NovelToon NovelToon

Stay Here Please!

Prolog

Nathan Aderald, panggil saja Nathan. Pria tampan dan mapan ini pewaris keluarga Yunanda selanjutnya. Jangan heran. Jangan bertanya dari siapa ia menurun. Tentu saja dari ayahnya, tampan dan juga dingin. Mungkin kata itu yang pantas menggambarkan sosok itu.

"Nathan ayo turun, sarapan" teriak sang bunda, Jasmine.

Ia yang masih bersiap dikamar untuk berangkat sekolah langsung bergegas. Meraih tas ranselnya, lalu keluar dari kamar dan turun kebawah.

"Iya bundaa" jawabnya sambil berlari turun tangga.

"Jangan lari saat turun tangga sayang" tegur bunda.

"Aku baik-baik saja bunda" bantahnya.

"Nathan, jangan membantah perkataan bundamu" teguran sang ayah membuat ia langsung menundukkan kepalanya. Jika ayah sudah turun tangan, maka ia harus meminta maaf karena yang dilakukan olehnya itu benar-benar salah.

Ayah memang memanjakannya, menuruti semua keinginannya. Tapi dilain sisi, ayahnya juga sangat tegas dalam mendidiknya. Hidup ditengah keluarga kaya mengharuskan ia mandiri, karena ayah dan bundanya sering bepergian untuk perjalanan bisnis.

Meskipun begitu, ia tak pernah mempermasalahkan, apalagi memberontak seperti sebagian anak diusianya.

"Maafkan Nathan bunda" sesalnya.

"Bunda memaafkanmu sayang, ayo makan" Nathan mengangguk, meraih piring yang sudah berisi sandwich dari tangan bunda.

"Nathan hari ini berangkat sama mang ucup ya, bunda sama ayah ada rapat" ia mengangguki ucapan bunda. Tanpa bertanya atau berkomentar apapun. Terkadang terbesit, ia ingin diantar seperti teman seusianya. Tapi ia tidak boleh egois bukan? Bagaimanapun juga ia hidup dari hasil kerja keras orang tuanya. Akan sangat keterlaluan jika ia menuntut agar orang tuanya mewujudkan keinginan anehnya hanya agar terlihat seperti teman sebayanya.

"Atannn" teriakan bocah kecil nan menggemaskan itu mampu membuat fokusnya, ayah dan bunda langsung mengarah ke sumber suara. Terlihat bocah dengan kuncrit satu dan baju motif polkadot sedang berlari kearahnya.

"Panggil kakak oke, kak Nathan" ucapannya disambut anggukan kepala oleh Oliv. Ya, gadis kecil berambut pirang dengan kuncrit satu itu bernama Olivia Gabriela. Sangat menggemaskan.

"Kau tidak keperusahaan?" Ia mendengus, sepertinya perdebatan antara ayah dan ontynya akan berawal lagi. Entahlah. Ia pun tidak habis pikir dengan dua bersaudara itu. Ayahnya yang terkesan dingin diluar tapi sangat menjengkelkan jika sudah dihadapkan dengan onty, Chayra.

"Oliv rewel kak, dia tidak mau ditinggal" selalu begitu, ia bahkan sampai hafal dengan alasan onty jika berkunjung kerumahnya.

"No maa" protes Oliv, bahkan ia sampai terkikik.

"Kalau begitu kau bisa mengantar Nathan ke sekolah?" Ini bukan pertanyaan, lebih mengarah ke perintah tanpa mengenal bantahan ataupun penolakan.

"Sayang" tegur bunda seraya mengarahkan tatapan tajam pada ayah.

"Tidak apa kak, lagipula kalian juga akan pergi dan akan sangat membosankan jika aku berada dirumah ini berdua dengan Oliv saja. Dan juga itung-itung sekalian jalan-jalan" jawab Onty dengan mulut penuh makanan.

"Jangan berbicara saat makan onty" tegurnya. Sedangkan onty hanya tersenyum dan mengusap rambutnya.

"Terima kasih kakak ipar" ucap Onty pada bunda.

"Sama-sama" jawab Bunda.

