NovelToon NovelToon

TENTANG RASA

Si Tukang Rusuh

“Woi Clara! lo dicari Kak Gerald tadi, dia nitip surat formulir, lain kali kalo berpetualang di sekolah kasih tau dong” suara cempreng Icha menyambut kedatangan Clara Tineza masuk ke dalam kelas. “Lo kenapa sih suka banget ngilang nggak bilang-bilang?”

“Kalo gue bilang bukan ngilang dong tapi pamit” ujar Clara cuek duduk di kursi, matanya membaca seksama isi formulir pendaftaran klub lukis sekolah.

“Lo serius nih mau jadi anggota lukis? Emang lo udah nolak waktu Kak Ivanka nawar jadi anggota cheerleaders?” tanya Icha heran.

“Belom”

“Ih kenapa? Enak tau Cla jadi anggota cheerleaders tanpa harus dites, kapan lagi bisa ngerasain pengaruh orang dalam?”

“Nggak ah, gue nggak hobi dilempar-lempar gitu” jawab Clara cuek. Dirinya baru sebulan resmi menjadi murid SMA merah putih, tapi wajah manisnya cukup menarik perhatian ketua cheerleaders sekolah sehingga ditawar menjadi salah satu anggota tetap klub cheerleaders.

“Lo tuh kayak nggak punya tujuan hidup, sebelas dua belas sama Sybil”

“Oh enak ya ngomongin orang diam-diam” celetuk Sybil dari belakang.

“Lah ini nggak diem-diem Bil, buktinya kan lo denger omongan gue” balas Icha cuek.

Sybil mendelik tapi tidak menggubris karena lebih memilih fokus menonton film bersama Fani. Setiap rentang waktu dua puluh menit pergantian pelajaraan selalu Sybil gunakan untuk menonton film. Karena itu jangan heran kalau misalnya hanya Sybil seorang yang isi tasnya tidak hanya terdapat buku pelajaran tapi ada juga laptop, cas laptop, dan colokan rol panjang. Gayanya sehari-hari juga sudah mirip seperti penjaga warnet.

“Kak Gerald nitip salam” bisik Icha tersenyum geli. “Kelihatannya sih doi tertarik sama lo, masa sih lo-”

“Cha!” tegur Caca membuat Icha dan Clara kaget, cewek itu nyengir lebar tanpa rasa bersalah langsung mengintrogasi Icha. “Gue denger, Wulan nembak Kak Def ya?” lanjutnya tanpa basa-basi.

“Denger dari mana lo?”

“Adalah informan gue, cerita dong, gue penasaran”

“Ih nggak tau gue, lo tanya aja sama orangnya langsung”

“Ya ampun Cha mana berani gue kalo nanya langsung? Nggak enak, kesannya gue ikut campur, makanya gue nanya elu aja. Lagian pacar lo kan temenan sama Kak Def”ujar Caca menggebu-gebu.

Clara dan Icha kompak meringis. Kalau masalah gosip makhluk centil ini memang bukan tandingan, saking sukanya bergosip sampai-sampai pernah otot-otot mulut Caca mendadak kaku, awalnya dikira karena penyakit serius taunya karena tiga hari full tidak menggibah.

Topik gosip yang Caca bawa selalu beragam, unik, dan terbaru, efek suka berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Untuk seorang anak berusia lima belas tahun Caca sudah pantas diberikan gelar the next lambe turah dan mendapatkan lambe netizen award. Hal tergila yang pernah ia lakukan adalah menghitung tanggal kehamilan artis dengan cara menghitung dari tanggal berapa artis tersebut menikah sampai tanggal kehamilan, lalu setelah itu ia akan membuat kesimpulan sendiri dan mulai bergosip ria.

Ibarat kata, kalau ada seseorang yang ingin menjadi buah bibir sekolah, ia hanya perlu mendatangi Caca dan mengarang sebuah cerita bohong, ditanggung cerita itu akan tersebar dalam kurun waktu kurang dari seminggu, tidak lupa disertai bumbu-bumbu sedap hasil kreasi Caca.

“Nggak tau Ca, sumpah, nanti deh gue tanyain” kata Icha pura-pura berjanji.

Caca mengangguk tapi tetap tidak puas, ia kemudian mulai membuka percakapan baru, topiknya tidak jauh-jauh dari Wulan. Kali ini sih menurut cerita yang beredar -dan didengar Caca, Wulan itu simpanan om-om makannya gayanya suka mewah, padahal bapaknya cuman guru biasa, tapi hampir setiap minggu cewek itu selalu menggunakan sepatu dari merek terkenal.

Clara yang awalnya tidak ingin peduli lama-lama mendadak tertarik untuk mendengarkan, meskipun tidak berkomentar apapun tapi mendengarkan orang menggibah itu juga termasuk kegiatan menyenangkan. Belum lagi anak-anak cewek lain mulai berkumpul di meja mereka dan satu persatu sibuk memberikan argumennya masing-masing tentang kehidupan Wulan.

“Tapi mungkin bisa aja kan bapaknya punya usaha lain?” ujar Sri, cewek asal Klaten yang punya senyum semanis kucing persia. Selain senyum manis cewek itu juga selalu berpikiran positif, terlalu positif bahkan sampai sering dijadikan candaan teman-temannya kalau nanti kedepannya pikiran positif Sri itu bakal turun ke perut sebelum lulus SMA.

“Nggak mungkin, gue pernah ke rumahnya sama Dian buat kerja kelompok, rumahnya kecil, bahkan dia nggak punya pembantu,” Caca jadi ngotot. ”Lo inget kan Di waktu kita ke rumahnya dulu?”

Dian mengangguk-angguk membuat gosip semakin bertambah panas.

“Ngomongin orang itu nggak baik loh, hati-hati aja ntar kuburannya jadi sempit” celetuk Nus dari arah belakang. Anak-anak cewek kontan mendelik sewot termasuk Caca langsung melemparkan pembelaan.

“Kita nggak ngomongin orang kok, cuman lagi mengutarkan sesuatu yang meresahkan hati dan berdiskusi untuk mendapatkan jalan keluar”

“Hati-hati pas lagi gosip terus tiba-tiba meninggal. Ingat bergosip adalah dosa, dan upah dari dosa adalah maut”

“Yang religius boleh pulang!” bentak Vio kesal.

Nus mencibir, “payah” ujarnya lalu memalingkan wajah.

Setelag itu gosip berlanjut terus lebih serius dan seru dibandingkan sebelumnya, sampai kemudian dipotong Dio ketua kelas XA masuk sambil teriak-teriak meminta perhatian teman-temannya.

“Teman-teman dengerin gue dulu! Gue sekali ngomong nih nggak bakalan ada siaran ulang” teriak Dio membuat seisi kelas diam. “Gue bawa dua berita. Good sama bad news, mau duluan dengar yang mana?”

“Terserah Dit yang mana duluan, buruan! Lagi seru nih sinopsis cerita kehidupan” teriak Vio tidak sabaran.

“Santai Vi santai, itu sinopsis juga bisa lo lanjutin habis ini, sekarang lo semua mending bubar kembali ke tempat duduk masing-masing” perintah Dio nyengir lebar. “Good newsnya Pak Tri nggak masuk, istrinya lagi lahiran.”

Spontan sekelas berteriak senang. Apa sih yang lebih menarik bagi anak SMA selain bel istirahat, bel pulang, atau jam kosong? Tentu saja tidak ada.

“Bad newsnya, lo semua disuruh kerja tugas. Nyari contoh sejarah kerajaan Hindu-Budha. Terserah apa minimal dua lembar, diketik, ukuran huruf tiga belas, times new roman, spasi satu koma lima. Nih, gue catetin di papan”

“Uuuuu. Nggak asiiikk” teriakan kesal bergema memenuhi ruangan, tapi, setelah itu semua sibuk mencatat apa yang ditulis Dio di papan tulis dengan tulisan cakar ayamnya.

“Gini nih yang namanya serakah! Ngasih tugas pas pelajaran kosong. Nggak bisa milih salah satu, tugas atau pelajaran kosong!” Sybil mengomel dari arah belakang sambil menutup laptop dengan berat hati, wajahnya tertekuk karena jalannya film baru sampai pertengahan sementara ending belum tergambar dengan jelas.

“Bil, lo kalo sebel sama guru jangan cubit-cubit pipi gue dong! emang gue samsak?” ketus Fani marah-marah menepis tangan Sybil dari pipinya.

“Ye norak, samsak mah buat tinju” balas Sybil cuek.

