NovelToon NovelToon

Balada Istri Pertama

Petir di tengah Malam

"Aku menikah lagi!" kata Andre dengan santainya.

Meski kalimat itu diucapkan dengan nada santai namun di telingaku bagaikan suara petir dan guruh yang saling bersahutan.

"Ba.. bagaimana bisa?" kataku tergagap. Aku kaget dan sedih. Hatiku sangat sakit.

"Ya.. semuanya kan ada sebab akibatnya. Kamu dulu kan sering menolak saat aku ajak bercinta ya sebagai laki-laki aku butuh, jadi aku menikah lagi.'

Apa? Hanya itu alasannya.

" Mas, aku sering menolak itu dulu. bukankah belakangan aku tidak pernah menolak ajakanmu. Bahkan aku sering menawarkan diriku padamu. Justru kau yang mengabaikanku!!" jawabanku setengah berteriak menumpahkan segala sesak yang ada di hatiku.

Mas Andre diam.

"Apa ini pembalasan karena sikapku dulu, Mas? Kau ingin menghukumku?"

"Aku ingin punya anak!" Mas Andre mengutarakan alasannya yang lain.

"Kau pikir aku tidak ingin punya anak mas? Dokter bilang aku tidak mandul. Aku sehat. Kalau sampai sekarang kita belum dikarunia keturunan, itu bukan salahku, mas." aku mulai terisak.

Bukankah kau yang bermasalah mas, kenapa aku yang kau hukum.

"Kau juga terlalu pilih kasih. Kau lebih mementingkan Ryan daripada aku. Kau selalu membelikan makanan yang enak enak buat dirinya, tapi tidak buatku."

"Apa, Mas? Bukankah setiap beli aku juga selalu membelikanmu? Dan selama ini aku berpikir, kau dan aku adalah orang tuanya, meski hanya orang tua angkat, kupikir kau rela berkorban untuknya, sama dengan aku." Aku mulai tergugu. Tangisku pecah.

"Ini balasanmu mas, setelah semua yang aku lakukan untukmu. Begini balasanmu padaku. Baiklah kalau memang begitu, lebih baik kita cerai saja." kataku sambil berdiri hendak meninggalkan mas Andre.

Mas Andre ikut berdiri lalu memelukku dari belakang.

"Tidak! Aku tidak ada keinginan untuk tuk menceraikanmu."

"Lalu apa maumu mas?" tanyaku dengan suara lemah karena tangisku kian kuat.

"Tolong aku... kita coba hidup bertiga ya.. kumohon terimalah dia sebagai istri kedua ku!" pinta Mas Andre.

Hatiku kian hancur. Kupikir ia tidak mau cerai karena akan meninggalkan wanita itu, namun ia ingin agar aku bersedia dipoligami. Seumur hidupku tidak pernah terbayangkan akan dipoligami. Selama ini i aku memandang suamiku sebagai laki-laki setia.

Dia memang banyak kekurangan, tapi di mataku dia adalah pria baik.

Aku terduduk lemas.

"Siapa dia?"

Mas Andre ikut duduk.

"Dia orang dari kota ini juga."

"Dimana kalian bertemu?" tanyaku. Nggak mungkin ia rekan kerja karena yang ku tahu rekan kerja Mas Andre semuanya adalah pria.

"Di Klub." jawabnya.

Ah ya aku lupa. Klub atau perkumpulan itu.

Aku diam. Dulu aku sering menemaninya kumpul kumpul dengan teman temannya di klub itu. Namun lambat laun aku merasa tidak nyaman. Akhirnya aku menarik diri. Rasa tidak nyaman ku muncul tatkala aku melihat betapa pergaulan di klub itu sudah tidak sehat. Laki dan perempuan berbaur dan saling bercanda tanpa ada batas batas mana mahram mana bukan. Itu juga yang membuatku sering bersitegang dengan mas Andre. Kegiatannya di klub itu.

"Dia anggota klub?" tanyaku dengan nada putus asa.

"Bukan. Ia hanya pengunjung. Aku membantunya saat ia mengalami kesulitan."

