NovelToon NovelToon

Ayah Untuk Arlan

Bunda Zaya

Rumah adalah istana bagi yang menempatinya. Begitupula bagi Arlan. Bocah berusia 4 tahun dengan pipi tembam dan wajah yang imut-imut tampan. Suasana rumah itu di pagi hari selalu ramai dengan suara dari penghuninya.

"Bunda?", panggil Arlan sambil berjalan ke arah dapur. Di sana, Bunda dan Neneknya sedang memasak untuk sarapan pagi.

"Iya, Sayang? Eh, anak tampan Bunda dah bangun. Tumben, Arlan tidur lagi tadi setelah sholat shubuh?", perempuan cantik dan manis yang dipanggil Bunda oleh Arlan, menghampiri putranya yang sedang mengucek pelan kedua matanya.

"Arlan ngantuk Bunda, kemarin Arlan kerjain pr dari bu guru"

"Ohhh, maaf ya kemarin Bunda ga nemenin Arlan gambar"

"gapapa, Bunda. Kan ada Kakek dan Nenek yang bantuin Arlan", senyuman manis dengan lesung pada kedua pipinya menambah kadar ketampanannya.

Bunda Zaya adalah nama panggilan ibu muda itu. Zaya Arifin adalah anak kedua dari pasangan Ayah Ahmad Arifin dan Ibu Marlina. Zaya memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah menikah dan tinggal di pusat kota bersama keluarga kecilnya dan mempunyai satu orang anak perempuan. Keluarga kakaknya akan berkunjung ke rumahnya di kampung setiap bulannya.

Ada suatu keadaan yang membuat keluarga itu berpisah. Ayah Arifin, Ibu Marlin, Zaya dan Arlan memilih tinggal di desa, kampung halaman Bapak Arifin sebelum pindah tugas ke kota 10 tahun yang lalu.

"Zaya?", panggil Ayah Arifin kepada anak perempuannya. Ada kesedihan dan kekhawatiran terdalam baginya sebagai ayah kepada putrinya. Tetapi, Bapak Arifin sebagai orang tua tetap berusaha kuat dan tegar untuk senyum indah putrinya sebelum kejadian 4 tahun lalu.

"Iya, Ayah?", Zaya menghampiri Ayahnya di belakang rumah sambil menikmati kopi panas yang dibuat khusus oleh istrinya dengan koran berita hari ini.

"Kemarin, Abangmu telpon Ayah, katanya besok mau ke sini. Nanti kamu ke pasar ya buat beli bahan makanan buat besok"

"Siap, Ayah. Zaya ke dapur lagi ya, bantu Ibu masak", Zaya mengangkat sebelah tangannya dan menghormat kepada Ayahnya seperti bawahan kepada komandan militer.

Arlan duduk di meja makan sambil minum susu coklat hangat buatan Bundanya.

"Kamu ke pasar sekarang saja Zaya, ini biar Ibu yang lanjutin", pinta Ibu kepada putrinya sambil menggoreng tempe.

"Iya, Bu"

"Arlan mau ikut Bunda ke pasar?"

"Mau, Bunda"

"yaudah, sana cuci muka dan ganti baju ya. atau mandi Bunda mandikan dulu?"

"Hmmm... Arlan cuci tangan, cuci kaki, cuci muka aja Bunda. Mandinya nanti aja. Boleh ya Bunda?"

"boleh, Sayang", Zaya mencium pelan kepala putranya dengan penuh kasih sayang.

Arlan memegang erat tangan Bundanya yang hangat. Zaya memakai gamis sederhana dengan warna kerudung yang senada. Arlan juga menggunakan baju kaos panjang dan celana kain yang panjang. Udara di pagi hari di desa itu memang cukup dingin. Mereka berdua berjalan pelan karena jarak rumah ke pasar yang tidak terlalu jauh.

