“Ya kali gue nih dianggapnya bocah, dikasih goceng doang haha..” Dia terkekeh sambil menatap uang lima ribu yang baru didapatnya setelah membantu misi perdamaian dunia sepasang suami istri karena salah paham. Lucu rasanya, setelah sekian lama baru sekarang ia kembali memegang uang dengan nominal tersebut. Biasanya paling kecil saja lembaran warna biru yang bahkan tak pernah ia pinta kembalian setelah membeli sesuatu.
“Lima ribu hihi...” kembali ia tersenyum geli sambil terus mengibaskan uang itu di depan wajahnya.
Wanita muda yang duduk di sebelahnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya, begitu pun dengan supir taksi di depan sana yang ikut menatap aneh dari kaca spion di atas kepalanya.
“Udah kamu nggak usah sampe oleng gitu cuma gara-gara gagal dapat tiket sama jajan gratis buat nonton. Nih aku kasih deh.” Perempuan di sampingnya mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan dan memberikannya.
“Sini ganti yang Imam Bonjol sama Soekarno Hatta.”
“eh... eh... jangan!” buru-buru gadis cantik itu memasukan uang lima ribunya ke dalam tas.
“Ini langka, Kak Arum. Mau aku simpen baik-baik.” Lanjutnya.
Gadis cantik itu adalah Jesi. Jesika Mulia Rahayu, putri tunggal dari investor ternama di kota Bandung yang sudah berhasil membantu banyak perusahaan berkembang dan meraih kesuksesan. Baginya, uang adalah hal remeh. Dilahirkan ditengah-tengah keluarga kaya raya membuatnya tak kekurangan suatu apa pun. Ayah dan Ibu yang menyayanginya, harta yang berlimpah, pacar idaman semua umat hingga sahabat yang selalu ada disisinya menambah kesempurnaan hidup yang bagi orang lain hanyalah mimpi.
Kata orang di sekitarnya, Jesi itu paket komplit spesial. Udah kaya, cantik, nggak sombong juga. Entah karena keluarganya yang kaya raya atau karena pengaruh sang ayah yang melanglang buana investasi di sana-sini membuatnya menerima banyak pujian.
Sejauh ini ia tak pernah memikirkan apakah semua pujian yang ia terima adalah benar-benar karena dirinya atau hanya sekedar ji latan lidah-lidah tak bertulang yang haus akan kekuasan dan bantuan dari orang tuanya. Yang ia yakini hanya satu hal, kebaikan akan selalu dibalas dengan kebaikan. Tak peduli dengan niat orang lain terhadap kita, jika kita bisa membantu why not?
“Pak supir stop! Aku turun di sini aja.” Ucapnya membuat pak supir segera menepikan mobilnya di dekat tukang boba thai tea kesukaannya.
“Kak Arum aku turun di sini yah. Kapan-kapan aku main ke kantor boleh kan? Ingetin Kak Ardi jangan lupa loh masih punya utang sama aku.” Ucapnya sambil membuka sabuk pengaman.
“Iya nanti aku bilangin. Tadi aku kasih nggak mau, sekarang malah nagih.” Cibir Arum.
“Kalo uang aku punya banyak, kak. Takut basi ini juga belum pada kepake hahha.” Jawabnya sambil bercanda.
“Terus kamu maunya apa?”
“Apa yah kak?” jawabnya malah baik tanya sambil membuka pintu mobil, “aku nggak tau mau apa hihi. Tapi kalo suatu saat aku butuh bantuan pasti aku tagih, bukan uang tentunya.” Imbuhnya setelah keluar.
Arum hanya menghela nafas panjang mendengar ocehan gadis cantik putri dari patner bisnisnya, tak habis pikir kok anak seperti dia. Dilihatnya Jesi yang baru turun dan menutup pintu dari luar, gadis itu terus tersenyum ramah. Berbeda jauh dengan saat ia pertama kali bertemu, begitu menyebalkan mendengar Jesi terus memaksa ini dan itu. Tapi pribahasa tak kenal maka tak sayang benar adanya, setelah mengenal gadis ini lebih jauh ternyata gadis cerewet dan menyebalkan itu aslinya begitu menggemaskan dan baik. Hanya dia, Jesi. Gadis yang tersenyum bahagia karena menerima uang pecahan lima ribu rupiah.