Ia langsung menarik tangan Oliv menjauh dari ruang makan. Mengajaknya duduk diteras seraya menunggu para orang tua selesai berbicara.

"Oliv sudah makan?" Tanyanya pada Oliv yang langsung disambut anggukan lucu.

"Yahh sayang sekali, padahal kak Nathan punya jajan loh" ucapnya dengan wajah yang dibuat seperti menyesal dan penuh kecewa.

"Aaa mau mau" celoteh Oliv dengan antusias dan menarik-narik tangannya.

"No, Oliv sudah makan jadi tidak boleh makan jajan lagi. Nanti gendutt, kalau Oliv gendut, kak Nathan tidak mau berteman sama Oliv" sebenarnya ia hanya mengada-ngada. Seperti mendapat kesenangan sendiri jika menggoda gadis cilik ini.

"Endutt?" tanya Oliv dengan wajah terlihat berpikir, bahkan jari mungil itu dibuat untuk menopang dagu. Ahh sangat menggemaskan, seperti orang dewasa saja. Ia pun tak tahan untuk tidak terkikik, mengusap rambut Oliv dan melingkarkan lengannya dibahu Oliv.

Jika dilihat mereka seperti orang dewasa yang dimabuk asmara.

"Nathan ayo berangkat" ucap onty, ia pun mengangguk dan langsung menyalami ayah dan bunda sebelum berangkat kesekolah.

Setelah bersalaman, ia langsung menyusul Onty yang sudah masuk kedalam mobil terlebih dahulu. Melambaikan tangan pada ayah dan bunda.

"Thank you Onty" ucapnya saat mobil Onty berhenti tepat didepan gerbang sekolah dasar. Kemudian melepaskan setbelt yang melingkar ditubuhnya. Onty mengangguk, tapi mencodongkan tubuh seakan ingin menciumnya. Dengan reflek ia pun menjauh dan menutup wajahnya dengan tangan mungilnya itu.

"Kenapa ganteng?" tanya Onty tanpa dosa.

"Aku sudah besar Onty, Lagipula bibir Onty tidak higienis karna habis makan sandwich" ia masih menutup wajahnya, bahkan Onty langsung tertawa terbahak.

"Dadaaa Oliv" ucapnya kemudian langsung turun dan menutup pintu mobil.

"Dadaaa dadaa" jawab Oliv.

"Hihi hihi hihi" Oliv terkikik saat melihat Onty mengambil kaca dan melihat bibir.

"Apa yang lucu sayang?" tanya Onty pada Oliv tapi Oliv tidak menjawabnya, karena sudah kembali fokus pada mainannya.

Setelah memastikan mobil Onty melaju meninggalkan gerbang sekolah, ia langsung berjalan masuk. Seperti biasa, ia menjadi pusat perhatian. Entah dari para orang tua yang mengantar anaknya atau teman seusianya. Ia pun tidak memperdulikan itu, tapi tak jarang juga ia mendapat bingkisan dari para orang tua yang memanfaatkan anaknya agar mendapat citra baik dari ayah bunda. Dan tentunya bisa menjalin kerja sama karena sekolah ini memang sekolah elit, banyak dari mereka yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menyombongakn diri disekolah ini.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

**Nathan Aderald ~ Putra tunggal dari pasangan Gibran dan Jasmine. Punya kepribadian yang tidak jauh dari ayahnya, tampan, dingin, datar, tapi elegan.

**Olivia Gabriela ~ Putri tunggal dari pasangan Marcell dan Chayra. Cantik, ceria, menggemaskan, dan mungil. Sangat menempel pada Nathan, bahkan selalu menangis jika malam-malam berkunjung tapi tidak menginap. Gadis cilik itu seolah tidak ingin terpisah dari sang kakak sepupu.

Bab ini menceritakan sedikit kehidupan para tokoh saat anak-anak masih kecil. Dan bab selanjutnya akan langsung melompat beberapa tahun dan anak-anak sudah dewasa.

