NovelToon NovelToon

Pernikahan Berselimut Dendam

Mencari sebuah fakta

Sebuah rumah mewah itu memang terasa sangat sepi, meskipun banyak pembantu, namun Erick masih merasa sendiri setelah mamanya tercinta meninggal menyusul papanya, hanya tinggal ia dan sang paman yang selalu membimbingnya dalam berbisnis.

Belum ada tujuan untuk mencari calon istri karena Erick masih mengharapkan Alina, gadis manis yang menjadi sahabat kecilnya.

''Kenapa kamu harus pergi?'' Tanya Alina diiringi dengan tangisan khas anak kecil.

Erick mendekati gadis itu dan menyeka air matanya.

''Nanti kalau aku sudah dewasa, aku pasti akan menjemputmu, dan aku akan menjadikanmu sebagai permaisuriku,'' ucap bocah yang baru berumur tiga belas tahun tersebut.

Ucapan masa kecil itu masih sangat ternginag ngiang di telinganya, bahkan Erick sering memandangi foto Alina waktu kecil.

''Pasti sekarang kamu berubah menjadi gadis yang sangat cantik, apakah kamu juga masih centil seperti dulu? aku sangat merindukanmu, senyumanmu yang begitu indah seakan masih ada di sini,'' ujarnya mencium foto yang sudah terlihat usang lalu menempelkan gambar itu di dadanya.

Setelah aku menemukan orang yang membunuh papa, aku akan segera menjemputmu, semoga kamu masih menungguku.

''Erick.....'' Suara sang paman menggema dari balik pintu, Erick yang tadinya menitihkan air mata itupun langsung mengusapnya, tak mau terlihat lemah saat di hadapan Pak Bima.

"Masuk!"

Pintu terbuka, pria yang merawatnya dari kecil mematung di ambang pintu.

''Paman, ada apa kesini?'' tanya Erick, karena sudah satu bulan pak Bima memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri.

"Kamu persiapkan diri, besok ada meeting dengan klien dari malaysia, dan paman harap kamu bisa memenangkan tender ini." menyodorkan beberapa berkas di tangan Erick,

Erick hanya mengangguk tanpa suara. Pasalnya ia harus bertanggung jawab dengan harta peninggalan Papanya yang kini tinggal nama. Dan selama dua tahun menjadi direktur perusahaan Erick belum pernah sekalipun kalah dengan lawannya.

Keduanya memilih berbincang di ruang keluarga, karena tak hanya paman Bima, di sana juga ada Melani, dan Putra yang ikut.

Pasti sekarang Alina sudah se dewasa Melani, semoga urusanku lancar dan akan secepatnya untuk mencarinya.

Semua duduk, Jika Putra dan Melani sibuk dengan ponselnya masing masing. Erick sibuk dengan penjelasan mengenai saham perusahaan yang di gelutinya, Tak mudah, untuk menjadi atasan harus bersikap tegas dan di segani karyawan dan itu sudah melekat di diri Erick semenjak ia kehilangan kedua orang tuanya.

"Kakak hari ini nggak jalan jalan?''

Tak menjawab dengan suara, Erick hanya melirik tajam ke arah Melani yang berani membuyarkan konsentrasinya. Baginya suara yang meluncur itu hanya parasit yang mengganggunya saja.

Gadis itu menciut, padahal maksudnya hanya ingin bercanda dan membuat suasana renyah, namun tidak bagi Erick yang tetap serius dalam keadaan apapun.

Apa dia nggak bisa santai seperti bang Putra, kenapa harus marah gitu sih.

Seperti biasa, Melani hanya bisa menggerutu dalam hati, terkadang gadis itu ingin menonjok muka tampan yang saat ini duduk di samping ayahnya, namun keberanian itu selalu bersembunyi saat di dekat pria gagah tersebut.

Sedangkan Putra hanya bisa menahan tawa dan bersiul. Kasihan deh, lo, emang enak.