"Dan akhirnya kalian intens berhubungan, kan? Mas tahukah bahwa kau sudah selingkuh. Mungkin sekarang hubungan kalian halal. Tapi sebelumnya kalian sudah selingkuh. Astaghfirullah, mas. Sudah berapa kali aku bilang, jangan ber chat yang intens dengan wanita yang bukan mahrammu. Inilah yang aku takutkan." kembali aku menangis. Sakit sekali rasanya.

Mas Andre memelukku. Alih alih ia minta maaf ia justru kembali memohon agar aku menerima wanita itu.

"Dia orang baik. Dia mirip kamu. Dia juga nggak suka kegiatanku di klub. Sama seperti kamu."

"Kalau yang ada di dirinya ada di diriku, buat apa mas menikahinya." raungku sedih.

Mas Andre melepaskan dekapannya pada tubuhku. Wajahnya berubah.

"Semua kan ada sebab akibatnya." katanya kemudian.

Aku tahu, ia menyalahkanku. Ia ingin bilang semua ini terjadi karena salahku sendiri.

"Telpon dia mas!"

"Untuk apa?"

"Aku ingin bicara dengannya."

"Bicara apa?"

"Ya bicara sesama wanita. Kau memintaku menerima orang yang aku sama sekali tidak kenal. Telpon dia mas!" kataku memaksa.

Mas Andre akhirnya menelpon wanita itu.

"Hallo." suara wanita terdengar mengangkat telpon. Suara yang entah mengapa aku merasa kalau wanita ini jahat. Di lihat dari suaranya.

"Umi, istriku mau bicara." kata Mas Andre.

Umi.. Mas Andre memanggilnya Umik.

"Untuk apa, Bi? Nanti dia menghinaku." balas si wanita.

Oh mereka memanggil umi dan abi.

"Aku bukan orang seperti itu mbak." aku menyahut karena Mas Andre meloud panggilan itu. Mas Andre menyerahkan ponselnya padaku.

"Mbak aku istri Mas Andre." kataku menyapa sambil menguatkan hati.

"Ya." jawabnya jutek.

"Mbak kenapa mbak mau dinikahi Mas Andre?" tanyaku memancing.

"Kenapa nggak? Saya wanita single, dan laki-laki kan boleh menikah lebih dari satu." jawabnya enteng.

Jleb... hatiku bagai tertusuk beribu ribu pisau. Wanita seperti ini yang kau bilang baik mas. Wanita yang tega menyakiti wanita lainnya.

"Salah sendiri kamu nggak bisa merawat suamimu, jangan salahkan dia kalau mencari istri lagi. Makanya kalau punya suami itu di perhatikan, jangan gila kerja. Meski banyak kerjaan, tapi tetap suami itu diperhatikan." panjang lebar wanita itu menceramahiku.

Ya Allah... darimana ia punya pikiran seperti itu. Mas Andre kah yang bilang kalau aku tidak memperhatikannya. Tega kau Mas. Kau suamiku. kau laksana baju bagiku. Penutup aibku. Tapi kau juga yang membukanya.

Dari percakapan singkat ku dengan istri kedua suamiku, aku tahu. Hubungan mereka berawal dari saling curhat. Suamiku curhat padanya tentang ketidakpuasan dirinya atas sikapku.

Hatiku remuk. Lima belas tahun aku mendampinginya tanpa menuntut apapun padanya, seperti ini balasan yang aku terima.

Aku berdiri dan meninggalkan Mas Andre sendirian di kamar.

"Dik, mau kemana?" tanyanya.

"Biarkan aku sendiri, Mas. Aku butuh sendiri." jawabku. Aku pergi ke kamar anakku. Ia sedang tidur. Ku belai kepalanya. Air mataku berderai tanpa bisa ku bendung.

Rupanya isakanku membangunkannya.

"Bunda kenapa?" tanyanya sambil tangannya berusaha menghapus air mataku.