“Ah terserah! pokoknya jangan cubit-cubit gue. Kalo tiba-tiba pipi gue penyok kayak bulan terus Kak Def nggak mau sama gue lagi. Lo mau tanggung jawab?”

“Lah? emang Def pernah bilang dia mau sama lo?” nyinyir Sybil.

Fani melemparkan ekspresi jutek, pura-pura tidak mendengar, ia memilih menggandeng tangan Clara dan mengikuti langkah kaki Icha keluar dari kelas menuju ke perpustakaan.

“Di, gue sama mereka ke perpustakaan” teriak Icha ke arah Dio, cowok itu hanya mengacungkan ibu jari sibuk dengan tugasnya.

...*****...

Bel istirahat berbunyi nyaring, terlalu nyaring bahkan sampai mampu menghempas jauh rasa lesu keempat cewek yang sejak tadi sibuk mengerjakan tugas sejarah. Clara merentangkan tangan, mencoba merilekskan otot-ototnya yang tegang.

“Kantin yuk, laper gue. Bukunya entar aja pas mau masuk baru diambil. Syukur sih kalau ada yang nyolong tuh buku. Biar nggak usah sekolah sekalian” ajak Sybil cerewet menumpukan bukunya diatas buku teman-temannya.

Mereka keluar dari perpustakaan dan berjalan beriringan menuju kantin, melewati koridor sekolah yang selalu berisik setiap jam istirahat membuat siapapun harus teriak-teriak ketika berbicara.

“Bakso dong Sybil cantik, nitip ya? Gue capek habis ngetik panjang-panjang” pinta Fani manja memeluk-meluk lengan Sybil, begitu adatnya ketika menginginkan sesuatu, pura-pura baik dan selalu berkata manis.

“Emang lo ngetik pake kaki?” ketus Sybil tapi tetap memesan bakso untuk mereka.

Clara memilih duduk di meja ujung, alis kanannya terangkat begitu melihat beberapa anak kelas sepuluh buru-buru pindah tempat dari daerah meja dekat tempat penjual bakso saat beberapa senior kelas sebelas dan dua belas masuk ke dalam kantin. Ia tahu senior kelas sebelas dan dua belas itu karena mereka adalah anggota futsal dan basket sekolah, dua klub olahraga kebanggaan sekolah.

“Lihatin apa Cla? perasaan nggak ada yang telanjang disana”

“Itu” tunjuk Clara kearah kumpulan senior tadi dengan dagunya. “Gue pengen tau sesuatu deh.”

Ekspresi Clara berubah serius, “gue perhatiin kayaknya semua anak pada takut sama senior-senior itu, dan yang gue tau bukan hanya anak kelas sepuluh doang tapi kelas sebelas dan dua belas juga. Mereka siapa sih?”

“Oh biasalah soalnya mereka anak klub futsal dan basket” jawab Fani acuh tak acuh.

“Kalau itu juga gue tau, yang gue tanya kenapa pada takut?”

“Gue jelasin” bisik Icha pelan, seolah takut ada setan yang mendengar percakapan mereka. “Udah jadi rahasia umum disini kalo anak klub futsal atau basket itu kumpulan anak nakal suka buat ulah. Nggak semua sih, cuman rata-rata ya begitu”

“Terus hubungannya sama meja itu? Soalnya gue perhatiin meskipun itu meja kosong nggak ada yang mau duduk disitu”

“Meja itu hanya boleh diduduki sama anak-anak dari komplotan mereka. Kalo lo berani duduk disitu sih nggak papa. Cuman nanti pas lo diapa-apain, percaya deh nggak bakalan ada yang ngebelain elo, pada takut semua soalnya. Lo boleh duduk disitu kecuali lo anggota klub futsal atau basket. Ya anggap aja meja itu sebagai markas terbukanya mereka di kantin ini”

“Mereka nakal banget?”

“Ya”

“Kok nggak ditegur?”

“Anggota klub kebanggaan sekolah mah anak emas kepala sekolah. Mau salah satu anggota mereka ngebully adik kelas juga kepala sekolah bakalan tutup mata, selama bisa bawa sepuluh piala kemenangan dan yang dibully nggak mati mah masa bodoh teung” jawab Fani nyinyir. “Lagian rata-rata mereka kaya Cla, malas aja kalo harus berurusan sama anggota klub mereka. Mereka bisa nyewa sepuluh pengacara, dan kita cuman bisa berdoa menunggu keajaiban. Masalah belum sampai meja hijau, lo udah miskin duluan”

“Dan kalo lo perhatikan beberapa dari antara mereka cakep, jadi ya semesta mendukung kelakuan mereka” tambah Icha agak sarkas.

Clara meringis, jadi seperti itu cara kerjanya. Kalau tidak cakep ya harus kaya atau kombinasi keduanya untuk bisa mendapatkan nama dan duduk di meja ujung. Cukup menggelitik dan menarik amarah, apalagi mengingat fakta sosial sering kali menunjukan bahwa seseorang dengan tampang bagus cenderung dimaafkan segala kesalahannya dibandingkan yang bertampang biasa saja, jadi dengan kata lain sah-sah saja jika kalian nakal, asal cakep.

“Eh bantuin dong berat nih.”

Pandangan mereka teralihkan pada Sybil ketika ia muncul dengan nampan besar berisi empat mangkok bakso dan es jeruk. Fani langsung membentuk tanda love dengan jarinya sebagai ucapan terima kasih dibalas dengan tatapan jijik oleh Sybil.

Mereka berempat mulai menghabiskan makan sambil mengobrol. Clara sedikit merasa terganggu ketika salah seorang cowok bertubuh jakung dari meja ujung berteriak keras tanpa memperdulikan keberadaan orang lain, seolah hanya ia dan teman-temannya sendiri yang sedang berada kantin.

“Norak. Berisik” gerutu Clara berdecak kesal.

“Nggak papa yang penting cakep” bela Fani.

“Lo ngomong gitu karena ada Def disana kan?” senggol Clara sambil melirik ke arah seorang cowok tinggi berkulit sawo matang, tampangnya sebenarnya lumayan, hanya saja tertutup aura urakan dengan rambut panjang menutupi kerah dan kancing seragam dibiarkan terbuka menunjukan kaos hitam berlogo supreme, pantas saja Fani bersikukuh untuk mendapatkan Def sebelum lulus sekolah.

“Duh manis banget sih calon imamku” decak Fani riang sementara teman-temannya meringis.

“Imam, imam. Lo tuh kalo sholat masih bolong-bolong jangan sok-sokan nyari imam”

“Ya siapa tau pas dia jadi imam gue, sholat gue nggak bolong-bolong lagi”

“Halah, lo jadian sana sama Imam anaknya Bu Endang”

“Dih ogah! lo aja, gue mah doyannya sama daun muda” tolak Fani mentah-mentah. Sybil nyengir lebar menggigit bakso terakhirnya.

“Pacar lo temenan sama mereka juga kan?” tanya Clara pada Icha. “Perut masih aman?”

“Sialan lo! cowok gue biarpun mainnya sama mereka tapi masih tau aturan kali. Masih menghormati gue sebagai cewek baik-baik” jawab Icha mencubit pelan lengan Clara sementara ketiga temannya tertawa puas.

“Tapi Cla serius, hati-hati sama mereka. Cakep, cuman rata-rata pada sinting” kata Sybil sembari menaruh jari telunjuk di dahinya.

“Beberapa dari mereka terkenal suka mainin cewek. Dideketin, habis itu pas ceweknya suka eh ditinggal. Kadang-kadang suka berkelahi, ngerokok, minum-minum gitu, mainnya ke club mahal. Abang gue kan part time di salah satu club, nah dia sering banget tuh lihat Nathan dibopong-bopong karena mabuk”imbuh Fani panjang lebar.

“Tapi lo suka juga kan sama Def?”

“Khusus Kak Def dia orangnya baik kok, kelihatan dari senyumnya”

“Ngomong sama sapi!” ketus Sybil.

“Berkelahi? Emang nggak dikeluarin?”

“Ya nggak bakalan dong Cla, kan berduit dan anak emas kepala sekolah. Kemarin aja ada anggota mereka namanya Rian, berantem sama Jeki di lapangan sekolah, si Jeki hampir dipukul sampai mati, sumpah ngeri banget! Tapi lo tau nggak apa yang terjadi? Rian nggak disalahin malah Jeki yang pindah sekolah”

“Serius?”