FYI (For Your Information) : Para orang tua, tepatnya Sandra, Heru, Tomi, dan Dian. Mereka sudah tidak ada, wafat tepat pasca Chayra mengandung Oliv. Pergi secara bergantian, merasakan duka yang mendalam bagi berbagai kalangan. Bisa juga disebut sebagai tahun duka karena empat orang yang mereka jadikan panutan sudah lebih dulu mendahului di tahun yang sama. Tangisan, erangan, jeritan penuh duka menyelimuti mereka. Tapi mereka tidak punya pilihan selain mengikhlaskan. Empat sosok itu sudah pergi, dan tak akan kembali. Tugas mereka hanya mendoakan. Ada banyak anak dan cucu yang merindukan suasana rumah penuh canda dan tawa. Mereka harus bangkit, tidak boleh larut dalam suasana yang penuh tangisan.

Sakit?

Waktu berlalu begitu cepat. Hari demi hari digantikan oleh bulan yang kemudian menjadi tahun. Selama itu juga banyak terjadi perubahan, entah dari fisik ataupun nonfisik.

Nathan

Ia mengemudikan mobilnya, begitu santai seolah sedang menikmati hari-harinya. Dengan alunan musik yang menemani perjalanannya. Sangat damai.

Bahkan perjalanannya ke kantor terasa begitu singkat.

Kini ia sudah berjalan memasuki kantor setelah memarkirkan mobil di basement. Berjalan dengan tegap dan sesekali menganggukkan kepalanya pada karyawan yang menyapa.

Menaiki lift untuk menuju keruangannya. Setelah turun, ia melihat sang sekertaris yang sibuk dengan dunianya sendiri melalui ponsel. Sepertinya tak menyadari kehadirannya. Meskipun begitu, ia pun tak berniat menyapa.

Ia langsung duduk dan berkutat dengan dokumen yang sudah menumpuk dimeja kerjanya. Sesekali ia membubuhkan tanda tangan atau hanya sekedar membacamya.

Menjadi pemimpin di usia muda tidak mudah, apalagi dengan perusahaan sebesar ini harus mempunyai pemimpin yang tegas dan berkompeten. Meskipun ayah sudah percaya, tentu ia tidak boleh terlena. Apalagi memanfaatkan posisi dan jabatannya. Itu sama sekali bukan tipenya.

Ia dididik dengan keras dan tegas sejak kecil, penanaman rasa tanggung jawab dan bagaimana cara mengatasi masalah tanpa menambah masalah baru tentu sudah ia pelajari sejak dini.

Tok tok tok

"Masuk" perintahnya saat mendengar ketukan pintu ruangannya, tapi ia sama sekali tak berniat mendongakkan kepalanya.

"Ini dokumen yang anda minta kemarin pak, dan jam 10 ada rapat" ucapan sekertarisnya membuat ia langsung menganggukkan kepalanya. Bahkan masih dengan tatapan yang fokus pada dokumen tanpa menoleh kearah sekertarisnya. Hanya tangan kanannya saja yang ia gunakan untuk merespon ucapan sekertarisnya.

Sekertarisnya yang bernama Yesi itu langsung membalikkan badannya. Karena sekertarisnya tahu jika bekerja ia tidak akan banyak bicara karena itu dapat mengganggu konsentrasinya.

Yesi.

Ia menghela nafasnya, entah kenapa perlakuan dingin sang atasan membuat ia semakin tertantang untuk mendekati atasannya itu. Bekerja selama kurang lebih setengah tahun membuatnya tumbuh perasaan dengan sendirinya. Bahkan ia pun sebenarnya tidak menginginkan hal itu terjadi. Tapi bagaimana bisa ia membuang perasaan yang tumbuh dengan sendirinya?. Tapi ia juga sadar diri, ia seharusnya dan secepatnya membuang perasaan konyol itu jauh-jauh. Karena sudah jelas jika status mereka sangat bertolak belakang. Sama sekali tidak kontras. Impossible.

Ia berjalan menuju pantry, ingin membuat kopi untuk menetralkan perasannya. Syukur-syukur jika bisa hilang.

