NovelToon NovelToon

Tragedi Cinta Satu Malam

Kehilangan Mahkota

Memiliki akhir yang bahagia dalam kisah cinta, sudah pasti menjadi impian setiap wanita di seluruh dunia.

Diawali dengan sebuah perkenalan, berkencan, pesta pertunangan yang kemudian diteruskan dengan resepsi pernikahan. Berdiri di atas altar bersama mempelai pria, memakai gaun pengantin yang cantik dan mewah, disaksikan oleh keluarga dan tamu undangan.

Kemudian kedua mempelai saling mengikat janji untuk setia sehidup semati hingga maut memisahkan. Tidak terkecuali Jessica. Akhir seperti itulah yang dia impikan untuk akhir kisah cintanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi, karena mimpi-mimpi indahnya itu hancur dalam sekejap mata.

Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya malah berubah menjadi hari paling menyakitkan yang tidak akan pernah bisa dia lupakan.

Hari ini, tepat di hari pernikahannya, calon suaminya mengkhianatinya dan berselingkuh dengan wanita lain. Dan parahnya lagi, wanita itu adalah sepupu Jessica sendiri. Menyakitkan memang, karena dikhianati oleh dua orang yang paling dia sayangi.

Di sinilah Jessica sekarang. Gadis itu terlihat berjalan sempoyongan di lorong sebuah hotel. Aroma alkohol yang begitu kuat tercium dari tubuhnya yang masih terbalut gaun pengantin berwarna putih gading.

Meskipun sedang dalam pengaruh alkohol, Jessica masih sepenuhnya sadar. Hanya kepalanya saja yang rasanya ingin pecah.

Jessica memutuskan untuk tidak pulang dan memilih bermalam di tempat lain. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun untuk saat ini, terutama sepupunya yang selama bertahun-tahun menumpang hidup pada keluarganya. Semua kebaikan yang dia dapatkan malah dibalas dengan pengkhianatan.

Jessica tersenyum miris dalam hati. Dia sungguh tak menduga akan disakiti oleh mereka berdua sedalam ini. Jika saja Jessica bisa menyadarinya sejak awal, pasti dia tidak akan terluka sampai sedalam ini.

Jessica menghentikan langkahnya di antara dua pintu. "Kamar 205 atau kamar 206? Kenapa aku tidak mengingatnya?" gumamnya. "Ah, mungkin kamar 206, ya kamar 206," ucap Jessica yakin tidak yakin.

Matanya membelalak saat dia menyadari sesuatu. "Eoh, tidak dikunci, hahaha, pasti kamar ini," ucapnya semakin yakin.

Bruggg..!!

Jessica merebahkan tubuhnya yang terasa lelah pada kasur king size yang terletak di tengah ruangan. Sebenarnya bukan hanya tubuhnya saja yang terasa lelah, tapi juga hati dan perasaannya.

Cklekk..!

Decitan suara pintu dibuka dari luar memaksa Jessica membuka kembali matanya yang mulai memberat. "Siapa itu?" serunya bertanya. Tapi tidak ada jawaban.

Samar-samar Jessica melihat bahwa yang datang adalah seorang pria, tetapi sayangnya dia tidak melihat seperti apa rupa pria itu karena penerangan di dalam kamar yang tidak dinyalakan, hanya ada cahaya temaram dari sang dewi malam.

"Aaahhh..!" Jessica memekik kencang karena pria itu tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya. "Yakkk! Apa yang kau lakukan? Menyingkirlah, kau itu berat. Lagi pula, apa yang kau lakukan di sini? Ini kamarku?"

"Seharusnya aku yang bertanya, ini adalah kamar yang sudah aku tempati sejak tiga hari yang lalu."

"A-apa? Ja-jadi aku salah kamar? Menyingkirlah, aku tidak bisa bangun jika kau terus menindih tubuhku. Menyingkir dan biarkan aku pergi sekarang."

"Tidak semudah itu. Sekujur tubuhku terasa panas dan aku membutuhkan pelepasan sekarang. Jadi, kau harus menemaniku malam ini."

Kedua mata Jessica membelalak. "A-apa? Kau sudah gila, lepaskan aku sekarang atau aku akan berterii....!" Ucapan Jessica terputus karena pria itu lebih dulu membekap bibirnya.

Jessica benar-benar tidak berdaya sekarang, kedua tangannya kini berada dalam cengkraman tangan besar laki-laki itu dan kakinya mengunci pergerakannya.

Dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah dan mengikuti apa yang dilakukan oleh pria asing itu. Tubuhnya benar-benar tidak berdaya, ia tidak memiliki tenaga lagi untuk melawan.

Jessica tidak akan bisa menyalahkan pria itu apalagi menuntutnya. Karena pria itu melakukannya dalam keadaan tidak sadar, mabuk berat.

'Sial, kenapa harus dengan pria asing? Mahkota paling berhargaku, kenapa harus laki-laki brengsek ini yang mengambilnya?' batin Jessica marah.

Dia mencoba untuk meronta dan melepaskan diri dari pria itu, tapi sayang... tenaganya tidak sekuat itu.

"Aaahh..!" Wanita itu kembali memekik. "Sial, kenapa tubuhmu begitu berat." Dengan sekuat tenaga, Jessica menyingkirkan tubuh laki-laki itu kemudian bangkit dari posisinya.