“Jangan lupa bilangin yah kak. Utang harus dibayar meskipun nggak sekarang. Karena utang itu bukan mantan yang harus dilupakan.” Ucap Jesi dengan senyum lebarnya hingga menampakan gigi gingsul yang membuatnya terlihat manis.
“Iya-iya bawel, nanti aku bilangin.”
Jesi melambaikan tangan berdadah ria hingga taksi yang ia tumpangi sudah menjauh. Kini ia berbalik ke belakang melihat jajaran stand makanan dan minuman yang berjajar di depan indoapril.
“Mba, thai tea rasa stroberi satu.” Ucapnya memesan.
“Nggak sekalian thai tea rasa tiramisu campur red velvet neng?” balas penjual.
“Hahaha...bisa aja si teteh ih. Ntar cacing di perutku mabok dikasih campur-campur gitu. Yang biasa aja teh.” Ujarnya pada teh Ai, penjual boba di depan indoapril langganannya.
Teh Ai sudah tak aneh dengan pesanan Jesi yang suka ngaco. Gadis itu sudah langganan boba padanya hampir satu tahun, sejak awal dirinya jualan boba di tempat ini. Tak jarang gadis yang kini terlihat sedang memainkan ponsel itu memberinya uang lebih. Bahkan setiap kali beli kembaliannya tak pernah diambil.
“Thai Tea ekstra boba doubel-double kesukaan neng Jesi.” Teh Ai memberikan satu cup thai tea dengan boba yang begitu banyak.
“Makasih teteh. Kembaliannya buat jajan Siska aja.” Ucapnya menerima minuman sembari menyerahkan uang seratus ribu yang ternyata uang terakhir di dompetnya.
Jesi melangkah masuk ke dalam indoapril, mengambil keranjang yang terdapat di samping pintu. Diletakannya boba yang baru ia minum sedikit ke dalam keranjang kemudian mulai memasukan makanan ringan kesukaannya.
“Delapan puluh tujuh ribu, neng.” Ucap kasir setelah selesai memasukan belanjaan ke dalam kresek putih.
Jesi mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, “bayar pake debit, Mba.”
“Silahkan pin nya.”
Jesi menekan pin sesuai instruksi kasir, dua kali dia mencobanya tapi pembayaran tetap gagal.
“pake kartu kredit aja deh Mba.” Ucapnya kemudian seraya memberikan kartu yang lain.
“Maaf neng, nggak berhasil.” Ucap si kasir sambil mengembalikan kartunya.
“Aneh banget, pasti alatnya rusak nih.” Ujar Jesi sambil kembali memasukan kartunya. Di dompetnya kini hanya tinggal uang lima ribu yang ia rencananya mau ia laminating dan di simpan, karena itu uang pertama yang ia peroleh dengan tangannya sendiri.
Jesi merapikan poninya sambil nyenggir malu sebelum berucap, “hm gini Mba, aku nggak bawa uang tunai. Ini tinggal lima ribu doang.” Dengan polosnya ia membuka dompet dan memperilihatkan pada kasir, benar-benar hanya uang lima ribu dengan aneka kartu.
“Aku titip dulu boleh yah? Mau pulang bentar minta uang ke ibu, nanti ke sini lagi.” Ucapnya kemudian.
Malu campur lucu, pertama kali ia tak bisa membayar.
“Ah bisa-bisanya Jes. Malu-maluin kamu tuh haha.” Dia tertawa sendiri menyusuri jalan di perumahan elit sembari menyedot boba.
“Ibuuu.... ibu dimana? Jesi minta uang. Masa seorang Jesika ngutang di indoapril bu.” Teriaknya begitu membuka pintu rumah.
“Walaikumsalam!” Saut wanita paruh baya yang muncul di belakangnya, “Kalo pulang tuh salam dulu Jes, bukan malah teriak-teriak.”
“Bu, delapan puluh tujuh ribu.” Rengeknya seraya menadahkan tangan meminta uang pada sang ibu.
“Jangan dikasih, bu!” suara Burhan membuat Jesi beralih menghampiri sang ayah dan bergelayut manja seperti biasa.
“Ayah masa Jesi ngutang ke indoapril. Malu ih...”