“Iya Cla, mereka itu sekalinya brengsek, brengsek parah lah”

“Untung ya lo pacaran sama Ray, kalo nggak kita udah habis”

“Kita mah cewek santai aja kali” ucap Icha.

Fani dan Sybil tetap bergidik ngeri, pengalaman melihat perkelahian selalu membuat rasa takut mereka muncul setiap kali berpapasan dengan salah satu anggota dari kelompok tukang rusuh itu.

“Rian itu yang mana sih?”

“Kapten basket sekolah. Udah pernah gue tunjukin kok Cla waktu gue ngasih tau lo tentang informasi kegiatan ekstrakurikuler”

“Rian?” gumam Clara mengingat-ingat lagi, kapasitas daya ingatannya sangat buruk untuk mengingat wajah seseorang membuatnya hanya mendapatkan sosok buram dari cowok yang katanya adalah orang paling berpengaruh di sekolah ini. “Kayaknya gue familiar deh sama mukanya”

“Lo pernah ketemu Rian?” tanya Fani mendadak berapi-api ingin tahu.

“Kan gue bilang familiar bukan iyain pernah ketemu, ah elu”

“Udahlah Cla, nggak usah dipikirin itu cowok. Emang mukanya rada pasaran kaya mamang-mamang lagi ngerap” celetuk Sybil asal.

Clara nyengir lebar kemudian menyerup es jeruknya. Sekilas ia melirik ke arah kumpulan cowok-cowok itu, ini mah gila bener! Percuma cakep tapi kelakuan kayak setan.

...*****...

“Jadi saya harap PRnya sudah ada di meja saya hari selasa besok. Kalo tidak mungkin kalian yang akan nongkrong di depan meja saya” kata Ibu Epi guru sosiologi mencoba bercanda tapi tidak mampu membangkitkan selera humor anak kelas XA yang sibuk membayangkan resiko besar jika tidak mengerjakan PR, berdiri di depan meja guru sosiologi dan akan menjadi bahan pembicaraan guru selama satu semester kedepan.

Setelah memberikan wanti-wanti Ibu Epi kemudian melambaikan tangan bak artis papan atas berjalan keluar kelas seiring dengan bel pulang berbunyi nyaring.

“Besok pada bayar kas yaaaaa, awas aja kalo nggak dibayar!” teriak Vio bendahara paling disiplin mengingatkan.

“Iyaaaaa” jawab anak-anak XA kompak lalu berlarian keluar kelas, berebutan dan anarkis kayak lagi mengantri sembako. Sebagian memaksa melewati pintu yang lebarnya hanya bisa menampung dua badan kecil. Sampai Lala, cewek berpostur imut-imut harus berteriak histeris karena kejepit pintu, pasalnya Arya yang badannya segede hulk dengan sikap tidak acuh tetap sibuk mendorong-dorong sampai akhirnya semua keluar diiringi sumpah serapah Lala.

“Gue duluan masih ada ekskul” kata Fani mengantungkan tas badmintonnya dibahu lalu melesat pergi begitu melihat pintu kelas sudah terbilang cukup aman untuk dilewati.

“Gue juga udah dijemput bokap, mau jenguk nenek gue lagi sick.” Sybil melambaikan tangan ikut berlari keluar, sekalian adu cepat dengan Nando yang kebetulan sedang sibuk menendang sepatu Nus jauh-jauh, terdengar umpatan Nus dari luar kelas diiringi tawa keras dan sesaat kemudian suasana kembali hening.

“Yuk Cla, takutnya kita malah dikecengin hantu disini” ajak Icha bergegas menuruni tangga, sempat bertemu Gerald anak kelas sebelas anggota osis dan klub melukis sekolah. Gerald menahan langkah mereka sembari menjulurkan tangan meminta data dari formulir yang ia berikan tadi pagi.

“Kenapa kak? tulisan gue jelek banget ya?” tanya Clara karena Gerald malah membaca data dirinya dalam diam, cowok itu geleng-geleng kepala lalu tersenyum, sejenak membuat Icha dan Clara terkesima. Gerald punya lesung pipi yang menambah aura manis wajahnya, dan seharusnya cowok itu tahu bahwa ia punya pesona tersendiri ketika sedang tersenyum.

“Lampirannya jangan lupa ya Cla”

“Siap pak bos” jawab Clara riang lalu melambaikan tangan meninggalkan Gerald masuk ke dalam ruang osis. Suara batuk-batuk Icha membuat Clara memalingkan wajah heran.

“Kenapa lo? mendadak TBC?”

“Aduh Cla, lo itu polos atau oon sih? Jelas-jelas si Gerald suka sama lo tapi lo tuh kayak nggak peduli gitu, atau emang lo nggak mau peduli?” cerca Icha.

“Perasaan lo aja Cha«

“Yaelah, jelas tau, dia tuh baik banget sama lo”

“Cha, bokapnya Gerald temenan sama bokap gue, terus gue tuh pernah ketemu dia beberapa kali di acara kantor bokap gue, jadi wajarlah kalo dia baik sama gue”

“Dan kirim salam kayak tadi pagi itu juga termasuk 'baik yang wajar?' iya?” sindir Icha gemas melihat ketidakpekaan Clara.

Terkadang ia menahan keras untuk tidak menjitak kepala cewek itu, sesekali Clara memang perlu disadarkan betapa banyak cowok yang ingin mendekati dirinya tapi gagal karena ia selalu memasang ekspresi dingin dan tidak suka ke arah cowok-cowok itu. Sampai-sampai Sybil pernah berpikir kalau Clara punya kelainan orientasi seksual -dan tentu saja pikirannya itu segera dibuang jauh-jauh ketika tangan Clara berhasil menjitak jidatnya kuat-kuat.

“Mungkin, dia kan ramah” jawab Clara cuek.

Icha mendengus memalingkan wajah ke arah lapangan basket, seperti biasa pemandangan menarik dari cowok-cowok pemain basket mampu membuat mata mereka mendadak jernih setelah seharian menatap papan tulis. Beberapa anak basket sibuk melakukan pemanasan kecil tapi ada juga yang duduk-duduk mengobrol dengan anak cheerleaders sambil menunggu pelatih.

“Cantik-cantik ya mereka” celetuk Clara tiba-tiba.

“Lo juga kok Cla, makanya Kak Ivanka ngotot banget pengen lo masuk cheerleaders” balas Icha, Clara diam tetap melangkahkan kaki sampai kemudian Icha menyikut pinggangnya menunjuk ke arah seorang cowok dengan dagu. “Itu yang namanya Rian.”

Mata Clara terarah pada punggung cowok bernama Rian, hanya sekilas karena kedatangan Ray sukses menarik perhatian mereka.

“Eh, anak baru!” seru Ray riang menyapa Clara.

“Clara.” Clara mendengus sementara Ray tersenyum lebar lalu menatap Icha, tidak mengacuhkan keberadaan Clara diantara mereka.

“Icha, kamu pulang sendiri ya? Maaf banget tapi aku nggak bisa nganterin kamu soalnya ada tanding hari ini”

“Nggak papa kok hari ini aku pulangnya dijemput” jawab Icha santai tapi malah membuat Ray melemparkan ekspresi terlihat tidak rela. Niat awal cowok itu adalah ingin agar Icha memaksa mengantar dirinya pulang sehingga ia memiliki alasan untuk bolos latihan, tapi sayang rencananya malah tidak berjalan sesuai harapan.

“Serius nih nggak mau aku anterin?” tanya Ray kecut.

Icha mengangguk yakin. “Nggak papa, lagian kamu juga mau latihan kan?”

“Yaudah deh. Eh anak baru, lo pulangnya sama cewek gue kan?”

“Sampai gerbang doang“

“Tolong lihatin yah, jangan sampai lecet. Aku balik dulu” lambai Ray pergi meninggalkan Icha dan Clara. “Daaaa anak baru.”

“Clara!” teriak Clara jengkel. “Tai ya emang cowok lo. Susah-susah bokap gue kasih nama Clara, dia seenaknya manggil gue anak baru, kek berasa nggak punya nama” ketusnya membuat Icha cekikikan geli.

Mereka kemudian buru-buru berjalan cepat meninggalkan lapangan ketika melihat beberapa teman Ray berjalan ke arah gerbang, harus lebih cepat keburu jalan ditutup oleh anak-anak nakal itu yang hobinya mengganggu orang lewat terutama cewek-cewek kelas sepuluh.