"Bunda kangen sama adik. Bunda sayang adik." jawabku sambil memeluknya. Ia menepuk punggungku seolah berusaha menenangkan diriku.

Ya Allah, kuatkan hamba. Beri hamba petunjuk.

Ryan, anakku, kembali melanjutkan tidurnya. Aku berbaring di sisinya sambil. menatap langit langit kamar. Teringat semua perjalanan rumah tangga ku.

Apakah semuanya memang harus berakhir di sini Ya Rabb. Lima belas tahun, apakah rumah tanggaku hanya berumur lima belas tahun. Sepertinya tidak ada masalah berat selama ini Ya Rabb. Kenapa tiba-tiba ini terjadi.

Aku bangkit lalu berjalan keluar untuk mengambil wudhu. Ku tunaikan sholat dua rakaat lalu ku curhatkan semua pa Rabbku. Ku tumpahkan airmataku. Aku menangis sejadi-jadinya di atas sajadah.

Ya Rabb... apa maumu padaku.

...🍃🍃🍃...

Ini episode pertama. Semoga bisa masuk di hati pembaca sekalian. Kritik dan saran kirim di grub chat ya. Gabung saja....

Bimbang dan Bingung

Malam hari aku bangun untuk mempersiapkan makan sahur. Ya saat ini adalah bulan Ramadhan. Kami sedang menjalankan ibadah puasa

Aku membangunkan mas Andre. Biasanya ia akan melaksanakan sholat tahajud sebelum makan sahur, begitupun aku.

Kuhamparkan sajadah ku. Aku melaksanakan sholat dengan konsentrasi penuh kepada Rabbku. Selesai sholat aku tumpahkan semuanya dalam doaku. Kusampaikan rasa sakit di hatiku ini kepadaNya.

"Dik!" panggil Mas Andre. Aku segera menyudahi doaku.

"Iya Mas?!" tanyaku sambil. membuka mukena.

Ia mendekat, "Jangan minta cerai, ya!" pintanya.

Aku diam. Jujur pikiranku kosong. Jika menuruti kata hati, aku ingin pisah. Aku merasa sudah tidak ada harapan lagi hidup bahagia bersama Mas Andre. Bagaimana aku bisa bahagia kalau dalam hati dan kehidupan Mas Andre ada wanita lain.

"Kita makan sahur, Mas. Aku akan membangunkan Ryan." jawabku tanpa menghiraukan permintaan Mas Andre.

Aku pergi ke kamar Ryan dan membangunkannya. Kami bertiga makan sahur dalam diam, hanya Ryan yang sesekali berbicara dan Mas Andre menimpali perkataan Ryan. Sesekali mas Andre mencoba melemparkan pertanyaan Ryan kepadaku, tapi aku hanya diam. Masih terngiang suara wanita itu yang menyalahkan ku atas perselingkuhan mereka. Tak terasa airmataku menetes.

Aku segera menghapusnya, takut Ryan melihat kesedihanku.

Selesai makan sahur, Mas Andre mengajak Ryan bersiap pergi ke masjid u tuk melaksanakan sholat Subuh.

"Bunda nggak ikut?" tanya Ryan.

"Bunda sholat di rumah saja." jawabku sambil mengelus kepala anakku itu.

Merekapun berangkat. Aku masuk ke kamar dan bersiap untuk melaksanakan sholat Subuh. Sambil menunggu adzan, kupakai untuk berdzikir. Namun aku tidak bisa konsentrasi.

Akhirnya aku berkeluh kesah pada Rabbku.

"Ya Allah, jika ini adalah hukuman atas semua dosa hamba, maka ampunilah dosa-dosa hamba. Jika ini adalah teguran atas kelalaian hamba dalam beribadah, maka tolong hamba agar hamba bisa lebih mendekat kepadaMu. Namun jika ini ujian untuk meningkatkan derajat hamba, kuatkan hamba agar hamba mampu melewatinya sesuai dengan perintahmu." ucapku dalam tangis.

"Ya Rabb, aku tahu kau tidak membuat ujian untuk menyengsarakan hamba hambaMu, karena rahmad dan kasih sayangMu mendahului murkaMu."