“Suruh asisten ayah cek kartu-kartu aku coba, masa nggak bisa dipake satu pun. Aku nggak pegang uang nih. Di dompet tinggal lima ribu.” Rengeknya.
“Ayah memang sengaja blokir semua kartumu. Anak kesayangan ayah ini udah terlalu boros.” Ujar Burhan sembari mencubit pipi cabi putrinya.
“Ayah jangan gitu atuh... tanpa kartu-kartu itu Jesi hanya remahan kerupuk di kaleng khong guan sisa lebaran, alot dan tak berdaya. Nggak ada yang suka.” Ucapnya cemberut.
“Kata siapa kerupuk di kaleng khong guan nggak ada yang suka?”
“Cuma dibuka, dilihat dengan tatapan kecewa kemudian diabaikan tanpa ditutup kembali.” Terang Jesi.
“Pinter juga main analoginya anak ayah.” Puji Burhan.
“Makanya benerin lagi kartu-kartu aku yah. Jangan diblokir, aku nggak mau jadi remahan kerupuk.” Rayu Jesi lagi.
“Nggak akan. Ayah Cuma pengen kamu dekat dengan orang-orang yang benar-benar tulus menyayangimu, Nak. Bukan orang yang mendekat dan menyayangimu karena niat terselubung. Kamu itu seperti kaleng khong Guan. Siapa yang tak tau khong guan coba? Semua tertarik karena kemasannya yang bagus dan isinya yang beraneka ragam dengan rasa yang enak. Kaleng itu selalu jadi target setiap tamu saat lebaran tapi begitu melihat isinya tak sesuai seperti katamu, mereka akan menatap kecewa dan bahkan meninggalkannya tanpa menutupnya kembali.” Tutur Burhan panjang lebar mencoba memberi pengertian pada putrinya.
“Mereka yang tulus menyanyangimu tak akan meninggalkanmu meskipun isi dompetmu hanya lima ribu.” Imbuh Sari, sang ibu.
“Nggak ngerti ah Jesi pusing. Ke indoapril aja yuk yah, bayar jajan Jesi yang tadi. Malu.”
Burhan dan Sari hanya saling tatap dalam diam, sudah menasihati putrinya panjang lebar tapi sepertinya sang putri gagal paham. Pikirannya indoapril terus.
.
.
.
Yuk mari kita bertualang bersama neng Jesi, anak sultan yang mendadak jadi remahan kerupuk di kaleng khong guan.
Jangan lupa like, komen dan favoritkan supaya aku makin semangat buat nulis kisah ini.
Setelah merajuk minta kembali ke indoapril untuk menebus jajanannya tak digubris oleh sang ayah, gadis berambut panjang yang selalu menggerai rambutnya itu mengaktifkan mode ngambek. Dengan cemberut dia meninggalkan ayah dan ibu yang masih saja terus membahas analogi kaleng khong guan.
Niat Jesi mengibaratkan dirinya dengan kaleng khong guan berisi remahan kerupuk supaya menarik simpati kedua orang tuanya dan kembali mengaktifkan kartu-kartu yang ia pegang nyatanya berakhir menjadi senjata makan tuan. Bukannya iba, ayahnya justru makin tegas menarik semua fasilitas yang selama ini ia nikmati.
"Jangan ngambekan, udah gede Jesi. Besok ayah potong sekalian uang jajan kamu." Teriak Burhan dari bawah sana dan Jesi tak peduli, dia terus menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamarnya.
Jebred!!!
Pintu kamarnya di tutup dengan keras.
"Ayah tega banget dah sama anak sendiri. Uang udah numpuk, investasi dimana-dimana, bantuin usaha orang biar sukses, eh anak sendiri malah dikoretin."
"Kalo kayak gini kan gue jadi malu. Besok-besok nggak mau belanja di indoapril depan ah, malu njir...mana mba-mba kasirnya udah hapal banget sama gue." Bergidik ngeri membayangkan dirinya datang lagi ke indoapril dan dikenali oleh si kasir sukses membuat Jesi semakin menggelengkan kepalanya cepat, "big no. Gue nggak bakal kesana lagi!"
Jesi merebahkan diri di ranjang besar, tempat paling untuk dirinya beristirahat. Sembari meluruskan tubuhnya, Jesi mengambil ponsel yang berbunyi dari dalam tas.
