NovelToon NovelToon

For The World We'Re Gonna Make

Teman Cintaku

Pemuda itu menghentikan aksi menyuapkan makanan ke mulutnya ketika suara isak terdengar. Seorang gadis di hadapannya sudah berurai air mata. Dia berdecak pelan kemudian mengulurkan tisu. “Mulai, deh,” ujarnya seraya memutar bola matanya malas.

Gadis itu semakin sesegukan membuat pemuda berkaos warna navy tersebut jengkel dibuatnya. Masalahnya ini di tempat umum, seorang gadis menangis di hadapannya, apakah orang lain tidak curiga atau penasaran? Beberapa pasang mata yang ada di cafe itu melirik gadis di hadapannya dengan iba. Namun, tatapan mereka menjadi mendelik ke arah pemuda itu. Seakan pemuda itu sudah melakukan kekejian kepada gadis di hadapannya. Yang jelas saja, dia tidak akan mampu menyakiti sahabat kesayangannya sedikit pun.

“Ca, udah. Gue malu,” ujarnya untuk menenangkan sahabatnya yang sedang menangis.

Echa, atau nama panjangnya Recha Yidana itu mengusap air mata dengan tisu yang diberikan pemuda di depannya. “Sakit hati, Dav.” Dia menyimpan telapak tangan kanannya di depan dada, seakan dia mengatakan bahwa itu terlalu menyakitkan.

Pemuda itu menarik novel yang membuat sahabatnya menangis. “Nggak ada novel untuk malam ini.”

“Bagas....” Gadis itu menyeka air matanya.

“Makan,” titahnya sambil meletakkan garpu dan sendok dari meja ke piring yang ada di hadapan gadis itu. “Gue ajak lo keluar buat makan, bukan buat nangis.”

Echa masih terisak, dia masih terbawa perasaan dengan novel itu. Seakan dia adalah tokoh utama dalam cerita itu yang menghadapi penderitaan cukup kejam. “Gas, nyokap Aidan meninggal.”

Pemuda itu tidak menanggapi.

“Gas, bokap Aidan meninggal ketika dia masih SMP. Terus Aidan harus ngurus nyokapnya yang sakit ALS sendirian. Suatu hari nyokapnya kritis dan harus dioperasi tenggorokan. Operasi itu mahal, hingga harta peninggalan bokapnya habis. Nyokapnya kembali sadar, tapi operasi itu membuatnya kehilangan suara. Untuk melanjutkan sekolahnya serta menyambung hidup bersama ibunya, Aidan kerja jadi kuli bangunan, tukang nebang bambu, dan buruh nyuci. Lo banyangin kalau jadi dia, sakit, kan?Nyesek banget, Dav.”

Spoiler yang diceritakan Echa menarik pemuda itu untuk mendengarkan lebih lanjut. Ini seperti bukan novel cinta-cintaan pada umumnya, hal itulah yang membuatnya penasaran. “Terus?”

“Aidan tinggal di gubuk kecil, karena rumahnya yang besar harus dijual untuk pengobatan ibunya. Dia sayang banget sama ibunya. Dia berusaha tersenyum di hadapan ibunya meski hatinya rapuh dan penuh luka, tapi tidak pernah mengeluh sedikit pun. Bahkan, pada Tuhannya saja, dia hanya meminta supaya dikuatkan untuk menghadapi ujian hidup. Dia cowok yang kuat, sumpah. Aidan nggak akan pernah sedih selama masih bisa melihat senyum ibunya. Namun, Tuhan ambil ibunya di saat Aidan belum sepenuhnya membahagiakan ibunya. Dia terpuruk.Tiba-tiba lo ambil novelnya. Gue mau lanjut baca, Gaaaas,” rengek Echa seperti anak kecil sambil menangis. Kedua sikutnya ditumpu ke permukaan meja kemudian menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Pemuda itu menatap novel berjudul Warna Semesta. Ilustrasi di sampulnya adalah seorang pemuda menggendong wanita tua di tengah ruang yang penuh warna.“Nggak usah lebay. Cuma novel,” cibirnya tanpa dipedulikan oleh gadis yang masih terisak. Dia kembali menatap novel itu. 'A novel by Gishella Handya Virgafa' tulisan di tengah bagian atas buku itu.

“Gue jadi inget banyak salah sama nyokap, gue malah ninggalin dia sendirian di Amrik,” ujar Echa ketika tangisnya sudah mulai reda.