Zaya menyapa orang-orang di sekitarnya. Dia senang di sini. Semua orang menerimanya dengan baik walaupun dia harus menceritakan kejadian pahit kepada masyarakat agar kehidupannya tenang, dan untuk putranya Arlan. Selama 4 tahun di sini, Zaya dapat menemukan kembali kehidupannya yang ceria sebelum malam itu, ya malam itu.

Tidak jauh dari mereka, ada sebuah mobil yang terparkir dan seorang laki-laki di dekat pintu mobil, sepertinya sedang menelepon. Namun, Zaya merasakan sesuatu yang tidak asing baginya.

"Wangi ini?", Zaya mencium sesuatu yang aneh dalam indra penciumannya. Dia berhenti.

"Bunda? Kenapa berhenti? Bunda capek ya?", Arlan tertarik kebelakang karena Bundanya berhenti tiba-tiba ketika di dengan asyik bernyanyi.

Hening. Hanya terdengar suara orang yang sedang marah, tidak jauh dari mereka berhenti.

"Bunda", Arlan menarik pelan baju panjang Bundanya.

"Eh ... eh ... eh ... Arlan?"

"Kenapa berhenti, Bunda?"

Zaya belum sempat menjawab putranya. Ada suara asing mengganggu interaksi anak dan ibu itu.

"Permisi? Maaf mengganggu, di sekitar sini ada yang jual pulsa atau paket data?", tanya seorang laki-laki yang berdiri di dekat mobil itu.

# **Hai hai\, aku Macan

Aku mencoba membuat cerita yang baru nih, semoga suka ya.

💞💞💞**

Laki-laki asing

# Bab sebelumnya

Zaya belum sempat menjawab putranya. Ada suara asing mengganggu interaksi anak dan ibu itu.

"Permisi? Maaf mengganggu, di sekitar sini ada yang jual pulsa atau paket data?", tanya seorang laki-laki yang berdiri di dekat mobil itu.

###

Zaya mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki asing di depannya.

"Hmmm, kalau disekitar sini, saya jual pulsa dan paket data, tetapi sekarang saya mau ke pasar dan tidak membawa handphone. Di desa sebelah seperti nya ada yang jual", Zaya menjawab pertanyaan itu dengan pandangan ke bawah, sepertinya dia berbicara dengan semut-semut yang sedang mencari makan.

"ouh, desa sebelah ya? hmmm, lama tidak?", laki-laki dengan kaos berwarna navy berjongkok di depan Arlan, sepertinya pertanyaan itu untuk bocah kecil yang bersembunyi di belakang tubuh Bundanya.

Seorang pria dewasa tersenyum kepada Arlan. Dia berusaha untuk berani dan berdiri tepat di hadapan pria tampan itu.

"Om tanya ke Arlan?", tanyanya sambil memegang baju Bundanya.

"iya", senyuman yang manis, menghipnotis Zaya.

"Bunda? Kita lama kah ke pasarnya? Omnya nanya, Bunda", Arlan mendongakkan kepalanya dan bertanya kepada Zaya.

"Mungkin setengah jam, Sayang"

"Saya beli di kamu aja ya, saya malas nyetir, jadi aku ikut kalian ke pasar. Boleh?"

"Boleh", bukan Zaya yang menjawab. Tetapi, Arlan.

"Ayo", laki-laki asing itu seketika menggandeng tangan Arlan yang bebas dan mulai berjalan pelan.

Mereka seperti keluarga bahagia.

"Afnan", nama singkat untuk awal perkenalan mereka, orang dewasa. Afnan mengulurkan tangannya sebagai salam perkenalan.

"Zaya", hanya anggukan ringan sebagai sapa balik pertemanan.

"Arlan", bocah itu menjawab setelah Bundanya.

"Namanya bagus", Afnan tersenyum manis kepada Arlan dengan tangannya yang masih menegang tangan kecil Arlan.

"Om tinggal di sini? orang baru kah?", hampir 5 menit hanya keheningan. Arlan memulai percakapan.