Setelah berhasil lepas, Jessica bergegas meninggalkan kamar tersebut beserta penghuninya di dalamnya.

Wanita itu menghentikan langkahnya, kemudian dia menoleh pada pria yang sedang terlelap di atas tempat tidurnya, dan mendesah berat. Rasanya semua yang baru saja terjadi bagaikan mimpi, tapi mimpi itu adalah hal yang nyata.

Dan Jessica tidak akan pernah melupakan kejadian malam ini. Tragedi di mana dia kehilangan harta paling berharganya sebelum dia menikah.

"Jessica, sedang apa dia di tempat ini? OMO!! Jangan-jangan dia frustasi karena ditinggal oleh Mark di hari pernikahannya dan memutuskan untuk mencari pelarian dengan pria hidung belang? Ck,ck,ck! Benar-benar murahan. Ngomong-ngomong seperti apa rupa pria yang tidur dengannya? Aku jadi penasaran."

Wanita itu melangkahkan kaki jenjangnya dan memasuki kamar yang baru saja Jessica tinggalkan. Matanya menyipit melihat sosok pria terlelap dalam posisi tengkurap. Wanita itu mendekati si pria untuk melihat seperti apa rupanya, kedua matanya membelalak.

"Bu-bukannya dia adalah Rey Lu! CEO dari Lu Empire?" Wanita itu memekik tak percaya.

Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringai tipis. "Sepertinya aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mark, aku rasa kau tidak ada gunanya lagi untukku. Dan kau, keponakanku tersayang. Maafkan aku sepupuku tersayang, karena harus melakukan hal ini padamu. Kau yang melakukannya tapi aku yang akan menikmati hasilnya."

Ia segera naik dan duduk di samping Rey yang berbaring, berpura-pura menangis seolah-olah menyesali sesuatu.

.

.

.

"Uggghhh...!!"

Rey membuka matanya yang terasa berat dan menggeram rendah. Salah satu tangannya mencengkram kepalanya yang terasa ingin pecah. Rey merubah posisinya menjadi duduk, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dan mendesah berat.

"Chan!!! Sepertinya tiang bodoh itu sudah bosan hidup." Rey menggeram rendah. Ia berani bersumpah, jika sahabat yang merangkap sebagai asisten pribadinya itu telah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya.

Samar-samar Rey mendengar suara tangisan seorang wanita, lantas ia menoleh dan mendapati seorang wanita tengah duduk di lantai sambil menekuk kedua kakinya. Rey memicingkan matanya.

"Kau Kah yang bersamaku semalam?" tanyanya memastikan.

Rey bangkit dari posisinya dan memakai kembali pakaiannya. "Asistenku akan mengurusnya dan memberimu ganti rugi."

"Tuan, tunggu." Seru wanita itu sambil menahan lengan Rey. Wanita itu kembali meneteskan air matanya. "Aku tidak butuh uangmu, tapi pertanggungjawaban darimu. Kau sudah mengambil mahkota paling berhargaku dan aku menuntut agar kau bertanggung jawab!!"

Rey menyeringai dingin. "Memangnya siapa kau? Kau pikir jalang sepertimu bisa mengaturku? Aku akan bertanggung jawab jika kau benar-benar mengandung anakku, dan kau bisa menemuiku sepuluh bulan dari sekarang." Rey melanjutkan langkahnya dan meninggalkan wanita itu begitu saja.

"Rey Lu, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tunggu dan lihat saja apa yang bisa dilakukan seorang Tiffany Hong!"

-

Delapan tahun kemudian

"Aaaahh...!! Akhirnya aku kembali lagi ke negeri ini."

Seorang wanita berparas cantik baru saja menginjakkan kakinya di Bandara Incheon. Dia terlihat begitu cantik dan menawan di usianya yang baru saja menginjak dua puluh sembilan tahun. Di sampingnya terlihat sosok bocah laki-laki berparas rupawan, bermata abu-abu, dan berambut hitam. Mereka adalah sepasang ibu dan anak.

Ini adalah pertama kalinya Jessica menginjakkan kakinya di Korea setelah kepergiannya delapan tahun yang lalu.

Ya, delapan tahun yang lalu Jessica meninggalkan Korea dan pergi ke Inggris. Tapi kepergiannya tentu bukan tanpa alasan. Keluarga besarnya tidak bisa menerima anaknya yang terlahir tanpa ayah.

Jessica diberikan dua pilihan sulit oleh sang ayah: menitipkan bayinya di panti asuhan atau pergi dari Korea. Akhirnya, Jessica memilih pilihan kedua karena tidak ingin berpisah dengan putranya.

Tanpa Jessica sadari, delapan tahun yang lalu dia melahirkan sepasang bayi kembar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena yang Jessica tahu, salah satu anaknya meninggal sesaat setelah dilahirkan.

Namun, itu tidak benar. Bayi perempuan Jessica diambil oleh kakak sepupunya sesaat setelah dilahirkan, dan bayi itu dibawa Tiffany kepada CEO grup Lu sebagai bukti bahwa dia hamil dan melahirkan anaknya.

Bocah laki-laki itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mi, sebenarnya kita ada di mana?" tanyanya penasaran. "Tempat ini sangat asing dan terlihat tidak bagus sama sekali," ucap bocah itu sambil menyapukan pandangannya ke segala penjuru arah.

