Aku adalah seorang wanita karir yang sukses dalam pekerjaanku dalam dunia marketing. Tapi, semua yang telah ku raih harus ku buang jauh-jauh setelah aku memutuskan menerima lamaran dari seorang pemuda yang sudah cukup lama menjalin hubungan denganku.
Namaku Riris Sandrina, umurku baru dua puluh dua tahun ketika aku menikah.
Suamiku adalah pekerja keras yang tak mengizinkan aku untuk ikut bekerja juga. Ia adalah Yuda Adiputra. Umurnya satu tahun lebih tua dariku. Kami sama sama masih muda ketika memutuskan untuk menikah. Yuda adalah lelaki baik yang ku kenal setelah aku mengalami putus cinta. Awalnya, aku menerimanya karena kebaikannya dan lama kelamaan Yuda menjadi sosok yang selalu aku andalkan. Dia adalah lelaki yang menjadi sandaranku, aku bergantung banyak hal padanya walau itu bukan dari segi materi.
Setelah kami menikah, Yuda dan aku tinggal disebuah rumah minimalis yang kami beli menggunakan uang tabungan kami berdua. Yuda sering bekerja ke luar kota dan aku mau tak mau harus menetap seorang diri didalam rumah. Hubungan kami berawal baik, walau sebenarnya jauh dalam lubuk hatiku aku belum sepenuhnya bisa mencintai Yuda.
Hampir setahun pernikahan kami, aku mengandung dan mulai merasakan yang namanya mengidam. Yuda dengan kesabarannya selalu menjadi andalanku untuk memenuhi semua keinginan dan kebutuhanku. Ia memang lelaki yang baik tapi entah kenapa aku belum bisa sepenuhnya menerima segala sesuatu tentangnya. Entahlah. Aku merasakan kebaikannya tapi jauh didalam lubuk hatiku, Yuda seakan menyimpan sebuah rahasia besar yang tak aku ketahui dan itu bersangkutan dengan perasaannya yang sesungguhnya.
Aku menjalani masa-masa kehamilanku dengan baik, terkadang aku berkunjung kerumah orangtuaku untuk melepas rindu. Yuda tak pernah mempermasalahkan itu. Ia benar-benar menjadi menantu yang baik dan bertanggung jawab didepan kedua orangtuaku. Aku ingin berlaku demikian juga didepan orangtuanya namun sayangnya keluarga Yuda begitu tertutup walau sebenarnya aku sudah menjadi menantu bagi mereka.
Oleh karena itu pula aku sering menutup diri dan enggan untuk berkunjung kerumah orangtuanya.
"Kamu berangkat lagi?" Tanyaku ketika melihat Yuda sudah mengemasi baju-bajunya kedalam ransel dan koper kecil.
"Ya, besok aku harus berangkat ke Surabaya. Hanya beberapa hari." Ucapnya seraya memasukkan baju-bajunya.
"Berapa hari memangnya?" Tanyaku lagi.
"Delapan sampai sepuluh hari." Jawabnya datar. Ia bangkit dari duduknya menuju lemari nakas, ia mengambil Flashdisk nya dari sana untuk kebutuhan pekerjaannya.
"Terus aku sama siapa dirumah? Perut aku udah mulai besar." Aku menatap ke arahnya, berharap ia mengerti kondisiku dan membatalkan kepergiannya. Aku tahu kepergiannya ke Surabaya bisa digantikan oleh oranglain, karena beberapa kali juga dia menggantikan posisi temannya. Jadi tidak salah kan jika kali ini temannya yang menggantikan posisinya-pikirku.
"Kamu nginep dirumah mama aja, atau kamu suruh aja Ririn nginap disini nemenin kamu!" Jawab Yuda datar.
Aku mencebik, aku memang bisa saja menginap dirumah mama dan meminta Ririn, adikku untuk menginap. Tapi aku sekarang lagi hamil, terkadang aku ingin Yuda memiliki waktu luang untukku. Dia bahkan lebih lama di kota orang daripada dirumah bersamaku. Paling lama waktunya dua hari dirumah, setelah itu ia akan pergi dan terbang kemana-mana.
"Apa tidak bisa digantikan oranglain?" Tanyaku takut-takut pada suamiku itu.
