletak di lantai.
“Huh... apa mereka pikir buku ini bisa merapikan dirinya sendiri?” keluh Arelea, melipat tangannya dengan ekspresi kesal. Ia memungut sebuah buku dari lantai, menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada pura-pura serius, “Kamu baik-baik saja di sini? Jangan khawatir, aku akan mengembalikanmu ke tempatmu.”
Keluhannya terdengar oleh rekannya, Tita, yang baru saja datang dari bagian depan perpustakaan. Gadis itu tertawa kecil, berusaha menahan diri agar tidak mengganggu fokus Arelea.
“Aku juga baru selesai mengecek bagian depan sana, Lea,” kata Tita sambil tersenyum geli. “Tapi kalau kamu bisa ngobrol sama buku, kayaknya kamu sudah butuh libur.”
Arelea menoleh cepat dengan mata menyipit. “Aku nggak butuh libur. Aku butuh pengunjung yang tahu cara mengembalikan buku dengan benar!” katanya dengan nada bercanda namun tegas.
Tita tertawa lebih keras kali ini. “Iya, iya. Tapi kalau pengunjungnya rapi semua, kita nggak punya kerjaan, dong?”
Arelea menghela napas sambil memutar matanya. “Kalau begitu, aku bakal minta bonus untuk kerjaan ekstra ini. Eh, Kak Tita, jangan-jangan ini bagian dari rencana rahasia perpustakaan supaya kita nggak bisa santai?”
“Kemungkinan besar,” sahut Tita dengan nada pura-pura serius. “Bisa jadi rak ini ada kontrak khusus dengan bos besar.”
Keduanya akhirnya tertawa bersama. “Sudahlah, Kak, mari kita bereskan sebelum buku-buku ini benar-benar minta dirapikan lewat aplikasi chat,” ujar Arelea dengan nada menggoda.
“Baiklah, ayo kita selesaikan sebelum mereka bikin grup WhatsApp!” jawab Tita dengan semangat, melibatkan humor untuk membuat suasana lebih ringan.
Gabrian sedang berada di restoran VVIP untuk meeting dengan klien. Hari itu, ia berpikir bahwa semua akan berjalan lancar seperti biasa—sampai ia bertemu Nona Adinia Mariam Antares, klien dengan energi yang sangat... spesial.
“Hallo, Tuan Atkinson,” sapa Dinia dengan suara menggoda yang seolah diambil langsung dari film telenovela. Ia melambai kecil, seakan-akan Gabrian adalah selebriti di red carpet.
Gabrian hanya menatapnya datar. “Baiklah, Nona Antares, mari kita mulai meeting-nya,” ucapnya, menekan nada formal dalam setiap kata.
Arav, sang asisten yang sudah hafal kebiasaan bosnya, langsung mengambil alih. “Nona Antares, tolong fokus pada poin-poin kerjasama, bukan... hal lainnya,” ujarnya halus tapi tegas, dengan sedikit batuk menahan tawa saat melihat wajah Gabrian yang mulai memerah—bukan karena malu, tapi karena jengkel.
Setelah dua jam penuh pembahasan (dan selingan komentar genit dari Dinia), meeting pun selesai. “Mau pesan apa, Tuan?” tanya Arav sambil melirik klien mereka yang tampaknya tidak ingin pergi dalam waktu dekat.
Gabrian menghela napas panjang. “Terserah.”
“Kalau begitu, saya juga sama seperti Tuan Gabrian,” jawab Dinia tanpa diminta.
Arav memesan minuman biasa untuk Gabrian—dan dengan berat hati, juga untuk Dinia. Tak butuh waktu lama, pesanan mereka tiba.
“Mari diminum, Tuan Gabrian,” ucap Dinia, kali ini dengan nada manja dan... tangannya entah kenapa sudah mendarat di paha Gabrian.
Gabrian langsung membeku. Matanya melotot seperti melihat tagihan kartu kredit dengan angka fantastis. “Nona Antares,” katanya dengan nada seram, “apa Anda sadar bahwa Anda sedang menyentuh sesuatu yang bukan milik Anda?”
Arav, yang sudah menyaksikan cukup banyak, langsung angkat bicara. “Nona, mungkin Anda lupa bahwa ini restoran, bukan serial drama romantis. Tangan Anda harap kembali ke kursi Anda, segera.”
