Regina Puspa Ranggahadi berjalan tergesa begitu turun dari mobil yang ia parkir di basement. Langkahnya melebar seiring kepanikan atau lebih tepatnya kemarahan yang dirasakannya. Wajahnya mengeras memikirkan kabar yang baru saja ia dapatkan. Hingga akhirnya pintu lift terbuka di lantai paling atas gedung perkantoran itu. Berjalan masih dengan langkah lebar demi keinginannya untuk segera sampai di ruang yang ditujunya.
Dan saat ia berhadapan dengan pintu ruangan yang dimaksud, Gina, begitu biasa ia disapa, segera membukanya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia merasa punya wewenang penuh untuk masuk ke dalam ruangan itu walau tanpa permisi.
Saat pintu berhasil ia buka, seorang pria paruh baya sedang duduk dibalik meja kerjanya yang langsung seketika memandang lurus padanya. Dan seorang asisten berdiri di depan meja kerjanya tampak berbalik badan pula melihat kedatangan Gina.
"Apa yang Papa lakukan?" Gina sudah ada di depan meja kerja Pak Rangga sekarang. Seperti sudah tahu maksud kedatangan putrinya, Pak Rangga meletakkan pena diatas kertas yang sedang ia hadapi.
"Papa harus menjelaskan padaku apa maksud Papa."
"Duduklah dulu. Biar kusuruh OB mengantar secangkir coklat panas untukmu." Ujar Pak Rangga santai seolah kepanikan yang Gina tampilkan tidak membuatnya terpengaruh.
"Aku tidak mau. Coklat panas atau apapun itu aku tidak butuh semua. Aku ingin Papa menjelaskan padaku. Kenapa Papa bisa melakukan ini padaku." Gina berapi-api.
Pak Rangga bangun dari duduknya lalu menuju sofa diruang kerjanya dan berganti duduk di sana. Gina mengikutinya. Pak Rangga malah mengambil gagang telepon disampingnya dan menombol salah satu nomor.
"Buatkan coklat panas dan antar ke ruanganku." Setelah itu Pak Rangga meletakkan gagang telepon lagi ke tempatnya.
"Sudah ku katakan aku tidak butuh itu, Pa." Keluh Gina ada sedikit nada manja di sana meski amarahnya mulai terlihat agak meningkat.
"Kau pasti butuh itu untuk menenangkan perasaanmu. Ku lihat kau sedikit kacau. Kau butuh ditenangkan dengan coklat panas kesukaanmu." Pak Rangga sangat hafal kebiasaan putrinya yang sangat menyukai coklat. Jika suasana hatinya buruk ia suka sekali memakan makanan manis terutama coklat.
"Tidak, saat ini satu-satunya yang bisa menenangkanku hanyalah Papa. Hanyalah penjelasan Papa sejelas mungkin. Bagaimana bisa Papa mengeluarkan namaku dari daftar pewaris. Aku anak Papa satu-satunya. Bagaimana bisa Papa mengeluarkanku dari nama pewaris tunggal R-Company. Apa karena aku tidak pernah terlibat di dalam R-Company sehingga Papa menganggapku tidak ada. Aku putri Papa satu-satunya. Hanya aku yang akan mewarisi harta Papa. Aku memilih bekerja ditempat lain karena memang minatku bukan pada peralatan dapur, Pa. Aku tidak menyukai panci, penggorengan, spatula, kompor. Itu semua bukan minatku." Gina menyerocos hingga nafasnya terengah. Pak Rangga masih setenang tadi. Belum ada reaksi lebih darinya.
"Pa..." Gina mulai meninggi lagi. Tepat saat itu terdengar bunyi ketukan di pintu.
"Masuk." Pak Rangga mempersilakan. Seorang OB muncul dari balik pintu dengan membawa sebuah nampan yang diatasnya terdapat cangkir dan dari baunya tercium aroma coklat yang sangat harum.
Tiba di dekat meja, OB itu meletakkan coklat panas disana. Gina melongok ke dekat meja mencium aroma coklat panas dan mulai tergoda dengan aromanya. Tapi setelah itu ia sadar jika Papanya memandangnya sambil menahan tawa. Gina memundurkan tubuhnya kembali sambil berdehem dan memperbaiki letak duduknya untuk menutupi kesalahtingkahan yang tidak sengaja ia tampakkan. Dan sementara itu OB yang sedang bekerja itu pamit keluar lalu kemudian menghilang setelah menutup pintu kembali.
"Pa..." Gina setengah merengek. Berharap Papanya akan berubah pikiran dan mengurungkan niatnya menghapus namanya sebagai pewaris tahta R-Company.
"Minumlah dulu coklat panasmu." Ujar Pak Rangga tenang.
"Itu coklat yang ku bawa dari Swiss kemarin. Yang ku berikan padamu juga."
"Aku tahu. Dari aromanya aku tahu." Jawab Gina.
"Jangan-jangan kau sudah menghabiskan semuanya?" Pak Rangga menyelidik. Gina terkesiap. Bagaimana papanya bisa tahu kalau minuman siap saji yang dibawakan papanya sepulang perjalanan bisnis itu sudah habis hanya dalam waktu yang cukup singkat.