"Apa maksudmu tidak bagus sama sekali? Jangan terlalu awal menyimpulkan sebelum kau melihat bagaimana keseluruhan negeri ini. Mami jamin kau akan jatuh cinta dan betah tinggal di sini."

"Aku tidak yakin, dan kita lihat saja nanti. Ngomong-ngomong, di mana Bibi Sunny? Bukankah dia bilang akan menjemput kita?" ujar bocah itu.

Jessica mendesah berat. "Mami, juga tidak tahu, seharusnya dia sudah ada di sini. Bagaimana jika kita mencarinya saja? Mungkin dia juga sedang mencari kita." Kevin tidak menjawab, dan sebagai gantinya bocah itu menganggukkan kepalanya.

Sudah hampir sepuluh menit mereka berputar-putar, tetapi batang hidung Sunny masih belum juga terlihat. Jessica mencoba menghubunginya tetapi nomor ponselnya malah tidak aktif.

"Assshhh..! Di mana sebenarnya kau, Sunny Kim."

"Aku di sini."

"OMO!" Nyaris saja Jessica terkena serangan jantung dadakan karena ulah Sunny. Wanita itu mendelik tajam dan menatap Sunny marah. "YAKK!! APA KAU INGIN MEMBUATKU JANTUNGAN, EO!!" amuk Jessica pada perempuan bertubuh mungil tersebut.

Sunny pun segera meminta maaf pada Jessica dan mereka berdua berpelukan.

"Beginikah para wanita jika bertemu? Aisshh! Sungguh menggelikan."

Pandangan mereka berdua kemudian bergulir pada Kevin yang terlihat memutar matanya. Jessica terkadang tidak mengerti putranya tersebut, dia begitu dingin dan bermulut tajam. Dan dia tidak tahu sifat siapa yang sudah menurun padanya.

"Hei, Nak, apa kau tidak ingin memeluk bibimu yang cantik ini?" Sunny mensejajarkan tingginya dengan Kevin sambil merentangkan kedua tangannya.

"Aku bukan bocah lagi, Bibi, dan aku tidak suka berpelukan." Sunny terkekeh, dia tidak merasa tersinggung dengan ucapan bocah itu. Ia sudah mengenal Kevin dengan sangat baik.

"Jaga bicaramu, Kevin! Seharusnya kau bisa lebih sopan pada orang yang lebih tua. Mami tidak pernah mengajarimu bersikap kurang ajar seperti ini pada orang yang lebih tua!!." Jessica menjitak gemas kepala putranya tersebut "Aku lapar, bisakah kita pergi dari sini sekarang."

"Dasar perut karet, bukankah Mami sudah makan satu jam yang lalu. Tapi kenapa sekarang sudah lapar lagi!! Kadang-kadang aku merasa heran, bagaimana mungkin bentuk tubuh Mami tetap bagus padahal makanmu sangat banyak."

"Ck, bocah ini. Kenapa mulutmu pedas sekali."

Sunny terkekeh pelan "Hei, Nak, apakah Mamimu selalu merepotkan mu? Begini-begini, Bibi mengenalnya dengan sangat baik."

Kevin mengangguk. "Bibi tahu, bukan, kalau Mamiku itu payah dalam segala hal? Jangankan memasak, memasak air saja tidak bisa. Untungnya dia memiliki putra yang berguna sepertiku yang bisa merawatnya dengan sangat baik." Tutur Kevin panjang lebar.

Mata Sunny membelalak. "Maksudmu kau yang memasak untuk Mamimu?" Kevin mengangguk membenarkan. "Astaga, benar-benar sulit dipercaya. Kau adalah seorang dokter yang hebat, tapi kenapa kau begitu payah dalam banyak hal, Jess!"

Jessica mendesah dan menatap keduanya dengan kesal. "Kalian berdua berhentilah memojokkanku. Dan kau, Kevin!! Ingin sekali rasanya Mami memasukkanmu lagi ke dalam perut. Berhentilah menjadi anak durhaka!!"

"Mami terlalu berlebihan." ucap Kevin dan pergi begitu saja.

"Hei bocah, tunggu kami!"

Jessica dan Sunny segera menyusul Kevin, dan akhirnya mereka menemukan mobil yang sudah disiapkan untuk menjemput mereka. Perjalanan ke rumah Sunny dipenuhi obrolan hangat dan canda tawa, namun hati Jessica masih saja merasa cemas.

---

Bersambung

PERTEMUAN

TUBUH Rey terhuyung ke belakang karena ulah seorang bocah perempuan yang melompat dan naik ke atas pangkuannya. "Laurent, apa yang kau lakukan di sini? Dan dengan siapa kau datang?" Rey heran melihat kedatangan Laurent yang hanya seorang diri.

"Papa, Mama menindas ku lagi. Pokoknya Papa harus menceraikan wanita itu. Laurent tidak mau memiliki Mama yang galak seperti Mama Tiffany. Pokoknya tidak mau."

"Jaga ucapanmu, Lu Laurent! Bisa-bisanya kau memfitnah Mamamu sendiri! Jika bukan karena kau yang nakal, Mama juga tidak mungkin menghukum mu. Kemari kau, anak nakal, dan jangan coba-coba bersembunyi apalagi mencari perlindungan dari Papamu."

BRAKKK...!!