"Tidak bisa, Riris! Aku harus bekerja. Aku bukan pergi bermain. Kamu pikir melahirkan anak kamu tidak butuh biaya besar nantinya!" Suara Yuda naik satu oktaf. Aku sedikit terkejut memdengarnya, semenjak dia tahu aku hamil dia memenuhi kebutuhanku dengan sabar walau terkadang ia cuek padaku. Tapi jawabannya barusan seolah ia menunjukkan ketidak-suka-an-nya pada kehamilanku. Padahal ini bukan hanya anakku tapi ini adalah darah dagingnya juga.
"Ya sudah.." Aku hanya menunduk pilu dengan hati yang bergetar mencerna ucapannya yang mengatakan 'anak kamu' padaku. Ah, bukannya ini anaknya juga? Apakah anak ini hanya anakku sendiri? Aku memutuskan bangkit dan mencoba membantunya berkemas. Tapi selalu dan selalu seperti ini. Dia, Yuda suamiku selalu tak mau barang-barangnya ku sentuh. Makanya sejak tadi ia selalu mengemas barangnya sendiri.
"Aku bisa sendiri. Nanti kamu capek. Kan lagi hamil." Ucapnya datar seraya menyindir. Selalu seperti itu, inilah sebab yang membuat aku tidak yakin dan merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ia risih padaku yang mengandung anaknya. Aku begitu mengenalnya dulu ketika berpacaran tapi sekarang aku menemukan orang yang berbeda ketika sudah berumah tangga dengannya.
Yuda melengos pergi begitu barang-barangnya telah siap. Aku penasaran apa saja yang ia kemas didalam ransel dan koper itu. Kenapa aku tak boleh menyentuh dan membantunya setiap berkemas. Aku menarik nafas panjang sembari menghembuskannya. Mencoba berpikiran positif pada suamiku itu.
"Apa ini?" Tanyaku pada diri sendiri ketika aku tak sengaja melihat secarik kertas di dekat tumpukan berkas-berkasnya. Aku membaca sekilas dan menyadari itu seperti sebuah surat perjanjian. Yuda yang baru saja kembali dari luar kamar mendadak merampas kertas yang masih ada ditanganku.
"Apa-apaan kamu! Aku sudah bilang jangan sentuh barang-barang ini. Ini semua berkas penting." Ucapnya seraya dengan cepat memasukkan kertas-kertas itu kedalam tas laptopnya yang kosong, karena laptop aslinya sudah berada dalam ransel.
Aku menatap nanar lelaki yang baru setahun belakangan menjadi suamiku itu. Ia benar-benar seperti orang lain yang tidak ku kenali.
...Bersambung......
Setelah pertengkaran malam tadi, aku tak mendapat jawaban apa-apa dari Yuda. Ia tak memberitahuku perihal surat apa yang ku temui malam tadi diantara berkas-berkasnya. Ia hanya mengatakan itu perjanjian kontrak antara ia dan klien-nya.
Aku yang memang belum membaca detail surat itu hanya bisa pasrah dan mengiyakan semua ucapan Yuda. Karena yang ku baca di surat itu hanya sampai di paragraf pertama yang menyatakan Yuda sebagai pihak pertama dan belum keseluruhan terbaca, surat itu sudah diambil Yuda secara paksa dari tanganku.
Sebenarnya aku tidak percaya begitu saja, karena sedikit banyak aku mengerti perihal surat-menyurat ketika aku masih berada didunia kerja. Tapi, aku berusaha menenangkan hatiku lagi dan menetralkan suasana karena kondisiku yang tengah mengandung tidak ingin memikirkan banyak hal. Aku mencoba melupakan kejadian itu, namun jika sampai aku mendapati sesuatu yang mencurigakan lagi dari Yuda aku pasti akan menuntut jawabannya.
Aku mengantar Yuda sampai ke Bandara hari ini, aku menyalaminya dengan takzim. Ya hidup memang harus terus berjalan, dan aku menginginkan alur hidup yang tenang-tenang saja tanpa hambatan. Aku tidak mau memikirkan hal berat yang bisa membuatku menyesal sendiri. Terutama aku tahu, orangtuaku yang tak lagi muda tak mungkin ku kecewakan dengan hal-hal remeh-temeh antara aku dan Yuda.
Aku kembali pulang menuju rumah menggunakan taxi. Tapi diperjalanan aku melihat pedagang martabak manis dan entah kenapa aku menginginkan untuk mencicipi martabak itu. Mungkin karena bawaan badan yang tengah hamil atau memang aku sudah lama tak memakannya. Aku meminta supir taxi untuk berhenti dan mendatangi pedagang martabak itu.
Aku ingin memesan menu martabak sesuai seleraku tapi suara seorang lelaki benar-benar membuatku terkejut.