"Bagaimana tidak habis, Papa hanya membawakannya segitu." Gumam Gina mencoba menekan suaranya.
"Segitu katamu?" Pak Rangga lalu menggelengkan kapalanya tidak habis pikir. Walau seharusnya dia pasti sudah tahu dan hafal betul bagaimana sifat dan kegemaran putrinya.
"5 lusin kemasan sachet coklat dan hanya habis dalam 1 minggu?"
"Ahh, Papa mari hentikan ini dan jangan mencoba mengalihkan perhatianku." Gina akhirnya menyadari trik yang digunakan papanya. Papanya hanya tersenyum menanggapi itu.
"Jadi, apa Papa sudah tidak menganggapku sebagai putri Papa lagi?"
"Tentu saja selamanya kau adalah putri Papa. Putri Papa satu-satunya."
"Lantas itu..."
"Apa sekarang kau tiba-tiba cukup kompeten untuk menjadi pimpinan di R-Company?"
"Bukan begitu, tapi seharusnya Papa tidak melakukan ini. Tidak menganggapku sebagai orang lain."
"Kau sendiri yang mengasingkan dirimu. Sejak awal kau memilih untuk tidak menjadi bagian dari R-Company. Jadi Papa melibatkan mereka yang merasa memiliki R-Company dan aku sangat menghargai atas usaha baik mereka yang membuat R-Company bisa menjadi sebesar ini." Gina diam tak berkutik menyadari apa yang diucapkan Papanya sepenuhnya benar.
"Jadi kau pikir kau layak memiliki R-Company hanya karena kau adalah putri tunggal Papa?"
"Kau pikir mereka yang jatuh bangun membuat R-Company tetap beroperasi hingga saat ini tidak berhak dengan posisi tertinggi?"
"Apa maksud Papa?" Gina menatap lurus ke arah papanya seolah menangkap suatu maksud dan mengkhawatirkan apa yang akan papanya lakukan.
"Jangan katakan kalau Papa akan membuka lowongan presdir bagi karyawan umum."
"Kenapa tidak?" Pak Rangga menjawab dengan santai.
"Tidak Pa, itu sangat tidak adil."
"Papa lebih tahu apa yang adil dan tidak adil."
"Tidak, Papa tidak boleh melakukan itu."
"Kau tenang saja. Nikmati saja hidupmu. Bersenang-senanglah terus sampai kau puas."
"Papa sungguh kejam." Gina memicingkan matanya memandang papanya yang tersenyum kecut.
"Lagipula siapa yang bisa menggantikan Papa? Tidak ada orang yang lebih bisa dipercaya dibanding aku. Akulah yang paling pantas memimpin R-Company karena aku adalah putri Papa. Darah Papa mengalir di tubuhku dan aku mewarisi bakat Papa mampu mengelola R-Company dengan sangat baik."
"Mmm... kata-katamu seolah kau sudah berada cukup lama di dalam R-Company. Seakan kau turut andil dalam perkembangan perusahaan ini. Padahal, kau juga pasti menyadari bahwa kau tidak pernah ada sedikitpun untuk R-Company."
"Baiklah, jika maksud Papa aku harus ada di R-Company maka aku akan ada di sini."
"Apa kau bisa?" Pak Rangga melirik Gina yang penuh semangat mempromosikan dirinya.
"Meskipun aku tidak pernah memimpin sebuah perusahaan tapi bekerja di Font yang walaupun adalah perusahaan software, sedikit banyak aku mengerti, Pa. Om Sasono dan Faris lumayan melibatkan aku dalam beberapa hal di sana."
"Oh ya? Bukankah di sana kau juga karyawan biasa setara HRD? Jabatanmu di sana tidak lebih dari itu kan?" Pak Rangga sinis.
"Ya... tapi aku bisa belajar, Pa. Aku bisa memulainya dan aku yakin aku bisa. Papa tahu kan dengan kemampuanku. Aku mewarisi kecerdasan Papa jadi pastinya tidak akan sulit untukku." Gina mulai memasang wajah melas. Jurus yang biasa ia gunakan untuk merayu papanya.
"Untuk apa aku membuang waktu dengan mengajarimu. Perusahaan ini bukan mainan. Kalau ada yang jauh lebih profesioal, kenapa harus merekrut yang amatir? Aku tidak mau mempertaruhkan perusahaan yang kubangun susah payah ini hanya sebagai tempatmu belajar dan bermain-main."
"Jadi maksud Papa..." Gina gelisah dan meremas jemarinya.
"Apa Papa sudah memiliki kandidadnya?"
"Ya, tentu saja. Kau pikir Papa tidak mempersiapkan semuanya? Papa tahu harus melakukan apa untuk kebaikan R-Company. Jadi kalau kau mau masuk ke dalam R-Company, maka kau harus menikahinya untuk mendapatkan saham dari hubungan pernikahan itu."
"Jadi Papa mau bertransaksi dengan hidupku?"
"Semua terserah kau, mau mendapatkan R-Company atau tidak sama sekali."