Dinia tertawa kecil, menarik tangannya tanpa rasa bersalah. “Oh, maaf, Tuan Gabrian. Saya terlalu nyaman.” Ia lalu meneguk minumannya dengan santai, seolah tidak ada yang terjadi.
Gabrian memejamkan mata sejenak, berusaha keras mengendalikan amarah. “Arav, kita pulang. Sekarang.”
“Baik, Tuan.” Arav berdiri, lalu memberikan senyuman setengah simpati, setengah geli pada Dinia. “Terima kasih atas waktunya, Nona Antares.”
Saat mereka meninggalkan restoran, Dinia tersenyum misterius, membatin dengan gaya yang hampir seperti tokoh antagonis dalam sinetron. “Aku pasti akan mendapatkanmu, Gabrian Gamaliel Atkinson. Tunggu saja.”
Di dalam mobil, Gabrian menggosok pahanya dengan tisu antiseptik yang ia ambil dari dashboard. “Astaga, Arav. Aku merasa seperti baru saja disentuh racun.”
Arav tertawa kecil. “Tenang, Tuan. Kalau perlu, nanti saya pesan eksorsis untuk paha Anda.”
Gabrian mendesah, setengah kesal, setengah geli. “Lain kali, kalau ada klien seperti itu, aku minta kamu yang maju.”
“Dengan senang hati, Tuan. Tapi jangan salahkan saya kalau bisnis kita bubar.”
Keduanya tertawa kecil, sementara mobil melaju meninggalkan restoran dan sosok Dinia yang masih berdiri di depan pintu, tersenyum seperti penjahat yang baru menyusun rencana.
***
Arelea duduk di bangku taman kota, mencoba meredakan kekalutan di pikirannya. Tangannya sibuk menghapus air mata yang sesekali jatuh, sementara pikirannya melayang jauh. “Kenapa aku harus seperti ini? Di mana orang tuaku? Apa mereka... tidak menginginkan aku?” gumamnya, setengah meratap. Padahal, kenyataannya orang tua Arelea tidak pernah berhenti mencarinya. Delapan belas tahun berlalu sejak kepergiannya, dan mereka masih berharap bisa memeluknya kembali.
Di tempat lain, Gabrian baru saja pulang dari meeting yang nyaris merusak suasana hatinya. Ia membersihkan diri di mansion dengan cermat—bukan karena perfeksionis, tapi karena takut alergi dermatographia-nya kambuh. Setelah itu, ia memutuskan untuk mencari udara segar, berharap bisa mengusir kekesalan sisa hari.
Saat mobilnya melewati taman kota, ia melihat sosok Arelea duduk sendirian di bangku, dengan gerakan kecil yang terlihat seperti menghapus air mata. Gabrian mengerutkan dahi. “Ini dia lagi drama, atau ada yang benar-benar salah?” pikirnya. Dengan cepat, ia menepikan mobil dan turun.
“Arelea?” panggil Gabrian sambil berjalan mendekat.
Arelea mendongak, wajahnya masih basah oleh air mata. “B-bos? Apa yang bos lakukan di sini?” tanyanya, jelas gugup.
“Sedang memandangi kamu,” jawab Gabrian santai, menyelipkan senyum kecil.
“Eh, serius, kenapa kamu di sini? Dan kenapa menangis?” lanjutnya, kini dengan nada lebih lembut.
Arelea buru-buru menghapus air matanya, berusaha menutupi kesedihan. “Oh, tidak, bos. Saya nggak apa-apa kok,” katanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan—sebuah senyum yang bahkan Gabrian tahu adalah kebohongan besar.
“Hm.” Gabrian mendesah, memutuskan untuk tidak menekan Arelea lebih jauh. “Baiklah, kalau kamu bilang nggak apa-apa...”
Mereka duduk diam sejenak. Gabrian melirik Arelea yang masih sesekali menghela napas berat. Lalu, sebuah ide muncul di benaknya.
“Oh ya, Arelea. Malam ini ada pesta pernikahan kolega bisnis perusahaan. Kamu mau ikut?” tawar Gabrian santai, meski sebenarnya ia sedikit gugup.
Arelea terkejut, matanya langsung berbinar. “Pernikahan? Serius, bos? Pasti bagus banget, ya?” tanyanya, terlihat antusias. Tapi seketika wajahnya kembali murung. “Tapi... aku nggak punya gaun. Kata teman-temanku, kalau mau ke pesta seperti itu, harus pakai gaun bagus.”