“Cha, gue duluan ya udah dijemput angkot pribadi tuh. Lo mau ikut gue? Ntar cowok lo ngamuk lagi kalo lo kenapa-napa” tawar Clara menunjuk ke arah angkot biru yang melaju ke arah mereka.

“Enggak, jemputan gue dikit lagi mau nyampe. Sekarang gue mau menikmati udara segar” tolak Icha langsung. Clara mengangguk lalu melambaikan tangan pada Icha dan berlari masuk ke dalam angkot, meninggalkan cewek itu sibuk menarik napas dalam-dalam menghirup udara Jakarta yang menurutnya masih terasa segar.

...*****...

“Lo udah selesai?”

Manda memalingkan wajah tampak Rian berkeringat tanpa ragu meneguk habis isi botol minum cewek itu. “Iya, tapi gue pulang bareng Nathan, mau ngambil titipan contoh kaos di konveksi”

“Sama gue aja”

“Nggak bisa, udah janji gue sama Nathan, sekalian mau bantuin dia nyari kado buat ceweknya” tolak Manda. Rian mengangguk paham membantu cewek itu mengangkat tasnya dan menyerahkan kepada Nathan.

“Ibu suri tolong dijagain baik-baik”

“Siap yang mulia, nggak bakalan lecet ibu suri pergi sama gue”

“Yaudah gue balik, telepon gue kalo misal si kucel nyuruh-nyuruh elu” kata Rian lalu melangkah pergi diiringi umpatan Nathan dan cekikikan Manda.

“Rian, lo mau pulang?” sapa seseorang dari arah belakang. Rian balik badan, ia tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Dina. Diliriknya teman-teman cewek itu berdiri tidak jauh dari mereka, sedang berbisik-bisik membicarakan sesuatu.

“Tumben cepat banget? Masih jam empat nih” lanjutnya basa-basi, Rian mengangguk berhubungan cewek itu punya tampang cantik.

“Gue duluan ya” kata Rian menyalakan mesin motor dan melaju pergi, meninggalkan Dina menatapnya hampa, susah sekali menaklukan hati pangeran sekolah.

Motor Rian melaju meninggalkan sekolah, menembus langit sore kota Jakarta. Tidak seperti biasa, sore ini lalu lintas Jakarta pusat tidak terlihat menunjukan bahwa kota ini adalah kota yang selalu macet setiap hari, membuat Rian memutuskan menambah kecepatan laju motor seiring dengan langit yang mulai menghitam. Bukan karena hari semakin sore, tapi karena mau turun hujan.

Dan benar saja, tidak sampai setengah jam hujan mulai turun, membasahi tubuh cowok itu. Sial yah kalo kayak gini sih mending lanjut tancap gas aja, rutuk Rian.

Dengan tubuh mulai menggigil akhirnya ia sampai di rumah mewah bercat putih. Seorang satpam sigap berlari membuka gerbang dan garasi rumah.

“Aduh den, kok malah main hujan sih? Nanti kalo Den Rian sakit kan saya yang repot.”

Bibir Rian bergetar hebat, ia buru-buru membungkus dirinya dengan handuk yang diberikan Bi Ijah sambil melemparkan tasnya sembarangan ke arah sofa lalu berlari naik ke lantai atas menuju kamarnya.

“Den tadi ditelepon sama tuan” lapor Bi Ijah hati-hati mengambil tas Rian bersamaan dengan langkah cowok itu terhenti di tangga ketiga.

“Bokap bilang apa?”

“Katanya den sehat atau enggak? Sekolahnya gimana? Terus tuan ngirim uang untuk Den Rian, katanya kalo kurang bilang aja.”

Ekspresi Rian berubah tidak senang, sebenarnya ia mengharapkan pertanyaan lain dari ayahnya, bukan sekedar menanyakan kabar dan mengirimkan uang. Tapi sepertinya Rian berekspektasi terlalu tinggi.

Ah benar, mengharapkan kehidupan keluarga yang utuh bukan bagian dari keseharian cowok itu. Harapan yang terlalu tinggi dan sampai kapanpun tidak akan pernah bisa ia dapatkan.

“Den, bibi buatin makan ya yang anget-anget? Biar Den Rian nggak sakit”

“Terserah” jawabnya pendek tanpa menoleh ke arah Bi Ijah.

“Bi, nanti kalo Def sama Ray datang, tolong panggilin gue” lanjut Rian berteriak lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu sebelum Bi Ijah sempat menjawab perkataannya.

Insiden

“Clara! Tungguin gue!” Fani berlari kencang memeluk Clara erat sampai cewek itu batuk-batuk hampir kehabisan napas. “Lo kapan potong rambut? jadi cakep gila!” serunya terbelalak kagum menatap rambut pendek sebahu Clara, wajah cewek itu terlihat lebih fresh dibandingkan saat rambutnya masih panjang.

“Jadi menurut lo, gue dulu nggak cakep?”

“Iya, kayak gembel. Rambut lo sih suka banget digerai, cakep lo jadi ketutup”

“Makasih untuk pujian yang sebenernya adalah sebuah hinaan” ujar Clara pura-pura jutek. Fani tertawa geli mengandeng lengan cewek itu berjalan menuju kelas di lantai atas.

“Tumben lo datang pagi, kesambet apa lo?” tanya Clara heran. Biasanya Fani baru masuk kelas sepuluh menit sebelum lonceng berbunyi. Cewek itu termasuk salah satu anggota tetap manusia-manusia yang suka melakukan apapun dalam keadaan kepepet dan huru-hara.

“Kesambet cintanya Kak Def. Nggak, bercanda” kekeh Fani karena Clara langsung melemparkan tatapan ingin muntah. “Gue mau nyalin PR matematika nih. Semalem nggak sempat, kucing gue lagi lahiran soalnya. PR lo udah belum? Bagi dong" lanjutnya tanpa malu-malu meminta, Clara mengangguk pasrah. Kebiasaan anak SMA dari zaman batu sampai sekarang, datang pagi kalau ada PR.

Ketika mereka sampai di kelas tidak seperti biasa kelas sudah ramai. Bahkan Rakai, cowok ternakal di kelas yang kalau datang ke sekolah berlandaskan pergerakan jam luar negeri, pas sudah tiga puluh menit pelajaran baru masuk kelas, kali ini dengan wajah tanpa dosa ikut duduk di barisan Cindy dkk, sibuk menyalin PR.

“Woy kertas jawaban gue mana?!” teriak Icha galak, ia kesal kertas jawabannya berpindah-pindah tempat. Awalnya di Heru, Hendrik, Ahmad, dan sekarang sudah sampai ke meja Doni. “Awas ya kalo robek!” dengus Icha, Doni hanya manggut-manggut tidak jelas masih konsen pada kertas jawaban berusaha meneliti setiap angka yang ditorehkan di atas kertas itu.

Clara menaruh tas di atas meja lalu duduk di samping Icha. Ia mengeluarkan kertas jawaban matematika langsung disambar oleh Fani dan Sybil untuk disalin. “Pagi Cha”

“Eh Pak Tri nggak masuk lagi loh” beritahu Icha tanpa basa-basi.

“Kok bisa? sekarang gantian dia yang lahiran?”

“Heh ngaco lo!” Icha tertawa geli. “Kata Dio berhubung dia lagi ngerayain kebahagian karena istrinya habis lahiran kemarin, jadi dianya nggak masuk. Mau pesta kebun kali. Jadi, jam pertama ini kita cuman ngerjain soal-soal aja” jelas Icha, matanya berbinar-binar bahagia.

“Guru nggak masuk aja lo senang banget”

“Ya nggak apa-apalah, seneng gue nggak lihat mukanya Pak Tri. Udah enek gue tiga bulan belajar sejarah! Tiap malam gue jadi susah tidur”

“Idih, apa hubungannya?”

“Nggak ada” kekeh Icha, rona mukanya terlihat sangat bahagia. Meskipun suka belajar dan termasuk golongan kutu buku tapi ternyata cewek itu bisa merasa bosan juga untuk belajar. Ah, benar manusia kan punya limitnya masing-masing.

“Btw, kabar Ray gimana? gue lihat kemarin di Instagram dia post foto lo berdua lagi kencan” celetuk Sybil bertanya dari belakang.

“Ihi asik, makan bareng, malam-malam lagi”

Senyum Icha semakin merekah. “Dia tiba-tiba ngajak kencan” balasnya sambil tersipu malu.

Meskipun lingkaran pertemanan Ray agak menakutkan karena berteman dengan anak-anak nakal sekolah, tapi tingkahnya masih bisa dibilang jauh lebih baik dari teman-temannya yang bandel dan kurang ajar.

