NovelToon NovelToon

Darren Si Posesif

eps 1

🌺Author Pov🌺

Setelah kelahiran Gio Xander, kebahagiaan Darren dan Via makin lengkap. Gio membawa warna dalam kehidupan mereka berdua. Darren selalu pulang lebih awal untuk membantu Via mengurus Gio. Jadi Via sangat terbantu sekali. Darren turut mengambil peran dalam mengurus Gio dengan telaten.

"Halo Gio, daddy pulang!" sapa Darren saat sudah masuk ke dalam kamar baby Gio.

Gio yang sedang berada di boxnya sangat senang melihat wajah daddynya. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil menebar senyumnya yang sudah terlihat empat buah gigi yang muncul digusinya.

"Gemes banget sih sama anak daddy yang satu ini," kata Darren sambil mengangkat anak semata wayangnya ini sambil mencium kedua pipi chubbynya bergantian.

Via datang dan memeluk Darren dari belakang punggung Darren. "Kamu baru pulang?" tanyanya sambil bermanja ria dengan suaminya.

"Iya. Daddy pulang langsung cari Gio," katanya sambil bermain dengan anaknya.

Via pindah ke samping Darren dan melihat senyum bahagia Gio yang sedang digendong oleh Darren. Gio memang sangat akrab dengan Darren karena Darren sangat memperhatikan Gio.

"Biar aku yang gendong, kamu mandi dulu sana!"

"Gio, mami suruh daddy mandi. Keknya mami mau pacaran sama daddy deh nanti," kata Darren dengan suara pelannya.

Gio hanya tertawa saja walaupun ia belum mengerti apa maksud perkataan daddynya barusan.

"Kamu sama mami dulu ya, Gio sayang," kata Via sambil mengambil Gio dari gendongan Darren.

Gio memang lagi lucu-lucunya di usianya yang sudah beranjak tujuh bulan. Badannya yang bulat membuat pipinya ikut kemerahan seperti pakai blush on.

* ilustrasi baby Gio

Via menemani Gio bermain, tidak lama kemudian Darren menyusul ikut berkumpul kembali bersama.

"Sayang, apa aku boleh izin pergi ikut pagelaran fashion week sama mami di US (United States)?" tanya Via yang ingin mendapat izin dari suaminya.

Darren yang tadinya sedang mengajak Gio bermain jadi terhenti. "Kapan?"

"Minggu depan. Tapi itu juga kalo kamu izinin."

"Gio di ajak?"

"Gak. Sementara aku titip ke rumah mami kamu selama lima hari."

Sebenarnya Darren agak keberatan dengan Via, tapi ia juga tidak tega lihat Via yang sudah lama berkarir malah sia-sia. Apalagi desain jewerlynya sudah mulai punya nama di pasaran luar negeri juga. Semenjak itu, dia sudah jarang berdiri di tokonya. Dia tetap fokus urus anak dan suami sembari kerja dari rumah.

"Gak papa kalo cuma lima hari," kata Darren dengan senyum datarnya.

"Kamu, izinin?" tanya Via memastikan lagi, tapi sudah tampak berbinar dikedua bola matanya yang penuh harap kalau Darren benar-benar mengizinkannya.

"Iya," jawab Darren yang sudah berusaha ikhlas mengizinkan Via.

"Makasih ya, sayang," kata Via sambil mencium pipi Darren dengan rasa gemasnya.

"Diliatin Gio tuh!" ledek Darren.

"Eh.. iya," timpal Via sambil mengajak Gio bermain lagi.

*****

Sebelumnya Via dan Darren sudah inap di rumah orangtua Darren sambil membawa keperluan Gio. Disamping itu, orangtua Darren sama sekali tidak keberatan untuk menjaga Gio dalam beberapa waktu. Mereka malah senang bisa punya waktu penuh bersama dengan cucu semata wayangnya.

Via bisa berangkat dengan hati yang tenang. Ia di antar Darren ke bandara. Sebagai suami yang bertanggung jawab, Via selalu menjadi yang utama di hati Darren dari dulu hingga saat punya baby Gio. Cintanya pada Via sama sekali tidak ada yang berubah, walaupun lelah saat pulang kerja, kadang Via juga sibuk dengan baby Gio, ia tidak pernah mengeluh untuk minta waktu Via seutuhnya buat dia.