''Paman,'' panggil Erick setelah selesai membahas kerjaannya.

Pak Bima menoleh menatap wajah Erick yang terlihat di penuhi dengan keraguan.

''Kenapa, apa ada masalah yang ingin kamu tanyakan?''

Tanya lagi pak Bima.

Akhirnya Erick mengangguk lagi.

''Ini tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.''

Deg.... tiba tiba saja jantung pak Bima berdetak dengan kencang, wajahnya yang mulai memucat di penuhi dengan peluh, kejadian yang tak seharusnya di ungkit lagi itu kini mulai di buka kembali oleh Erick, sang keponakan.

''Aa.... ada apa dengan lima belas tahun yang lalu?'' tanya Pak Bima gugup, dan itu langsung tertangkap oleh Erick.

''Paman kenapa?'' pria itu memegang tangan pak Bima yang mulai dingin.

Pak Bima menggeleng cepat, mengatur nafasnya yang sempat sesak sekejap.

''Paman cuma trauma saja melihat papa kamu waktu itu,'' jawabnya, meskipun masih di selimuti kegugupan pak Bima mencoba untuk rilex.

Erick menunduk, meskipun sudah lima belas tahun, namun bayangan mayat papanya yang berlumuran darah itu masih jelas nampak di matanya. Apa lagi Erick sendiri yang menyaksikan saat detik terakhir papanya menghembuskan nafas, namun sayang, ia sudah tak melihat orang yang dengan teganya menghabisi nyawa sang Papa.

''Paman, selama ini aku memang diam, tidak pernah mengungkit kematian papa yang masih misteri, dan sekarang aku ingin mencari orang itu, aku ingin balas dendam dengan penderitaan yang di terima papa, jika orang itu masih hidup, aku ingin dia merasakan apa yang papa rasakan,'' mengepalkan kedua tangannya, seakan siap menghantam siapapun yang ada di depannya.

'Aku harus bilang apa, nggak mungkin aku jujur sama Erick.' ucapnya dalam hati.

''Erick, apa kamu yakin ingin balas dendam dengan kematian papa kamu?'' tanya Pak Bima.

Erick mengangguk yakin, bagaimanapun juga kematian papanya lah yang membuat hidupnya berubah seratus persen, dan musibah yang menimpa itulah yang membuatnya harus berpisah dengan Alina, gadis kecilnya.

Huhh.... pak Bima menghembuskan nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya, otaknya masih berkelana.

''Paman akan bantu kamu, jangan khawatir, serahkan semuanya pada paman, kamu cukup fokus pada perusahaan saja.''

Erick sedikit lega, ternyata pamannya masih sangat peduli dengan urusannya.

''Paman.'' Kini kedua sudut bibir Erick sudah di hiasi dengan sebuah senyuman manis.

Melani yang menyaksikan hanya bisa menyengir lalu memotret wajah tampan itu dari samping.

Nah, itu kan tampan, ngapain harus cemberut terus sih.

''Paman kenal Alina kan, putri pak Johan.''

Pak Bima diam masih mengingat ingat nama yang di sebut Erick.

Johan, Alina, apa gadis yang waktu itu menggigitku. Dia kan anak Johan, sahabat papanya Erick, Ini kesempatan bagus buatku, akhirnya Aku bisa mendapatkan jalan keluar. batinnya.

Akhirnya pak Bima mengangguk. ''Kenapa dengannya?''

''Aku ingin mencarinya dan melamarnya menjadi istriku, apa paman masih ingat di mana rumah pak Johan?''

''Itu gampang, paman akan cari tau secepatnya dimana rumahnya.''

Akhirnya keberuntungan itu ada di pihakku, dan aku akan membuat Erick sendiri yang membalaskan dendamku padanya karena sudah berani menggigitku dan memukulku waktu itu.

''Alina, siapa dia?'' tanya Melani yang makin penasaran, karena selama ini gadis itu tak pernah mendengar nama yang menurutnya asing.