Tiffany terkejut dan terlonjak kaget karena gebrakan pada meja. "CUKUP TIFFANY HONG!! BERHENTI MEMPERLAKUKAN PUTRIMU SENDIRI DENGAN SANGAT BURUK. KAU IBU KANDUNGNYA, TAPI KENAPA KAU BERSIKAP SEPERTI SEORANG IBU TIRI!" Bentak Rey marah.

Kesabaran Rey benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Meskipun Laurent adalah putrinya, Tiffany tidak pernah memperlakukannya dengan hangat. Dia selalu bersikap kasar pada gadis kecil yang terlihat menggemaskan itu.

Tubuh Tiffany sedikit gemetar karena bentakan Rey. Wanita itu sedikit ketakutan, apalagi melihat tatapan dingin Rey yang begitu menusuk dan penuh dengan intimidasi.

Sudah delapan tahun mereka tinggal dalam satu atap sebagai suami-istri, tapi tak sekali pun Rey memperlakukannya dengan hangat. Rey menikahinya bukan karena cinta, tapi karena Tiffany sudah melahirkan putrinya.

"Ingat posisimu, Tiffany Hong. Berhenti menguji kesabaranku. Aku membiarkanmu tetap tinggal di rumahku karena kau adalah ibu dari putriku, jadi jaga batasanmu jika kau tidak ingin aku sampai mendepakmu keluar." Rey membawa Laurent dalam pelukannya dan meninggalkan Tiffany begitu saja.

Tiffany mengepalkan kedua tangannya. Dengan marah dia menatap kepergian ayah dan anak tersebut.

"Rey Lu, lihat dan tunggu saja, jangan pernah panggil aku Tiffany Hong jika aku tidak bisa meluluhkan hatimu."

Dan entah sudah berapa kali Tiffany mengatakannya. Tapi nyatanya dia tidak pernah bisa meluluhkan hati Rey hingga detik ini. Rey terlalu tinggi untuk dia raih.

Rey menatap gadis kecil yang duduk di samping kanannya dan mendesah berat. Sejujurnya Rey merasa kasihan pada Laurent. Sejak bayi dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Tiffany, bahkan Tiffany menolak dengan berbagai alasan ketika dia memintanya untuk memberikan ASI pada Laurent, Tiffany selalu memberinya susu formula.

Rey mengusap kepala coklat Laurent dengan penuh sayang. "Hei, Nak, kau ingin mampir ke suatu tempat?" tanya Rey.

Laurent mengangguk. "Lapar, Pa... bisakah kita mampir dulu ke kafe milik Paman Dio?" Rey mengusap kembali kepala Laurent dan mengangguk.

"Tentu, Nak."

Meskipun Rey terkenal sebagai CEO yang dingin, sikapnya akan berubah 180° ketika sudah berhadapan dengan Laurent. Hanya pada bocah itu dia bersikap hangat karena Laurent adalah pengecualian dalam hidupnya.

"Pa, kapan kau akan menceraikan Mama Tiffany?" Rey mengerutkan dahinya dan menatap putrinya itu tidak percaya.

"Jadi kau bersungguh-sungguh ingin agar Papa berpisah dengan Mamamu? Tapi kenapa? Bukankah dia adalah ibu kandungmu, ibu yang telah melahirkan mu?"

Laurent langsung memasang wajah cemberut ketika Rey mengungkit hal yang paling tidak disukainya tersebut. "Itu benar. Mama Tiffany memang Mamaku, tapi dia sangat kejam padaku, dan aku tidak menyukai Mama seperti itu. Jadi aku mendukung Papa untuk berpisah dengannya."

Perhatian Rey teralihkan oleh getar pada ponselnya. Terlihat nama Chan menghiasi layar ponselnya yang menyala terang. Rey membiarkan ponselnya terus bergetar tanpa berniat untuk mengangkatnya.

Mobil sport hitam yang dikendarai oleh Rey tiba di sebuah kafe. Laurent segera turun dari mobil tersebut, disusul Rey yang berjalan di belakangnya. "PAMAN." Suara mirip lumba-lumba itu menyita perhatian semua orang di sana, termasuk tiga orang yang duduk di dekat jendela.

Bocah perempuan itu berlari menghampiri Dio yang sedang melayani para tamu, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti begitu saja. "Eoh, Bibi sangat cantik. Boleh aku tahu nama Bibi?" tanya Laurent pada sosok wanita cantik yang langsung menarik perhatiannya.

Wanita itu tersenyum lembut. "Tentu, nama Bibi adalah Jessica. Namamu siapa, Nak?" tanya wanita itu yang ternyata adalah Jessica.

"Ahh, namaku adalah Laurent. Bibi sangat cantik dan hangat, aku menyukai Bibi." Laurent tersenyum dengan begitu manis, membuat Jessica tidak tahan untuk tidak mencubit pipinya.

"Jangan menyukainya. Dia, Mamaku." Seru Kevin sambil bersidekap dada. "Hei, bocah pendek, pergi sana dan jangan ganggu Mamaku." Usir Kevin, namun diindahkan oleh Laurent.

Bocah perempuan itu terlihat menjulurkan lidah pada Kevin. Dengan manja dia memeluk lengan Jessica yang tertutup lengan tipis dress-nya. Dan Jessica tidak bisa menolaknya.