"Aku berangkat dulu ya," pamit Via yang sudah mau masuk ke dalam untuk check-in.

"Kamu ati-ati ya! Jangan lupa kabarin aku! Jaga dirimu baik-baik di sana!" pesan Darren sambil mencium kening Via.

"Ya! Kamu juga ati-ati bawa mobilnya dan jaga dirimu serta baby kita dengan baik!" pesan Via juga sambil mengecup pipi kanan Darren.

Mereka saling melambai sebagai salam perpisahan sebelum akhirnya mereka benar-benar berpisah.

*****

Darren mendapat kabar dari mami Via kalau Via mengalami kecelakaan. Mobil yang menjemputnya telah masuk ke jurang. Dengan hati yang kacau, Darren menyusul untuk segera terbang ke US saat itu juga. Ia menitipkan baby Gio di tangan orangtuanya.

Dengan hanya membawa pakaian yang ia kenakan saja, ia pergi ke US dengan buru-buru. Dari awal setelah mendengar kabar tentan kecelakaan Via, wajahnya sudah tampak stress berat dan hatinya sangat terguncang.

Setelah sampai di US, ia sudah di jemput oleh seorang supir dengan mobil yang dipesannya. Ia bergegas ke kantor polisi dimana mami Via masih menunggu kedatangannya di sana.

"Mami!" panggil Darren saat menemukan mami Via sedang nangis tak berdaya di tempat duduk yang ada di ruang kantor polisi.

"Darren!" sahut mami Via sambil makin menjadi nangisnya.

Darren yang tak kuasa melihat mami Via sedih, ia pun hanya bisa memeluk dan mengusap punggung mami Via sambil menenangkannya. Padahal ia sendiri juga sangat kacau, tapi ia tidak mau sedih karena baginya Via belum meninggal dan ia yakin kalau Via pasti akan ketemu dalam keadaan hidup-hidup saat ia belum melihat kenyataannya sendiri.

Darren pergi ikut ke lokasi TKP di mana jatuhnya mobil yang membawa Via dengan beberapa polisi di sana. Sedangkan mami Via sudah diantar ke hotel terlebih dulu olehnya agar dapat istirahat.

*Darren

Darren menunggu dengan sabar para polisi yang sedang investigasi lokasi kejadian.

"Maaf pak, mobil yang jatuh ke jurang sudah meledak. Rasanya sangat sulit mencari jasad istri anda," kata salah satu polisi yang sudah memeriksa kondisi mobil yang ditumpangi Via.

"Apa? Meledak?" tanya Darren tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

'Tidak mungkin! Via pasti masih hidup. Dia gak akan ninggalin aku dan Gio begitu aja,'batin Darren.

"Ya, pak! Sebentar lagi bangkai mobilnya akan diangkat dan bapak bisa liat sendiri hasilnya," kata sang polisi yang sudah memutuskan harapan Darren untuk bertemu dengan Via.

'Cobaan apalagi ini Tuhan? Kenapa kami harus di uji seperti ini? Rasanya aku gak bisa tanpa dia,' keluh Darren dalam hati yang penuh sesak.

"Sabar ya, pak!" ucap salah satu polisi yang berperawakkan gemuk sambil menenangkan Darren.

Seperti yang sudah di jelaskan oleh salah satu polisi tadi, memang bangkai mobil yang telah diangkut dengan bantuan salah satu mobil alat berat itu terlihat sangat hancur tak berbentuk. Remuk, hangus, benar-benar tidak bisa digambarkan lagi.

"Viaaaaaa!!!" teriak Darren sambil berlutut dan memukul-mukul jalanan aspal setelah melihat kondisi bangkai mobil tadi.

Tanpa terasa ia sudah menangis sejadi-jadinya. Hatinya sangat terpukul, tapi ia langsung kepikiran dengan baby Gio yang masih membutuhkan perhatiannya. Ia pun langsung bangkit seketika dan menghapus air matanya saat mengingat baby Gio.