''Kamu tidak perlu tau, yang terpenting urus kuliahmu.''

Apa dua manusia itu terbuat dari robot, kaku banget.

Putra ikut mengernyit mendengar nama itu.

''Alina, sepertinya aku kenal dia.''

Erick dan pak Bima menatap wajah Putra yang kini garuk garuk kepala.

''Dia bekerja di restoran Z, tapi dia sudah nggak punya papa dan tinggal sama bibinya.'' lanjutnya.

''Halah... nama Alina kan banyak, mungkin saja itu Alina lain.'' cibir Melani dengan juteknya.

Benar kata Melani, mungkin yang di kenal Putra bukan Alina ku. Tapi Alina lain.

Janji Erick

Bruukkk...suara tabrakan mobil dan motor menggema, semua karyawan yang menyaksikan segera mendekat menolong pengendara motor yang kini melepas helm dalam keadaan berbaring.

Shhiittt.... pagi pagi harus ada drama, ujung ujungnya minta ganti rugi.

Pria yang masih ada di dalam mobil itu hanya bisa memukul setirnya dan menggerutu.

''Tu,.... ini mah kayak di film film, tabrakan lalu di marahin bos gara gara makanannya hancur,'' dalam keadaan terluka masih sempat sempatnya mengoceh.

Seorang gadis hanya bisa menatap nanar makanannya yang kini berantakan di bawah, motornya roboh, sedangkan ia mengalami luka kecil bagian lutut setelah kuda besinya menghantam mobil yang juga masuk bersamaan.

''Gimana ini?'' ada sebuah penyesalan pada dirinya, pasti ia harus bertanggung jawab atas apa yang di bawanya.

Pengendara mobil itu segera turun saat melihat kerumunan yang menghalangi mobilnya untuk masuk.

Ehemm... suara deheman berat membuyarkan para karyawan untuk segera kembali setelah menyapa ramah.

''Siapa yang salah?'' tanya pria itu dengan kedua tangan yang masuk kantong celana.

Gadis itu menoleh dan mendongak menantap pria yang mematung di belakangnya dengan pandangan jauh ke depan.

Sepertinya aku mengenalnya, tapi siapa ya?

''Harusnya bapak juga lihat dong, kalau Saya ini bawa makanan, jadinya kayak gini kan rugi, belum gajian lagi, uang dari mana coba buat ganti,'' mencoba untuk bangkit menghampiri makanan dan memungutnya.

''Pagi pak,'' Sapa Sigit, sang sekretaris yang baru keluar dari dalam.

Hemm..... jawabnya. ''Kasih dia uang, dan siapkan meeting hari ini.

''Baik pak,'' jawab Sigit lalu meraih uang di saku celananya.

''Ya Ampun Alina, lain kali hati hati.''

Mendengar suara sekretarisnya, pria itu menghentikan langkahnya lalu menoleh menatap punggung keduanya yang sedang membersihkan sisa kotoran.

Alina, nama dia Alina, dan sepertinya dia pekerja restoran, apa wanita itu yang di maksud Putra.

Ya, ternyata gadis itu bernama Alina yang bertugas mengantarkan makanan setiap ada pesanan.

''Iya pak, memang saya yang salah, tadi malam Bibi suruh nyuci bajunya, jadi saya telat tidur, dan sekarang masih ngantuk,'' jawabnya diiringi dengan menguap.

''Untung kamu nabrak mobil bos di sini, kalau di jalan raya kan bisa panjang urusannya.''

Pria yang masih mematung itu dengan jelas mendengar ungkapan Alina.

Iya benar, ternyata dia adalah Alina yang di maksud Putra, bukan Alina ku.

Setelah mendapat kejelasan, pria itu kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk.

Sedangkan Alina yang baru saja menerima uang kembali untuk mengambil makanan, kali ini ia sedikit buru buru takut terlambat.