Gabrian tersenyum kecil, merasa geli tapi juga kasihan melihat kegundahan Arelea soal gaun. “Tenang saja. Nanti aku kirimkan orang untuk merias kamu. Kamu tinggal bersiap.”
Arelea menatap Gabrian, seolah tak percaya. “Beneran, bos? Terima kasih, ya!” katanya dengan senyum yang kali ini benar-benar tulus.
Gabrian mengangguk pendek, mencoba tetap terlihat tenang meski di dalam hatinya ia sudah merasa seperti pemenang lotre. “Yes! Ini pertama kalinya dia tersenyum seperti itu di depanku!” pikirnya.
“Baik, malam ini aku jemput. Jangan terlambat, ya,” katanya sambil bangkit berdiri. Sebelum meninggalkan Arelea, ia menoleh sekali lagi. “Oh, dan... jangan menangis lagi, ya. Kalau mau menangis, tagih aku untuk bayar tisu.”
Arelea tertawa kecil mendengar gurauan Gabrian, merasa sedikit lebih ringan daripada sebelumnya.
Sementara Gabrian berjalan kembali ke mobilnya, ia tersenyum tipis. “Bunga itu memang sedang layu. Tapi malam ini, aku akan membuatnya kembali mekar.”
Malam itu, Arelea sedang dalam proses dirias. Namun, kehadiran seorang laki-laki berpenampilan perempuan yang bernama Madam Nina—atau Nino, jika sedang ingin jadi dirinya yang asli—membuat suasana jadi sangat kocak.
Awalnya, Arelea menolak dengan keras saat pintu dibuka dan ia melihat Nina berdiri di sana, mengenakan blus pink mencolok, rok mini, dan sepatu hak tinggi. Wajahnya full make-up dengan eyeliner tebal yang nyaris seperti sayap elang.
“K-kak, itu laki-laki atau perempuan?” tanya Arelea dengan suara lirih tapi penuh rasa takut.
“Hai, sis! Aku ini Madam Nina, stylist profesional. Panggil saja Madam Nina, oke?” jawab Nina dengan nada lembut, sambil mengedipkan sebelah matanya dengan gaya dramatis.
Arelea masih bingung, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Nina menambahkan dengan suara berat khas laki-laki, “Atau, kalau mau formal, panggil aku Nino.”
Arelea langsung mundur beberapa langkah sambil berteriak, “Aaa! Kenapa kakak jadi dua orang? Ini apa? Apakah kakak manusia berkepribadian ganda?!”
Jeritan Arelea membuat Gabrian, yang baru saja tiba di rumah kosannya, buru-buru masuk ke dalam. “Apa yang terjadi di sini?!” serunya panik. Ia sempat khawatir kalau Madam Nina melakukan sesuatu yang membuat Arelea trauma.
Arelea menatap Gabrian dengan mata penuh rasa curiga sambil menunjuk Nina. “Bos! Dia manusia aneh! Katanya dia Nina, tapi dia juga Nino! Apa-apaan ini?!”
Gabrian menghela napas panjang. “Arelea, dia itu stylist terkenal. Mamaku sering memanggil dia untuk urusan fashion. Nina di sini hanya mau meriasmu supaya kamu kelihatan cantik malam ini. Ngerti?”
Arelea diam sejenak, lalu menatap Nina dengan wajah bingung. “Jadi... dia bukan monster?”
“Monster apanya?! Ya ampun, sis. Aku ini seniman!” seru Nina sambil memutar bola matanya dengan dramatis.
Setelah Gabrian berhasil menenangkan Arelea, proses rias pun dimulai. Namun, Nina adalah tipe yang suka memberikan komentar tak henti-hentinya sepanjang proses.
“Duh, kulitmu ini flawless, sis! Kenapa nggak jadi model aja?”
“Tapi, please, alis ini harus diperbaiki, ya. Kok kayak peta buta?”
“Dan rambut ini, ya ampun... sudah berapa lama kamu nggak perawatan?”
Arelea hanya bisa pasrah sambil mengangguk-angguk, sesekali memicingkan mata ke arah Nina yang dengan lincah mondar-mandir.
Gabrian, di sisi lain, sudah menunggu di ruang tamu selama lebih dari satu jam. Ia bahkan hampir ketiduran di sofa karena bosan menunggu.