Begitu Bagas menyuapkan sesendok nasi goreng yang terakhir, senyum miringnya tercetak bermaksud untuk mengejek. “Baru nyadar?”

Gadis itu mencerutkanbibirnya. “Sahabat yang menyebalkan!” desisnya.

Saking larutnya Jeani dalam dunia fiksi membuat nasi goreng di hadapannya belum tersentuh sedikit pun. Pemuda itu mengambil alih piring dari hadapan Jeani. Dia mulai menyendokkan nasi kemudian di arahkan ke mulut Jeani. “Manja,” ejeknya.

Echa tersenyum atas perlakuan Bagas. Meski pemuda itu mengejek, tapi tetap menyuapinya.

Sampai suapan ketiga, mata Echa menangkap sosok gadis cantik bersama kedua orang tuanya memasuki cafe. Dia tersedak, nasi yang separuh masuk mulutnya berceceran di meja. Bagas segera memberikan segelas air dan langsung ditegak setengah oleh gadis itu. “Mana novel gue, Gas?”

Pemuda itu melongo. Apa yang terjadi dengan sahabatnya?

“Bagas! Balikin novel gue!”

“Buat apa?”

Echa segera merebut novelnya yang disimpan di pangkuan pemuda itu. Bagas terheran dengan kepergian sahabatnya ke arah pintu cafe. Menemui seseorang. Jeani tampak girang begitu menghampiri gadis berponi yang berdiri diapit oleh kedua orang tuanya.

Bagas segera menyusul.

“Tulisin sesuatu, dong,” pinta Echa membuat Bagas semakin terheran.

Gadis cantik terbalut midi dress motif kotak berwarna putih biru itu menulis sesuatu di halaman pertama novel Echa. Bagas tertegun melihat gadis tersebut. Penampilannya sederhana, rambut cokelat gelapnya diikat asal dihiasi bandana pita senada dengan warna midi dressnya, tas selempang persegi panjang warna putih, dan sepatu putih menutup mata kaki. Sederhana tapi terlihat elegan.

“Makasih,” ujar Echa seraya menerima novelnya yang sudah ditandatangani penulis. Senyum kebahagian mengembang begitu saja di bibir Echa.

Gadis itu tersenyum kepada Echa dan Bagas sebelum melanjutkan langkah menuju meja dekat panggung kecil. Bagas tidak melepaskan pandangan sedikit pun dari gadis cantik itu, sampai sahabatnya menyenggol bahunya dengan keras.

"Cha, dia siapa?

Teman Cintaku II

Gadis itu tersenyum kepada Echa dan Bagas sebelum melanjutkan langkah menuju meja dekat panggung kecil. Bagas tidak melepaskan pandangan sedikit pun dari gadis cantik itu, sampai sahabatnya menyenggol bahunya dengan keras.

"Cha, dia siapa?

“Penulis novel ini.” Echa sama halnya dengan Bagas yang menatap gadis itu dari belakang seraya memegang dadanya. “Gila, mimpi apa gue ketemu dia,” racaunya seraya menepuk-nepuk pipi.

Bagas mengamati gadis tersebut. “Bocah?” ujarnya tidak percaya kepada gadis yang kini sudah duduk di kursi. Wajahnya yang childish tidak meyakinkan Bagas bahwa gadis itu seorang penulis. Tidak lama kemudian ada beberapa orang yang menghampiri dia, mereka seperti meminta foto bersama gadis itu.

“Jangan lihat usianya. Karya dia gila-gila, Gas. Tiga novel karya dia selalu sukses buat nangis beberapa malam. Konfliknya selalu bikin nyesek.”

Bagas menarik Echa ke mejanya lagi. Gadis itu melanjutkan makannya yang tertunda. Beda lagi dengan Bagas yang masih tidak percaya dengan gadis itu. Laki-laki mana yang tidak terpikat cantik naturalnya? Itu hal wajar. Namun, ada hal yang membuat Bagas mengangumi gadis itu. Dia membaca satu halaman novel karya Gishella, dirinya seakan terbius, terlempar ke dunia antah berantah, diksinya luar biasa! Dia mengarahkan pandangan ke titik di mana tadi Gishelle duduk di sana, tapi sekarang tidak ada.

Pemuda itu sempat kaget karena kehilangan jejak gadis itu. Begitu melihat ke panggung kecil di sana, Bagas tersenyum karena kembali menemukan sosok Velicia duduk di depan piano.