''Baru datang, Rick,'' suara itu mengejutkan Erick yang masih traveling dengan otaknya, entah kenapa ia masih memikirkan gadis yang membuat mobilnya tergores.

''Iya paman, apa klien kita sudah datang?'' tanya Erick.

''Belum, mungkin perjalanan kesini,'' melihat jam yang melingkar di tangannya.

Keduanya berjalan menuju ruangan Erick, karena pak Bima memang sengaja datang karena ingin menunjukkan sesuatu yang sangat penting.

Lima belas menit Alina sudah tiba di restoran tempatnya bekerja, gadis itu tergopoh gopoh menghampiri Erna untuk membuatkan makanan kembali seperti tadi.

''Memangnya yang tadi ke mana?'' Erna penasaran seraya menyaksikan nafas Alina yang ngos ngosan.

''Ceritanya panjang, ini uangnya, dan tolong cepat, nanti kalau terlambat bisa bisa aku kena marah si bos.''

Tak menunggu waktu, semua sahabatnya membantunya untuk kembali membuat makanan.

Untung masih ada sisa, mereka tinggal menata dan itu tak butuh waktu lama, hanya berkisar tiga puluh menit sudah siap di antar. Namun waktunya tinggal lima belas menit.

"Hati hati ya!" seru Erna saat Dinda membawa makanannya keluar.

Baru saja membuka pintu depan, Alina merasa ada malaikat penolong datang.

"Bang Putra, bang, tolong dong anterin ke PT Distro depan." menunjuk ke arah kanan.

Itu kan perusahaan kak Erick.

Putra yang memang sudah mengenal Alina segera membantunya membuka mobilnya.

"Terlambat lagi?"

Alina menggeleng, dan menceritakan kejadian yang tadi pagi menimpanya secara detail.

"Wah... kalau lihat yang menabrak kamu sudah aku tonjok dia."

Alina tertawa keras... "Mana mungkin bang Putra berani, kayaknya dia bos perusahaan itu." Jelasnya.

Itu artinya yang nabrak Alina kak Erick sendiri dong. Jika yang di cari Alina ini pasti Kak Erick mengenalnya, tapi sepertinya bukan.

Jika naik motor harus menempuh jarak lima belas menit, kini cukup tujuh menit Alina sudah tiba di depan perusahaan tadi.

''Perlu aku bantu?'' Tawar Putra.

Alina menggeleng.

Dengan langkah besar ia memasuki kantor itu membawa makanannya dengan dua tangannya.

''Langsung bawa ke lantai 13 saja, nanti Mbak cari ruang meeting.''

Alina mengangguk.

Mudah mudahan saja mereka belum ada di ruangan itu.

Gadis itu merasa was was saat keluar dari lift, seperti biasa tak sendiri, gadis itu di bantu OB yang sudah menunggu di sana.

''Mbak telat, semua tamu sudah di dalam,'' kata OB membuat Alina menciut, bahkan sedikit tak ada keberanian masuk.

Apakah hari ini adalah hari sialku, setelah semalam dapat hukuman dari bibi, apakah nanti aku akan di pecat gara gara keteledoranku.

Setelah menghirup napas dalam dalam, Alina mengetuk pintu.

Pintu terbuka, Sekretaris Sigit mematung di sana dengan wajah serius.

"Silahkan!" memberi jalan untuk Alina masuk.

''Maaf pak, Saya terlambat." ucapnya sembari menunduk.

Alina melewati ruang meeting menuju ruang makan khusus para tamu penting, ternyata di sana juga sudah tersaji beberapa menu mewah.

"Lain kali jangan seperti tadi." bisik Sigit saat Alina selesai dengan tugasnya.

Dengan menundukkan kepala, Alina kembali keluar melewati seorang pria yang membenarkan dasinya. Dan itu tak sengaja tersorot oleh matanya, sesuatu yang memang sangat ia kenal.