'Aku janji padamu akan membesarkan anak kita dengan baik dan tunggu aku di sana. Semoga kamu tenang di sana!' doanya dalam hati yang mencoba mengikhlaskan semua yang telah terjadi.

eps 2

*****

Tiga tahun berlalu

Baby Gio kini sudah menjadi seorang anak laki-laki yang tampan. Usianya saat ini sudah beranjak tiga tahun. Semenjak kepergian Via, Darren dan Gio tinggal bersama orangtua Darren karena terlalu banyak kenangan Via di rumah mereka, jadi Darren akan semakin larut dalam kesedihan. Tapi Gio tetap diperkenalkan dengan foto Via agar ia tahu bahwa ia punya seorang ibu.

"Opa, Gio mau makan permen lolipop satu aja, boleh gak?" tanya Gio yang sudah pintar bicara pada opanya.

"Kebetulan opa sudah kantongin satu. Ini buat kamu!" kata opannya sambil mengeluarkan satu permen lolipop kecil dari saku celananya.

"Asyik!" seru Gio senang saat menerima permen lolipop dari opanya.

"Gio, kamu jangan makan banyak permen nanti malah sakit gigi!" larang Darren yang baru tiba dan langsung melihat Gio sedang memegang permen ditangannya.

Wajah Gio seketika berubah. Yang awalnya ceria malah jadi pendiam dan ia meninggalkan permen lolipop yang dipegangnya tadi di atas meja serta berlalu pergi menuju kamarnya.

'Buk!' suara tutup pintu yang dibanting sangat kuat terdengar dari arah kamar Gio.

Darren hanya bisa geleng-geleng kepalanya, karena ia kadang bingung menghadapi anaknya yang menurutnya jadi kurang nurut padanya.

"Der, kamu jangan terlalu keras sama dia! Dia kan masih kecil. Seumuran dia itu hanya tau bermain. Jadi beri dia kebebasan sesuai umurnya," kata daddynya mengingatkan.

"Ded, dia walaupun masih kecil tapi dia cerdik. Dia gak bisa dibandingkan dengan anak seumurannya. Dia jauh lebih dewasa. Dia ngerti apa yang ku suruh. Aku bukan keras sama dia, tapi aku hanya ingin memberitau dia mana yang baik mana yang gak. Aku capek, ded. Mau ke kamar istirahat."

Darren langsung menuju ke atas dimana kamar dia berada dan bersebelahan dengan kamar Gio yang dulu pernah dipakai oleh Via menginap pertama kali saat bertamu ke sini.

Darren berdiri terpaku di depan pintu kamar Gio. Dia ingin menemui Gio sebentar, tapi dia sendiri tampak lelah karena pekerjaan kantor yang membuatnya pusing. Jadi ia mencoba melewati hari ini dulu dengan kesendiriannya untuk menenangkan pikirannya dan akhirnya kembali ke kamarnya.

🌺Darren Pov🌺

Setelah masuk ke kamarku, aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Memijat perlahan keningku yang mulai sakit. Kemudian, aku mulai duduk dan mencari obat disekitaran laci tempat biasa aku menyimpan obat itu. Aku minum dua butir setiap malam sebelum aku tidur. Setidaknya obat itu dapat membuatku tenang dan lelap saat tidur.

Aku hanya bisa menutup kedua mataku dan merasa bersalah pada Gio dan Via. Gio sudah berubah. Makin bertambah usianya, dia semakin tidak mau bicara dengan orang yang bukan dekat dengannya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Setiap pulang dari sekolah play groundnya, dia selalu murung dan suka mengucilkan diri di kamarnya. Rasa bersalah ini semakin membuatku tersiksa. Andai saja Via ada.... semua pasti akan baik-baik saja dan aku serta Gio tidak akan seperti sekarang ini.

*****

"Gio, apa sekolahmu hari ini menyenangkan?"

Dengan wajahnya yang cemberut, ia hanya menggelengkan kepalanya. Kami berdua duduk di kursi mobil bagian penumpang belakang. Aku memang sengaja pergi menjemputnya ke sekolah hari ini, karena jadwal kantorku gak terlalu padat.