"Tidak mau!! Bibi cantik saja tidak keberatan. Tapi kenapa malah kau yang keberatan? Kau seperti kebakaran jenggot." Sekali lagi Laurent menjulurkan lidahnya pada Kevin. "Bibi cantik, senang bertemu denganmu. Bye-bye, sampai jumpa lagi." Laurent mencium pipi Jessica dan memeluknya sebelum pergi dari sana.

Sementara itu, Rey yang melihat sikap putrinya tentu merasa terheran-heran. Bagaimana tidak, ini adalah pertama kalinya dia mau berinteraksi dengan orang lain, apalagi dia bersikap begitu berbeda pada Jessica yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan mereka. Bahkan itu pertama kalinya mereka bertemu.

Tapi Rey tidak mau ambil pusing. CEO muda itu melanjutkan langkahnya dan menghampiri putri kecilnya. "Ayo, Papa masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Laurent tersenyum dan mengangguk antusias.

Jessica melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Sudah siang, sebaiknya kita pulang sekarang." Ucapnya yang kemudian dibalas anggukan oleh Sunny dan Kevin.

-

Rey Lu...! Siapa yang tidak mengenalnya? CEO muda pendiri Lu Empire yang terkenal dingin, arogan, dan tidak kenal kata ampun pada siapa pun yang berani mencari masalah dengannya.

Tidak ada sisi hangat dalam diri Rey. Selain bermulut tajam dan irit bicara, Rey juga sangat minim ekspresi. Dia tidak pernah bersikap hangat pada siapa pun, termasuk Tiffany yang notabene adalah istrinya. Tidak ada kehangatan dan keharmonisan dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan selama delapan tahun, dan hanya pada putrinya dia bisa bersikap berbeda.

Tokk... Tokk...!

Ketukan pada pintu mengalihkan perhatian Rey dari tumpukan dokumen yang ada di depannya. Decitan suara pintu terbuka terdengar selanjutnya, dan sosok Tiffany terlihat menghampiri Rey sambil menenteng sebuah kotak makanan yang dibungkus kain bermotif bunga.

Senyum di sudut bibir Tiffany mengembang lebar, tapi tidak dengan Rey. Laki-laki itu menyikapi kedatangan istrinya dengan dingin.

"Sedang apa kau di sini?"

"Beginikah caramu menyambut istrimu yang datang membawakanmu sarapan? Kau belum sarapan pagi ini? Aku memasak banyak makanan kesukaanmu, bagaimana kalau kita makan siang bersama?" usul Tiffany sambil menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

"Ayolah, suamiku. Sampai kapan kau akan mengabaikanku terus-menerus? Kemarin kau berusaha mengusirku dan berniat untuk menceraikanku, tapi aku tidak marah dan memaafkanmu. Tidak adakah inisiatif dalam hatimu untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan kita?"

Rey mengangkat wajahnya dan menatap Tiffany dingin. "Memangnya apa yang perlu diperbaiki? Bahkan sejak awal pernikahan kita sudah tidak sehat. Ingat, Tiffany Hong, posisimu dalam keluargaku tidak lebih dari ibu Laurent. Jadi jangan pernah mengharapkan lebih dariku. Pergilah, aku sedang sibuk."

"Kita lihat, apa kau masih bisa menolakku lagi?" Wanita itu menyeringai.

Tiffany naik ke atas pangkuan Rey dan menakup wajahnya. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan menyatukan bibirnya dengan bibir Rey, memagutnya dengan paksa dan tanpa balasan.

Dengan kasar, Rey mendorong tubuh Tiffany hingga wanita itu terjerembap ke lantai. "Kau... dalam masalah besar, Tiffany Hong." kemudian Rey beranjak dan meninggalkan Tiffany begitu saja.

Tiffany memukul lantai dengan emosi. Ia benar-benar kesal setengah mati pada pria dingin itu. Seberapa keras pun dia mencoba, tetap saja tidak bisa menggapai hatinya. Rey terlalu jauh untuk digapai.

"Omo? Apa yang sedang kau lakukan di sana? Apa Bos baru saja melemparmu dari pangkuannya? Aku tidak bisa membayangkannya. Dan di mana Bos? Apa dia sedang keluar?"

"TERUS SAJA TERTAWA, TIANG GILA! KAU FIKIR INI LUCU? KEMARI DAN BANTU AKU BERDIRI."

"Ye, kenapa malah aku yang harus membantumu? Aku tahu jika kau tidak dalam keadaan lumpuh, jadi bangun sendiri saja, oke. Karena aku di sini untuk bertemu Bos, byebye."

"TIANG GILA!"

Chan terkekeh. "Ternyata seru juga menggoda penyihir itu," ucapnya lalu melanjutkan langkahnya. Ia harus menemui Rey karena ada hal penting yang harus disampaikan padanya.

"Aisshh! Kemana perginya rusa kutub itu? Kenapa cepat sekali menghilangnya," heran Chan sambil menggaruk tengkuknya. Dari arah belakang, samar-samar Chan mendengar derap langkah kaki seseorang yang datang.

Tiffany berjalan melewatinya begitu saja sambil terus mengoceh tidak jelas, membuat Chanyeol bergidik sendiri. "Sepertinya dia baru saja kerasukan setan lantai. Ihh! Menyeramkan." Chan bergegas pergi dan melanjutkan mencari Rey.