“Malam semuanya. Adakah di antara teman-teman yang menganggap malam ini adalah malam spesial?Yes for me. Mother and Father celebrate the 16th wedding. And then, Veli will sing for them."

Penonton yang menyaksikan bertepuk tangan serempak. Dua orang yang paling dekat dengan panggung itu tersenyum sambil saling peluk.

Jeani menghentikan suapannya. Dia berbalik untuk melihat panggung. Gishella mulai menekan tuts demi tuts untuk menciptakan nada. Lagu Andai Aku Punya Sayap menari indah di telinga pengunjung cafe dua lantai itu. Bahkan ada pengunjung dari lantai dua sengaja turun untuk menyaksikan penampilan Gishella.

Wanita muda bergaun biru tua melepas pelukan suaminya kemudian menghampiri sang putri. Dia mengelus puncak kepala gadisnya lalu menciumnya dengan lembut. Sang pria berkemeja biru muda dibalut jas warna biru tua menyusul istrinya naik panggung. Gishella kembali diapit oleh dua orang kesayangannya.

Gadis itu tidak terganggu sama sekali dengan kedatangan dua orang itu. Tepat ketika tuts terakhir ditekan, Gishella dipeluk oleh keduanya dengan hangat.

Gishella berdiri untuk membawa keduanya turun dari panggung. Seorang perempuan dengan pakaian khas pelayan berjalan anggun sambil membawa kue yang ada lilin angka enam belas di atasnya.

Baik Bagas ataupun Echa tidak menyangka bahwa malam itu akan memyaksikan keharmonisan satu keluarga dalam merayakan aniversary. Echa menatap kagum keluarga yang sedang meniup lilin dan langsung dihadiahi tepukan oleh banyak pasang tangan.

“Gishel punya segalanya. Kadang gue mau merasakan ada di posisi itu.”

Bagas iba dengan sahabatnya. Keluarga Echa sering terjadi masalah yang berujung pertengkaran argumen hebat. Dia mulai meraih tangan gadis itu dan mengelusnya secara perlahan. Berharap usapannya dapat menenangkan gadis itu. “Bisa aja kan itu cuma topeng? Cha, lo nggak bisa menyimpulkan sesuatu secepat itu.”

“Gue yakin, orang tuanya Gishella pasti bangga banget punya anak berbakat seperti dia.”

“Mulai ngaco, deh ngomongnya. Kalau kuat menyaksikan, jangan komentar apa pun. Kalau enggak, lebih baik pulang.”

Gadis itu menggeleng tanpa mengalihkan pandangan dari Gisgrlla yang sedang dipeluk mesra orang tuanya untuk difoto. Echa mulai merasakan rasa irinya bergejolak ketika melihat senyum gadis kecil itu.

“Cha, kalau gue duet sama dia, kira-kira dia mau nggak, ya?” tanya Bagas dan langsung mendapati pelototan besar dari sahabatnya.

“Gila aja. Dia mana maulah. Lo harus lihat dulu, dia siapa, kita siapa.”

“Coba-cobalah.” Bagas nekat. Pemuda itu berdiri seraya memberikan ponselnya kepada Echa. “Kalau nanti gue duet bareng dia, videoin!”

Echa melotot lebih besar lagi. “Gila!” umpatnya. Bagas meninggalkannya tanpa peduli umpatannya. Dia menghela napas berat, kepalanya digelengkan. “Bukan sahabat gue,” gumamnya seraya meremas ponsel keluaran terbaru milik mBagas.

Echa yakin bahwa Bagas akan kembali dengan kekecewaan. Pemuda itu belum tahu saja siapa Gishella. Seorang penulis, youtubers, dan selegram. Jika dibandingkan dengan Bagas, tidak ada apa-apanya. Pemuda itu memang suka coverlagu, tapi sayang subsribersnya belum mencapai seribu. Bagas memang tidak berbakat mengelola media sosial, followers instagramnya saja baru sekitar dua ribu. Punya apa dia sampai nekat mau duet dengan gadis itu?

Sedikit lagi Echa akan menghabiskan nasi gorengnya. Namun, suara gitar yang dipetik membuatnya menoleh ke atas panggung. Untuk ketiga kalinya, dia melotot sempurna melihat sahabatnya bersama Gishella di panggung. Gadis sepopuler Gishella?? Echa mencubit pipinya seakan tidak percaya.

Bagas menatap Echa untuk mengode supaya mendokumentasikan penampilannya dengan Echa lewat video. Bagas dengan gitarnya, Gishella dengan pianonya.