"Memangnya siapa yang akan menggantikan Papa semudah itu?" Gina sangat penasaran dengan orang yang menurut papanya sangat tepat menjadi penerima kunci kekuasaan R-Company.
"Dan juga... apa dia tampan dan terpelajar?" Tak urung dia juga penasaran tentang kepribadian pria yang akan mewarisi tahta R-Company sekaligus akan menjadi menantu papanya. Karena ia tahu Papanya meskipun menyayanginya, tapi ia tidak pernah bercanda dengan apa yang diucapkan dan selalu serius membuat ketentuan.
"Tentu saja. Dia sangat memenuhi syarat semua itu. Bahkan dia sangat layak jika harus bersanding denganmu untuk menjadi suami." Jawab Pak Rangga mantap penuh percaya diri.
"Siapa dia?" Gina benar-benar sangat penasaran hingga tidak sabar menunggu nama yang akan disebutkan papanya. Apa orang itu berasal dari jajaran manajer yang juga sebagian dari mereka ada yang masih single. Atau ia adalah kepala divisi yang sebagian besar berbakat dan juga mumpuni serta masih berstatus "sendiri". Gina mulai menebak-nebak dan membayangkan beberapa nama yang ia kenal diantara mereka.
"Surya." Jawab Pak Rangga tenang namun meyakinkan.
"Apa? Dia?" Seketika Gina menoleh ke arah pria berkaca mata yang sedari tadi berdiri di samping meja kerja papanya sejak ia masuk.
"Pesuruh Papa ini? Dia calon pimpinan R-Company sekaligus bisa jadi akan manjadi calon suamiku?" Gina memandang Surya yang menganggukan dagu kepadanya saat mata mereka bertemu. Gina bergidik ngeri. Mana mungkin papanya bisa melakukan ini. Seorang "pesuruh" bisa mendapatkan posisi paling penting dalam perusahaan dan juga sekaligus menjadi syarat untuk menikahinya jika ia ingin masuk ke perusahaan.
Gina melihat pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala berulang-ulang. Surya sama sekali bukan tipe pria idamannya. Tidak sama sekali. Tapi Surya adalah syarat yang harus ia penuhi untuk masuk ke dalam R-Company. Gina seperti dilanda dilema berat. Perlahan kepalanya seolah mendidih memikirkannya. R-Company atau tidak sama sekali. Untuk mendapatkan R-Company dia harus menikahi Surya atau dia tidak akan pernah mendapatkan apapun dari Papanya yang aneh tapi sangat adil dan teguh pendirian ini.
Gina benar-benar berfikir keras. Wajah Faris berkelebat kelebat.
Berwajah tanpan, mempesona, tegas dan juga cerdas. Sedangkan dia, Surya. Apa yang terlihat saja sungguh jauh dibanding Faris. Wajah yang biasa saja dan juga kepribadian yang cenderung pendiam. Jangan-jangan dia menggunakan guna-guna untuk mendapatkan segalanya dari Papa. Bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan semua ini dengan mudah. R-Company yang sebesar ini sekaligus putri semata wayang Papa yang cantik jelita. Batin Gina sambil mengibaskan rambut dengan tangannya tanpa ia sadari.
"Kenapa Papa merencanakan semua ini tanpa persetujuanku?"
"Untuk apa? Kau bahkan bukan pegawai R-Company apalagi sebagai pemegang saham. Kau tidak terlibat sama sekali di sini."
"Tapi aku putri Papa. Itu jauh lebih penting dari apapun." Gina merengek lagi.
"Kau putri Papa dan itu untuk selamanya. Tapi kau bukan siapa-siapa di R-Company."
"Papa tega sekali terhadapku."
"Tidak, Papa hanya melakukan yang semestinya." Pak Rangga menyilangkan kakinya masih dengan duduk santai. Ia tahu kepanikan yang dialami putrinya. Tapi ia harus tetap profesional dalam hal pekerjaan jadi rengekan putrinya akan diabaikannya.
"Jadi, kau sangat ingin menjadi bagian dari R-Company?"
"Tentu saja. Aku akan meninggalkan Font dan ada di sini bersama Papa."
"Kenapa baru sekarang kau berfikir untuk masuk ke dalam perusahaan? Apa karena kau sudah tidak mungkin lagi ada di Font sementara Faris sudah menikah?"
"Tidak, biar saja Faris sudah menikah, aku masih punya banyak kesempatan mendapatkannya nanti."
"Dasar gadis bodoh. Kau pikir perbuatanmu itu benar? Mau merusak rumah tangga orang?" Suara Pak Rangga meninggi karena gemas pada perilaku putrinya yang seenaknya sendiri.
Ya, Gina lebih memilih bekerja di sebuah software house milik keluarga Faris, pria yang ia tetapkan sebagai cinta pertamanya. Gina sangat menyukai Faris walaupun pada akhirnya ia tahu selama ini Faris hanya menganggapnya teman. Papanya dan papa Faris berteman sehingga mereka saling mengenal. Dan berawal dari itu, Gina mulai menyukai Faris perlahan dan masih belum bisa terima ketika Faris menyukai gadis lain lalu menikahinya. Karena itulah sampai saat ini ia masih ada di Font, perusahan Faris, agar ia memiliki cara untuk tetap dekat dengan Faris.