Airmata semakin deras.

"Ya Rabb, jika perjodohan kami sampai di sini, sesungguhnya Engkau lebih tahu daripada hamba, maka pisahkan kami dengan cara yang baik Ya Allah."

Tubuhku bergetar hebat selesai aku mengucapkan kalimat itu. Seakan bendungan yang jebol, air mataku membuncah keluar. Aku tersungkur bersujud. Dalam pikiranku aku sedang bersujud di hadapan Rabbku yang Maha Pengasih.

"Jangan tinggalkan hamba, Ya Rabb." rintihku dalam tangis.

Selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku sadar, tanganku sudah terpasang selang infus. Mata berputar memandang sekeliling. Aku melihat Mas Andre tertidur di kursi di samping ranjangku.

"Mas!" panggil ku dengan suara serak.

Mas Andre tidak mendengar karena tidurnya yang sangat lelap. Aku berusaha bangkit. Tenggorokan ku terasa kering. Ku lihat ada gelas berisi air di meja samping ranjang. Aku ingin minum tapi ingat sedang puasa. Saat mataku melihat cairan infus, aku jadi sadar kalau puasaku sudah batal.

Akhirnya aku berusaha meraihnya, namun gagal dan justru gelasnya jatuh.

Mas Andre kaget oleh suara berisik yang timbul karena gelas yang jatuh.

"Dik, kau sudah sadar?" ia bangkit dan mendekatiku.

"Mas, kenapa aku diinfus?"

"Kamu pingsan. Lama nggak sadar. Jadi aku khawatir. Aku memanggil. perawat untuk memberimu cairan infus."

Aku pingsan. Hal yang kuingat terakhir kali adalah aku sedang bersujud.

"Oh.. aku belum sholat subuh." gumamku. "Mas, aku mau sholat subuh dulu."

"Dik, ini sudah jam tujuh lebih." jawab Mas Andre.

"Nggak Mas. Aku harus sholat. Toh tadi aku meninggalkan sholat karena pingsan bukan karena sengaja. Jadi nggak papa aku sholat sekarang." Aku bangkit lalu dengan dibantu Mas Andre aku mencoba berwudhu sebisaku. Setelah itu aku sholat sambil duduk di ranjang.

Saat aku melepas mukena selesai sholat, Mas Andre datang sambil membawa makanan.

"Dik, kamu makan dulu. Kata perawat tadi kamu sementara makan bubur dulu." Mas Andre menyerahkan bubur yang ia bawa ke atas pangkuanku lalu mengambilnya lagi.

"Aku suapin saja ya?" kata Mas Andre dan mulai menyuapiku.

"Aku bisa makan sendiri, Mas."

Aku mengambil bubur dari tangan Mas Andre dan mulai memakannya. Entahlah, aku merasa sakit diperhatikan oleh Mas Andre. Aku merasa ia melakukannya dengan terpaksa.

Tiga hari aku di rawat karena asam lambung ku yang tiba tiba tinggi. Selama sakit ponselku terus berdering. Teman-teman kerjaku terus menanyakan keadaanku. Ada rasa bahagia menerima perhatian dari mereka.

Pada hari ke empat aku diijinkan pulang. Keesokan harinya Mas Andre pamit karena sudah saatnya ia kerja.

"Dua hari ini aku nggak pulang ya, aku pulang di dia." pamit Mas Andre tanpa beban.

Aku diam tak menjawab. Hatiku sangat sakit. Tanganku mengepal kuat menguatkan diriku.

Sepeninggal Mas Andre, aku kembali menangis. Aku benar-benar bingung apa yang harus aku lakukan. Aku ingin berteriak dan menjerit minta tolong. Tapi percuma, selain Dia tidak ada yang bisa menolongku.

Tapi pertolonganNya juga tidak datang secara Sim salabim. Semua butuh waktu. Apa aku sanggup menunggu waktu itu tiba.