Gadis itu membuka fitur kamera dengan malas lalu mengarahkannya ke panggung. Bagas tersenyum kemenangan sambil memetik gitarnya kembali. Mereka mulai terjun dalam irama, membawakan sebuah lagu berjudul Teman Cintaku.

Bahagianya diriku telah milikimu....

Tak pernah kumeragu....

Echa menutup mulut tidak percaya, napasnya memburu seketika.

"Bagas, lo apa-apaan bawa lagu itu?" tanyanya pelan.

Seketika ada yang tidak baik-baik dengan diri Echa. Dia ingin marah kepada Bagas, ingin pergi dari tempat itu, tidak mau melihat penampilan dua orang tersebut, tapi apa daya dirinya, yang tidak punya hak melakukan semua itu.

Engkau, wanita tercantikku....

Kuingin kau tahu maukah kau jadi teman cintaku....

Echa semakin panas. Dalam hatinya memaki sahabat tanpa ampun. Suara Bagas memang mampu menenangkan, tapi liriknya benar-benar membuat emosi.

Tak akan kumencari....

Cinta selainmu takkan kutinggalkan kamu....

Jika kudapat menata jalanku....

Kuingin kau slamanya denganku....

Engkau, lelaki terbaikku....

Kuingin kau tahu kuingin kau jadi teman cintaku....

Echa berusaha bersikap tenang meski hatinya terombang-ambing karena bawa perasaan. Dia ingat sekali bahwa tadi sahabatnya mencibir bahwa Gishella adalah bocah, berharap Bagas tidak akan terpesona oleh aura kecantikkan gadis itu.

Mereka menyelesaikan lagu yang sangat sempurna dan langsung disambut riuh tepuk tangan. Lagi-lagi Echa malas menyaksikan keduanya dikagumi orang lain.

“Gue nggak mau diduakan, Gas,” ujar Echa pelan ketika mengakhiri pengambilan videonya. Gadis itu menatap layar ponsel dan memutar ulang video yang diambilnya.

“Cha, ayo gabung sama Shella. Gila, parah, temenin gue, ih! Deg-degan banget diajak duduk bareng mereka.” Bagas menarik tangan sahabatnya untuk dibawa ke meja yang paling dekat dengan panggung. Bagas tersenyum lebar di hadapan keluarga harmonis itu. “Shel, Om, Tante, ini Echa, tetangga aku.”

Gishella langsung mengulurkan tangannya ke hadapan Echa dan tersenyum tulus.

“Aku sudah tahu, Vel,” balas Echa.

“Agar resmi. Kamu yang tadi, kan?”

Bagas memutar bola matanya jengah. Pemuda itu meraih tangan Echa untuk segera menjabat Gishella. Setelah berkenalan secara resmi, mamanya Gishella memerintahkan untuk duduk.

“Suara kalian bagus, kolaborasinya cocok loh,” puji pria berjas itu.

Bagi Gishella, mendengar pujian mungkin sudah biasa, lain lagi dengan Bagas yang menunduk malu. Dia memang punya suara bagus, tapi orang lain tidak tahu.

Pesanan keluarga itu sudah datang. Gishella menghirup greentea yang baru saja diletakkan pelayan di meja. Bagas terpikat oleh mata lentik dan bibir tipis gadis itu. Gishella menyeruputnya, dan Bagas masih mengamati.

Echa menyenggol Bagas untuk menyadarkan. “Awas ileran,” ceplosnya dan langsung dihadiahi sentilan.

Gadis itu meringis seraya mengusap keningnya. “Kasar.”

“Oh iya, kalian mau pesan apa?” tanya mamanya Gishella lembut sekali seraya menyendokkan makanan.

Bagas melihat jam tangannya sebelum menjawab. “Kami harus pulang sekarang, Tante. Soalnya aku bawa gadis orang, takut kemalaman.”

Dua orang dewasa itu saling lirik kemudian tersenyum bangga kepada Bagas. Pemuda dengan paras tampan memang banyak, tapi yang tampan dan menghormati perempuan sangat sedikit.

Begitu Bagas dan Echa berdiri dan menyalimi orang tuanya Gishella, gadis kecil itu tersenyum mmemandang Bagas seraya mengangguk. “See you next time, Kak.”

Bagas membalas sampai jumpa Gishella dengan anggukan.