"Dimarahin lagi?" Tanya office girl yang terlihat bersantai dipantry. Office girl itu temannya, hanya saja keberuntungan yang membedakan mereka. Bahkan temannya itu sudah sangat hafal jika ia sering terkena teguran karna gaya pakaiannya. Tapi mau bagaimana lagi, ia nyaman dengan pakaian seperti ini. Meskipun cemoohan sering ia dengar karena pakaiannya cukup terbuka. Come on, he doesn't care.

Ia hanya mengedikkan bahu, "Aku pergi dulu" jawabnya setelah membuat kopi dan melambaikan tangannya.

"Mending lo buang deh perasaan lo itu. Daripada tersakiti. Lagipula, very impossible jika pak bos tertarik sama lo" ia yang baru saja akan membuka pintu kembali menghela nafasnya saat mendengar ucapan temannya.

"I will try it" jawabnya dengan singkat kemudian segera berlalu.

Nathan.

"Huh akhirnya" ia merasa lega karena pekerjaannya sudah selesai. Kepalanya yang terasa berdenyut pun ia senderkan dikursi kerjanya dan juga kedua tangan yang ia renggangkan. Sekedar untuk merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Melihat jam di pergelangan tangannya masih ada waktu sekitar 10 menit sebelum jam 10 tepat. Ia bisa memanfaatkan itu untuk beristirahat sebentar sebelum rapat dengan kliennya.

"Eh pak" celetuk Yesi terkejut saat ia membuka pintu ruangan.

"Hemmm" jawabnya dan langsung berlalu untuk turun dan menuju ruang rapat diikuti Yesi dibelakangnya.

"Good luck" ia memicingkan matanya saat melihat office girl yang berpapasan dengannya dilantai bawah terlihat berbisik pada sekertarisnya.

"Kau mengenalnya?" Tanyanya dengan datar.

"Teman saya pak" mendengar jawaban Yesi, ia tak bertanya lebih lanjut. Yang terpenting tidak mencurigakan itu sudah cukup baginya.

Ruang rapat yang awalnya berisik pun menjadi hening setelah kedatangannya. Ia mengangguk, menyapa para dewan direksi yang sudah duduk ditempat mereka. Ia pun langsung mengambil duduk dipaling ujung, memimpin rapat hari ini.

------

Tepat jam makan siang, akhirnya rapat pun usai. Setelah berpamitan ia langsung keluar dari ruangan rapat itu.

"Saya langsung pulang. Dokumen sudah saya periksa semuanya" ucapnya pada Yesi.

"Baik pak" jawab Yesi, dan ia pun langsung berlalu keluar perusahaan untuk pulang. Karena tubuhnya sepertinya memerlukan istirahat.

Ia pun langsung memasuki mobil yang berada didepan loby. Mobil yang ia kendarai saat berangkat tapi dengan disupir oleh Mang ucup yang baru saja ia hubungi tadi sebelum rapat.

"Jalan mang"

"Baik den" jawab mang Ucup dan melajukan mobilnya menjauh dari kawasan perusahaan.

Ia menyenderkan tubuhnya dijok mobil, memejamkan mata dan memijat pelipisnya yang semakin terasa berdenyut.

"Aden sakit? Mau mampir kerumah sakit dulu?" Tanya mang Ucup terlihat khawatir padanya.

"Tidak perlu mang, langsung pulang saja" mang Ucup terlihat mengangguki ucapannya.

Mobil melaju membelah jalan raya, sedikit padat karna ini jam makan siang. Terlihat para karyawan yang mengendarai motor berniat membeli makan siang.

"Berhenti mang" ia menepuk kursi kemudi, meminta mang Ucup berhenti. Setelah memastikan mobil benar-benar berhenti, ia langsung turun. Membantu seorang nenek tua yang kesulitan menyeberang, mungkin karena ramainya kendaraan. Ia pun memencet lampu penyeberangan yang belum sempat dipencet oleh nenek tadi. Langsung berlari dan meraih tangan nenek tersebut dan menuntunnya ketepi.

"Terima kasih nak, terima kasihh"

"Hati-hati nek, jalan raya" setelah memastikan nenek tersebut aman, ia langsung pergi. Menuju mobil mang Ucup yang berhenti dibahu jalan.