"Martabak pandannya satu porsi, coklatnya dibanyakin, Kejunya sedikit aja ditaburin diatas coklat dan jangan pakai kacang." Ucap lelaki itu yang membuatku menoleh. Bukan hanya suaranya yang familiar tapi pesanannya persis seperti seleraku. Aku terperangah ketika menatap wajah itu.
deg!
"Andre?" Ucapku spontan dan lelaki itu mengangguk sambil tersenyum.
Andre adalah mantan kekasihku dulu. Karena patah hati terhadapnya-lah aku memutuskan menerima cinta Yuda pada masa lalu sebagai pelampiasan. Hingga kini, sosok Andre tetaplah yang memegang bendera kemenangan dalam hatiku. Tapi, mengingat hubungan kami yang tidak bisa dilanjutkan, membuat kami berdua sepakat untuk mengakhiri semuanya. Dan itu cukup membuatku patah hati teramat dalam walau aku tidak tahu apakah Andre juga merasakan hal yang sama juga atau tidak. Ia tampak baik dan semakin sukses setelah tidak bersamaku. Entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Andrian Dinata, adalah anak bungsu dari keluarga konglomerat. Semua keluarganya terdidik dan berpendidikan tinggi. Aku hanya secuil kisah yang hinggap dimasa lalunya. Ku pikir, aku tidak cukup berarti untuk lelaki kaya ini.
"Selera kamu masih sama kayak dulu kan?" Tanyanya balik dan aku mengangguk pelan.
"Apa kabar?" Tanyanya menatap ke arahku. Aku sedikit kikuk menjawab pertanyaan lelaki dihadapanku ini.
"A-aku baik." Ucapku sedikit ragu. Baru beberapa pertanyaan yang terlontar, aku melihat seorang wanita cantik masuk kedalam kedai martabak.
"Udah kamu bilangin pesanan aku, sayang?" Tanya wanita itu manja seraya mengapit pergelangan tangan Andre. Andre tersenyum kikuk sembari menggosok tengkuknya sendiri.
"Ah, Aku lupa..Tadi pesanan kamu rasa apa?" Tanya Andre menatap wanita cantik nan seksi itu. Dari gayanya, aku bisa menilai semuanya adalah barang-barang mahal. Dan jawaban Andre padanya membuatku sedikit besar kepala.
"Andre..Andre... bisa-bisanya kamu lupa pesanan dia yang baru beberapa menit lalu bersamamu dan malah mengingat seleraku!" Batinku terkekeh miris.
Aku hanya tersenyum menatap keduanya yang sedikit berdebat kecil. Lalu aku mengambil pesanan martabakku yang sudah siap dibuatkan, lebih tepatnya itu adalah pesanan yang Andre pesankan untukku.
"Aku duluan, Ndre.." Ucapku mencoba ramah dan sedikit berbasa-basi. Ku lirik wanita yang berdiri disamping Andre menatap tajam ke arahku dan aku tak mempedulikannya. Sekali lagi ku katakan aku hanya ingin hidup tenang dan mengikuti alur hidup. Walau dihatiku nama Andre masih bercokol, aku tidak berniat untuk merebut dan direbut dari siapapun. Bagiku hidupku yang sekarang sudah baik-baik saja dan aku tidak mau mencari masalah.
Andre tertegun menatap kepergianku dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi diantara mereka setelah aku pergi.
Aku kembali menaiki taxi dan meminta supir mengantarku pulang kerumah.
____
Aku menatap jam di dinding kamar, terlihat sekali waktu enggan untuk bersahabat. Aku berada dirumah sendirian malam ini. Mama memintaku untuk menginap dirumahnya tapi aku urung. Entah kenapa sekarang aku lebih nyaman berada dirumahku sendiri padahal rumah mama adalah rumah yang ku tempati sedari kecil. Ririn adikku pun tak bisa menginap disini karena ia akan ada seminar besok pagi-pagi sekali dan kampusnya lebih dekat ditempuh dari rumah mama dibanding dari rumahku ini.
Aku benar-benar merasa kesepian sekarang, aku beberapa kali mengirimi Yuda pesan tapi selalu Yuda telat untuk membalas pesanku.
"Seharusnya kamu membalas pesanku. Ini sudah jam pulang kerja kan? Apa kamu masih bekerja di jam segini?" Ucapku seorang diri sambil melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 9 malam.