"Papa tahu, semuanya akan dianggap adil dalam perang dan cinta. Jadi, tindakanku benar, karena cinta itu tidak pernah salah."
"Hentikan tindakan gilamu. Menikahlah saja dengan orang lain."
"Tidak mungkin. Faris adalah satu-satunya pria yang berhak menikahiku."
"Tapi dia juga berhak menolakmu dan dia sudah melakukannya. Jadi berhentilah bermimpi dan menikahlah dengan orang lain." Saran Papanya serius karena merasa iba terhadap putrinya yang cinta mati itu.
"Aku rasa aku tidak akan bisa lagi menemukan pria sesempurna Faris. Dia tipe idealku sekali." Gerutu Gina.
"Dia memang tipe idealmu tapi apa artinya itu jika kau bukan tipe idealnya." Ucap Pak Rangga sambil menahan tawa.
"Ahh, Papa. Kenapa memperjelas itu." Gina setengah berteriak mendengar ucapan papanya yang langsung menohok hatinya.
"Sudahlah, Papa harus menjadikan aku pemimpin R-Company."
"Apa kau bisa?"
"Tentu saja, sedikit banyak aku juga belajar di Font."
"Oh ya? Bukankah jabatanmu di sana hanya setara HRD?"
"Ya, tapi aku bisa belajar, Pa."
"Untuk apa aku membuang waktu dengan mengajarimu. Perusahaan ini bukan mainan. Kalau ada yang jauh lebih profesioal, kenapa harus merekrut yang amatir? Aku tidak mau mempertaruhkan perusahaan yang kubangun susah payah ini hanya sebagai tempatmu belajar dan bermain-main."
"Jadi maksud Papa..." Gina gelisah dan meremas jemarinya.
"Jangan katakan Papa sudah memiliki kandidadnya."
"Ya, tentu saja. Kau pikir Papa tidak mempersiapkan semuanya? Papa tahu harus melakukan apa untuk kebaikan R-Company. Jadi kalau kau mau masuk ke dalam R-Company, maka kau harus menikahinya untuk mendapatkan saham dari hubungan pernikahan itu."
"Jadi Papa mau bertransaksi dengan hidupku?"
"Semua terserah kau, mau mendapatkan R-Company atau tidak sama sekali."
"Memangnya siapa yang akan mendapatkan kepercayaan untuk menggantikan Papa dengan semudah itu? Dan juga... apa dia cukup "masuk akal" untuk menjadi calon suamiku?"
"Tentu saja. Dia sangat memenuhi syarat semua itu. Bahkan dia sangat layak jika harus bersanding denganmu untuk menjadi suami."
"Siapa dia?"
"Surya."
"Apa? Dia? Pesuruh Papa ini? Dia calon pimpinan R-Company sekaligus bisa jadi akan manjadi calon suamiku?"
"Pesuruh? Dia jauh lebih tahu tentang R-Company dibanding kau."
"Baiklah, terserah apa kata Papa. Tapi, Surya..." Gina menoleh ke arah Surya yang masih berdiri tegak di tempatnya semula.
"Iya Nona." Akhirnya Surya bersuara juga setelah selama ini diam di ruangan itu.
"Tunggulah di luar. Aku harus berbicara dengan Papa empat mata. Setelah ini aku juga akan bicara denganmu. Jadi tunggulah diluar." Ucap Gina tegas memerintah seolah dia adalah bosnya. Tapi Surya tidak segera menuruti perintah Gina dan tetap mematung memandang Pak Rangga seolah meminta persetujuan. Sebagai pegawai khusus Pak Rangga ia tahu siapa yang lebih berhak memerintahnya. Dan dia sangat patuh dalam hal itu.
"Surya, tunggulah di luar dulu." Pak Rangga mempersilakan. Surya mengangguk hormat lalu keluar dari ruangan.
"Jadi, orang yang Papa anggap pantas memimpin R-Company adalah Surya? Pria culun itu?" Gina menatap Papanya sedikit melotot karena saking syoknya.
"Dia sangat kompeten untuk itu." Pak Rangga masih sesantai tadi.
"Oh ya? Orang culun seperti dia? Bukannya dia hanya asisten Papa? Mengambilkan minuman, makanan, mengantar Papa kemanapun Papa pergi? Bukankah dia hanya sebatas itu?"
"Lebih dari itu. Dia itu duplikatku. Apa yang ku tahu dia tahu juga. Jadi sudah saatnya apa yang aku punya dia juga punya."
"Apa? Sejauh itu?" Gina berdiri dari duduknya. Pak Rangga mendongak menatap Gina yang semakin syok.
"Papa sadar dengan apa yang Papa lakukan?" Sekarang Gina sudah duduk di sebelah Papanya. Menatap Papanya dengan tatapan tak mengerti.
"Sadar." Pak Rangga menghela nafasnya ringan sambil tersenyum.