"Mbahhh" sekilas ia mendengar teriakan gadis penuh kekhawatiran, ia tak memperdulikannya. Tapi ia sempat menoleh sebentar lalu melanjutkan langkahnya.

"Jalan mang" ucapnya pada mang Ucup.

Mang Ucup pun kembali melanjutkan perjalanan. Tidak butuh waktu lama akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai dirumah.

"Kakak sudah pulang?" Ia menoleh, menatap Oliv yang duduk diruang keluarga sendirian dengan banyak camilan.

"Tolong kasih tau bibi untuk membuatkan kakak minuman hangat Oliv" ia pun langsung berlalu, menaiki tangga untuk menuju kamarnya.

Setelah sampai kamar, ia langsung merebahkan diri. Tanpa melepas sepatu atau apapun yang melekat ditubuhnya.

"Kakk, ini tehnya" ia mendengar Okiv berbicara padanya, tapi matanya seolah berat karena kepalanya berdenyut.

"Kakak sakit?" Oliv mendekati ranjangnya, menempelkan tangan mulus itu dikeningnya.

Oliv.

Ia merasa bosan dirumah karena kedua orang tuanya sednag di perusahaan. Sementara ia sepulang dari kampus untuk mengumpulkan tugas langsung mampir kerumah ayah dan bunda.

"Kakak sudah pulang?" Tanyanya ketika melihat sang kakak sepupu sudah pulang dijam makan siang.

"Tolong minta bibi untuk membuatkan kakak minuman hangat Oliv" begitu pesan kakaknya sebelum naik keatas, ia pun langsung meletakkan camilan yang sebelumnya ia pangku. Kemudian berdiri menuju dapur.

"Ada yang bisa saya bantu non?" Tanya Bi Asih yang melihatnya berkutat didapur.

"Tidak perlu bi, hanya membuat minuman hangat untuk kak Nathan"

"Tumben sekali aden minta minuman hangat ya non, apa mungkin sakit? Lebih baik buatkan teh hangat saja non" ucap bi Asih.

"Nanti aku akan mengeceknya bi sekalian mengantar minuman" bi Asih terlihat mengangguki ucapannya.

Setelah teh siap, ia pun langsung membawanya keatas. Mengetuk pintu kamar kakak tapi tak ada tanggapan sama sekali. Ia pun memutuskan langsung masuk.

"Kakk ini tehnya" ucapnya saat memasuki kamar dan melihat kakaknya sudah terbaring tanpa melepas apapun.

"Kakak sakit?" Tanyanya seraya menempelkan tangannya didahi kakaknya

"Badan kakak panas sekali, aku panggilkan dokter ya" ucapnya khawatir.

"Tidak perlu Oliv, kakak hanya butuh istirahat saja" tolak Nathan dengan lirih.

"Aku ambilkan obat penurun demam" ia pun berniat keluar, tapi urung saat melihat sepatu yang digunakan Nathan masih menempel dikaki. Ia pun melepas sepatu itu, menyelimuti tubuh kakaknya yang terlihat menggigil.

Setelah memastikan kakaknya nyaman, ia pun langsung berlari turun untuk mengambil obat penurun demam.

"Bi bibi, kotak obat dimana yaa?" Teriaknya panik pada bibi.

"Di laci non, ada apa?" Bi Asih terlihat panik juga.

"Kak Nathan demam bi" jawabnya masih dengan membuka semua laci.

"Ah ini" leganya saat kotak obat sudah ia temukan.

"Dibawa kerumah sakit saja non" teriak bibi saat ia mulai menaiki tangga.

"Orangnya nggak mau bi" jawabnya.

Saat ia masuk kedalam kamar kakaknya, teh hangat yang ia buat tadi pun masih utuh. Dan ia hanya mendengar dengkuran halus, mungkin sang kakak sedang tidur.

Ia pun meletakkan obat disamping teh, setelah itu ia turun dan menutup pintu.

 ------

Hari sudah mulai sore, ia pun masih berjaga jika kakaknya membutuhkan sesuatu seraya memakan camilan dan menonton drama favoritnya.