Dua hari kemudian Mas Andre pulang. Pagi ia datang dan langsung mengajak Ryan jalan jalan pagi. Sedangkan aku berangkat bekerja seperti biasa.

Malam harinya, aku mencoba membicarakan masalah kami lagi. Aku menanyakan kepada Mas Andre, sebenarnya apa yang membuat dia nekat menikah lagi bahkan tanpa ijin ku.

"Bersamanya aku merasa sebagai laki-laki. Dia wanita baik. Ilmu agamanya juga baik." jawabnya dengan santai.

Ya Allah, apa selama menjadi suamiku, Mas Andre tidak merasa sebagai laki-laki. Tapi kenapa Apa karena ia membantuku mencuci pakaian. Bukankah itu komitment kami dari awal menikah bahwa kami bagi tugas. Lalu, dia bilang wanita itu wanita baik. Apa aku bukan wanita baik.

Dia juga bilang ilmu agamanya bagus,. Ya Allah, aku ingat sekali apa jawaban Mas Andre saat aku mengingatkan untuk. mengurangi chat dengan wanita yang bukan mahram. Saat itu ia bilang kalau ilmu agamaku nanggung, jadi jangan sok menasehati.

Hatiku hancur. Aku benar-benar merasa kalah. Pengabdian ku selama lima belas tahun, dikalahkan oleh seorang wanita yang batu setahun ia kenal.

Kutinggalkan Mas Andre. Aku kembali ke tempat sholat.

Aku sholat dua rokaat untuk menenangkan diri. Ku tumpahkan semua yang aku rasakan kepadaNya.

"Ya Allah, ijinkan aku berbicara dengan seseorang. Dan ku mohon, jadikan orang itu saranamu untuk menolongku. Tunjukkan siapa orang itu, Ya Rabb." rintihku dalam doa.

Selesai berdoa aku merebahkan tubuhku di atas sajadah. Aku enggan kembali ke kamar dan melihat Mas Andre.

Aku tertidur. Dalam tidurku aku melihat adikku. Ia tersenyum dan merentangkan tangannya lalu memelukku.

"Sabar, mbak." bisiknya menenangkan.

...🍃🍃🍃...

Alhamdulillah

jangan lupa jejaknya ya readers

Secercah Cahaya

Aku memutuskan untuk untuk mengunjungi rumah adikku. Mimpi semalam kuanggap pertanda agar aku curhat ke adikku.

"Assalamu'alaikum!" aku mengetuk pintu rumah adikku dan mengucap salam.

"Waalaikumsalam!" sosok adikku muncul dari balik pintu. Wajahnya mengurai senyum. Hatiku seketika teduh melihat senyuman itu. Dia adikku namun ia selalu bersikap dewasa melebihi aku. Segera aku menghambur dan memeluk nya. Aku tak kuasa menyembunyikan kesedihan ku. Tangisku pecah begitu saja.

"Ada apa mbak?Istighfar!" gumam adikku sambil mengelus punggungku. "Masuk dan duduk yuk!" ajaknya kemudian.

Aku membiarkan dia membimbingku menuju sofa. Setelah kami duduk aku mulai menceritakan masalahku. Adikku mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tangannya menggenggam erat tanganku. Aku bisa merasakan ia turut sedih melihat nasibku.

"Sekarang apa yang akan mbak lakukan?" tanya adikku dengan suara serak. Aku tahu ia menahan tangis. Ia tidak mau menunjukkan kesedihannya melihat ku terpuruk begini.

"Mbak bingung dik. Jika mbak memutuskan berpisah, mbak akan kehilangan Ryan. Apalagi mas Andre bilang meski mbak mengurus cerai, ia tidak akan mengucapkan talaknya."

"Mbak.. ada sebuah cerita. Mbak mau dengar nggak?"

Aku mengangguk.

"Ada seorang wanita datang ke seorang ulama. Wanita itu menceritakan bagaimana keseharian suaminya yang membuatnya kesal dan memutuskan akan bercerai. Suaminya itu sehari-hati kerjaannya hanya bermain ponsel dan sama sekali tidak mau membantunya mengurus baik rumah maupun anak anaknya. Wanita itu tidak tahan dan memutuskan akan menggugat cerai. Mbak tahu apa yang dikatakan sang ulama?"