"Beberapa hari yang lalu aku melakukan general check up rutin dan hasilnya semua baik. Oleh karena itu mumpung aku sedang sehat-sehatnya jadi saatnya sangat tepat untuk mengalihkan kekuasaan. Bukan ketika aku sedang sakit lalu mengalihkan jabatan secara insidental. Itu tidak baik. Aku tidak bisa mengawasinya secara langsung. Karena walaupun akan ada yang menggantikanku tapi aku akan tetap ada dibelakang. Mengawasi dan mendukung."
"Kalau begitu, akulah orang yang paling tepat. Aku putri kandung Papa."
"Jadi, menikahlah dengan Surya. Aku mendapatkan semuanya dalam satu waktu. Orang yang tepat mengelola perusahaan dan jodoh yang tepat untuk menjadi suamimu."
"Oke, mungkin karena dia tahu seluk beluk perusahaan jadi Papa menganggap dia orang yang tepat menjadi pengganti Papa. Walaupun aku sendiri tidak yakin dengan hal itu." Dari nada bicara Gina seolah meremehkan Surya.
"Tapi sebagai suamiku?" Gina melotot lagi.
"Ya, kenapa? Wajahnya lumayan. Dia juga tidak kalah cerdas dengan Faris."
"Ya Tuhan Papa... wajahnya lumayan? Lumayan dari mana? Dia cupu sekali. Melihatnya aku seperti bertemu orang yang melakukan teleportasi dari tahun '80an."
"Oh ya? Ku rasa dia suka berpenampilan retro memang."
"Itu bukan retro, Pa. Itu culun namanya. Tidak stylish sama sekali."
"Kau bisa mengubahnya setelah menjadi suamimu."
"Mau diubah menjadi metroseksualpun dia tetap retro. Dasarnya memang culun dari sananya." Gina menggerutu lagi.
"Ya... semua kau yang menentukan. Papa hanya bisa melakukan itu untukmu. Segala berkas pengalihan kekuasaan sudah siap dan beberapa hari lagi Surya akan menempati kursi itu. Kau... hanya tinggal menentukan pilihan."
"Ngomong-ngomong, apa aku benar-benar putri Papa?" Gina memicingkan mata menyelidik.
"Tentu saja."
"Apa sebaiknya kita lakukan tes DNA untuk mengetahui kebenarannya?"
"Tidak perlu. Aku yakin Mamamu wanita baik-baik." Jawab Pak Rangga ringan.
"Lalu kenapa Papa memperlakukan aku seolah aku bukan putri kandung Papa?"
"Justru aku melakukan yang terbaik untukmu. Memberimu kesempatan menikmati hidupmu dan bersenang senang sesuka hatimu. Biar perusahaan ditangani orang lain yang lebih mampu."
"Lalu bagaimana dengan menikahkanku dengan pria cupu?"
"Cupu? Dia pria yang baik. Memiliki rasa tanggung jawab besar dalam segala yang menjadi tanggung jawabnya. Sangat perhatian terhadap apa yang ada di dekatnya. Dan banyak lagi dari dirinya yang akan membuatmu menyukainya setelah mengenal dia lebih jauh."
"Tidak. Tidak mungkin." Gina memutar bola matanya jengah.
"Aku tidak mungkin bisa jatuh cinta kepada pria secupu dia. Itu sangat tidak mungkin."
"Tapi, kehidupanmu selanjutnya hanya tergantung padanya. Mau menikahinya atau kau tidak mendapatkan apapun dari R-Company." Pak Rangga tegas. Wajahnya sangat serius. Gina tahu, jika papanya sudah seperti ini, itu tandanya papanya benar-benar serius.
"Kenapa Papa tidak membunuhku saja. Kenapa menghadapkanku pada pilihan sulit. Rasanya seperti memakan buah simalakama." Gina menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
"Apa ini adalah aksi balas dendam Papa karena selama ini aku tidak pernah mematuhi perintah Papa?" Gina menoleh kepada Papanya.
"Anggap saja seperti itu."
"Baiklah, aku akan melakukan apapun yang Papa perintahkan untuk bisa masuk ke dalam R-Company asal jangan menikah dengan Surya."
"Aku tidak punya ide apapun selain hal itu." Jawab Pak Rangga ringan.
"Ayolah Pa, pikirkan hal lain."
"Tidak, aku sudah tua. Aku terlalu malas berfikir. Lagipula sphingomielinku sudah melemah jadi sudah tidak bisa kugunakan untuk berfikir dengan baik."
"Ahh, Papa..." Gina terlihat sangat kesal lalu beranjak dari sana karena merasa belum bisa membujuk papanya untuk mengubah keputusan. Pak Rangga memandang punggung putrinya yang menjauh dan tersenyum.
Sementara itu dibalik pintu ruangan, Surya tampak berbincang dengan sekretaris Pak Rangga. Saat Gina keluar dari sana, dua orang itu memandang serentak kepadanya.
"Surya, ikut aku." Ujar Gina sambil berlalu.
"Baik Nona." Surya mengikuti dibelakangnya.
Gina berjalan memasuki lift, begitu pula dengan Surya. Selang beberapa menit saja, pintu lift terbuka dan tampak pelataran basement dihadapan mereka. Gina melangkah keluar tanpa menoleh sedikitpun pada pria yang sudah bertahun-tahun menajadi kepercayaan papanya itu.