Tangan ini, bukankah tangan ini, Ah... mungkin cuma kebetulan saja, manusia di dunia ini begitu banyak, dan aku tidak boleh berburuk sangka.

Karena begitu lelah, Alina langsung saja duduk di kursi depan ruangan itu, mengembalikan tenaga yang dari pagi terkuras habis.

"Siapa dia, apa dia juga klien perusahaan ini, ataukah dia anggota pekerja disini, terus siapa pemilik perusahaan ini. Kalau memang benar dia orangnya, itu artinya..." Alina kembali diam dan tak melanjutkan omongannya.

Kak Erick, kamu di mana, apa kamu lupa sama janji kamu untuk menjemput aku, aku tersiksa di rumah Bibi, aku butuh kamu.

Banyak tanda tanya dalam hati Alina, namun ia harus segera pergi mengesampingkan apa yang baru saja di lihatnya demi pekerjananya.

Setelah selesai meeting yang cukup menegangkan, dan Erick berhasil memenangkan tender, kini tinggal pria itu dan pak Bima yang ada di ruangan.

Pleekkk.... berapa foto terlempar di atas meja.

''Apa ini, Paman?'' tanya Erick sebelum menyentuh beberapa gambar di depannya.

"Lihat saja sendiri!" ucapnya tegas.

Dengan sigap Erick mengambil gambar itu.

"Ini kan om Johan dan papa." cicitnya sembari menatap gambarnya satu persatu. Tiba di paling akhir, terlihat dalam gambar itu keduanya seperti berdebat.

"Untung perusahaan masih menyimpan semua data data dan video sebelum kejadian papa kamu meninggal."

Pak Bima membuka laptop dan memutar sebuah Video lima belas tahun yang lalu.

Dengan seksama keduanya menyaksikan perdebatan hebat antara papa Erick dan papa Alina, keduanya memperebutkan saham antar perusahaan, dan terbukti jelas jika keduanya tak ada yang mengalah.

"Ini tanggal kejadian saat cctv menangkap kejadian." Dan malamnya Papa kamu terbunuh." jelasnya lagi.

''Erick Tercengang, tak menyangka dengan apa yang saksikan, tak pernah terpikir olehnya kalau papanya dan papa Alina punya masalah sebelum terbunuh.

"Dan kemungkinan besar Papa Alina lah pembunuh papa kamu."

Erick mengepalkan kedua tangannya dan mengeratkan giginya, emosinya melunjak setelah mendengar ucapan pak Bima.

Aku berjanji, demi apapun di dunia ini, aku akan membalas apa yang papa rasakan, meskipun itu pada gadis yang aku sayangi dulu.

Galau

"Silahkan paman keluar!" dengan suara yang gemetar Erick menunjuk pintu ruangan meeting.

"Baiklah, paman harap kamu mengambil keputusan yang benar, papa kamu lebih penting dari pada perempuan itu, dan paman harap kamu bisa membalaskan dendam dia."

Erick hanya diam meresapi setiap kata pak Bima.

Pria itu terlihat kacau, setelah Pak Bima menghilang bersamaan pintu yang tertutup rapat, Erick menggebrak meja dan membuang semua dokumen yang ada di hadapannya.

Tak menyangka dia akan di kejutkan dengan kenyataan yang tak pernah terlintas dalam otaknya.

Arghhh.... bahkan pria itu mengerang dan menjambak rambutnya, antara benci, dendam dan cinta menumpuk memenuhi otaknya.

"Aku harus bagaimana?" meskipun dendamnya sangat menggebu, tak menyurutkan kalau ia sangat merindukan gadis kecilnya.

"Kalau aku menyakiti om Johan, pasti Alina akan marah dan terluka, dan jika aku membiarkan mereka, ini tidak adil buat papa."

Erick beranjak dan memukul tembok sekeras kerasnya, tak peduli dengan tangannya yang memar.

''Pak Erick....'' Seru Sigit yang baru saja masuk.