"Orang tua om tinggal di desa ini"

"Kalau boleh tau, siapa?", Zaya memulai dengan sebuah pertanyaan, yang sebelumnya dari putranya.

"Kenal dengan keluarga Rozak?"

"Ouh, Abi Rozak ya?", Zaya tersenyum kecil. Keluarga itu terkenal kaya di desa ini. Mereka sangat dermawan dan baik hati. Abi Rozak dan Umi Syaroh membantunya ketika masa-masa sulit dulu.

"betul betul betul", Afnan meniru karakter dari salah satu kartun dari negara tetangga dengan tawa kecilnya.

"hahahaha", ada tawa yang cukup keras di sekitar mereka.

"Arlan kok ketawa? Om lucu ya?"

"Hehehehe, maaf Om. Hmmm ... om lucu kalau bilang kayak gitu, suara om hampir sama kayak Arlan deh. nih ya, betul betul betul"

"eh iya ya sama, kok bisa sih"

Seterusnya, mereka saling bercanda tawa, kecuali Zaya yang hanya membalas dengan seadanya saja. Akhirnya, hampir 5 menit berjalan bersama, mereka sampai di tempat tujuan. Dan Zaya langsung mencari bahan-bahan makanan untuk dimasak besok, Afnan mengikuti nya dengan menggendong Arlan.

Akhirnya, ketiga orang itu telah sampai di rumah Zaya dengan beberapa kantong belanja.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

"Eh ada tamu ya?", tanya Ayah Arifin ketika dia sedang duduk santai di depan rumah.

"Oh iya, Ayah. Mas Afnan mau beli pulsa"

"Tunggu sebentar ya Mas, saya ambil dulu handphone nya"

"Ehem, iya", Afnan sedikit salah tingkah dengan kata 'Mas' dari Zaya barusan.

"Maaf mengganggu Pak ..."

"Eh iya tidak apa-apa. Pembeli adalah raja"

"Saya Arifin, panggil Ayah saja, tidak apa-apa"

"Eh iya, Ayah"

"Silahkan duduk dulu, Nak?"

"Afnan"

"Oh iya, Nak Afnan"

"Arlan, mandi dulu ya. Biar seger, bau acem lho"

"Kakek, Arlan masih harum kok", Arlan cemberut dan langsung berlari kecil ke dalam rumah.

Ayah Arifin dan Afnan duduk bersama di depan rumah dengan sepiring pisang goreng di meja kecil, di antara mereka berdua.

"Silahkan dimakan, Nak Afnan. Ngomong-ngomong, Nak Afnan baru di desa ini?"

"Hmmm tidak juga, Ayah. Saya anaknya Abi Rozak"

"Ya Allah, pantes Ayah kok kayak pernah lihat wajahmu"

"Dimana Ayah?"

"Foto di rumah mu, Hehehehe"

"Saya memang tidak terlalu sering pulang kesini, kalau pulang mungkin hanya sehari atau dua hari saja, banyak kerjaan di kota", Afnan tersenyum kecil sambil mengambil satu pisang goreng yang masih hangat, menghormati tuan rumah.

Zaya datang dengan handphone di genggaman nya.

"Mas Afnan mau beli pulsa atau paket data?", tanyanya.

"Hmmm ... pulsa aja, 200 ribu"

"kok banyak?", Zaya reflek. Baru kali ini, dia dapat pelanggan dengan nominal pembelian pulsa yang besar dan baru pertama kali sejak jualan pulsa.

"eh ... eh ... iya, ini Mas Afnan. Tulis di sini ya nomernya", Zaya memberikan sebuah buku catatannya untuk pembelian pulsa atau paket data, jaga-jaga jika ada kekeliruan suatu hari nanti.

Afnan menulis nomernya. Dengan pisang goreng yang dia jepit dengan mulutnya.

Zaya memasukkan nomer handphone Afnan dan mengirimkan pulsanya.

Ting

"Sudah masuk ya Mas?"