Gina mendekati mobilnya. Tapi ia tidak membuka pintu mobil dan hanya bersandar disana.
"Jadi, bagaimana caramu sehingga Papa memberimu hadiah seistimewa itu?" Gina sinis.
"Saya tidak melakukan apapun seperti yang Nona fikirkan."
"Oh ya? Atau kau mungkin tidak melakukannya sendiri." Gina menatap Surya tajam.
"Maksud Nona?" Surya mengerutkan kening tanda tak mengerti.
"Dukun mana yang kau sewa untuk mengguna-gunai Papa?" Mendengar penuturan Gina, serta merta Surya tersenyum kecut.
"Kau berasal dari kampung kan? Aku yakin dikampung masih ada praktek yang seperti itu."
"Dikota juga banyak, Nona. Orang-orang menyebut mereka paranormal."
"Nah, kau tahu itu. Atau paranormal mana yang kau sewa jasanya untuk meluluhkan Papa?"
"Saya juga tidak menyangka akan mendapat tanggung jawab sebesar ini."
"Benarkah? Kupikir kau bagai diatas awan sekarang. Sebentar lagi kau menduduki kursi presdir di R-Company." Gina mendekap kedua tangannya di dada sambil masih memasang pandangan sinis pada pria yang menurut penilainnya sangat retro itu.
"Entahlah, Nona. Tapi R-Company adalah perusahaan yang sangat besar. Saya masih ragu apa saya bisa melakukannya."
"Kau bahkan tidak yakin dengan kemampuanmu, tapi kenapa Papa begitu percaya kepadamu?" Gina mulai berfikir mungkin ada yang janggal.
"Apa mungkin ini akal-akalan Papa agar aku mau masuk ke Perusahaan?"
"Saya tidak tahu, Nona."
"Dan lagi. Aku menikah denganmu? Kau bahkan tidak pantas walau sekadar memimpikan itu."
"Saya tahu, Nona." Surya selalu tenang menjawab kata-kata Gina. Tampak sekali ia selalu menaruh hormat pada putri bosnya.
"Kau harus bisa menolak pemberian Papa."
"Saya sudah menolaknya, Nona."
"Benarkah? Kau pasti hanya sekadar pura-pura menolaknya. Pasti kau hanya malu-malu mau saja."
"Tidak Nona. Sejujurnya saya tidak pernah bisa menolak perintah Pak Rangga. Semua sudah tertulis di dalam kontrak kerja bahwa saya wajib menjalankan segala perintah atasan saya."
"Oya? Jika Papa ingin kau mati, apa kau akan mati?"
"Hanya Tuhan yang bisa membuat saya mati, Nona. Pak Rangga tidak bisa."
"Kau pandai berkata-kata rupanya." Gina memelototi Surya. Surya masih memandangnya penuh hormat seolah ia adalah bawahan Gina. Meski secara tidak langsung, tapi Gina adalah putri bosnya jadi secara teknis ia juga harus menghormatinya.
"Jadi, kalau Papa ingin kita menikah, kau juga akan menikahiku?"
"Iya Nona."
"Wah, kau pasti senang sekali jika benar-benar menikah denganku." Surya tersenyum simpul.
"Siapa yang bisa menolak menikahi gadis cantik dan berasal dari keluarga kaya seperti Nona."
"Ehhem... Tentu saja." Mendengar pujian Surya, Gina menjadi salah tingkah. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Terlihat anting berlian bermata bening setetes yang menghias cantik ditempatnya.
"Apalagi kau yang hanya pesuruh Papa. Kau pasti sangat tersanjung menjadi anak emas Papa yang 'disayang' dan sangat dimuliakan sedemian rupa."
"Saya hanya selalu menjalankan perintah Pak Rangga saja, Nona."
"Perintah... perintah... perintah... kau ini tidak punya pendirian sendiri ya. Kau itu bukan kerbau yang dicocok hidungnya. Kenapa kau menurut sekali kepada Papa?" Cerocos Gina.
"Baiklah, kau mungkin tidak bisa menolak menjadi pimpinan R-Company. Tapi menikah dengan orang yang tidak kau kenal? Kau yakin mau mengorbankan hidupmu begitu saja?" Suara Gina meninggi. Ia tahu tempat parkir sedang sepi jadi ia bisa berbicara semaunya.
"Saya tahu."
"Lalu?"
"Karena saya memang harus menikahi Nona."
"Kenapa?"
"Karena Nona sangat ingin merebut posisi saya diperusahaan. Jadi Nona harus menikahi saya seperti syarat yang diajukan Pak Rangga."
"Iya, tapi kau tahu sendiri kan Papa sangat licik. Bukankah tadi dia juga mengatakan akan meninjau ulang hubungan kita setelah menikah. Dia tidak akan dengan mudah menyerahkan kursi tahtanya begitu saja padaku. Dia pasti akan terus memantau hubungan kita. Membayangkannya saja aku sudah merasa akan memainkan sebuah drama denganmu nanti."
"Drama?" Surya mengangkat alisnya bingung.