"Hari ini daddy akan mengajakmu makan siang di restoran dog cafe kesukaanmu. Tapi tolong berikan daddy senyummu dulu!" pintaku sambil tersenyum padanya.

Dia langsung tersenyum, walaupun terpaksa. Setelah tiga detik, mukanya muram kembali. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang lucu ini.

Setelah sampai di restoran dog cafe, Gio berlari kecil masuk ke dalam. Ia tidak sabar ingin menggendong beberapa ekor anjing yang ada di restoran itu. Wajahnya yang muram jadi ceria lagi dan suara tawanya juga terdengar jelas karena beberapa ekor anjing menyambut Gio dengan girang. Aku hanya bisa melihatnya dari tempat duduk yang biasa menjadi tempat favoritku sambil membalas beberapa pesan di ponselku.

Gio berlari kecil bermain dengan beberapa ekor anjing di sekitaran ruangan cafe. Tanpa sepengetahuannya, Gio lari hampir mengenai salah satu sudut ujung meja makan yang ada di restoran itu. Tapi dengan sigap, ada seorang perempuan yang melindungi Gio agar tidak terbentur sudut meja sambil memeluknya.

"Kamu gak papa, kan?" tanya perempuan itu yang masih memeluk Gio sambil memeriksa keadaan Gio dengan baik.

Gio yang sedikit shock hanya diam dan menatap dalam perempuan itu. "Mami!" serunya dari suara kecilnya yang tiba-tiba keluar begitu saja dari mulutnya.

"Hah? Apa kamu baik-baik saja?" tanya perempuan itu lagi, tapi Gio hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Gio masih merasa nyaman dalam pelukkan perempuan tadi. Aku langsung menghampiri Gio setelah melihat kejadian itu. Aku menarik lengan tangannya dari pelukkan perempuan itu karena aku ingin memastikan kondisi Gio dengan kepala mataku sendiri.

"Gio, kamu gak papa?" tanyaku yang masih khawatir sambil memeriksa kondisinya.

Gio menggelengkan kepalanya seraya memberitahuku kalau dia baik-baik saja, tapi ia menunjuk ke perempuan yang menolongnya tadi. Aku tidak melihat dengan jelas siapa perempuan itu, karena dari kejauhan wajahnya tertutupi oleh rambut panjangnya yang lurus.

"Te..." kataku terhenti setelah sudah melihat dengan jelas wajah perempuan tadi. "Via!" seruku setelah mengenal wajahnya dengan jelas. Tanpa ragu, aku memelukanya erat.

*Angel

"Nngg... maaf, bapak salah orang!" katanya sambil sedikit mendorong tubuhku.

Aku melepaskan pelukkanku tapi masih memegang kedua lengang tangannya untuk memastikannya. "Salah orang? Mana mungkin?"

"Maaf, tapi nama saya Angel bukan Via yang bapak sebut tadi," jawabnya.

Bagaimana bisa dengan wajah yang sama persis tapi beda nama? Apa Via mempermainkanku?

"Bapak gak percaya? Sebentar, aku akan mengeluarkan tanda pengenalku," katanya sambil sibuk mengambil dompetnya dan mengeluarkan KTP miliknya lalu menunjukkannya padaku.

Aku segera mengambilnya dan menelitinya. "Angelia Frisel Queena," sebutku dari nama yang tercantum dari KTPnya.

"Ya! Namaku, Angel," katanya tegas dan merebut kembali KTPnya dari tanganku.

"Ooo... Maaf, aku salah orang!" ucapku menyesal sambil melepaskan lengan tangannya yang sempat kutahan tadi, tapi aku jadi sangat penasaran dengannya.

Aku tidak percaya ada orang yang diciptakan sama persis selain mereka adalah anak kembar. Via tidak pernah menyebut ia punya kembaran. Aku harus mencari info tentang Angel ini.

"Gak papa," katanya sambil duduk kembali ke tempat duduknya.

Gio masih berdiri di samping Angel sambil menatapnya terus-menerus. Tersirat rasa kangen seorang anak pada ibunya yang terlihat jelas dari kedua matanya.

"Gio, ayo kita ke tempat duduk kita!" ajakku sambil menarik telapak tangan mungilnya

Gio masih tak berkutik. Ia memasang wajah sedihnya dan menundukkan kepalanya kebawah.