"Oliv" teguran membuat ia menoleh, kemudian tersenyum dan berdiri untuk menyalami ayah dan bunda yang baru saja pulang dari kantor.

"Kakakmu belum pulang Oliv?" Tanya bunda seraya menyerahkan satu box kue kepada bi Asih.

"Sudah, tadi jam makan siang kakak sudah sampai rumah bunda, tapi langsung merebahkan diri karena demamnya tinggi"

"Kakakmu itu bisa sakit Oliv?" Tanya ayah seperti tidak percaya dengan apa yang didengar. Sedangkan bunda langsung menatap tajam ayah hingga membuatnya terkikik sendiri.

"Oliv pulang dulu ya bunda, takut mama nyariin" pamitnya.

"Memangnya mama mu sudah pulang?" tanya ayah yang dijawab gelengan olehnya.

"Menginap saja Oliv, nanti biar ayah yang memberitahu mama dan papamu" ucapan bunda membuatnya menatap ayah penuh harap, tidak ada yang bisa menolak jika ia memasang wajah seperti ini.

"Baiklah, nanti ayah akan menghubungi mama papa mu" 

"Wahh bener ayah? Makasihh" ucapnya dan langsung berhambur dalam pelukan ayah.

"Bunda keatas dulu Oliv" ucap Bunda.

"Ayah juga, kau pergilah mandi" ia mengangguki ucapan ayah.

Do you deserve to be called a mother?

Do you deserve to be called a mother?

(Pantaskah disebut seorang ibu?)

Gibran

Ia melangkahkan kakinya, menaiki tangga satu persatu dengan sedikit berlari. Tubuhnya terasa lelah, ditambah kabar tak mengenakkan di sore harinya. Bagimana tidak, putra kesayangannya jatuh sakit. Putranya yang selalu kuat dalam hal apapun akhirnya tumbang juga.

Ia memang selalu tegas dalam mendidik putranya, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ia juga orang nomor satu yang paling sedih dan panik ketika putranya jatuh sakit. Seperti saat ini.

"Nathan" ia membuka pintu kamar Nathan perlahan, dilihatnya Nathan sedang meringkuk diatas kasur dengan berbalut selimut.

"Ayah" lirih Nathan, seketika itupun hatinya mencelos. Khawatir, sedih, semua bercampur jadi satu.

Ia berjalan menghampiri ranjang, duduk ditepi ranjang dan mengecek suhu tubuh Nathan melalui punggung tangannya.

"Kerumah sakit?" Tanya nya benar-benar khawatir.

Nathan menggeleng, semakin meringkuk diatas ranjang. Bahkan ketika ia menoleh kearah nakas, obat dan teh yang sudah dingin pun masih utuh.

"Kau masih menggunakan pakaian kantor" ia mendengus saat melihat pakaian Nathan yang masih lengkap seperti saat di kantor.

"Lepas dulu, kau itu demam. Bagaimana uap panasnya bisa keluar kalau pakaianmu setebal ini." ia menggerutu, membantu Nathan mendudukkan diri dan melepas jas Nathan.

"Sayang" pintu terbuka, ia menatap istrinya yang baru saja masuk kedalam kamar setelah tadi berpamitan mengangkat ponsel terlebih dahulu.

"Badannya panas sekali, kerumah sakit ya Nathan" lagi-lagi ucapan istrinya ditolak oleh Nathan. Memang putranya sangat keras kepala.

"Aku hanya butuh istirahat bunda" jawab Nathan menanggapi ucapan Jasmine.

"Sayang" istrinya menatap padanya, berusaha meminta bantuan untuk membujuk Nathan.

"Husstt, jangan dipaksa. Nanti kalau demamnya makin tinggi baru kita bawa kerumah sakit" ucapnya mencoba membujuk istrinya agar tidak memaksa putranya.

"Sekarang kita biarkan Nathan istirahat, nanti biar bibi yang mengantar makanan dan obat untuknya. Dan kita juga harus membersihkan diri bukan?" Ucapnya pada sang istri seraya bangkit dari duduknya.