"Ya, aku sedang berfikir tentang skenario drama denganmu."
"Denganku?" Surya mulai mengerti maksud Gina. Jika tebakannya benar, pasti hal itulah yang dimaksud Gina.
Gina mengendarai mobilnya menuju Font, tempatnya bekerja. Fikirannya kacau. Undangan yang ia terima terkait serah terima jabatan presdir R-Company tiba-tiba ada diatas meja kerjanya. Kepalanya mendadak seperti terbakar menyadari perusahaan yang seharusnya jatuh atas namanya, tiba-tiba hilang dalam sekejap berganti pimpinan yang hanya oleh seorang pegawai, bukan pewaris tunggal sebagai mana mestinya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung meluncur ke kantor papanya saat itu juga. Dan sekarang jam kerjanya masih berlangsung. Jadi ia kembali lagi.
Memasuki lobi, tampak Faris berjalan ke arahnya. Pria paling sempurna baginya. Lihat saja, setelan jas dan celana panjang warna dark grey sangat serasi melekat ditubuhnya yang tinggi. Wajahnya yang tampan tidak bisa membuatnya berpaling pada pria manapun hingga saat ini. Ia seperti budak cinta yang susah move on dan harus rela menjadi pengagumnya.
Jadi, jangankan Surya yang Gina katakan sebagai pria cupu, teman-temannya yang stylish saja tidak mampu membuatnya jatuh cinta.
"Kau dari mana saja? Tadi aku mencarimu." Faris sudah ada dihadapannya sekarang. Dalam jarak sedekat ini, wajah bersih Faris seolah membuatnya silau.
"Benarkah?" Gina sumringah ternyata Faris seperhatian itu sampai-sampai mencarinya.
"Laporan keuangan bulan ini harus kau revisi, ada beberapa anggaran yang belum kau cantumkan. Kau mau mengkorupsinya?" Faris memasang wajah serius.
"Oh ya? Ku rasa aku sudah memasukkan semuanya."
"Sudah ku suruh seseorang meletakkan di mejamu jadi lihatlah kembali." Ujar Faris sambil menepuk pundak Gina dan mengulas senyum sebelum melangkah menuju pintu keluar. Ia sedikit puas melihat wajah pias Gina mendapat tatapan tajam darinya tadi.
Gina mendadak lemas. Sudah terlanjur percaya diri Faris mencari mungkin sedang merindukannya tapi ternyata ada pekerjaan yang harus ia revisi. Ekspektasi berbanding terbalik dengan kenyataan. Gina melanjutkan langkah menuju ruang kerjanya.
Sementara itu, Surya memasuki ruangan Pak Rangga dan menganggukkan kepala memberi salam.
"Apa yang dia bicarakan denganmu?" Sambut Pak Rangga begitu Surya mendekati mejanya.
"Persis seperti apa yang anda prediksi."
"Anak itu benar-benar." Pak Rangga gemas pada anaknya yang mudah ditebak itu.
"Jadi apa rencananya?"
"Nona Gina ingin kami berpura-pura menjalani persyaratan Bapak."
"Ikuti saja apa maunya. Anak itu masih belum juga pandai. Pikirannya masih saja selalu dangkal." Pak Rangga meletakkan alat tulis di tempatnya.
"Sudah waktunya makan siang. Mari kita pesan makanan yang berasap." Sudah faham apa yang dimaksud Pak Rangga, Surya sudah memiliki gambaran akan pergi ke mana dijam makan siang mereka kali ini.
Mobil mewah Pak Rangga melaju sedang di jalan raya siang yang temperaturnya cukup menyengat.
"Apa dia menanyakan kenapa bisa kau yang ku pilih menggantikanku."
"Iya, Pak." Jawab Surya masih berkonsentrasi dengan jalan di depannya.
"Nona Gina berfikir bahwa mungkin saja saya mengguna-guna Anda." Surya tertawa kecil setelah mengatakan itu. Pak Surya ikut tertawa mendengar kekonyolan putrinya.
"Anak itu kenapa tidak bisa berhenti bersikap konyol. Yang seperti itu, ingin menjadi pimpinan R-Company. Bisa-bisa hancur perusahaan yang susah payah ku rintis. Dia harus belajar banyak untuk hal ini." Pak Rangga ikut melihat ke arah jalanan di depan mobilnya.
"Seandainya kakaknya masih ada, mungkin aku bisa jauh lebih tenang sekarang. Aku juga tidak akan memaksa Gina memegang tanggung jawab sebesar ini. Bagaimanapun juga dia anak perempuan. Ditambah lagi jiwanya yang tidak mudah diatur, itu sangat membuatnya kesulitan menerima tanggung jawab." Surya hanya mendengarkan tanpa menjawab sepatah kata pun semua yang bosnya katakan. Ia tahu pak Rangga tidak butuh jawaban, ia hanya butuh mengungkapkan perasaannya.
"Oh iya, bukankah hari ini Ibu akan kembali dari singapura?"
"Iya Pak, Ibu akan naik penerbangan sore ini."
"Baiklah, hari ini aku ingin pulang lebih cepat. Aku harus menyambut nyonya besar karena telah memenangkan proyek kali ini."