“Emanglah bucin” celetuk Clara mengejek, tangan Icha bergerak memukul pelan bahu cewek itu dengan buku tebal matematikanya.

Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi dan tanpa menunggu lama Dio maju ke depan kelas berteriak meminta perhatian teman-temannya. “Lo semua tau kan kalo hari ini Pak Tri nggak masuk? Nah karena beliau sayang sama kita, nih ada tugas dari Pak Tri. Lo semua disuruh ngerjain soal halaman tiga puluh, pilihan ganda lima puluh nomor. Nulis jawabannya di kertas terus kumpulkan ke gue maksimal setelah pulang sekolah.”

Spontan sekelas pada misuh-misuh, belum kelar PR matematika eh sudah ada tugas baru.

“Heran deh sama guru-guru nggak bosan apa ngasih tugas? Gue yang ngerjain aja bosan setengah mati” omel Nus nyaring dari belakang.

“Lihat tuh calon presiden Zimbabwe lagi marah-marah. Untung PR matematika gue udah selesai, nih Cla makasih ya” kataFani cekikikan melihat Nus mengomel.

“Perpustakaan yuk, lumayan ngerjain sambil ngadem” ajak Sybil menarik teman-temannya pergi.

Mereka lantas mendadak lomba lari, adu kecepatan menuruni tangga lantai satu, Fani yang paling cepat disusul Sybil, Icha, dan Clara.

“Eh itu masnya larinya belum selesai!” teriakan keras Ibu Indah menggelegar memenuhi koridor lantai satu. Langkah Clara mendadak berhenti, ia balik badan dan bruk! badannya sukses terlempar jatuh ke lantai.

“Awh!” Clara mengeluh merasakan pantatnya menyentuh lantai, sakitnya bukan main. Belum lagi pergelangan tangannya terluka karena harus menahan bobot tubuhnya agar kepalanya tidak ikut menyentuh lantai. l

Clara mendongak dengan ekspresi kesal, cowok yang menabrak dirinya hanya diam tanpa ada niatan untuk membantunya berdiri. Ia malah balik badan dan berlari naik tangga ketika teriakan Ibu Indah terdengar lagi membuat Clara melongo, ia lantas memaksakan diri untuk berdiri dengan sumpah serapah masih merasakan nyeri di pergelangan tangan kirinya.

“Cla lo nggak papa?”

“Telat Cha” ketus Clara mendadak kesal karena tingkah cowok tadi.

“Sorry Cla, tadi waktu gue denger bunyi keras, gue kira tempat sampah jatuh, pas gue keluar malah lo yang jatuh”

“Lo tau nggak siapa cowok yang nabrak gue tadi?”

Icha menggeleng pelan, ia tidak sempat melihat siapa yang menabrak Clara karena orang itu sudah lebih dahulu berlari naik ke tangga. Fokusnya juga teralihkan ketika melihat Ibu Indah berlari sambil marah-marah menjewer telinga beberapa anak yang terlambat.

“Udah yuk Cha ke perpustakaan biar dingin hati gue kena AC, awas aja tuh cowok kalo sampe gue ketemu lagi, gue patahin lehernya” ujar Clara emosi lalu menarik Icha masuk ke dalam perpustakaan.

...*****...

Rian masuk ke dalam kelas dengan napas tersengal-sengal, kakinya melangkah menuju kursi belakang, tempat paling eksklusif untuk barisan anak-anak bandel yang hobinya tidur dan mengganggu orang lain belajar.

“Dit, pindah gue mau duduk di ujung.”

Ditho menguap lebar menggeser pantatnya ke kursi sebelah membiarkan Rian duduk dan mengipas-ngipas tubuhnya dengan buku milik Ditho.

“Lo pasti kabur dari Bu Indah” tuduh Ray.

Rian mengangguk tanpa rasa bersalah. “Lagian beliau aneh, masih pagi udah nyuruh lari lima belas putaran, emang gue gasing?”

“Ini udah mau jam setengah sepuluh ya njing, kalo mau telat mikir-mikir dulu. Yang lain gimana?”

“Nggak tau. Tadi sih Def alasan ke toilet, mungkin udah tenggelam di kloset” jawab Rian sembarangan membuka kancing baju atas agar angin kipasan bisa kena tepat di kulitnya yang berkeringat setelah lari sepuluh putaran.

“Eh tapi tadi gue nabrak cewek” lanjutnya bercerita, Ray menengok sebentar lalu kembali sibuk bermain game di ponsel.

“Nabrak dimana?”

“Dekat tangga perpustakaan”

“Luka nggak?”

“Kayaknya sih iya, cuman gue langsung cabut tadi Bu Indah bawel banget soalnya, ngejar-ngejar gue pake penggaris.”

Ray ngakak lalu mematikan ponsel ketika gamenya selesai. “Berarti lo nggak minta maaf dong?”

“Enggak, kepepet gue”

“Minta maaf gih”

“Nanti aja kalo misal tulangnya ada yang patah, rusuknya pindah, atau otaknya geser baru gue minta maaf” jawab Rian cuek lalu mendongak ketika Pak Budi guru matematika masuk ke dalam kelas, lelaki tua itu menunjuk ke arah Rian dan Frengky dengan penggaris panjang membuat keduanya serempak mendengus sambil memboyong bukunya pindah duduk, Rian tepat di depan meja Pak Budi sementara Frengky di meja depan barisan ketiga.

Efek ketika minggu awal belajar mereka tidak sengaja memancing emosi Pak Budi dengan ular mainan yang sengaja di taruh di dalam tas Dilla, spontan cewek itu menjerit gaduh ketika hendak mengambil buku paket matematika. Dilla menangis sedangkan Rian, Frengky, dan barisan anak cowok tertawa ngakak. Tentu saja sejak saat itu mereka secara langsung sudah menandai diri sebagai murid bermasalah di mata pelajaran matematika.

“Buka buku kalian halaman delapan belas soal latihan nomor satu, dua, dan tiga” perintah Pak Budi sesaat sebelum pelajaran benar-benar dimulai.

...*****...

Mata Icha menatap khawatir ke arah tangan Clara yang dibalut perban dan arm sling, beberapa kali cewek itu meringis kesakitan ketika Ibu Laras menyentuh pelan pergelangan tangannya.

“Kamu jatuhnya bagaimana sih sampai bisa seperti ini?”

“Jatuhnya nggak terlalu parah bu, cuman memang tangan saya pernah patah sekali makanya jadi rapuh” jawab Clara jujur tapi tetap mencoba bercanda.

Ibu Laras geleng-geleng lalu pergi mengambil teh hangat, pengobatan khas Indonesia; apapun penyakitnya teh hangat selalu menjadi pendamping.

“Gila ya Cla, untung gue nyadar ada yang nggak beres sama tangan lo. Masa sih tadi lo beneran nggak ngerasa sakit sama sekali?” omel Sybil.

Clara tersenyum kecut, ia memang merasa sakit tapi karena marah-marah setelah ditabrak rasa sakitnya sempat terlupakan, dan ia baru sadar ada yang salah dengan tangannya ketika Sybil menarik dirinya untuk duduk di depan meja komputer.

“Lo beneran nggak tau siapa yang nabrak lo?”

Clara menggeleng. “Tapi gue ingat mukanya”

“Kayak apa? kasih tau biar kita datangi sekarang suruh bayarin biaya rumah sakit, kurang ajar banget tuh orang, awas kalo ketemu, gue patahin lehernya. Habis nabrak langsung kabur, gue sumpahin kepleset“

“Hush Fan, jangan doa kayak gitu, sekalian aja doain biar ketabrak” imbuh Sybil. Fani nyengir lebar lalu kembali menatap Clara.

“Masih ingat kan orangnya, pas pulang entar kita tungguin di gerbang luar”

“Enggak Fan, lo marah-marah kayak gitu buat ingatan gue mendadak lenyap” jawab Clara. Fani mencibir kemudian mengambil teh hangat dari Ibu Laras, setelah beberapa nasehat panjang dan teh hangat habis mereka kemudian keluar dari UKS.

Clara menatap pergelangan tangannya yang terbalut perban dan arm sling, hidungnya menarik napas panjang lalu dengan sedikit berat hati melangkahkan kaki kembali ke kelas.

...*****...