Aku menggeleng dan menatap penasaran menuntut adikku menyelesaikan ceritanya.

"Ulama tersebut bertanya pada si wanita tentang apa fungsi primer seorang suami? Wanita itu menjawab bahwa suami itu pemimpin keluarga, jadi harus bertanggung jawab terhadap keluarga. Tapi ternyata jawaban wanita itu salah, menurut sang ulama fungsi utama dan pokok dari seorang suami adalah ia akan menjadi tameng kita dari api neraka. Apapun yang suami lakukan jangan mengeluh, asalkan ia ridlo pada apa yang kita lakukan, maka surgalah tempat kita. Memang kedengarannya tidak adil. Suami boleh berbuat semaunya sedang kita wanita harus berjuang keras meraih ridlo suami kita. Tapi mbak jangan lupakan satu hal, kita ini amanah yang dititipkan Allah pada suami kita. Yang namanya amanah kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Jadi intinya, kita lakukan saja tugas kita sebagai istri sebaik-baiknya, raih ridlo suami. Perkara suami, biar Allah yang mengurusnya."

Aku diam mencerna semua ucapan adikku. "Jadi menurutmu aku harus menerima keputusan Mas Andre dan menjalani hidup poligami ini?"

"Mbak, keputusan ada di tangan Mbak. Aku akan mendukung apapun keputusan Mbak. Jika mbak bisa dan kuat menjalaninya, silahkan. Tapi jika mbak tidak sanggup, aku tetap akan mendukung mbak. Aku tidak bisa memutuskan apa yang baik dan tidak baik buat mbak. Tanyakan pada Allah dan diri mbak sendiri." Adikku kembali menggenggam tanganku.

"Lagipula Allah tidak akan memberi mbak cobaan ini jika mbak tidak mampu. Saat ini mungkin berat bagi mbak, karena mbak masih terkejut dan tidak menyangka kalau mas Andre yang taat beribadah itu mampu berselingkuh. Tapi dia juga manusia biasa mbak. Apalagi lingkungan mendukung untuk itu. Ini bukan hanya cobaan mbak, tapi sebenarnya ujian buat mas Andre. Dan ia gagal menjaga kesetiaannya. Poligami memang disyariahkan dan islam mbak. Tapi tidak dengan cara yang batil. Menurut mas Andre, yang ia lakukan adalah proses menuju poligami. Tapi siapapun akan bilang kalau dia sudah selingkuh sebelum memutuskan menikahi wanita itu. Jadi biarkan Allah yang meminta pertanggungjawabannya kelak. Mbak nggak usah memikirkan itu."

Mendengar nasehat adikku hatiku sedikit tenang. Adikku benar, apakah arti tuntutan dan balasanku dibanding tuntutan dan balasan dari Allah.

"Mbak  puasa?" pertanyaan adikku mengagetkan ku.

"Belum." jawabku jujur.

"Kalau begitu ayo kita sarapan. Tadi aku juga belum sempat sarapan.Aku juga lagi libur"

"Suamimu sudah berangkat kerja?"

Adikku mengangguk. "Hari ini banyak barang datang. Ia sengaja berangkat pagi-pagi sekali."

Aku tersenyum. Suami adikku ini bekerja sebagai tukang panggul barang. Ia akan mengangkat dan menurunkan barang. Sedangkan adikku punya usaha loundry di rumah. Kehidupan mereka sederhana. Tapi tentram.

"Aku bangga padamu dik. Kamu bisa mewujudkan rumah tangga yang tentram." kataku sambil duduk di meja makan. Adikku tersenyum

"Kami tidak punya banyak keinginan mbak. Kami selalu memohon agar keinginan Allahlah yang menjadi keinginan kami."

Aku mengangguk beberapa kali. "Kamu beruntung memiliki suami seperti Arif."