"Gio!" panggilku dengan nada agak meninggi, karena serasa sedikit stress menghadapi anak ini.

Angel bangun dari tempat duduknya dan ia jongkok di depan Gio. "Kenapa anda memarahinya?" tanyanya padaku sambil mendongakkan wajahnya yang gak terima dengan caraku memperlakukan Gio tadi.

"Aku gak marah. Aku hanya ingin mengajaknya kembali ke tempat duduk kami, tapi kamu liat sendiri... dia gak mau mendengarku," belaku.

"Nama kamu, Gio?" tanya Angel memastikan langsung di depan Gio.

Gio mengangkat kepalanya lalu mengangguk pelan. Angel membelai lembut lengan tangan Gio. Aku hanya ingin melihatnya saja sebentar agar rasa kangenku sedikit terobati.

"Gio, kamu ini anak yang baik dan tampan!" puji Angel sambil membelai lembut rambut Gio. "Apa dia adalah papamu?" tanya Angel sambil menunjuk ke arahku dan Gio hanya mengangguk membenarkan. "Sebagai anak baik, kamu harus ikut perintah papamu karena dia adalah orangtuamu. Papamu akan sedih jika kamu gak nurut," lanjutnya sambil sedikit memberikan pengarahan pada Gio.

"Mami!" panggilnya lagi pada Angel.

Angel terkejut dengan panggilan Gio yang sudah kedua kalinya ia dengar. "Maaf nak, tante bukan mami yang kamu maksud," katanya berterus terang.

Gio tidak peduli, ia memberanikan dirinya memeluk Angel. Kedua tangan kecilnya merangkul jenjang leher Via yang masih berjongkok dihadapannya. Tampak Angel hanya bisa pasrah dipeluk oleh Gio dan ia membalas pelukkan Gio dengan hangat.

eps 3

"Gio, jangan gak sopan sama tante! Ayo, kita duduk di sana!" ajakku sekali lagi.

"Gak!" jawab Gio dengan nada tegas.

"Gio mau di sini sama tante?" tawar Angel sambil tersenyum yang sama persis dengan Via.

Gio menganggukkan kepalanya dengan cepat dan tersenyum manis pada Angel, tapi ia menatapku dengan tajam.

"Tolong biarkan dia di sini sebentar denganku!" pinta Angel padaku.

Apa karena Gio rindu dengan sosok maminya? Makanya ia sangat ingin dekat dengan Angel yang memang kebetulan sangat mirip dengan maminya.

"Jika anda mau bergabung, silahkan duduk sekalian di sini!" katanya sambil mempersilahkanku duduk di tempatnya.

Aku tak bisa menolak, karena aku memang sangat ingin melihat wajahnya yang membuatku kangen selama tiga tahun ini. 'Kenapa Via bisa jadi Angel?' Itulah yang mengganggu pikiranku dan aku harus secepatnya mencari informasi tentang Angel.

"Terima kasih," jawabku sambil duduk berhadapan dengannya sedangkan Gio duduk di sebelahnya.

"Apakah Gio sudah bersekolah?" tanyanya penasaran sambil mengelus pelan kepala Gio.

"Dia sudah sekolah tapi masuk ke play ground," jawabku.

"Ooo... usianya saat ini?"

"Tiga tahun."

"Aku liat, Gio sepertinya agak pendiam. Maaf kalo aku salah menilainya," katanya yang merasa gak enak hati.

"Gak papa. Tapi kenyataannya emang seperti itu. Sejak dia masuk sekolah, dia yang awalnya ceria malah jadi pendiam seperti sekarang. Saat aku tanya ke gurunya, mereka juga gak tau kenapa Gio berubah."

"Apa temen sekolahnya ada yang nakal dan mengganggunya?"

"Gurunya bilang... tidak." Seingatku, gurunya tidak pernah bilang Gio disakiti oleh teman-temannya.

"Ada. Mereka nakal," timpal Gio sambil melipat kedua tangannya ke depan dadanya.

"Mereka, siapa?" tanya Angel penasaran dengan suara lembutnya.