Bel pulang sekolah berbunyi, rasa kantuk yang sejak tadi merambat naik perlahan menghilang bagai debu. Suara senyaring toa khas anak kelas XA memenuhi ruang kelas mengiringi kepergian Ibu Epi, selanjutnya seperti biasa semua berlari keluar berebut melewati pintu kecil, sampai kemudian kelas menjadi kosong menyisakan beberapa anak yang memilih menunggu perang di depan pintu selesai.

“Cla, sini gue bantuin” kata Icha menggantungkan tas Clara di pundaknya. “Tante gue bilang ntar pas sampai rumah sakit minta ke registrasinya untuk dirujuk ke dokter Milla Ananda, ntar kita bisa langsung ke dia” lanjutnya memberitahu.

Clara mengangguk, sepulang sekolah ini ia dan Icha akan pergi ke dokter untuk memeriksa pergelangan tangan Clara. Sebenarnya Clara tidak mau tapi Icha memaksa, dengan alasan untuk memastikan tidak ada tulang yang bergeser.

“Tante lo beneran nggak papa nih? Dia kan dokter spesialis ortopedi dan gue cuman keseleo biasa, ntar dianggap menghina profesi lagi”

“Nggak usah lebay Cla” celetuk Sybil cekikikan lalu pergi bersama Fani karena harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Clara dan Icha kemudian keluar kelas berjalan melewati lapangan basket. Suara panggilan dari arah belakang membuat keduanya balik badan, tampak Ray melambaikan tangan berlari menghampiri.

“Cha, aku anterin pulang ya?”

“Nggak bisa” geleng Icha menunjuk tangan Clara. “Mau ke dokter buat periksa tangan”

“Tangan lo kenapa anak baru? Habis tinju? atau habis ngangkat batu bata?”

“Ihs kamu ya, orang lagi kena musibah bukannya disemangatin malah diledek” cubit Icha gemas, Ray ketawa sambil mengelus-elus bahunya.

“Oke, gws anak baru. Tangan lo kenapa bisa gitu?”

“Kecelakaan”

“Hah? dimana?”

“Jadi tadi pagi kita berempat ke perpustakaan terus lari-lari gitu, Clara yang paling terakhir, eh dia ditabrak orang langsung jatuh tapi orangnya nggak minta maaf, mana kabur lagi. Kurang ajar banget kan? Untung cuman tangannya yang luka, gimana kalo misalnya kepalanya kebentur terus gegar otak?” omel Icha.

Ray bengong sejenak menatap Clara lekat-lekat, tangannya buru-buru menutup mulut Icha ketika cewek itu akan mengomel lagi.

“Lo ditabrak di tangga dekat perpustakaan?”

Clara mengangguk. “Kok lo tahu?”

“Nggak, nebak doang” jawab Ray bohong. “Yaudah yuk gue anterin sampe ke depan” lanjutnya lalu berjalan ke depan gerbang sekolah, sekitar lima belas menit kemudian angkot baru datang. “Cla, kalo misalnya tangan lo jadi sakit parah kasih tahu gue ya”

“Buat apaan?”

“Gue punya kenalan dokter sekaligus tukang pijat, dijamin sembuh kalo sama dia” sahut Ray beralasan, ia melambaikan tangan melepas kepergian dua cewek itu dan balik badan berlari masuk menuju lapangan basket.

...*****...

Rian melemparkan bola basketnya masuk ke dalam ring, ia berlari sebelum bola basket melewati garis keluar dan mendribling lagi. Hidungnya mendengus ketika melihat Ucup dan Def berlari gembira masuk ke pekarangan sekolah dengan balon kuning hadiah dari happy meal McDonald.

Plak!

Sebuah tamparan keras dari belakang kepala membuat Rian balik badan dengan ekspresi masam, tapi eskrpesinya berubah begitu melihat aura Ray dua kali lebih masam dari dirinya.

“Kenapa sih? Mau ngajak gue gulat? yaudah ayok”

“Eh tolol, lo bilang tadi pagi lo nabrak cewek di dekat tangga perpustakaan kan?”

“Iya terus kenapa? Lo mau nabrak juga?” tanya Rian jutek.

Ray menjitak kepala Rian kuat-kuat. “Cewek yang lo tabrak itu Clara temannya Icha”

“Oh yaudah, tolong bilangin gue minta maaf”

“Tangannya patah ***!” teriak Ray, logat Jogjanya selalu keluar setiap kali merasa kesal menghadapi kebolotan teman-temannya.

Hening, mata Rian menatap Ray serius, tampang cowok itu terlihat tidak bercanda.

“Ah, jangan kebanyakan bohong lo ama gue”

“Gue serius, dia lagi diantar cewek gue ke dokter. Dokter spesialis ortopedi. Ortopedi, gue ulang or-to-pe-di.”

Tangan Rian bergerak melempar bola basket ke arah Nathan dan menggaruk rambutnya. “Ini serius kan?”

“Ya masa gue bercanda sih?”

“Terus gue harus gimana?”

“Minta maaf”

“Kalo dia nggak mau maafin?”

“Yang penting lo udah minta maaf dan nunjukin diri kalo lo yang nabrak dia. Gila lo nabrak orang langsung kabur, udah kayak kasus tabrak lari aja.“

Rian tersenyum kecut. “Ya namanya juga orang panik. Ntar deh gue pikirin cara terbaik untuk minta maaf”

“Sungkeman kalo perlu” geleng Ray lalu masuk ke barisan untuk melakukan pemanasan ketika mendengar peluit pelatih berbunyi, meninggalkan Rian masih termangu, antara terkejut habis mematahkan tangan orang atau memikirkan cara untuk meminta maaf. Mana yang ia tabrak seorang cewek pula!

Ah tiba-tiba saja Rian merasa alur hidupnya sedikit melaju keluar dari garis.

Sebuah Surat

“Mbak Ardaaaa” teriak Icha masuk ke dalam rumah Clara. Wajah Arda berpaling, ia tersenyum manis lalu kembali sibuk menyiapkan nasi kotak dibantu Indah dan Bude Sumiyati.

“Sibuk banget nih mbak?” tegur Icha tanpa basa-basi mengambil kerupuk dari dalam toples.

“Iya nih, anaknya Pak RT habis sunatan terus nanti sore mau buat acara syukuran” jawab Arda. “Cla, kamu udah- lo tangan kamu kenapa?” Raut wajah Arda langsung berubah begitu menyadari tangan Clara terbalut arm sling, ia lantas berhenti melakukan pekerjaannya dan mendekati Clara.

“Aku jatuh tadi mbak pergelangan tanganku terkilir terus udah ke dokter, katanya harus hati-hati soalnya tanganku kan pernah patah sebelumnya” jelas Clara.

Arda menarik napas terlihat khawatir. “Kok bisa sih sampai jatuh kayak gini? Kamu jalannya pasti pencicilan?”

“Iya mbak, salah aku tadi kurang hati-hati” jawab Clara buru-buru sebelum Icha buka mulut, ekspresi Icha terlihat tidak suka karena Clara berbohong padahal ia berniat untuk menceritakan semuanya kepada Arda. “Cha, tunggu bentar ya gue ganti baju dulu,” Clara naik ke tangga atas untuk berganti pakaian lalu turun lagi membawa buku tebal matematika.

“Cla ngerjainnya di teras aja biar adem.” Clara mengangguk mengikuti Icha duduk di teras depan. “Lo kenapa sih harus bohong gitu? Gue gemes tau dengernya”

“Biar Mbak Arda nggak khawatir aja, dia orangnya panikan Cha”

“Tapi ya nggak gitu juga”

“Udahlah Cha yang penting tangan gue nggak kenapa-napa” ujar Clara. Icha diam, lalu selanjutnya sibuk mengerjakan PR matematika.

Sesi belajar mereka berjalan serius tapi sesekali terganggu akibat suara keras pedagang keliling, mulai dari tukang bubur, kue putu, jagung manis, sampai suara ribut ibu-ibu kompleks sedang lari sore. Langit mulai menggelap dan tanpa terasa tugas mereka sudah selesai. Icha merenggangkan otot-otot tangannya yang kaku dan melakukan sedikit pemanasan.

“Cha mau jajan es cincau nggak?” tawar Clara menunjuk ke arah abang penjual es cincau berdiri bersama gerobak di dekat pagar rumah dikelilingi beberapa penghuni kompleks dan anak-anak kecil yang baru pulang dari pengajian.

Icha melemparkan tatapan curiga. "Rasanya nggak kayak air sabun kan?”