"Alhamdulillah sudah, terimakasih Zaya"

"Sama-sama"

"Kalau begitu, saya pamit dulu, Ayah, Zaya", Afnan berdiri dan menyalami Ayah Arifin, dan Zaya hanya tersenyum kecil saja.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Setelah Afnan tidak terlihat lagi oleh mereka berdua. Ayah melanjutkan tugas harian nya.

"Nak Afnan sekilas kok mirip ya sama Arlan", gumam Ayah Arifin yang masih terdengar oleh Zaya.

"mirip? Apakah? tidak mungkin", pikir Zaya dan menggelengkan kepalanya, dia berharap dugaannya salah. Dia ingat dengan wangi parfum tadi di jalan, wangi itu masih ada sekarang. Parfum milik Afnan.

"Ayah, Zaya masuk dulu ya", pamit Zaya.

"Iya, Sayang"

Hadiah untuk Arlan

# Bab sebelumnya

Setelah Afnan tidak terlihat lagi oleh mereka berdua. Ayah melanjutkan tugas harian nya.

"Nak Afnan sekilas kok mirip ya sama Arlan", gumam Ayah Arifin yang masih terdengar oleh Zaya.

"mirip? Apakah? tidak mungkin", pikir Zaya dan menggelengkan kepalanya, dia berharap dugaannya salah. Dia ingat dengan wangi parfum tadi di jalan, wangi itu masih ada sekarang. Parfum milik Afnan.

"Ayah, Zaya masuk dulu ya", pamit Zaya.

"Iya, Sayang"

###

Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan Zaya, Arlan dan ... Afnan. Mereka tidak bertemu lagi, sepertinya Afnan sudah kembali ke kota. Kehidupan Keluarga Zaya selalu bahagia dan tawa Arlan sebagai bumbu pelengkap layaknya kerupuk untuk makanan andalan yg murah meriah.

"Bunda?", Arlan memanggil Bundanya yang sedang berada di kebun belakang. Oh ya, Zaya bekerja sebagai guru di sekolah dasar kurang lebih hampir 3 tahun, dia berbagi ilmu nya selama perkuliahan nya dulu.

"Iya, Sayang?", jawab Zaya selagi mencabut rumput liar disekitar tanaman obat-obatan yang dia tanam sendiri.

"Arlan izin main di lapangan sebelah ya, Bunda?"

"Main sama siapa?"

"Sama Azka dan temen-temen, Bunda"

"Boleh, sebelum dhuhur harus sudah di rumah ya"

"Siap, Bunda", Arlan mencium punggung tangan Bundanya.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

## Lapangan

Arlan dan teman-temannya istirahat sebentar di bawah pohon yang tumbuh rindang di lapangan itu. Mereka kelelahan setelah bermain sepak bola. Arlan sangat bahagia, dia memiliki teman-teman. Dia pikir, dia akan sendirian.

"Tamu tirim urat lagi?", tanya Azka, teman dekat Arlan. Bocah itu masih sedikit cadel dibandingkan Arlan yang sudah lancar berbicara. Azka memiliki rambut yang hitam dan kulit sawo matang.

"Iya, surat minggu lalu yang aku taruh di batu itu hilang semua. Padahal sebelumnya, surat-surat itu masih ada", jawab Arlan, sambil membaca ulang suratnya, setelah dia lipat menjadi lipatan kecil dan menaruhnya di bawah batu berukuran sedang.

"wahhh, urat mu ada yang baca, Arlan. Iapa tau, nanti di bala ama oyang itu", Arlan sudah biasa mengobrol dengan temannya yang satu ini. Jadi, dia sudah memahami semua perkataannya yang sedikit sulit dimengerti bagi teman-teman yang lain.

Arlan diam. Dia bingung, kenapa surat-surat nya tidak ada. Apakah diambil sama orang lain? tetapi sebelumnya tidak ada yang peduli dengan batu itu. Yahhh, batu itu sedikit tersembunyi dibalik semak-semak. Dan sulit diketahui orang lain.