"Alhamdulillah, mbak. Mbak juga akan mendapatkan keberuntungan yang sama. Aamiin."

Aku tersenyum kecut. Aku ingat dulu orang tua dan saudara saudaraku sangat memuji suamiku. Suamiku tampan, baik dan sholeh. Keluarga ku adalah keluarga sederhana. Mereka tidak memandang dan menilai orang dari pekerjaan dan hartanya, melainkan dari ahklak dan karakternya. Itulah kenapa saat aku memutuskan untuk memilih Mas Andre untuk menjadi pendamping hidupku, mereka tidak protes sama sekali. Status Mas Andre yang sudah menduda saat itu tidak membuat penilaian mereka berkurang. Yang mereka lihat adalah ketaatan Mas Andre. Apa yang akan ibuku katakan saat tahu Mas Andre menduakan aku dengan jalan dan cara semenyakitkan ini.

"Sudah, makan saja. Jangan terlalu dipikir. Dunia memang begini. Tempat susah, sedih, gembira, capek. Tapi nggak ada yang kekal di dunia ini. Kesedihan mbak juga. Kelak pasti akan hilang. Sabar."

Aku kali tersenyum dan mencoba menyuap makanan ke mulutku. Masakan sederhana adikku terasa nikmat di lidahku. Mungkin ini yang dinamakan berkah. Adikku yang selalu pandai mensyukuri apapun yang ia terima dan menjalaninya dengan penuh kesabaran.

"Mbak!"

"Ya."

"Apa mbak berencana menceritakan masalah mbak pada ibu dan keluarga kita yang lain?"

"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini, aku akan merahasiakannya dulu. Ibu sedang sakit. Aku tidak mau membuatnya lebih sakit."

"Betul itu mbak. Sebaiknya dirahasiakan dulu. Ceritanya nanti kalau memang haria dan perlu."

Setelah berbincang dengan adikku, aku merasa sedikit plong. Ada secercah cahaya yang menyinari hatiku.

Jika Allah menganggap aku mampu menjalani ini semua, maka aku akan bersabar dan terus meminta kekuatan padanya.

Aku melangkah menuju kantor tempatku bekerja dengan wajah cerah. Aku tidak akan membiarkan kesedihan terus mengungkungku.

"Hai Bray!!" suara cempreng khas Dewi temanku mengagetkanku begitu aku memasuki ruangan tempat kerjaku.

"Kebiasaan deh. Ngagetin." omelku. Dewi nyengir.

"Di cari pak bos tuh!" katanya.

Aku mengerutkan alisku, "Ada apa?" tanyaku penasaran.

Dewi mengangkat bahunya, "Tau.. kangen mungkin." jawabnya asal.

Kulempar bolpen kearahnya untuk menanggapi jawaban konyolnya itu. Dewi ngangkak melihatku kesal.

Aku menarik nafas sebelum mengetuk pintu ruangan bosku.

"Masuk!" suara bosku dari dalam ruangannya.

"Assalamu'alaikum, pak!" salamku.

"Wa'alaikumussalam." jawabnya. "Duduklah!" tutau bosku.

Aku duduk di sofa yang ada di ruangan bosku itu. Bosku berdiri lalu melangkah dan duduk di depanku. Matanya menatap tajam ke arahku membuatku salah tingkah.

"Ada apa ya pak?" tanyaku.

"Kamu yang ada apa?" jawabnya masih dengan meneliti wajahku.

"Maksud bapak?" aku justru bingung.

Bosku yang juga mantan teman sekolahku itu mengulurkan tangannya ke wajahku. Aku menarik wajahku menjauh.

"Pak, tolong jaga sikap bapak." hardikku.

"Matamu kenapa sembab? Terus kamu sakit mendadak. Kamu kenapa?Ada apa dengan kehidupan rumahan tanggamu?"

Aku kaget saat dia menanyakan rumah tangga ku. Ku beranikan diri menatapnya. Dia tersenyum.

"Aku tahu. Aku tahu semuanya." katanya masih dengan wajah tersenyum. Senyum sedih dan iba.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!