“Ya enggak lah, gue udah pernah rasa. Enak, gue jamin. Ini yang jual es cincau lulusan master Chef Indonesia” jelas Clara tertawa mengingat kejadian ketika mereka jajan es cincau di dekat persimpangan gang masuk kompleks dan rasa cincaunya seperti sunlight, pahit berbusa mematikan. Mungkin saat itu abang penjual kurang cermat membilas gelasnya sehingga masih ada sisa-sisa sunlight. Beruntung setelah minum mulut mereka tidak mengeluarkan busa balon.

“Jamin ya?”

Clara mengangguk lalu pergi ke depan pagar rumah memesan dua gelas sedang cincau. Sekitar lima menit kemudian ia baru kembali, sedikit kerepotan karena salah satu tangannya terbalut arm sling, bibirnya bergerak mencibir Icha karena cewek itu hanya cekikikan tanpa ada niatan untuk membantu.

“Jangan ngomel-ngomel terus Cla, ntar sakit perut loh” ejek Icha mengambil cincau miliknya, mereka duduk di lantai teras menikmati suguhan manis dari luar pagar rumah ketika banyak anak kecil berlarian atau bermain drama peran mengikuti adegan sinetron yang mereka tonton semalam.

“Eh Cla, gue lupa mau ngasih lo ini” Icha mengambil sebuah brosur iklan lowongan kerja part time di salah satu kafe. “Kan waktu itu lo bilang mau part time, nah ini kebetulan temennya Ray punya cafe dan lagi nyari karyawan. Dulu Ray kerja di situ juga cuman karena sekarang lagi sibuk mau lomba basket jadi dia nggak punya banyak waktu luang. Gue udah ngecek dan menurut gue nggak bakalan ganggu sekolah sama ekstrakurikuler lo, kecuali kalo lo ngambil lebih dari satu ekstrakulikuler” jelas Icha panjang lebar.

Clara menatap minat, ia membaca teliti isi brosur. Cafe Bee and Bir, letaknya tidak jauh dari sekolah hanya sekali naik angkot, persyaratannya juga tidak sulit hanya mengutamakan kejujuran, penampilan rapi, dan sehat jasmani rohani.

“Ini serius Cha? Lo kenal sama pemiliknya?”

“Iya namanya Kak Jefri, gue sering main kesitu. Tenang aja Cla, cafe mereka emang dikhususkan untuk orang-orang yang ingin dapat pengalaman kerja”

“Pemiliknya kaya raya dong? Nggak papa rugi yang penting karyawan gue dapat skill baru”

“Ya nggak gitu juga Cla, lagian kan kerja di kafe nggak kayak kerja kantoran, gimana sih lo” balas Icha heran. “Tapi seriusan deh dulu Ray tuh nggak bisa ngapa-ngapain pas kerja disitu jadi pinter cuci piring sekarang.”

Clara ngakak. “Yaudah deh Cha makasih banyak yak, lo mau kan nemenin gue besok?”

“Ya gampang, sekarang mah lo mikir aja mau jawab apa pas di interview besok. Ingat ‘menjilat’ itu perlu” kata Icha memberi nasehat semetara Clara  hanya mengangguk-angguk antara paham tidak paham.

...*****...

Jam setengah tujuh Clara baru menginjakan kaki di dalam kelas dan ia sudah mendapat sambutan hangat dari Fani yang berteriak kencang, “Cla lo dapat hadiah dari fans rahasia!”

Kening Clara berkerut mendapati mejanya penuh dengan parcel buah-buahan, kue tart lengkap dengan buah ceri, satu boneka kecil kumamon, dan sebuah amplop putih. Tangan Clara mengambil amplop putih tadi dan semakin terkejut ketika mendapati uang sekitar lima ratus ribu, lengkap dengan surat kecil permintaan maaf dari orang yang menabrak dirinya kemarin.

“Wah Cla dia beneran niat banget mau minta maaf” ujar Fani ikut membaca isi surat, singkat hanya tertulis; ‘Sorry udah nabrak kemarin, ini uang untuk ganti rugi biaya perawatan kalo misal lo mau ke dokter’ tidak ada nama ataupun alamat dari si penabrak.

Clara menarik napas kesal, ia memang ingin mendapatkan permintaan maaf dari cowok yang menabrak dirinya kemarin, tapi bukan dengan cara seperti ini, dan juga uang sebagai ganti rugi malah membuat hatinya terasa semakin kesal, seolah apapun yang terjadi bisa terselesaikan dengan uang.

Memang apa susahnya sih menunjukan diri dan meminta maaf secara langsung?

“Ada yang mau nggak?” tanya Clara ke arah barisan Nus, tanpa ditawar dua kali spontan cowok-cowok itu langsung mengangguk bahagia tanpa ragu menghabiskan kue tart dan parcel buah-buahan.

“Aduh Cla asli lo baek banget, gue doain jalan hidup lo lancar, banyak rejeki” kata Nus mengelus-elus perutnya yang kekenyangan, ia bersendawa keras membuat Caca yang kebetulan baru datang langsung bergidik jijik. “Biasa aja dong Ca lihatnya, lo sirik ya nggak punya tembolok gede kayak gue?”

“Sialan lo!” maki Caca cekikikan kecil.

“Cla tangan lo udah nggak papa kan?” tanya Fani hati-hati ketika melihat ekspresi kesal Clara pada makanan yang ia terima tadi.

Clara mengangguk menunjukan tangannya, sudah tidak ada arm sling hanya tinggal perban membalut pergelangan tangannya, cewek itu kemudian duduk sambil mengambil buku dari dalam tas. Sekali lagi matanya membaca ulang tulisan di atas surat, cakar ayam, membuat rasa kesalnya semakin bertambah.

“Fan lo mau bawa pulang nggak?” tawar Clara menyodorkan boneka kumamon.

Fani mengeleng. “Simpen aja Cla siapa tau bisa lo pake buat mukul orang yang nabrak elu”

“Bener juga sih, tumben lo ada akal” balas Clara lalu dengan berat hati memasukan boneka kumamon itu ke dalam tasnya.

...*****...

“Gimana Ky? berhasil nggak? udah dimakan kan?” todong Rian ketika Frengky masuk ke dalam kelas, cowok itu menggelengkan kepala dengan ekspresi lelah karena sejak subuh sudah tiba di sekolah untuk menyiapkan parcel, kue tart, boneka dan dua jam berdiri memata-matai Clara di depan kelas cewek itu.

“Muka doi kelihatan kesal banget waktu ngelihat isi surat lo” kata Frengky melaporkan secara jelas.

Rian melemparkan pandangan heran, ia sudah berkonsultasi dengan Ray kemarin, menurut cowok itu membawakan parcel berupa buah-buahan atau kue biasa dilakukan ketika mengunjungi orang sakit dan akan membuat orang sakit itu merasa senang, tapi apa yang dilaporkan Frengky justru berbeda jauh dari prediksi mereka.

“Woi Ray, kata lo kalo gue kasih parcel doi bakalan senang.”

Ray balik badan,  “emang lo udah datang ke rumahnya?”

“Harus ke rumahnya emang?”

“Iyalah, emang lo ngasihnya kapan?”

“Tadi pagi, gue taruh di mejanya, lengkap, kue tart, parcel, boneka, surat permintaan maaf, dan duit lima ratus ribu di dalam amplop” jawab Rian polos.

Ray melongo pandangan matanya berubah seolah sedang melihat lebah berterbangan dari dalam lobang hidung Rian, sesaat ia geleng-geleng kepala dan bergumam dalam bahasa Jawa. “Eh, kowe tau ora? nek zombie nyerbu, kowe bakal aman, soale sing diincer kui utek”

“Dia bilang apa sih?”

“Kalo ada zombie lo bakal aman karena yang dicari otak. Intinya lo nggak punya otak” jelas Frengky, tangan Rian langsung bergerak menjitak kepala Ray kuat-kuat.

“Lagian lo aneh bukannya minta maaf langsung malah ngasih diem-diem gitu, pakai ngasih duit lagi. Kalo dia tersinggung gimana?”

“Lah kan gue mencoba menganti rugi”

“Tapi ya nggak gitu caranya” balas Ray sengit. Rian mendadak bingung, perkataan Ray tiba-tiba menjadi pembelajaran bahwa apa yang ia lakukan salah.

“Gue harus gimana dong?” tanya Rian lagi karena meskipun nakal ia bukan tipe cowok yang terbiasa berurusan dengan cewek asing, kecuali berurusan denganManda -yang bahkan jarang ia anggap sebagai seorang cewek- ketika datang bulan karena memang di momen-momen seperti itu tingkat menyebalkannya naik tiga poin.