Aku memutuskan membaca novel untuk melupakan perihal Yuda. Aku membuka dan mengotak-atik ponsel untuk mengisi waktu yang kosong dan terasa tak bergerak. Tiba-tiba ponselku itu berdering dan ku lihat nomor yang menelpon tidak ada di daftar kontak.
"Hallo, Riris?" Aku tersentak kaget mendengar suara dari seberang panggilan. Apakah aku tidak salah mendengar? Karena aku cukup mengenali suara ini.
...Bersambung......
"Hallo, Riris?" Aku tersentak kaget mendengar suara dari seberang panggilan. Apakah aku tidak salah mendengar? Karena aku cukup mengenali suara ini.
"Siapa?" Tanyaku, sebenarnya aku ingin memastikan jika dugaanku salah.
"Andre, Ris." Ucapnya dari seberang sana. Dugaanku ternyata benar, itu suara Andre yang sangat ku kenali.
"Ada apa, Ndre?" Tanyaku mencoba berpikir positif karena aku selalu begitu dan tak mau hidup dengan kerumitan.
"Bisa kita bertemu?" Suara lembut yang selalu menggetarkan hatiku bahkan hingga detik ini. Aku tidak tahu alasan Andre mengajakku bertemu, kami sudah berpisah cukup lama. Lima tahun. Dan pertemuan di kedai martabak siang tadi adalah pertemuan kembali sejak statusku sebagai istri dari Yuda Adiputra. Aku tahu Andre juga sudah mengetahui jika aku sekarang seorang istri tapi aku tidak yakin dia menyadari jika aku sedang mengandung. Entah apa maksudnya dia mengajakku bertemu lagi sekarang.
Aku menggeleng walau ku tahu Andre tak akan melihatnya. "Aku nggak bisa. Jika ada yang penting bilang sekarang aja." Ucapku mengelak. Terdengar Andre menghembuskan nafas panjang dari seberang sana.
"Baiklah, Ris. Aku hargai keputusanmu. Sebenarnya tidak ada yang penting, hanya saja... Ah sudahlah." Ucapnya tak ingin membahas lagi.
"Ya udah, aku putus panggilannya." Ucapku dengan berat hati. Bagaimanapun aku sudah memiliki suami sekarang, aku harus menghargai Yuda untuk sekian banyak alasan yang ku buat-buat.
"Ah ya, kamu dapat nomorku darimana?" Pertanyaan yang seharusnya tak perlu ku lontarkan karena Andre akan mengetahui nomorku dengan mudah hanya dengan menjentikkan jari.
"Aku memang sengaja mencarinya." Jawab lelaki itu disertai kekehan kecil diujung kalimatnya. "Ya sudah, tutup teleponnya." Pintanya, walau sebenarnya bisa saja ia yang lebih dulu menutup panggilan itu.
"Emm, Ndre...?" Aku memanggilnya lagi.
"Iya, Ris?" Entah kenapa aku mendengar nada riang dari sahutannya itu.
"Jangan hubungi nomorku lagi. Aku minta maaf, ini untuk menjaga perasaan suamiku." Ucapku dengan tegas.
"Baiklah." Andre mengiyakan dengan nada lesu di kalimatnya dan aku pun menekan icon merah di layar ponsel. Ku perhatikan lagi nomor yang masih tertera dilayar ponselku itu, semenit berfikir aku memutuskan menghapus nomor itu daripada menyimpannya.
Itu adalah saat terakhir aku mendengar suara Andre, karena sejak saat itu aku fokus untuk bisa melupakan dia dan memilih untuk menjalani hari tenangku bersama suami dan calon anak yang ada dalam kandunganku ini.
____
Empat bulan kemudian.
Hari yang mendebarkan untukku telah tiba. Aku menuju detik-detik paling menakutkan dalam hidupku. Aku akan melahirkan anak pertamaku. Takut adalah hal pertama yang kurasakan. Tapi inilah hal yang mau tak mau harus ku jalani. Aku ikhlas dan ada rasa bahagia tak terbendung didalam sukmaku, karena sebentar lagi aku akan melahirkan anak untuk suamiku, Yuda.
Aku bersyukur, seiring berjalannya waktu. Sifat suamiku itu berangsur-angsur mulai kembali membaik. Ia mulai mempedulikan kehamilanku dan ia mulai menerima kehamilanku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya seantusias ini menyambut kelahiran bayi kami. Tapi aku bahagia jika dia akan menyayangi anak yang ku lahirkan. Bagaimanapun juga memang anak ini adalah darah dagingnya.