"Baik Pak." Surya tersenyum mendengar penuturan bosnya.
"Kalau diingat-ingat, sebenarnya buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya."
"Maaf, Pak?" Surya tidak faham dengan arah pembicaraan Pak Rangga yang menggunakan kiasan.
"Ya, seperti itulah dulu Mama Gina. Dia juga wanita yang sulit sekali diatur. Dia suka melalukan apa yang ingin dilakukan. Tapi dia wanita yang cerdas dan punya ambisi-ambisi dalam bekerja." Jelas Pak Rangga.
"Lihat saja sekarang. Usianya sudah tidak muda tapi semangatnya benar-benar mengagumkan. Dia itu benar-benar..." pak Rangga menggantungkan kalimatnya karena tidak menemukan kata yang tepat untuk istrinya.
"Keren?" Imbuh Surya membantu Pak Rangga menemukan kata yang mungkin sesuai.
"Ya begitulah." Pak Rangga tersenyum malu sambil mengiyakan. Surya bisa melihatnya dari spion diatasnya.
"Dia keren sekali." Gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Anda pasti sangat mencintai Nyonya." Celetuk Surya menggoda bosnya. Karena kedekatannya dengan Pak Rangga, Surya berani bersikap akrab seperti itu. Lagipula Pak Rangga juga terbiasa mengajaknya bercanda diluar jam kerja seperti ini sehingga diantara mereka terjalin keakraban seolah mereka adalah sahabat karib.
"Diusia kami yang sudah tidak lagi muda apalah artinya saling mencintai. Kami ini sudah sangat terbiasa antara satu dengan yang lain. Apalagi kami juga adalah 'korban' perjodohan." Pak Rangga terkekeh saat mengatakan itu.
"Tapi jangan salah faham dan menganggap perlakukanku pada Gina adalah sebuah bentuk pembalasan dendam." Jelasnya. Dan Surya yang memang awalnya berfikir begitu jadi mendapat penjelasan.
"Aku melakukan semua ini karena aku tidak mau Gina semakin menggila dengan masih mengharap Faris dan terperangkap di Font. Padahal dia masih punya kehidupan yang jauh lebih baik daripada hanya mengharapkan Faris. Dan juga R-Company butuh pimpinan untuk membuatnya tetap besar seperti sekarang. Bukan semata-mata untuk kami, jajaran direksi dan para investor tapi kita punya ribuan pegawai yang menggantungkan nafkahnya di R-Company. Kita harus melindungi mereka. Karena mereka memiliki keluarga yang harus mereka hidupi." Pak Rangga mengatakan itu dengan cukup lugas membuat Surya yakin bahwa tindakannya melakukan perintah bosnya ini benar. Ia harus menikahi Gina untuk membantu Pak Rangga menangani perusahaan karena itu adalah salah satu cara untuk membuat Gina bisa berpaling pada R-Company dan berusaha ada di sana karena ia pasti tidak ingin perusahaannya jatuh kepada orang lain dan bukan dirinya.
Sejak Gina mencoba melakukan bunuh diri karena patah hati mengetahui Faris menyukai orang lain, Pak Rangga dan istrinya berusaha memperbaiki kesalahan yang sudah mereka buat, menelantarkan Gina dan membuatnya merasa sendiri karena orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sekarang mereka selalu berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul di rumah setiap ada kesempatan.
"Yang jelas, apa kau siap menghadapi Gina?" Tanya pak Rangga kepada Surya untuk ke sekian kali. Karena bagaimanapun juga setelah peralihan kekuasaan, Gina tidak akan tinggal diam dan pasti akan mencari cara untuk merebut tahtanya di perusahaan.
"Siap Pak."
"Benar?"
"Benar."
"Bahkan ketika kau harus menikahi Gina?"
"Iya Pak."
"Kau benar-benar tidak sedang menjalin hubungan dengan gadis manapun bukan?"
"Tidak Pak." Serunya masih memandang depan. Sementara dari kursi penumpang di belakang, Pak Rangga berusaha mencuri pandang pada Surya dari arah samping.
"Baguslah." Pak Rangga menyandarkan kembali kepalanya pada headrest.
"Kau mungkin akan sangat kerepotan menghadapinya nanti. Dia bukan gadis yang mudah diatur. Dia suka bertindak sesuka hatinya. Sangat manja tapi juga sedikit tempramental. Dia juga sensitif dan cengeng. Sangat kekanak-kanakan dan sering membuat orang lain sebal. Yah, begitulah dia. Aku tahu ini karena aku tidak mendidiknya dengan baik. Sejak kecil dia biasa dimanjakan oleh para asisten rumah tangga di rumah. Dia terbiasa diperlakukan bagai putri raja." Ujarnya sambil melihat keluar cendela.
"Tapi walaupun begitu, aku harap kau bisa membuatnya berubah." Lanjut Pak Rangga lalu kemudian ia bisa mendengar Surya menjawab dengan penuh kepatuhan. Pria baik itu, jika Gina menyetujuinya, sebentar lagi akan menjadi menantunya.
🌸🌸🌸
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!