"Mereka bilang, mami Gio sudah gak ada dan gak sayang sama Gio lagi. Mereka bilang, Gio anak pungut. Gio kesel," keluhnya yang membuat Darren terkejut.

"Sudah... gak papa sekarang. Gio anak baik dan pintar. Jika ada yang bicara seperti itu ke Gio, bilang saja sama guru Gio agar temen-temen tadi di nasehati agar gak ganggu Gio lagi!" pesan Angel padanya tapi hanya dapat sebuah anggukkan dari Gio saja. "Gio, coba kamu bermain dengan doggy di sana! Tante akan bicara dengan papamu sebentar!"

Gio kecil langsung mengerti maksud Angel. Ia berlari kecil menghampiri para anjing dan mengajak mereka bermain.

"Maaf, kalo aku lancang. Apa boleh kita bicara tentang Gio?" tanyanya sopan.

"Ada masalah apa dengan Gio? Apa yang mau kamu ketahui?"

"Aku adalah seorang guru tk di salah satu sekolahan yang lokasinya gak jauh dari sini. Aku sangat menyukai anak-anak dan aku juga belajar mengenal psikis karakter anak-anak. Yang terjadi dengan Gio itu seperti sebuah pukulan di hatinya. Ia sangat rindu dengan maminya. Kalo saya boleh tau, maminya Gio kemana?"

"Maminya meninggalkannya sewaktu usianya tujuh bulan dan sampai sekarang belum kembali."

"Maksudnya anda, maminya Gio masih hidup tapi meninggalkan dia begitu saja?"

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan saja, karena sekarang ini yang aku pikirkan adalah orang di depanku saat ini mungkin adalah Via yang sedang berperan sebagai Angel.

"Apa anda gak mencarinya?"

"Aku sudah berusaha mencarinya, tapi gak ketemu. Maaf aku gak bisa ceritakan semua masalah rumah tangga kami," kataku yang sengaja gak mau memperpanjang masalah. "Oh ya, kamu kerja di sekolah mana?"

"Tk Nusantara masuk dari gang sebelah Ind*mart itu!" tunjuknya keluar jendela.

"Ooo..." kataku setelah melihat ke arah jalan yang ditunjuknya.

"Angel!" sapa seorang pria yang tiba-tiba datang menghampirinya sambil tersenyum padanya.

"Hai, Johan!" balas Angel dengan wajah cerianya.

*Johan

Kenapa aku jadi gak senang ya? Padahal dia bukan Via. Tapi rasanya sakit sekali hati ini.

"Kamu sedang ada tamu?" tanya pria yang bernama Johan setelah menyadari kehadiranku diantara mereka saat ini.

"Dia orang tua anak kecil itu!" tunjuk Angel ke arah Gio yang masih sibuk mengurusi para anjing.

"Perbincangan kita sampe di sini aja. Permisi!" pamitku dengan gaya cuek sambil berdiri dari posisi tempat dudukku dan menghampiri Gio.

Aku mengajak Gio untuk pulang sekarang. Aku menggendong badan Gio agar gak begitu melawan. Dengan langkah kaki cepat, aku keluar bersama Gio dan masuk ke dalam mobil.

"Gio mau mami. Gio mau mami," katanya berulang dan membuatku gak tahan mendengarnya.

"Gio, dengar! Dengar daddy!" perintahku sambil memegang pundaknya dan kami saling bertatapan. "Dia bukan mami kamu. Nama dia tante Angel. Ingat itu! Mami kamu belum pulang, jadi jangan panggil tante Angel dengan sebutan mami lagi! Mengerti?" tekanku.

"Gakkkk!!" teriaknya sambil menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya. "Daddy jahat!" makinya.

Aku hanya bisa menahan emosiku saat ini. "Pak, kita pulang saja ke rumah!" kataku pada sih sopir yang mengemudikan mobil kami.

Aku menutup kedua mataku dan memijat pelan keningku yang mulai sakit. Entah bagaimana aku menjelaskan pada Gio lagi?

*****

Keesokkan harinya saat Gio masih sekolah, aku sengaja mencari sekolah dimana Angel bekerja. Dengan arahan petunjuk yang diberitahunya kemaren, aku mengikuti arah jalannya hingga menemukan sebuah sekolahan yang lumayan luas serta ada taman bermainnya.