Setelah melalui drama panjang proses melahirkan, akhirnya bayi kami lahir. Seorang bayi kecil berjenis kelaminn perempuan. Kami sepakat memberinya nama Aurora. Aurora bayi mungil yang ku lahirkan secara normal dan penuh kesakitan. Tapi melihat wajahnya yang cantik semua kesakitan yang kurasakan seakan hilang dan lenyap entah kemana.
Perasaan lega menjalar dihatiku setelah melahirkan Aurora. Setelah menjalani perawatan beberapa hari dan terus ditemani oleh Yuda, aku memutuskan untuk pulang kerumah kami.
Dirumah, Yuda melayaniku dengan baik. Semua kebutuhanku dan Aurora dia penuhi dan dia melakukan banyak hal yang biasanya menjadi kebiasaanku seperti memasak dan mencuci. Perlahan-lahan aku mulai merasakan kebahagiaan kecil melingkupi keluarga kami. Aku mulai melupakan masa lalu yang sulit ku lupakan dan aku mulai menerima semua yang sudah digariskan Tuhan untuk hidupku.
___
"Nda, Ola mam.. Ola mam.." Ucap Putriku, Aurora yang sudah mulai pandai berbicara. Umurnya hampir genap dua tahun.
"Sebentar ya, Bunda ambilkan nasinya dulu buat Ola." Ucapku sambil tersenyum ke arah gadis kecil berkulit putih itu. Aku mulai menyuapi Ola makan. Ya begitulah kami memanggil Aurora--Ola. Ola makan dengan lahap sambil menonton kartun favoritnya di televisi.
"Kamu mau berangkat lagi?" Tanyaku pada suamiku seraya tetap menyuapi Ola makan.
Yuda mengangguk. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun padanya semenjak kelahiran Ola kurang lebih dua tahun silam. Tak ada tanda-tanda mencurigakan dan aku tak mau mengisi perasaanku dengan tuduhan-tuduhan yang akan melukai diriku sendiri walaupun terkadang Yuda bersikap dingin dan sulit untuk ku tebak. Yuda memang selalu terlihat misterius dan aku tak bisa menjangkau apa yang ia sembunyikan dari diriku. Entahlah.
"Aku pulang bulan depan." Ucapnya tanpa ku tanya. Aku menatapnya heran. Sudah lama ia tak pergi selama itu. Biasanya ia hanya pergi dua atau tiga hari saja. Paling lama juga sepuluh hari, itupun sudah lama sekali sebelum Ola lahir.
"Ini masih awal bulan, kalau kamu pulang bulan depan berarti kamu pergi sebulan penuh dong." Ucapku dan suamiku Yuda mengangguk lagi.
"Kenapa lama sekali? Tumben." Ucapku datar sekaligus protes.
"Ya mana aku tahu, aku kan cuma ngikut prosedur kerja." Ucapnya membela diri. Aku berdecak dan memutuskan diam karena tak mau ada perdebatan terlebih didepan anak kami.
Tak menunggu lama, Yuda menyelesaikan semua urusannya dengan barang-barangnya lalu beranjak pergi. Ia mengulurkan tangan untuk ku salami dan tak minta ku antar ke Bandara seperti biasanya. Biasanya, jika keluar kota ia meminta aku untuk ikut mengantar walau dia pergi sehari atau dua hari. Tapi sudah hampir sebulan belakangan ini tidak pernah lagi. Aku menanyakan tapi dia beralasan takut aku lelah.
"Kamu tidak mau kami antar?"
"Tidak usah."
"Kenapa?"
"Nanti kamu lelah. Jaga saja Ola dirumah."
Aku merasa sikapnya kembali berubah dingin dan karena malas berdebat, aku mengiyakan saja dan Yuda pun berangkat pergi.
Aku kembali melakukan aktifitasku seperti biasa, Ola bermain boneka di ruang tv. Ketika aku hendak berberes rumah, aku melihat laptop milik suamiku tertinggal. Dengan rasa penasaran, aku mencoba mengecek isi laptop itu.
Baru saja aku membuka laptop milik suamiku, aku melihat fotonya dengan seorang wanita yang menjadi wallpaper laptop. Perasaanku berkecamuk, aku terlalu naif selama ini karena mengira rumah tangga kami baik-baik saja. Semenit terpaku didepan laptop, pintu rumahku yang tertutup tiba-tiba terbuka dari luar dan Yuda menatapku dan laptop ditanganku secara bergantian. Ia menatapku dengan tatapan murka.
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!