"Cepet sembuh ya sayang" Jasmine merapikan selimut Nathan, dan langsung menyusul dirinya untuk keluar dari kamar putranya agar putranya bisa beristirahat.

 ----

Hari sudah gelap, cahaya matahari pun sudah digantikan dengan cahaya bulan. Langit malam ditaburi bintang. Angin sepoi berhembus menerpa jendela kamar.

 ------

Oliv

Ia baru saja turun untuk makan malam. Menuruni tangga dengan santai dan senyum berkembang. Bahkan bibir cantiknya terlihat bersenandung merdu.

"Buat kak Nathan bunda?" Tanyanya pada bunda Jasmine yang hendak naik keatas membawa nampan berisi makanan dan obat.

"Iya sayang" jawab bunda tersenyum padanya.

"Biar Oliv saja bunda" ucapnya seraya mengambil alih nampan dari tangan bunda Jasmine.

"Terima kasih ya sayang, kalau begitu bunda panggil ayah dulu" ia mengangguki ucapan bunda. Segera membalikkan badan dan kembali naik keatas untuk mengantar makanan.

"Kakk" ia membuka pintu perlahan, mengintip sebelum akhirnya melangkahkan kakinya kedalam.

"Kakk makan dulu setelah itu minum obat. Jangan bekerja dulu" gerutunya saat ia melihat Nathan duduk bersamdar ranjang dengan laptop dipangkuannya.

"Taruh disitu saja Oliv" ucap Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

"Aihhh, kakak makan dulu." Ia pun merampas laptop dati Nathan.

"Kembalikan Oliv" lirih Nathan sedikit geram.

"Noo, makan dulu. Laptopnya Oliv bawa" tanpa memperdulikan tatapan tajam dari sang kakak, ia pun langsung melenggang pergi begitu saja.

Nathan.

Setelah tidur selama kurang lebih tiga jam akhirnya ia sedikit merasa lebih baik. Segera bangkit dan memijat pelipisnya yang masih saja pusing. Menyibak selimut dan berdiri dengan pelan untuk menuju kamar mandi.

"Oh shit" ia tak pernah seperti ini sebelumnya karena ia tipe orang yang sangat menjaga kesehatan. Tapi karena beberapa hari terakhir ia harus bolak-balik luar kota untuk mengecek pembangunan beberapa resort. Ia akhirnya tumbang juga.

Ia berjalan dengan pelan menuju kamar mandi. Hanya mencuci wajah dan menggosok gigi karena tubuhnya belum kuat jika berlama-lama menyentuh air.

Setelah selesai, ia kembali keranjang. Setelah mencuci wajah, tubuhnya terasa lebih segar. Bahkan ia bisa mengecek ponsel yang sedari siang tadi sudah ia letakkan di nakas. Terlihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Mengecek dan membaca pesan yang dikirim oleh asistennya.

Kepalanya terasa berdenyut kembali mendengar kabar jika ada beberapa masalah resort di desa.

Terpaksa ia pun mengambil laptop untuk mengatasi masalah tersebut.

"Kakk" ia mendengar suara dan pintu terbuka.

Menoleh sebentar, lalu kembali fokus dengan laptop didepannya.

"Kakk makan dulu setelah itu minum obat, jangan bekerja dulu" ia hanya menggelengkan kepalanya pelan, tanpa menjawab atau merespon ucapan adik sepupunya itu.

"Taruh disitu saja Oliv" ucapnya ketika ia melihat Oliv masih berdiri disampingnya.

"Aihh kakak makan dulu" ia mendengus saat Oliv merampas laptoonya lalu melenggang pergi begitu saja.

"Oliv kembalikan laptop kakak" ucapnya dan berdiri dari ranjang dan berniat mengejar Oliv.

"Oliv kem-" ucapannya terpotong begitu saja saat ia membuka pintu dan melihat Oliv sedang berbincang dengan ayah didepan pintu kamarnya.

"Nathan?" Heran ayah saat melihat ia berdiri didepan pintu dengan wajah pucat.

"Iya ayah. Nathan masuk dulu" ucapnya dan langsung menutup pintu.

Aurelia.