Tepat 1 jam 15 menit kemudian, Arelea akhirnya keluar dari kamar dengan mengenakan gaun berwarna mocca selutut dan tanpa lengan. Rambutnya ditata elegan, dan riasan di wajahnya benar-benar membuatnya terlihat sangat cantik. Gabrian, yang awalnya bermalas-malasan, langsung terduduk tegak.
Dia menatap Arelea tanpa berkedip. Mulutnya sempat terbuka, seperti hendak bicara, tapi tidak ada suara yang keluar. Kalau saja Nina tidak ada di situ, mungkin Gabrian sudah lupa caranya bernapas.
“Eh, Ian, sudahi lah memandang kekasihmu itu. Cepat pergi, kalian sudah terlambat lima menit!” ucap Nina, menyentil bahu Gabrian dengan tatapan menggoda.
Gabrian mendelik dengan wajah memerah. “Dia bukan kekasihku!” serunya defensif, tapi tidak ada yang percaya.
Nina hanya tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Ah, cinta itu kadang denial, Ian. Sudahlah, jangan lupa undang aku kalau kalian menikah nanti!”
Sementara Gabrian hanya bisa menghela napas panjang, Arelea berdiri mematung dengan wajah memerah mendengar candaan Nina.
“Yasudah, ayo kita pergi,” kata Gabrian akhirnya, mengulurkan tangan ke arah Arelea. Gadis itu mengangguk pelan, dan mereka pun melangkah keluar bersama-sama, meninggalkan Nina yang tersenyum puas sambil melambai.
Di luar, Gabrian melirik Arelea sekilas, lalu tersenyum kecil. “Mungkin candaan Nina ada benarnya,” batinnya.
Gabrian, yang baru tersadar sudah terlambat lima menit, akhirnya berdiri sambil melirik Arelea yang masih terlihat bingung dan canggung dengan gaun barunya.
“Ayo, Arelea. Kita sudah terlambat,” katanya santai, sambil menarik lembut tangan gadis itu.
Arelea yang tidak siap disentuh, apalagi ditarik, langsung terpaku. “E-e... baiklah, bos,” jawabnya dengan nada gugup. Wajahnya mulai memerah, tapi ia berusaha menutupi rasa gugupnya dengan berjalan cepat mengikuti langkah Gabrian.
Sambil berjalan ke arah mobil, Gabrian berteriak santai kepada Arav, “Ayo, Arav, kita berangkat sekarang!”
Arav, yang sudah terbiasa menjadi sopir, hanya menjawab singkat, “Baik, Tuan.” Namun dalam hati ia mendesah pelan. “Padahal biasanya aku yang datang sendirian ke acara begini. Sekarang harus jadi pengiring pasangan majikan, ya?”
Gabrian sebenarnya tidak berniat hadir di pesta kolega ini. Ia merasa acara-acara semacam ini terlalu membosankan dan hanya datang jika benar-benar penting. Tetapi kali ini, demi menghibur Arelea, ia rela mengorbankan waktunya—meski sedikit mendongkol karena itu mengusik rutinitasnya.
Perjalanan menuju hotel berlangsung singkat, dengan Arav mengendarai mobil dalam kecepatan normal, meskipun sesekali ia melirik Gabrian dan Arelea dari kaca spion.
“Aku jadi babysitter atau bodyguard, sih?” gumam Arav pelan, nyaris tidak terdengar.
Sesampainya di depan pintu hotel, lampu-lampu sorot dari dalam ruangan langsung mengarah pada kedatangan mereka. Gabrian keluar dari mobil dengan langkah tenang, lalu memutar ke sisi pintu Arelea untuk membukakannya.
“Wah... benar-benar bos yang elegan,” gumam Arelea, meskipun hanya dalam hati.
Mereka masuk ke dalam pesta, dan semua mata langsung tertuju pada keduanya. Gabrian dengan setelan jas hitamnya yang sempurna tampak seperti seorang pangeran, sedangkan Arelea, meski dandanannya sedikit berlebihan (berkat Nina yang agak overachieving), tetap terlihat memukau.
Namun, perhatian yang datang tidak sepenuhnya membuat Arelea nyaman. Ia merasa seperti sedang berada di tengah panggung drama dengan semua lampu dan kamera tertuju padanya.
Melihat kegugupan gadis itu, Gabrian mendekat dan berbisik di telinganya, “Ayo, gandeng tanganku dengan mesra.”