Sweet heart calling... Tertulis diantara ikon telpon berwana hijau dan merah.
Buru-buru Jesi menggeser ikon telpon berwarna hijau hingga hitungan detik di layar benda pipih itu dimulai.
"Iya halo sayang..." Jawabnya dengan senyum ceria.
"Di rumah, baru pulang aku." Jesi bahkan mendadak duduk dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Padahal hanya panggilan suara biasa, bukan panggilan vidio. Tapi bagi Jesi tampil sempurna untuk Zidan adalah nomer satu, sekalipun hanya mendengar suaranya tapi penampilan harus tetep oke. Meskipun sebenarnya percuma karena sang kekasih si seberang sana tak bisa melihatnya. Menjadi pacar Zidan itu hampir impian semua mahasiswi di kampusnya, so supaya tak kalah saing Jesi harus selalu oke kapan pun dimana pun. Secinta itu memang Jesi pada Zidan, kakak tingkatnya di kampus tempat ia menimba ilmu saat ini.
"Iya... Iya... Nggak apa-apa tadi dari kampus langsung ke rumah rekan bisnis ayah bentar. Something wrong sama istrinya. Tapi udah oke kok."
"Oh gitu. Iya lain kali aja sayang. Lagian malam ini aku nggak bisa."
"Iya bye bye...love you too."
Jesi meletakan ponselnya asal kemudian memejamkan mata hingga ia benar-benar larut ke alam mimpi.
Pagi hari sebelum alarm ponselnya berbunyi Jesi sudah lebih dulu bangun. Dia menonaktifkan alarm supaya tak berbunyi nanti. Dengan memegang perutnya, dia beranjak dari ranjang.
"Gara-gara nggak makan malam nih, jam segini udah lapar banget. Padahal subuh juga belum." Gumamnya sambil menggulung rambut panjangnya supaya tak basah saat mandi nanti. Sekedar informasi, Jesi sangat anti keramas pagi-pagi, terlalu dingin. Tubuhnya tak kuat menahan dingin. Buat Jesi mending kepanasan dari pada kedinginan.
Selesai dengan rutinitas pagi, Jesi memasukan buku catatan dan tab kesayangannya ke dalam tas. Karena tasnya yang fashionable tapi unfaedah tak semua buku bisa masuk ke dalam sana, alhasil dia harus membawa dua buah buku paket akuntansi yang tebal di tangannya.
"Pagi kesayangannya ayah. Udah cantik aja jam segini. Ada jadwal masuk pagi yah?" Sapa Burhan yang sudah lebih dulu ada di meja makan.
"Aku mah selalu cantik dong." Jesi meletakan buku yang ia bawa di meja kemudian memulai sarapannya.
"Jam berapa masuk kuliah?" Tanya Burhan.
"Jam tujuh tiga puluh yah. Masih ada waktu satu jam aku bisa sarapan dengan santai."
"Jangan santai-santai nanti kamu telat."
"Nggak lah, yah. Kan biasanya ke kampus kalo macet juga paling empat puluh menitan. Kalo nggak macet dua puluh menit nyampe. Lagian supir aku kan udah hapal jalan tikus. Bisa lah motong-motong jalan biar nggak kena macet." Ujar Jesi sambil terus memakan nasi goreng kampung kesukaannya. Nasi goreng sederhana yang hanya dibumbui cabe, bawang merah dan bawang putih serta garam. Tanpa kecap maupun tambahan telur dan sosis seperti layaknya nasi goreng masa kini.
"Sepertinya anak kesayangan ayah lupa, kalo mulai sekarang ada batasan fasilitas yang bisa kamu gunakan. Udah nggak ada supir maupun mobil. Kamu ke kampus naik angkot, kalo nggak pake ojeg."
"What?" Jesi sampe menyemburkan nasi goreng yang sedang ia kunyah mendengar ucapan sang ayah yang sangat sangat tak masuk akal baginya.
Uhuk... Uhuk... Sedetik kemudian ia tersedak karena teeburu-buru minum.
"Ayah jangan bercanda, please. Ini masih pagi ayah. Udah cukup ngprank akunya semalam." Ujar Jesi dengan sedikit kesal.
"Ayah nggak bercanda. Kita serius yah kan, Bu?" Burhan menatap istrinya meminta wanita yang duduk di sampingnya supaya mengiyakan kata-katanya.