Ia menuntun satu-satunya sosok orang tua yang sangat menyayanginya. Bahkan setelah papa dan mama nya cerai, memutuskan hidup terpisah. Mencampakkan dirinya, meninggalkannya berdua saja dengan mbah (ibu dari sang mama). Hidupnya berubah, harus berjuang menghidupi mbah yang semakin tua renta. Dan juga berjuang untuk kehidupannya selanjutnya.

"Lia sudah bilang kalau mbah dirumah saja, biar Lia yang mencari uang" ia menangis, menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia sampai lengah, dan tidak tahu jika mbah berjualan kopi sachet dipinggir lampu merah.

Ia merasa gagal, merasa berdosa atas apa yang mbah lakukan hari ini. Nenek tua yang seharusnya istirahat harus membantunya mencari penghasilan. Baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk membayar sewa kontrak rumah yang ditempati mereka.

"Mbah gakpopo nduk (Mbah nggak papa nak)" seloroh mbah mengusap air matanya yang menggenang.

"Yen awakmu ketemu wong lanang mau, ojo lali ngucap matur suwun yo nduk (kalau kamu ketemu pria tadi, jangan lupa ucapkan terima kasih ya nak)" ia hanya mampu menjawab ucapan mbah dengan anggukan kepala.

"Lia bakal golek kerjoan seng gajine luweh gede mbah, ben mbah iso ayem ng omah (Lia akan nencari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar mbah, biar mbah bisa tenang dirumah)" ucapnya seraya memeluk mbah.

"Mugo-mugo karepmu di ijabah nduk, mbah gur iso ngewangi ndungo (semoga keinginanmu dikabulkan nak, mbah cuma bisa bantu do'a)"

 ----

Pagi harinya, ia merasa tidurnya terusik dengan suara teriakan mbah dan mama nya bersama seorang pria. Apa? Mbah? Ia langsung bangkit dengan cepat dan keluar dari kamarnya.

"Berhenti" teriaknya saat melihat mama bersama seorang pri mengobrak-abrik lemari mbah.

"Hei, beri mama uang" ia terlonjak, dengan reflek memundurkan tubuhnya saat mamanya berteriak padanya.

"Apa uang yang Lia transfer setiap bulan kurang untuk mama? Kenapa mama selalu mengganggu ketenangan kami" teriaknya begitu frustasi, bahkan air matanya sudah menggenang membanjiri pipi mulusnya.

"Banyak omong, cepat beri mama uang"

"Ahhh lepaskan maa, sakitt" ia merintih, jambakan dirambut panjangnya membuat ia  mengerang.

"Tolong, tolong" mbah berusaha mencari bantuan, meski kemungkinan kecil jika tetangga akan mendengar teriakan mbah.

"Diamm, cepat mana uangmu"

"Lia tidak punya uang ma, belum gajian" ia mencoba lepas, tapi sayang. Tenaganya kalah jauh.

"Cepatt"

"Ahhh" ia semakin merintih, memegang rambutnya yang semakin ditarik oleh sang mama.

"Iki duet, iki nduk. Culno anakmu (ini uang, ini nak. Lepaskan anakmu)" teriak mbah meraih tangan mama dan meletakkan sejumlah uang ditelapak tangan mama.

"Nah gitu dong, lain kali lebih banyak" ia hanya mampu menangis, tidak menyangka jika ibunya, malaikat tak bersayapnya berlaku tega kepadanya.

"Mbahh" lirihnya memeluk mbah setelah kepergian mama.

"Wes gak popo nduk (sudah tidak apa-apa nak)"

"Pantaskan disebut seorang ibu?" lirihnya merasa sangat kecewa pada wanita yang melahirkannya.

"Hustt, apik elek e mama iku tetep mama Lia. Wong wadon seng nglahirno Lia (Husstt, baik buruknya mama itu tetap mama Lia. Wanita yang melahirkan Lia)" tegur mbah, menasehati dirinya. Jika seburuk apapun sifat mama, beliau tetap mamanya. Perempuan yang melahirkannya, perempuan yang mempunyai surga ditelapak kakinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!