“Mau nggak mau lo harus temuin, minta maaf secara langsung, dan nganterin ke dokter, bukan malah lo ngasih duit di amplop, emang lagi bagi hadiah kuis?”

“Ya udah ntar kalo misal patah tulangnya tambah parah baru gue datengin langsung” putus Rian langsung mengangkat jari tangannya ke bibir ketika Ray akan protes lagi. Ray mendengus lalu balik badan bersamaan dengan langkah kaki Pak Jarot guru fisika masuk ke dalam kelas.

...*****...

Jam pulang sekolah sudah berakhir dari sejam yang lalu, setelah menunggu Icha selesai ekstrakurikuler Clara langsung pergi ke cafe bee and bir, ekspresinya terlihat gugup setengah mati sampai mengundang tawa Icha.

“Aduh Cla santai aja kalik, Kak Jefri orangnya baik nggak bakal lo dimakan hidup-hidup”

“Sabar Cha gue pemanasan dulu” kata Clara tidak menggubris tawa Icha, ia menarik napas panjang-panjang dan melakukan pemanasan, mulai dari star jumps, squat, dan lari-lari kecil. “Haaaa, gue udah siap Cha”

“Yaudah ayuk”

“Eh entar Cha pemanasan sekali lagi deh” tahan Clara mengulang pemanasan singkatnya. Icha menatap malas lalu menarik Clara melangkahkan kaki masuk ke dalam kafe, tampak tiga orang laki-laki mengenakan apron berwarna hitam tersenyum ke arah mereka.

“Cla itu yang namanya Kak Jefri” bisik Icha melambaikan tangan pada seorang cowok yang baru keluar dari dapur. Usianya terlihat seperti anak kuliahan semester akhir dengan jenggot tipis dibawah dagu dan berambut ikal sebahu yang diikat setengah, wajahnya manis bukan main ditambah senyum tipis.

“Hai Cha, tadi kesini naik apa?” sapanya ramah memberikan kode agar Clara dan Icha duduk di depannya.

Ekspresi Clara terlihat semakin gugup, setelah berbasa-basi sebentar ia kemudian memperkenalkan diri secara resmi. Ekspresi Jefri langsung berubah serius, matanya menatap Clara tajam membuat kegugupan cewek itu naik dua kali lipat, tangannya meremas erat rok sekolah sebagai pelampiasan rasa gugup dan berusaha mengontrol ekspresi wajah agar tetap terlihat tenang menjawab semua pertanyaan Jefri.

“Selain bahasa Inggris lo punya kemampuan lain? Karena kalo cuman ngandelin bahasa Inggris semua teman-teman gue bisa, si Nichol bahkan bisa bahasa Perancis, Jerman, dan Rusia” kata Jefri menunjuk seorang cowok seusia mereka yang berambut kecoklatan. Clara menelan liur menarik napas, mendadak terbesit pikiran untuk bersikap bodoh amat dan mengatakan semua hal yang terlintas di otaknya.

“Bahasa isyarat.”

Baik Jefri maupun Icha menatap Clara lekat-lekat dengan dua makna yang berbeda, Icha terkejut sementara Jefri sekilas menampilkan ekspresi tertarik.

“Terdengar unik, setau gue belum banyak orang yang bisa bahasa isyarat”

“Itu bisa jadi salah satu alasan kenapa kakak harus menerima saya disini” balas Clara cepat.

Hening karena Jefri malah melemparkan tatapan tidak tertarik. Clara menggigit bibir bawahnya sejenak lalu mengangkat wajah dengan ekspresi penuh percaya diri, kepercayaan yang ia dapat sedetik setelah berpikir apapun yang terjadi, terjadilah.

Tangan Clara bergerak membentuk beberapa isyarat yang berarti ‘*mohon pilihlah saya, karena kalau tidak saya akan balas dendam pada a*nda’ dan setelah itu senyumnya mengembang.

“Artinya?”

“Mohon terima saya” jawab Clara pelan. Jefri nyengir lebar seketika ekspresi seriusnya hilang digantikan tawa keras yang memenuhi ruang kafe, membuat Clara dan Icha berpandangan heran.

...*****...

“Ya ampun Cla, lo lucu banget sih, gue beneran nggak nyangka lo bakalan pakai bahasa isyarat kayak gitu. Mana tadi ketawanya Kak Jefri kayak puas banget lagi” tawa Icha ketika ia dan Clara duduk di dalam tenda pecel lele.

Clara nyengir, usaha dan nekatnya membuahkan hasil baik, ia diterima tentu saja setelah Jefri tertawa ngakak karena menurutnya ekspresi gugup dan polos Clara terlalu kentara. Meskipun sempat malu-malu akhirnya Clara tetap bisa bergembira karena ia diperbolehkan kerja di cafe mulai besok.

“Lo masih ingat kan siapa aja nama teman-teman kerja lo nanti?” tanya Icha menunjukan foto Ray dan karyawan di kafe tadi. Clara memicingkan mata berusaha mengingat-ingat.

“Yang ini Kak Nichol anak SMA internasional kelas dua bahasa Indonesianya masih berbelit, Kak Martin dan Kak Joji anak kuliah, Kak Martin lagi nunggu buat sidang skripsi, terus Kak Joji semester enam dan lagi kerja sekalian magang buat kuliah. Terus Kak Jefri kuliah semester enam juga dan pemilik kafe”

“Bukan dia pemiliknya” koreksi Icha. “Kak Jefri cuman ngejalani kafe”

“Oh iya lupa” tepuk Clara di dahi, baru lima menit lalu Icha bercerita kalau Jefri hanya orang yang menjalankan usaha, bahasa kerennya manajer kafe sedangkan pemilik tempat itu adalah teman dekat Ray dan bersekolah di tempat yang sama dengan mereka, entah siapa Icha juga tidak tahu.

“Tapi Cla lo kenapa sih ngotot banget mau part time? Emang duit jajan lo kurang? Perasaan lo nggak pernah tuh ngutang-ngutang dikita” tanya Icha, sejak kemarin ia selalu penasaran dengan jalan pikiran cewek itu.

Dari sisi keuangan Clara tidak terlihat seperti seorang yang butuh duit dan dari segi mencari pengalaman kerja Clara juga bisa dibilang punya pengalaman kerja yang baik, efek sering membantu bisnis katering Arda di rumah.

“Nggak papa Cha, biar gue bisa sibuk aja”

“Lo aneh deh, orang lain pengen bersantai lo malah pengen sibuk.”

Bibir Clara bergerak menampilkan senyum kecil penuh makna, kepalanya mengangguk mengucapkan terima kasih ketika pecel lele pesanan mereka datang. “Orang yang punya banyak pikiran itu cocoknya menyibukan diri biar nggak ada waktu buat berpikir banyak-banyak.”

Kening Icha berkerut mencoba mencerna perkataan Clara. “Emang lo banyak pikiran?”

“Iya”

“Mikir apa?”

“Masalah hidup”

“Hidup siapa?”

“Hidup gue lah, masa hidup lo” kekeh Clara pelan. “Lo pernah nggak sih ketika lo rebahan di kamar terus lo mikir 'anjir kok hidup gue gini-gini aja ya?' dan dari pemikiran itu bikin lo sadar kalo sebenarnya lo nggak bisa terus-terusan ngikutin alur hidup yang berjalan, sesekali lo butuh ngelakuin sesuatu biar bisa survive, entah apapun caranya”

“Gue pernah mikir kayak gitu tapi nggak sampai yang gimana caranya gue harus survive, umur gue masih muda dan gue masih SMA, gue perlu bersenang-senang. Gue rasa lo terlalu cepat dewasa Cla, lo perlu nikmatin hidup lo barang semenit dua menit.”

Clara tersenyum tipis, suatu hal yang akan ia lakukan jika tidak mampu menjelaskan isi hatinya secara spesifik, lagipula jika terus dilanjutkan rasanya Icha tidak akan mengerti dengan jalan pikirannya. Clara memiliki hidup, pemikiran, dan pandangannya tersendiri, tumbuh dewasa itu tidak menyenangkan tapi terkadang jalan kehidupan memaksa seseorang harus bersikap dewasa lebih cepat dibanding usia aslinya.

“Jangan terlalu banyak pikiran Cla” kata Icha untuk terakhir kalinya sebelum mereka mengganti topik pembicaraan. Clara mengangguk tidak menjawab, sejenak matanya menatap ke arah luar tenda pecel lele, langit mulai menggelap tanda sebentar lagi akan turun hujan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!