Aku berdiri di depan pintu pagar sekolah yang bercat merah itu yang masih tertutup. Tampak ada seorang satpam yang sedang berjaga di posnya. Ia menghampiriku dan tersenyum ramah padaku.

"Pagi, pak! Apa ada keperluan di sekolah ini?" tanyanya sopan.

"Ya! Aku ingin menemui kepala sekolah di sekolah ini."

"Silahkan masuk, pak! Kepala sekolahnya ada di ruang guru," katanya sambil membuka sedikit pintu pagarnya dan membiarkanku masuk sendiri ke dalam.

Aku berjalan melewati beberapa lorong kelas dan melihat sekilas beberapa guru yang sedang sibuk mengajar murid-muridnya. Hingga aku berjalan lagi melewati kelas dimana Angel sedang mengajar juga. Aku menghentikan langkahku dan terpaku diam menatapnya. Dari sini aku merasa dunia sedang mempermainkan takdir kami. Aku sangat kangen dengan wajah itu. Wajah yang sama dengan Via. Tanpa kusadari, Angel mengintip dari dalam kelasnya dan tersenyum ramah padaku. Aku hanya bisa tersenyum datar membalasnya.

"Maaf, pak! Ada keperluan apa di sini?" tanya seorang ibu-ibu yang berperawakkan gemuk menghampiriku.

"Saya ingin bertemu dengan kepala sekolah. Apa beliau ada?"

"Saya kepala sekolahnya," jawab ibu tersebut. "Nama saya bu Wati. Mari pak bicara di dalam ruangan saya!" ajaknya seraya menuntun jalan ke ruangannya.

Sekolah yang hanya terdiri dari enam kelas tapi kondisinya rapi dan lingkungannya bersih. Sangat enak dipandang. Jika Gio sekolah disini, pasti ia akan senang.

"Silahkan duduk, pak!"

Kami duduk di tempat kami masing-masing.

"Terima kasih, bu Wati. Saya dengan Darren."

Bu Wati senyum-senyum sendiri. "Ya, pak Darren. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin daftarin anak saya ke sekolahan ini. Usianya tiga tahun saat ini."

"Ooo... ingin daftarin anaknya toh? Saya pikir, bapak mau lamar jadi guru disini. Hahaha... Maaf saya keceplosan."

Aku hanya bisa senyum saja mendengar kekonyolannya.

"Baik, pak! Tolong bapak isi formulir ini dulu!" katanya sambil menyerahkan selembar formulir pendaftaran padaku.

Aku mengambil penaku dan segera mengisinya. Bu Wati sibuk mencari sesuatu di lacinya.

"Ini pak untuk biaya masuknya, seragam, buku, serta uang fieldtripnya sudah tertera jelas di sini! Jika bapak setuju, bisa langsung tanda tangan disini!" katanya lagi sambil menyerahkan lembaran kertas lainnya.

Aku membacanya sekilas dan hanya langsung tanda tangan setelahnya.

"Aku lunasi semua pakai kartu ini," kataku sambil menyerahkan salah satu kartu debitku untuk transaksi.

Bu Wati segera membantuku untuk bertransaksi pembayarannya. Tidak lama kemudian, ia menyerahkan tanda terima dan kertas struk dari mesin EDC (mesin gesek) sebagai bukti telah diterimanya Gio di sekolah ini.

"Semoga anak bapak kerasan (betah) ya di sekolah ini!" harapnya sambil tersenyum ramah.

"Nngg.. kalo boleh, saya ingin anak saya berada di kelas bu Angel."

"Masalah itu akan saya rundingkan pada bu Angel dulu. Tapi harusnya tidak masalah karena bu Angel juga ngajar anak seusia anak bapak."

"Kalo gitu terima kasih atas bantuannya bu Wati."

"Sama-sama, pak. Besok anaknya masuk jam 10.00 ya pak dan untuk jadwal seragamnya sesuai dengan petunjuk di kertas yang sudah diselip diseragamnya tadi," pesan bu Wati.

"Baik, bu. Terima kasih."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!