Sebatas Mimpi

 

“Karya\-karya Velicia itu selalu mengangkat tema penderitan, buat air mata pembaca terkuras. Yang gue kagumkan dan herankan, cerita sekeren itu ditulis sama bocah dua belas tahun. Novel pertamanya aja udah mencengangkan, apalagi yang kedua dan ketiga.”

David fokus membaca novel karya pertama Velicia yang berjudul Menantang Dunia. Gadis itu sudah membuat rasa penasarannya bergejolak. Ada ketertarikan sendiri yang menarik perhatian pemuda itu. Di balik kecantikannya yang terlihat natural, ternyata ada sejuta pesona mengangumkan lainnya yang membuat dia semakin penasaran kepada sosok gadis bernama Velicia.

 

Di usianya yang empat belas tahun, Velicia sudah merampungkan tiga novel dan sukses menggebrak dunia literasi. Temanya yang selalu mengangkat penderitaan laris sekali di pasaran. Cinta yang diangkatnya bukan cinta biasa seperti di novel teen fiction atau romance, justru lebih dari itu. Tidak ada cinta remaja, melainkan cinta dengan mimpi, keluarga, dan diri sendiri.

 

Velicia sukses merampungkan novel pertama yang mengisahkan seorang anak terlantar dari kecil, menghadapi kejamnya hidup selama belasan tahun, hingga akhirnya bisa kuliah di Jepang tanpa pernah merasakan duduk di bangku sekolah dasar dan menengah pertama. Hal yang David petik dari kisah itu, jangan putus asa dalam menghadapi masalah. Kita tidak tahu apa yang terjadi esok hari, yang jelas kita harus berpikir positif. Bahkan, di novel Menantang Dunia, sang tokoh mengatakan, ‘aku yakin, menjadi pemulung sampah adalah gerbang menuju kesuksesanku’. Betapa optimisnya dia.

“Jea, bagi tisu,” pinta David seraya bangun dari posisi tidurnya di sofa.

Gadis yang sedang main rubik di atas karpet berbulu itu melempar kotak tisu hingga mengenai wajah sahabatnya. “Sekarang lo ngerasain sendiri, kan gimana nyeseknya kalau baca novel karya bocah itu?”

“Sialan,” umpat pemuda itu seraya mendengkus.

“Novel kedua lebih parah. Setiap kali gue ingat sama tokoh itu, nyeseknya jangan ditanya lagi.”

“Emang tentang apa?”

“Lima anak yang terlahir dari keluarga miskin, kedua orang tuanya meninggal bersamaan karena sebuah tragedi. Saat itu si sulung berusia sepuluh tahun. Karena orang tuanya bersatu karena kawin lari, mereka berlima nggak tahu di mana keluarga yang lainnya. Si sulung menghidupi adik\-adiknya dengan menjadi kuli di pasar, menjual jasa mengambil air, dan nyemir sepatu. Satu prinsip si sulung itu, ditengah kemiskinannya, dia istiqomah untuk sedekah sebesar seribu sehari. Dari uang yang tidak seberapa itu, dia justru bisa menghidupi adik\-adiknya sampai mampu menyekolahkannya sampai tingkat SMK. Dua adiknya dapat beasiswa kuliah, dua adikya lagi langsung kerja di perusahaan dengan gaji lumayan besar. Dari empat adiknya yang sukses atas jasa si sulung, cuma satu adiknya yang membalas jasa. Yaitu adik paling kecilnya.”

David menselonjorkan kaki di sofa dan mengembalikan posisinya menjadi tiduran lagi. “Sedih di mananya? Menurut gue biasa aja.”

“Baca dulu, baru nyesek. Betapa menderitanya si sulung yang harus kerja keras, dia rela nggak sekolah, padahal tiap malam selalu nangis karena mau sekolah. Setelah adik\-adiknya sukses, si sulung malah dilupakan.”

“Gue mau baca, dong."

“Tapi sewa, hahaha.” Jeani tertawa puas sekali.

“Mata duitan.”

David bermain dengan ponselnya karena bingung harus melakukan aktivitas apalagi setelah membaca novel. Instagram adalah sasaran yang tepat untuk menghilangkan kegabutan. Dia mencari akun @liciaNavv untuk distalk sampai akar\-akarnya. Postingan gadis itu hanya berupa puisi dengan seni visual yang menurutnya menawan. Dari ratusan postingan puisi itu, terselip beberapa video yang menampilkan wajah Velicia. David tertarik untuk membukanya.