"Mulai sekarang jatah harian kamu dua ratus ribu." Ucap Burhan santai.
"Bu, ini bohong kan?" Tanya Jesi pada ibunya yang sedari tadi tak ikut bersuara.
Sari menatap sendu pada putri kesayangannya, "ayah sama ibu sudah memperhitungkan kebutuhan sehari-hari kamu. Dua ratus ribu cukup untuk ongkos dan jajan di kampus. Kalo ada kegiatan lain kamu tinggal bilang nanti ibu kasih."
"Boleh ada tambahan jatah harian kalo untuk kepentingan belajar atau kepentingan mendesak. Selain hal itu kalo mau hura-hura cari uang sendiri." Imbuh Burhan.
Meski terlahir di keluarga kaya raya hidupan Jesi dulu sesungguhnya sangat sederhana, tapi semenjak masuk kuliah dia berubah dan mulai mengikuti trend fashion masa kini hingga membuat Burhan geleng kepala melihat laporan pengeluaran Jesi setiap bulan. Burhan mulai menginstruksikan bawahnya untuk mengawasi Jesi dari kejauhan yang hasilnya membuat dia terkejut karena ternyata sang putri dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Memberitahukan hal itu pada Jesi tentu tak akan bisa diterima karena Burhan tau betul sifat putrinya yang begitu polos, baik dan tak tega melihat orang lain mengalami kesulitan. Satu-satunya cara adalah dengan menarik semua fasilitas supaya putrinya sadar tak semua orang disekitarnya tulus.
"Ini jatah hari ini. Cepat berangkat atau kamu akan terlambat." Burhan meletakan empat lembar uang lima puluh ribu di depan Jesi.
Meski kesal Jesi mengambil uang itu dan segera meninggalkan meja makan setelah menyalami kedua orang tuanya.
"Ayah jahat. Ibu juga jahat. Kalo kayak gini mah Jesi beneran jadi remahan kerupuk yang alot dan tak berdaya." Ucapnya sebelum akhirnya berlari keluar rumah.
Jesi berulang kali melirik jam di lengan kirinya, sudah sepuluh menit tapi angkot yang ia tunggu belum juga lewat.
"Ya ampun itu si mba kasir indoapril yang kemaren, gue harus buru-buru cabut nih. Malu." ujar Jesi saat melihat kasir indoapril yang di seberang sana. Tanpa melihat nomor angkot yang berhenti, Jesi langsung masuk dengan menutupi wajahnya menggunakan buku paket yang ia bawa.
"Huh... Untung angkotnya datang tepat waktu. Kan malu kalo sampe ketemu sama si mba kasir indoapril." Ucap Jesi lirih.
Jesi tersenyum ramah pada penumpang lain yang menatapnya dengan intens. Dia sadar penampilannya mungkin terlalu mencolok dan tak pantas duduk di angkot mengingat semua barang branded yang ia kenakan.
Pagi jalanan bisa dikatakan ramai lancar, tapi karena Jesi naik kendaraan umum membuatnya harus bersabar. Angkot yang dinaikinya berjalan sangat lambat ditambah dengan sering berhenti kala ada penumpang yang naik. Jesi sudah mulai merasa gerah begitu angkot mulai penuh dengan penumpang, dirinya yang biasa duduk duduk nyaman di kursi belakang mobil pribadi mendadak harus merasakan berdesakan.
"Masuk bu masih bisa. Neng cantik yang rambutnya panjang bisa geser dikit. Masih bisa masuk satu orang lagi di sana." Ujar si supir seraya menengok ke belakang dan memberi intruksi pada Jesi.
Bagi Jesi ini sudah sangat-sangat sempit masih ditambah satu orang lagi, tak berbicara apa pun Jesi menuruti kata si supir dan bergeser hingga ia benar-benar mentok di ujung.
Jesi merasa lega meskipun sangat desak-desakan seperti tapi setidaknya angkot yang ia tumpangi akhirnya melaju lebih kencang dari pada sebelumnya.
"Oh jadi tadi jalannya lelet sambil nunggu penumpang kali yah. Udah penuh sekarang jadi rada cepet jalannya." Batin Jesi.