"Kau melihat Bos?" tanya Chan pada salah satu pegawai.

"Dia baru saja pergi."

"Kau tahu mau pergi ke mana dia?" pegawai itu menggeleng.

"Aissh! Kenapa dia malah menghilang di saat-saat yang penting seperti ini," keluh Chan setengah frustrasi.

Sementara itu, mobil yang Rey kendarai terlihat melaju kencang di jalanan yang lengang. Iris abu-abunya fokus pada jalanan beraspal yang ada di depannya. Tidak terlalu banyak kendaraan karena ini masih jam kerja selain beberapa kendaraan umum.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Rey memicingkan matanya melihat siapa yang menghubunginya. "Ada apa, apa Laurent membuat masalah lagi?" tanya Rey.

"Nona muda dari pagi rewel, Tuan! Nona muda ingin diantarkan ke kantor, tapi saya tidak berani tanpa izin dari Anda."

Rey mendesah berat. "Bilang padanya untuk tidak menangis lagi, aku akan tiba di rumah dalam dua puluh menit lagi." Kemudian Rey memutuskan sambungan teleponnya begitu saja.

Rey melemparkan benda tipis itu pada jok kosong di samping kanannya. Rey menambah kecepatan pada mobilnya agar bisa segera tiba di rumah karena dia tidak ingin membuat Laurent menunggunya terlalu lama.

---

Bersambung.

INSIDEN

"PAPA..!!"

Tangis Laurent berhenti detik itu juga saat melihat kedatangan sang ayah. Gadis cantik itu berlari menghampiri Rey dan langsung memeluk kakinya. "Mereka jahat, masa iya tidak mau mengantarkanku pada Papa. Pokoknya Papa harus memecat mereka." Rey menyentil kening putrinya dengan gemas dan tersenyum tipis.

"Kau pikir Papa akan menuruti permintaanmu?" Laurent mengangguk. "Papa tidak akan memecat mereka karena mereka sudah bekerja sangat lama dan hanya mereka yang bisa Papa percayai untuk menjagamu. Sekarang kau mengerti?" Laurent mengangguk lagi.

Rey menurunkan Laurent dan mendudukkan gadis kecil itu di atas tempat tidurnya. "Pa, tumben jam segini Papa sudah pulang? Papa merindukan Laurent ya?" Rey mendengus berat.

"Papa tidak akan pulang jika kau tidak membuat masalah. Tetap di sini, Papa akan mandi dulu dan setelah ini kita jalan-jalan keluar."

"Oke, Pa."

Laurent turun dari ranjang dan berjalan menuju ruangan di mana Rey menyimpan semua barang-barangnya seperti pakaian, sepatu, serta jam tangan mahalnya. Bocah itu terlihat memilah-milah pakaian mana yang bagus untuk Rey pakai hari ini, dan pilihannya jatuh pada kemeja putih tanpa lengan dan long vest hitam berlabel Gucci.

Laurent menatap pakaian itu dengan senyum mengembang kemudian membawanya keluar. "Papa, pakai ini saja, oke." Laurent menyerahkan kemeja dan vest itu pada Rey.

Rey tidak memberikan jawaban, sebagai gantinya dia mengambil kemeja dan long vest itu kemudian memakainya.

Laurent tidak berkedip dan matanya berbinar-binar melihat betapa tampannya sang ayah dalam balutan pakaian pilihannya. Rey menggenggam jari-jari mungil Laurent dan keduanya berjalan beriringan meninggalkan kamarnya.

---

Bukan rahasia lagi jika seorang Jessica sangat payah dalam segala hal, dan salah satunya adalah memasak. Jangankan memasak, memasak air pun dia tidak bisa. Beruntung dia memiliki putra yang begitu memperhatikannya dan mengerti dirinya dengan baik.

Mungkin usianya memang baru delapan tahun, tapi Kevin sudah mahir dalam segala hal, dan salah satunya adalah memasak. Hampir setiap hari bocah laki-laki itu yang memasak untuk Jessica dan juga dirinya sendiri. Sejak kecil Kevin sudah sangat mandiri dan tidak pernah bergantung pada orang lain, termasuk pada ibunya.

Jessica sendiri adalah seorang dokter yang sangat hebat. Entah sudah berapa banyak nyawa yang berhasil selamat berkat tangan ajaibnya. Selain itu, dia sangat ramah dan rendah hati sehingga dia begitu disukai oleh para pasien dan perawat di rumah sakit tempatnya bekerja. Dan rencananya dia akan mulai bekerja lagi hari ini sebagai dokter baru di salah satu rumah sakit terkemuka di negeri ini.

"Mama tidak perlu bekerja hari ini. Aku baru saja menghubungi pihak rumah sakit dan mengatakan pada mereka jika Mama baru bisa mulai bekerja besok pagi. Dan mereka tidak mempermasalahkannya."

"Apa? Kau sungguh melakukannya dan mereka mengizinkannya?" Kevin mengangguk. "Tapi bagaimana kau melakukannya dan bagaimana mereka bisa mendengarkan bocah sepertimu?" ucap Jessica penuh keheranan.

"Mama meragukanku? Begini-begini aku jauh lebih berguna daripada dirimu. Lagipula, aku tahu jika Mama sangat kelelahan setelah perjalanan panjang kita kemarin. Sebaiknya Mama cepat bangun, ini sudah siang. Kita tidak memiliki bahan makanan apa pun, kita harus pergi berbelanja."