Arelea hampir tersedak udara. “Hah?!”
“Tangan. Sekarang. Atau kita terlihat seperti dua orang asing yang terjebak di sini,” ucap Gabrian dengan nada datar tapi tegas.
Arelea akhirnya menurut, meski ia masih gemetar sedikit saat meraih lengan Gabrian. Mereka berjalan masuk lebih dalam ke ruangan pesta, diiringi pandangan kagum dari para tamu.
Arav, yang berjalan mengikuti mereka, menahan diri untuk tidak tertawa. Ia bisa melihat dengan jelas betapa gugupnya Arelea, sementara Gabrian tetap berusaha memasang wajah tenang seperti biasa.
Di antara kerumunan, ada beberapa bisikan dari para tamu.
“Wow, siapa wanita itu? Pasangan baru Gabrian?”
“Dia terlihat berbeda, tapi cantik sekali...”
“Pasti model atau semacamnya.”
Sementara itu, Gabrian diam-diam memperhatikan Arelea yang tampak sedikit canggung tetapi tetap berusaha tersenyum.
Dalam hati, Gabrian berpikir, “Baguslah Nina mendandani dia dengan cukup menor. Kalau dia terlihat terlalu imut, aku harus sibuk menjauhkan dia dari pria-pria ini.”
Namun, ia tidak menyangka, meskipun penampilan Arelea sudah diubah, pesonanya tetap sulit disembunyikan. Gabrian pun hanya bisa berharap pesta ini cepat selesai, karena sebenarnya ia sudah lelah berpura-pura menikmati suasana yang sebenarnya tidak disukainya.
Mereka berjalan ke arah pengantin baru dengan tangan Arelea yang "terperangkap" dalam genggaman Gabrian. Bahkan, Gabrian terlihat posesif, seolah Arelea adalah harta yang tidak boleh disentuh orang lain.
"Selamat, Tuan Sebastien, atas pernikahan. Semoga tetap utuh sampai ajal menjemput," ucap Gabrian dengan nada datar dan wajah khasnya yang dingin.
Pengantin pria dan wanita tersenyum, mencoba tidak terlalu memikirkan nada suara Gabrian yang mirip bos mafia memberi ucapan perpisahan. "Terima kasih, Tuan Muda Atkinson," jawab mereka bersamaan, mencoba tetap ramah.
Arelea, dengan kepolosannya, menambahkan, "Selamat ya! Semoga kalian tetap bersama sampai jadi kakek-nenek, ya!" ucapnya ceria sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Pengantin wanita menyambut tangan Arelea dengan hangat. Namun, saat giliran pengantin pria ingin menjabat tangan Arelea, Gabrian dengan gerakan halus tapi penuh makna menarik Arelea ke dalam pelukannya. Pinggang Arelea dipeluk erat seakan memberi sinyal, "Hanya aku yang boleh mendekati gadis ini."
Pengantin pria tertawa canggung, mencoba menyembunyikan rasa kikuk. "Selamat menikmati pestanya, Tuan Muda dan Nona Muda Atkinson," katanya, mencoba mencairkan suasana.
"Terima kasih," jawab Arelea dengan sopan, tidak sadar bahwa pengantin pria baru saja selamat dari "pelajaran posesif level Gabrian".
Gabrian hanya mengangguk kecil, memegang Arelea lebih erat saat mereka melangkah pergi. Mereka berdua kemudian duduk di kursi yang tidak jauh dari pelaminan. Gabrian bahkan menarik kursi untuk Arelea dengan anggun, sesuatu yang Arelea belum terbiasa lihat darinya.
"Apakah kau menikmati pestanya, Lea?" tanya Gabrian sambil duduk.
Arelea, yang masih sedikit canggung, tersenyum kecil. "Iya, bos... Tapi, di sini banyak sekali orang yang aku tidak kenal. Jadi agak bosan, sih... Hehe," jawabnya polos.
Gabrian hanya tersenyum kecil, sesuatu yang cukup langka darinya. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kau sudah cukup manis untuk menyelamatkan malam ini," katanya setengah bercanda, sesuatu yang membuat Arelea kaget dan wajahnya sedikit memerah.
Sementara itu, Arav, yang berdiri di kejauhan sambil mengamati mereka, hanya bisa menghela napas panjang. "Kenapa aku masih single? Padahal umurku sudah hampir kepala tiga. Bahkan Gabrian yang empat tahun lebih muda dariku sudah punya drama romantis macam ini. Rasanya tidak adil," pikirnya sambil menghabiskan minumannya dengan ekspresi campuran antara iri dan lelah.