"Dah angan di pikil, Alan beldoa aja, moga uratmu di bala"

"yuk, ain agi. Eman-eman au ain empal oin, tuh", Azka berdiri dan menunjuk ke arah teman yang lain.

"Yuk", Arlan berdiri dan berjalan ke sisi lapangan lainnya, dia melihat sebentar ke arah semak-semak itu.

## Rumah Arlan

"Assalamualaikum", ucap salam dari seseorang di depan pintu rumah itu.

"Waalaikumsalam", suara ini bukan berasal dari dalam rumah. Orang itu membalikkan badannya, dan bertemu dengan Arlan yang baru saja pulang dari bermain di lapangan.

"eh, Om Afnan, ya?", Arlan mencoba mengingat orang didepannya sekarang.

"hai, Arlan"

"masing ingat ya sama om", yap, orang itu, Afnan. Dia tersenyum manis untuk kesekian kalinya setiap pergi ke desa. Hahaha, kalian tidak tahu saja, bagaimana Afnan di kota :).

"pasti Om. Hmmm, mau beli pulsa ya, Om?", tanya Arlan sambil membuka pintu rumah nya. Dia mengucapkan salam, namun tidak ada yang menjawab. Sepertinya, penghuni rumah sedang pergi semua.

Arlan menemukan secarik kertas di dekat tv.

**

Arlan, Bunda ke rumah Bu Tutik ya. Kalau, Arlan laper, Bunda udah masak, sebelum makan, Arlan mandi dulu ya. Sayang, Bunda Arlan

**

"kok sepi?", tanya Afnan setelah dia duduk di kursi kayu dengan ukiran cantik di depan tv.

"Iya, Om. Kakek, Nenek dan Bunda ada keperluan di luar, Om. Hmmm, kata Bunda cuma keluar sebentar. Om, mau tetap beli pulsa ke Bunda atau, beli ke orang lain?", Arlan duduk di dekat Afnan, sambil minum air putih yang baru saja dia ambil di dapur.

"Om beli di Bunda saja, gapapa Om tunggu Bundamu saja"

"oh ya, Om punya hadiah buat Arlan", Afnan memberikan sebuah paper bag yang dia sembunyikan dibalik punggungnya.

"Hadiah? buat Arlan? kenapa Om?", Arlan bingung.

"Hemmmm, gapapa. Om mau kasih aja. Diterima ya", Afnan bingung juga ternyata. Dia menarik pelan tangan Arlan, dan meletakkan paper bag itu di genggaman Arlan.

"Eh, wah, makasih banyak Om"

"wahhh, warnanya banyak sekali"

"kok om tau, kalau Arlan suka gambar", Arlan mengambil krayon dengan jumlah warna sekitar 50 lebih di dalamnya. Dia sangat senang. Keinginannya terkabulkan. Tunggu ...

"Kemarin Arlan tulis surat buat ayah, kalau Arlan mau punya alat warna yang banyak warna-warna nya, dan Arlan di kasih krayon ini. Apa jangan-jangan ...", batin Arlan sambil melirik sedikit Om Afnan yang tersenyum lembut kepadanya.

"Mmmmm, wah keb ... kebetulan ya", Afnan gugup. Sepertinya, dia ada rahasia kecil dengan bocah tampan itu.

"Terimakasih Om Afnan", Arlan memeluk erat Afnan.

Afnan kaget. Dia merasakan kehangatan karena pelukan bocah yang baru dia kenal seminggu lalu.

"detak jantungku kok cepet banget sih ... seperti nya aku harus mulai kontrol kesehatan lagi deh. Tetapi, perasaan ini. Aku bahagia. Tetapi kenapa? perasaan ini berbeda", Arlan membalas pelukan Arlan, dan memejamkan matanya.

Mereka berpelukan, hingga Zaya kembali ke rumah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!