"Memangnya ini jam berapa?"

Jessica mengikuti arah tunjuk Kevin dan membulatkan matanya. "Jam sembilan? Ya ampun, Kevin, kenapa kau tidak membangunkan Mama dari tadi? Aissh! Bocah ini." buru-buru Jessica pergi ke kamar mandi. Sedangkan Kevin hanya bisa mendengus dan menggelengkan kepala melihat tingkah ibunya.

"Dasar kekanakan."

---

Setelah berkendara hampir tiga puluh menit, Jessica dan Kevin tiba di pusat perbelanjaan. Namun setibanya di sana, mereka langsung disuguhi pemandangan yang begitu mengerikan.

Seorang pria terlihat tak sadarkan diri dengan darah segar mengalir dari kepalanya dan menutupi sebagian wajahnya. Di sekitarnya banyak pecahan lampu kristal berserakan, serta seorang gadis kecil yang menangis di sampingnya.

"Papa bangun, Papa tidak boleh mati, Papa tidak boleh meninggalkan Laurent. Papa bangun, jangan menakuti Laurent. Papa bangun, buka matamu. Siapa pun tolong papaku." Bocah perempuan itu, yang ternyata adalah Laurent, terus menangis sambil mengguncang tubuh Rey yang sedang tak sadarkan diri.

"Tenang, Nak, ambulans akan segera tiba. Papamu pasti akan baik-baik saja," bujuk seorang wanita menenangkan.

"Papa Laurent berdarah-darah. Bagaimana jika Papa sampai mati? Laurent tidak mau kehilangan Papa! Papa bangun... buka mata Papa..."

"Mama, kenapa kau hanya diam saja? Cepat tolong pria itu," seru Kevin yang segera menyadarkan Jessica.

"Pegang tas Mama." Jessica segera membelah lautan manusia yang mengerumuni laki-laki itu.

"Permisi, permisi, tolong beri jalan, saya dokter." Satu per satu orang menyingkir dan memberikan jalan untuk Jessica.

Pertama-tama yang Jessica lakukan adalah memeriksa detak jantung dan nadinya. Kedua mata Jessica membelalak melihat adanya tanda-tanda jika laki-laki itu mengalami pneumothorax, dan hal itu terlihat saat laki-laki itu terlihat kesulitan untuk bernapas.

"Apakah di sini ada yang membawa jarum atau bolpoin?" tanya Jessica pada orang-orang yang berdiri di sekelilingnya.

"Ini, Dokter," seorang pria memberikan bolpoinnya pada Jessica.

Dia harus melakukan penanganan cepat, karena jika tidak, laki-laki ini bisa saja kehilangan nyawanya dalam beberapa menit akibat insiden tersebut.

Jessica menusukkan ujung bolpoin itu ke bagian dada, lebih tepatnya pada interkostal dua lurus mid klavikula. Sekitar dua tulang rusuk, hal itu dilakukan supaya udara yang terjebak di dalam rongga dada bisa keluar. Dan berhasil, laki-laki itu membuka kembali matanya dan bernapas sedikit tersengal-sengal.

"Anda baik-baik saja? Tuan, bisakah Anda mendengar saya? Coba Anda sebutkan angka berapa ini?" Jessica mengangkat tangannya dan menatap laki-laki itu dengan serius.

DEGG..!! 'Suara itu?' kaget laki-laki itu setelah mendengar suara Jessica yang terdengar begitu familiar.

Laki-laki itu menutup matanya dan mendesah berat. "Kau pikir aku bodoh? Jelas-jelas itu angka tiga." Jessica menghela nafas lega. "Aahhh..!" Rintihan terdengar dari sela-sela bibirnya, salah satu tangannya mencengkram kepalanya yang serasa ingin pecah ditambah lagi mata kirinya yang terus berdenyut nyeri.

Sepertinya ada pecahan dari lampu kristal yang jatuh itu masuk dan menusuk mata kirinya. Dia terluka parah demi melindungi putrinya.

"Papa, huaaaa..!!" Laurent semakin histeris dan langsung berhambur memeluk laki-laki itu yang tak lain dan tak bukan adalah Rey. "Aku pikir Papa akan mati dan meninggalkan aku sendiri. Laurent sangat-sangat takut." Tangis bocah itu kembali pecah ketika memeluk ayahnya.

"Tenanglah, Nak, Papa baik-baik saja," bisik Rey meyakinkan.

"Tuan, kita harus segera ke rumah sakit. Kau terlalu banyak kehilangan darah. Jika menunggu ambulans, itu akan terlalu lama. Aku akan mengantarkanmu." Jessica segera membantu Rey berdiri dan menuntunnya keluar.

Luka-lukanya lumayan parah dan perlu penanganan segera.

Jessica membantu Rey untuk duduk di jok belakang. Tiba-tiba Jessica merobek dressnya yang kemudian dia gunakan untuk mengikat kepala Rey yang terus mengeluarkan darah dan ikatan kain itu kemudian turun menuju mata kirinya, yang juga mengeluarkan darah.

"Kevin, kau duduk di belakang bersama paman ini dan putrinya. Bantu menekan dan mengikat luka pada lengannya."