Sigit yang terlihat cemas menghampiri Erick dan kembali membawanya ke kursi.

"Keluar kamu, Keluar!" teriaknya, namun tidak bagi Sigit yang sudah kebal dengan bentakan dan pukulan dari Erick.

Sigit hanya diam meneroboskan suara itu dari telinga kanan ke telinga kiri sembari mencari kotak obat untuk mengobati luka di tangan Erick.

"Maafkan Saya." Sigit berlutut di depan Erick.

"Silahkan pukul Saya jika bapak mau, Tapi saya mohon jangan menyakiti diri bapak sendiri." Tuturnya lagi.

Erick hanya bisa memejamkan mata, tak bisa melampiaskan kekesalannya pada orang yang sangat setia padanya. Orang yang bertahun tahun bekerja dengan dirinya, selalu menemaninya di saat senang maupun susah.

"Bangunlah, obati lukaku!" Titahnya saat darah di tangannya mulai menetes mengotori lantai.

Setelah mengangguk, Sigit kembali berdiri dan membasuh luka di tangan Erick.

Aku yakin kalau pak Erick seperti ini bukan urusan bisnis, apa ini ada hubungannya dengan kematian papanya.

Sigit hanya bisa menerka dalam hati, tak mungkin menanyakan masalah bosnya saat di liputi amarah.

Dengan perlahan dan telaten Sigit membalut tangan Erick dengan perban hingga rapi, tak mau sedikit pun ada kecacatan dalam bekerja, pria itu akan melakukan apapun yang terbaik untuk Erick.

"Apa kamu pernah jatuh cinta?" tanya Erick tiba tiba.

Sigit menghentikan aktivitasnya dan membulatkan matanya, bagaimana bisa bisanya bertanya masalah yang tak seharusnya di bicarakan di kantor, itu menurut Sigit.

"Pernah," jawab Sigit singkat, meskipun malu ia tak mau berbohong.

"Dia,_ ucapan Sigit terpotong saat Erick menepuk bahunya.

"Aku hanya tanya, jangan di ceritakan."

Pertanyaan macam apa itu, apa sekarang dia sedang jatuh cinta, perempuan mana yang beruntung menembus jantung dan hatinya. Sigit hanya bisa bicara dalam hati, takut jika ucapannya adalah kesalahan.

Setelah hening sejenak, Erick beranjak dari duduknya dan meninggalkan Sigit yang masih banyak pertanyaan.

Aku harus secepatnya cari Om Johan, dia harus bertanggung jawab apa yang sudah di lakukan pada papa.

Erick yang masih di selimut emosi hanya bisa mengepalkan tangannya dan mengeratkan giginya.

"Tadi aku lihat biasa saja saat rapat, tapi setelah pak Bima keluar, Pak Erick marah, apa ada masalah dengan mereka." gumamnya mengejar Erick yang kini sudah masuk ke dalam ruangannya.

Seperti biasa, Sigit hanya mematung di samping meja menunggu perintah selanjutnya.

"Kamu cari wanita yang ada di foto ini!" melemparkan gambar yang bertahun tahun menjadi temannya ngobrolnya sebelum tidur.

Dengan sigap Sigit menangkap foto itu hingga tak sampai menyentuh lantai.

Wanita, ini mah bocah baru tujuh tahun.

Terlihat aneh di mata Sigit saat menatap foto anak kecil dengan rambut di kunci dua.

"Itu foto lama, sahut Erick, sepertinya pria itu membaca bahasa kalbu Sigit yang sedang menggerutu.

"Baik pak," ucapnya langsung berlalu.

Baru aja memegang knop, Sigit kembali memutar tubuhnya menghampiri Erick yang sedang sibuk dengan laptopnya.

"Anak pak Johan, sekarang umurnya 20 tahun, namanya Alina Fitriani. Dulu tinggal di kota B." jawaban sebelum pertanyaan Sigit meluncur.

Bilang dong dari tadi.