Kian jauh angkot melaju Jesi makin tak hapal dengan jalur yang dilalui, biasanya ia ke kampus tak melewati jalan ini. Tapi ia tetap tenang dan berfikir mungkin kendaraan umum memiliki jalur berbeda dengan jalan yang biasa ia lalui.
Namun beberapa menit kemudian Jesi menyadari jika angkot yang ia tumpangi semakin menjauh dari tujuannya.
"Stop stop mang! Kok kesini sih?" Teriaknya dari belakang.
"Iya emang lewat sini neng biasanya juga. Neng nya mau ke mana?"
"Universitas persada. Puter balik mang, salah ini jalannya. Lewat selatan lebih cepat." Ujar Jesi dengan polosnya meminta angkot yang ia tumpangi untuk menuruti instruksi darinya.
"Mana bisa angkot puter balik neng. Neng nya yang salah naik, harusnya naik angkot kosong tujuh kalo mau kesana. Kalo angkot ini mah ke terminal dulu." Balas si supir.
"Waduh. Wasalam bisa telat ini gue." Gerutu Jesi.
"Emang ini bukan angkot kosong tujuh yah?" Tanyanya lagi.
"Ini mah kosong sembilan, neng." Timpal ibu-ibu yang duduk di sebelah.
"Astaga ini gara-gara mba kasir indoapril nih gue jadi ngasal naik angkot nggak liat nomernya dulu." Gerutunya.
Buru-buru Jesi keluar kemudian menyerahkan selembar uang pada supir.
"Kembaliannya ambil aja." Ucapnya yang langsung berjalan cepat mencari tumpangan, beruntung tak jauh dari sana ada pangkalan ojeg.
"Universitas persada nggak pake lama Mang!" Ucap Jesi seraya menerima helm dari tukang ojeg dan memakainya .
"Ya ampun sumpah ini hari apes banget sih." Batin Jesi, dia berulang kali melihat jam tangan.
"Lima menit lagi. Lebih cepat mang!"
Begitu tiba di kampus Jesi segera melepas helm.
"Berapa mang?" Tanya Jesi, ini kali pertama ia naik ojeg. Soal tarif sudah tentu ia tak tau sama sekali.
"Ini aja deh mang. Kalo kurang ikhlasin aja yah, lagi nggak ada uang saya." Jesi memberikan dua lembar uang lima puluh ribuan kemudian beranjak pergi dengan buru-buru.
"Neng tunggu... Tunggu.." teriak tukang ojeg yang hendak mengembalikan uang pembayaran Jesi yang terlalu banyak, tapi Jesi hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ia takut ongkos ojegnya kurang dan si mang ojeg hendak meminta kekurangannya, dia sudah tak punya uang, tinggal lima puluh ribu itu pun mau dipake ongkos pulang.
Dengan nafas yang masih tersengal karena setengah maraton dari depan fakultas hingga kelas membuat keringatnya bercucuran, poninya saja sampai basah oleh keringat dan jadi menempel di kening.
"Maaf pak saya telat." Ucapnya begitu masuk dan sudah ada dosen di kelas.
Beruntung karena ini pertama kalinya dia datang terlambat, dosen memberi kesempatan dan membiarkan Jesi mengikuti kuliahnya.
Begitu pelajaran berakhir Jesi merebahkan kepalanya di meja beralaskan buku paket tebal yang ia bawa. Hari ini terasa begitu melelahkan, rasanya ingin tidur saja.
Tuk..tuk...
Ketukan di mejanya membuat Jesi dengan malas mengangkat kepala.
"Kak Zidan." Buru-buru Jesi merapikan penampilannya.
"Tumben Kakak ke kelas aku?"
"Didatengin bilang tumben. Nggak di datengin nyariin!" Saut Raya, sahabat Jesi yang duduk di belakangnya.
"Makan siang bareng yuk. Kangen, tadi malem kan kita nggak jadi nonton." Ajak Zidan.
"Sekalian jalan yuk. Udah lama juga kita nggak jalan-jalan. Shopping gitu biar fresh ini otak, ngitung mulu pusing." Raya memberi saran.
Ketiganya memang sering pergi bersama, hampir tujuh puluh persen setiap kencan pun sahabatnya selalu ikut dan Jesi bersyukur karena Zidan tak pernah keberatan akan hal itu.
"Shopping yah? Hm..." Jesi tak tau harus bagaimana mau menolak tak enak tapi jika ia ikut tak ada dana.