"Oke, Mama."

---

Mereka tiba di rumah sakit dua puluh menit kemudian. Jessica mengendarai mobilnya agak sedikit ngebut, tujuannya adalah supaya Rey bisa segera mendapatkan pertolongan karena jika terus dibiarkan, dia bisa mati kehabisan darah.

Beberapa perawat langsung menyambut kedatangan mereka. Rey dibawa ke dalam dengan menggunakan kereta dorong. "Nyonya, sebaiknya Anda tunggu di luar saja. Suami Anda biar kami yang menanganinya."

"Dia bukan suamiku, tapi pasienku. Aku juga dokter di rumah sakit ini. Namaku Jessica Astoria."

"Oh, Dokter Astoria, rupanya ini Anda. Maaf, kami tidak tahu. Silakan masuk kalau begitu."

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuka ikatan pada kepala dan mata kirinya, kemudian membersihkan darah yang menutupi sebagian wajahnya. Setelah darahnya benar-benar bersih, kini Jessica dapat melihat keseluruhan wajah Rey tanpa ada yang menghalangi.

"Ada beberapa pecahan lampu yang menusuk mata kirinya. Kita harus melakukan operasi dengan segera. Siapkan peralatannya."

"Baik, Dokter."

Saat ini Jessica sibuk menjahit luka pada pelipis kanannya yang robek. Sementara para suster yang membantunya membersihkan dan mengobati luka pada lengan kiri atas serta leher dan dadanya.

Banyak pecahan lampu yang menancap di beberapa titik yang harus segera dicabut. Pekerjaan Jessica dilanjutkan dengan operasi kecil pada mata kiri Rey, dalamnya pecahan kaca lampu yang menusuk retinanya membuat Jessica merasa tidak yakin jika mata itu akan bisa berfungsi dengan baik seperti sedia kala.

Tapi apapun hasilnya nanti, setidaknya dia sudah mencoba dan bekerja dengan keras. Setelah hampir satu jam, pekerjaan para tim medis pun selesai. Perban terlihat melilit dahi Rey yang kemudian turun hingga menutupi mata kirinya. Perban juga terlihat di beberapa titik seperti leher dan lengan kiri atas.

Rey segera dipindahkan ke ruang inap, dan yang perlu Jessica lakukan sekarang adalah menemui Laurent dan mengatakan padanya bahwa papanya baik-baik saja.

---

Laurent duduk di ruang tunggu dengan mata sembab dan wajah yang penuh kekhawatiran. Kevin duduk di sampingnya, mencoba menenangkan gadis kecil itu dengan kata-kata yang menenangkan. Begitu melihat Jessica keluar dari ruang perawatan, Laurent segera berlari menghampirinya.

"Bibi Cantik, bagaimana dengan Papa? Papa baik-baik saja, kan?"

Jessica tersenyum dan mengusap kepala Laurent. "Papamu akan baik-baik saja, Nak. Dia hanya perlu istirahat dan dirawat sebentar. Kita bisa menemuinya sebentar lagi."

"Syukurlah," ucap Laurent dengan suara yang masih tersendat-sendat.

"Laurent, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah tetap tenang dan sabar, oke?" Jessica menenangkan sambil memeluk bocah itu.

Kevin yang menyaksikan semua itu merasa lega. "Mama, kita bisa pulang setelah ini?"

Jessica mengangguk. "Ya, setelah memastikan semuanya berjalan lancar, kita bisa pulang."

Laurent kembali ke tempat duduknya dengan sedikit lebih tenang. Kevin masih mengawasinya dengan penuh perhatian, memastikan gadis kecil itu tidak terlalu larut dalam kesedihannya.

---

Keesokan harinya, Rey terbangun di ranjang rumah sakit dengan kepala yang masih berbalut perban. Matanya perlahan terbuka, menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Ia melihat sekeliling dan menemukan Laurent tertidur di kursi di samping ranjangnya.

Rey mengulurkan tangan dan menyentuh lembut kepala putrinya. "Laurent, bangun," bisiknya.

Laurent terbangun dan langsung memeluk Rey dengan erat. "Papa, akhirnya Papa bangun. Laurent sangat khawatir."

Rey tersenyum lemah. "Papa baik-baik saja. Jangan khawatir, ya."

Jessica masuk ke ruangan dengan wajah yang terlihat lega. "Tuan Lu, Anda sudah bangun. Bagaimana perasaan Anda?"

"Sedikit pusing, tapi saya rasa saya akan baik-baik saja. Terima kasih, Dokter."

Jessica mengangguk. "Kami akan terus memantau kondisi Anda. Istirahatlah yang cukup dan jangan terlalu banyak bergerak dulu."

Laurent memandang Jessica dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Bibi Cantik."

Jessica tersenyum lembut. "Sama-sama, Nak. Papamu akan segera pulih. Yang penting sekarang adalah memberi dia waktu untuk istirahat."

Rey menatap Jessica dengan mata yang penuh penghargaan. "Saya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Anda, Dokter."

Jessica menggelengkan kepala. "Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya melakukan tugas saya."

Rey merasa beruntung bisa bertemu dengan Jessica dan Kevin. Meskipun keadaan yang mempertemukan mereka tidak ideal, tetapi setidaknya ia tahu bahwa ada orang-orang baik yang peduli dan siap membantu.

---

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!