Setelah mendapat keterangan yang jelas, Sigit keluar karena ia tak mau Erick berlama lama menunggu kepastian darinya.

Sebelum menjalankan tugas rangkapnya, Sigit mengeluarkan ponselnya menghubungi Putra.

"Halo Putra, Aku mau pergi ke kota B, kamu jaga Pak Erick sampai aku kembali," ucapnya, tanpa menunggu jawaban langsung menutup sambungannya.

Putra yang berada disebrang sana hanya bisa mengomel pada layar ponselnya dan tak bisa berbuat apa apa selain melaksanakan titah.

"Mau kemana, bang?" tanya Alina saat Putra beranjak meninggalkan restoran. Padahal makanannya belum habis.

"Ada tugas penting dari komandan," jawabnya memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana.

"Polisi?" tanya Alina dengan polosnya.

"Bukan, komandan Sigit, sekretaris kak Erick."

Deg, jantung Alina berpacu dengan kencang mendengar nama yang di sebutkan Putra, namun ia tak bisa bertanya lagi karena saat ini punggung Putra sudah berada di luar restoran, sedangkan Ia masih sibuk dengan pekerjaan lainnya.

"Erick, apa itu hanya nama yang kebetulan sama dengan Kak Erick, kenapa akhir akhir ini aku jadi sering ingat dia, di mana keberadaannya. Kenapa dia tidak mencariku, apa dia sudah menikah dengan perempuan lain dan melupakan aku." gumamnya kecil.

"Siapa yang menikah?" suara seorang laki laki membuatnya tersentak kaget.

"Pak Anton." Alina memutar tubuhnya hingga keduanya saling tatap.

"Maaf pak, saya ke belakang dulu," ternyata sang pemilik restoran sekaligus pria yang menyukainya.

"Tunggu!" Suara Anton menghentikan langkah kaki Alina.

Anton kembali mematung di depan Alina.

''Kamu belum jawab pertanyaanku? siapa yang kamu maksud?''

Aku nggak mungkin jujur sama pak Anton, biarlah kisah yang terlalu rumit itu aku pendam sendiri.

''Teman Saya pak, dulu sewaktu Saya masih tinggal di kota B.'' Bohong.

O.... pria itu hanya manggut manggut dan menatap punggung Alina berlalu menuju belakang.

Sesampainya Alina kembali duduk, masih ngiang ngiang nama Erick yang baru saja terlontar dari mulut Putra.

''Kenapa lagi, lancar kan tadi?'' tanya Erna yang belum sempat menanyakan pengiriman makanan yang kedua.

''Er.'' panggilnya meraih tangan sahabatnya.

''Apa, kamu menerima cinta pak Anton?'' tanya nya menggoda, karena pak Anton memang sudah beberapa kali menembak Alina.

''Bukan,'' jawabnya menepuk tangan Erna

''Lalu?'' tanya Erna lagi.

Wajah Alina mulai berkaca. ''Aku merindukan seseorang, kami berpisah lima tahun yang lalu, dan sampai sekarang aku tidak bisa menerima laki laki lain karena dia berjanji akan menjemputku, tapi sampai sekarang dia belum ada kabar, aku jadi ragu, apa dia masih setia sepertiku, atau ada wanita lain yang kini ada di sampingnya.''

Erna tertawa keras, tak menyangka kalau Alina gadis cerewet itu bisa terlihat galau.

Erna ikut duduk di samping Alina.

''Ini era modern, kamu jangan percaya sama laki laki jaman sekarang, mereka itu sama saja, jika lihat yang bening sedikit pasti akan berpaling. Apa lagi kamu dan laki laki itu berpisah sudah sangat lama, bisa juga dia sudah beristri. Jangan terlalu berharap dengan apa yang belum pasti.''

Alina diam, Ia mencerna kata yang keluar dari mulut Erna yang ada benarnya.

Tapi kenapa aku yakin kalau kak Erick bukan laki laki yang seperti itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!