“Oke, ini hanya dare, ya. Jangan baper.” Velicia tersenyum sambil berjalan ke arah laki\-laki berkumis tipis yang sedang duduk di sofa. Dia berdehem satu kali kepada laki\-laki yang sedang membaca buku itu. “Kamu tahu aku punya sejuta mimpi?” tanyanya seraya duduk.

Laki\-laki berbaju batik itu tersenyum cangung sambil menatap Velicia dengan tatapan serius. “Semua tentangmu, aku tahu itu.”

“Mimpiku tanpamu hanya angan\-angan.”

“Jadi?”

"Will you make a world with me? Kita buat dunia, kita wujudkan mimpi itu bersama\-sama.”

Kamera mendekat ke objek yang kini saling lempar senyu ditambah editannya ada hujan simbol love menambah suasana romansa diiringi lagu A Million Dreams. David melihat komentar\-komentarnya. Sebagian besar dipenuhi kata ‘baper’, padahal Velicia sudah menegaskan bahwa itu hanya dare, jangan baper. Di kolom komentar juga banyak akun laki\-laki yang bilang ‘ajak aku ke dunia itu, Dek’.

Banyak hal menarik yang ada di postingan Velicia. David tenggelam dalam stalknya, Jeani memandang sahabatnya yang senyum\-senyum. Dia tidak menyangka, bahwa sebesar itu obsesi David kepada gadis bernama Velicia.

Suara notifikasi khas ponsel David berbunyi, “Aa David aya notif” membuat Jeani menyergit karena tidak tahu itu bahasa apa.

Di tengah lamunannya yang memikirkan itu bahasa apa, David meloncat dan langsung mengguncangkan bahunya.

“SUMPAH, DEMI APA? Jea, gue nggak mimpi, kan?!”

Gadis yang diguncang keras oleh David merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya. “Apa sih?”

“Veli komen postingan gue! Oh May Good, mimpi apa gue semalem?”

Segitu bahaginya? Jeani segera merebut ponsel David yang ditekan ke bahunya. Dia segera membuka notifikasi yang memberitahukan bahwa Velicia membalas postingan terakhir sahabatnya. Postingan video berdurasi 59 detik itu video duetnya Velicia dan David malam itu.

*Veli boleh minta video full nya*?

Komentar Velici hanya itu, tapi David lebaynya minta ampun. Pantas saja gadis itu berkomentar, David sengaja tag akun Velicia.

David merebut ponselnya dan kembali ke sofa seraya membalas komentar itu.

*Video full ada di channel youtube aku. Kamu bisa download di sana. Wait a second, aku akan kirimkan linknya melalui DM*.

Dia kira, mengirim link melalui DM akan menjadi awal untuk saling tukar pesan, ternyata jauh dari ekspetasi. Velicia hanya melihat link yang dikirimkannya tanpa membalas, minimalnya ucapkan terima kasih atau basa\-basi lainnya, karena David juga mengirim link itu memakai wifi, setiap bulan ayahnya membayar paket internet ke telkom. Velicia tidak tahu terima kasih.

Untuk pertama kalinya, David kecewa kepada gadis yang beberapa detik lalu dikagumi. Untuk apa dirinya mengagumi gadis sombong.

“Jea, orang\-orang famous kenapa sombong\-sombong, sih?”

Jeani sedang mengacak warna rubik yang telah tersusun untuk dimulai dari awal lagi menoleh sesaat. “Wajarlah. Emang itu ciri khasnya,” jawab gadis itu enteng.

David menghirup napasnya sambil membuka instastory Velicia yang baru saja di posting. Matanya membulat lebar, posting Velicia berupa screenshoot.

 

Ada rasa tidak percaya bahwa Velicia mempromosikan video yang diungguhnya di youtube.

 

\*Ramaikan, Teman\-Teman.

 

Duet Pertama Kalinya Veli dengan Cowok*

 

Barus saja David mengumpat gadis itu dengan kata sombong dalam hatinya, kini dia akan menarik kata\-katanya. Entahlah, David menyesal telah mengumpatnya.

 

David merenung sambil mengingat malam ketika menyanyi bersama Velicia. Gadis lucu dengan sejuta pesona yang mengagumkan menarik dia untuk kenal lebih dekat dengannya. Namun, yang David pikirkan sekarang, antara dia dan gadis itu, bagaikan langit dan bumi. Jeani pernah berkata, ‘dia siapa, kita siapa’. David mengacak rambut frustasi, dia harus sadar diri, bahwa Velicia hanya sebatas mimpi untuknya.

Hanya untuk mimpi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!