"Ayolah." Ajak Zidan yang sudah menarik tangannya, kalo sudah seperti ini Jesi sudah tak berdaya untuk menolak.
Selesai makan siang ketiganya mendatangi butik langganan tempat mereka biasa belanja. Pegawai butik pun sampai hafal padanya karena hampir tiap minggu mereka selalu datang.
"Jes, bagus nggak?" Raya menempelkan mini dress floral di tubuhnya.
Jesi hanya mengangguk sambil mengacungkan jempol menanggapinya. Dia duduk di sofa tunggu bersama Zidan.
"Nggak mau belanja?" Tanya Zidan, dan Jesi menggeleng lemah. Bukannya tak mau, lebih tepatnya saat ini ia bingung karena mau belanja pun uangnya tak ada.
"Jes, lo nggak milih? Banyak banget yang baru loh. Lucu-lucu." Raya datang dengan setumpuk baju di tangan kanannya.
"Nggak." Jawab Jesi lesu.
"Tumben banget. Yakin nggak mau belanja? Ntar nggak bisa tidur lo liat baju lucu-lucu nggak di beli." Ledek Raya.
"Kalo gitu gue belanja nih, tapi lo bayarin yah?" Ucap Jesi semangat, selama ini kan ia sering membayar belanjaan Raya, jadi nggak apa-apa lah kalo sekali-kali dia minta dibayarin.
"Lah kok gue?"
"Gue nggak pegang uang. Semua kartu di blokir sama ayah, tadi ke kampus aja naik angkot." Ucap Jesi jujur.
"Kok nggak bilang sama kakak, sayang? Kan bisa kakak jemput berangkatnya." Ujar Zidan seraya mengusap pundaknya, merasa kasihan pada kekasih cantiknya yang mendadak berwajah murung.
"Nggak mau ngerepotin kakak." Balas Jesi dengan manja.
"Kamu emang Jesi kesayangannya kakak." Zidan mengelus rambut panjang Jesi dengan melas.
"Jiwa jomblo gue teraniaya liat kalian kayak gitu. Gue bayar dulu dah." Ucap Raya yang kemudian berlalu ke meja kasir.
"Sini gue bantuin bawa." Jesi beranjak dan mengambil sebagian baju dari tangan Raya dan membawanya ke kasir.
Begitulah Jesi, hanya melihat temannya sedikit kerepotan pun tak tega. Dia berjalan beriringan dengan Raya. Dari tempat duduknya Zidan menatapnya sambil menahan senyum.
Keluar dari butik, keduanya berpisah. Raya memilih pulang lebih dulu.
"Gue jalan duluan." Pamit Raya.
"Kakak anterin kamu pulang." Ujar Zidan. Jesi mengangguk dan masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan tak banyak yang mereka bicarakan. Bahkan Jesi merasa masih sangat canggung jika hanya berdua dengan Zidan. Hubungan mereka yang baru terjalin selama dua bulan ditambah jarangnya menghabiskan waktu bersama membuat Jesi yang baru pertama kali pacaran itu mati gaya.
"Kak, aku turun disini aja." Ucap Jesi saat mereka tiba di depan pintu masuk perumahan elit tempat dirinya tinggal.
"Kakak anterin sampe rumah."
"Nggak usah sampe sini aja, kak." Jesi sudah melepas sabuk pengaman dan hendak turun tapi pegangan tangan Zidan di lengannya membuat dia menoleh. Terlihat Zidan yang tersenyum penuh pesona padanya, wajah tampan itu kian mendekat hingga Jesi bisa merasakan hembusan nafas Zidan diwajahnya.
"Aku turun sekarang, kak. Takut ibu khawatir, udah sore belum sampe rumah." Elak Jesi ketika bibir mereka hampir menempel. Dengan cepat Jesi membuka pintu dan berjalan setengah berlari memasuki komplek perumahan.
Dari kaca mobilnya Zidan hanya menghembuskan nafas kasar karena keinginannya hanya untuk sekedar mencium Jesi tak pernah berhasil.
Getaran ponsel di sakunya membuat Zidan seketika mengalihkan perhatian.
"Halo.... Iya sayang. Aku cuma nganterin dia sampe pintu komplek doang kok." Jawabnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!