Melihat tatapan iri Arav, salah satu pelayan mendekatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan itu sopan.
Arav menggeleng sambil tersenyum kecil. "Tidak, aku hanya butuh waktu untuk merenungi kenapa aku ada di sini, menjadi bodyguard lovebirds itu."
Pelayan itu mengerjap bingung sebelum akhirnya pergi. Sementara Arav tetap berdiri di sana, mendukung "bos dan calon bos putri" dari kejauhan dengan hati yang remuk tapi tetap profesional.
Gabrian dan Arelea dikenal sebagai duo profesional di tempat kerja. Namun, saat berdua, semua formalitas itu bisa hilang entah ke mana. Kadang mereka bercerita satu sama lain, melupakan penatnya dunia kerja, dan justru saling menjadi tempat curhat yang aneh tapi nyaman.
Ketika MC acara meminta para tamu untuk berdansa, para tamu langsung antusias. Gabrian, yang biasanya dingin dan serius, tiba-tiba berlutut di depan Arelea, menggenggam tangannya dengan gaya bak pangeran dalam dongeng.
"Arelea, ayo kita berdansa," ucapnya dengan nada serius tapi lembut.
Arelea, yang kaget, langsung tergagap. "Tapi, bos... Aku nggak tahu cara berdansa!" jawabnya polos sambil mencoba menarik tangannya.
Gabrian tersenyum kecil, kali ini tidak terlihat dingin, malah agak hangat. "Tenang saja, aku akan mengajarimu," katanya penuh semangat seperti sedang memimpin rapat besar.
Dengan ragu-ragu, Arelea menerima uluran tangan Gabrian. "Baiklah, bos... Tapi jangan salahkan aku kalau aku injak kakimu, ya!" celetuknya, setengah serius.
Mereka mulai berdansa mengikuti alunan musik yang romantis. Awalnya, Arelea kikuk, tapi Gabrian memandu dengan sabar. Satu atau dua kali sepatu Gabrian menjadi korban, tapi ia tidak terlihat kesal.
"Kamu sudah mulai mahir, Lea," ucap Gabrian sambil tersenyum.
"Benarkah? Atau kakimu saja yang mulai mati rasa?" jawab Arelea, mencoba bercanda untuk menutupi rasa gugupnya.
Gabrian tertawa kecil. "Mungkin keduanya," katanya dengan nada menggoda, membuat Arelea tersenyum malu-malu.
Mereka terus berdansa sampai lagu berakhir. Ketika lampu-lampu kembali terang, Gabrian mengantar Arelea kembali ke kursi, lalu mereka memutuskan untuk berpamitan kepada tuan rumah.
"Pulang sekarang, bos? Ini kan masih seru," kata Arelea, yang mulai nyaman berada di pesta.
Gabrian menggeleng ringan. "Sudah pukul dua belas malam, dan besok kau bisa tidur lebih lama, Lea. Jangan lupa, kamu butuh istirahat," jawabnya dengan nada serius, tapi ada kelembutan yang jarang terlihat.
Setelah berpamitan, mereka berjalan menuju mobil. Gabrian membuka pintu untuk Arelea, dan saat Arelea masuk ke dalam mobil, Gabrian berdiri sejenak, menatap punggung gadis itu dengan pandangan lembut yang hanya dia yang tahu.
"Terima kasih sudah menemaniku seharian ini, Lea. Aku mencintaimu," batin Gabrian sambil tersenyum kecil, kemudian masuk ke mobil, membawa mereka pulang dengan perasaan yang lebih hangat dari biasanya.
Sementara itu, di kursi belakang, Arav hanya bisa mendesah panjang. "Jadi, aku cuma tukang ojek romantis kalian, ya?" gumamnya pelan.
"Arav, apa tadi kau bilang?" tanya Gabrian sambil melirik ke belakang dengan tatapan penuh selidik.
"Ah, tidak, Tuan. Saya hanya bilang, 'Malam ini udara sangat romantis,' begitu," jawab Arav, berusaha tetap profesional, meski dalam hatinya dia ingin cepat pulang dan curhat ke kasur.
Mobil itu pun melaju, membawa mereka pulang dengan kisah yang akan terus melekat dalam hati masing-masing.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!