NovelToon NovelToon

Bukan Salah Takdir

Bab 1. Prolog

"Sampai jumpa lagi."

Itulah kalimat yang aku dengar beberapa jam lalu saat aku akan pergi ke negara orang untuk mengamati secara langsung proyek perusahaan Abi. Aku hanya bisa menghela nafas panjang saja, berat bagiku untuk meninggalkan keluarga ku apalagi kedua keponakan yang sangat aku sayangi.

Mungkin ini terlalu lebay bagi seorang pria, tapi aku berbeda dari pria lain. Aku hidup di kelilingi keluarga ku, aku tak bisa jauh-jauh dari Umi. Apabila aku jauh dari umi aku akan demam, itu dulu. Kalau sekarang sudah bisa di kendalikan.

Abang ku yang tampan dan ramah itu sudah menikah di umur 27 tahun dan sekarang sudah memiliki anak. Kini kami sudah sama-sama berusia 28 tahun, dia menjadi seorang ayah dan suami sedangkan aku merana akan tugas perusahaan yang semakin menumpuk.

Semoga waktu berputar dengan cepat, aku ingin segera pulang dan memeluk kedua keponakan ku yang gembul-gembul itu.

"Mari tuan," ucap Davian atau Vian. Dia asisten sekaligus sekretaris di perusahaan menggantikan ayahnya paman Roy.

Pesawat sudah mendarat dengan selamat, aku pun mengikuti langkah kaki Vian. Aku akan berdiam di negara ini selama dua Minggu.

Mobil sudah ada di kawasan bandara, ada beberapa suruhan Abi yang sudah siap siaga di sini dari beberapa hari yang lalu. Meski aku sudah dewasa, tapi Abi tetap selalu menaruh anak buahnya untuk mengawasi keluarga nya.

Bukan tanpa alasan, Abi melakukan itu karena Abi memiliki perusahaan yang besar yang pastinya memilki musuh dalam bisnis.

"Apa kita langsung ke penginapan, tuan?" tanya Vian sembari fokus mengemudi.

"Iya," jawab ku. Mana mungkin aku ke lokasi proyek dalam keadaan galau dan lelah ini. Aku sudah sangat merindukan Umi dan juga dua gembul ku.

Aku juga ingin punya anak, mungkin kembar lima lebih baik. 4 laki-laki dan satu perempuan. Pasti sangat menyenangkan.

"Kita sudah sampai, tuan." Ternyata sudah sampai, sepanjang perjalanan aku hanya melamun saja hingga tak sadar aku pun sudah tiba di sebuah villa mewah.

Sekali lagi aku tekankan, aku ini bukan bang Rafka yang suka akan kesederhanaan seperti Umi. Aku ini mengikuti Abi yang suka hal-hal mewah dan canggih.

"Silahkan, tuan." Aku masuk ke dalam villa itu lalu berjalan mengikuti Vian yang akan menunjukkan kamar ku.

Lumayan juga lah, walau ukurannya tidak seperti kamar di rumah ku.

Aku membaringkan tubuhku yang lelah ini, nanti besok saja ke lokasi proyek nya.

Aku lelah dan ingin makan.

*****

Author POV.

Di sebuah mansion yang besar, terlihat seorang gadis muda sedang duduk di ayunan halaman belakang sembari berdendang kecil.

Fauziah Azahra Raymond, itulah namanya. Putri pertama di keluarga Raymon yang biasa di panggil Zia.

"Zia," panggil Daniel melambaikan tangannya ke arah putrinya.

Zia yang melihat kedatangan Abi nya pun langsung tersenyum lalu berjalan mendekati sang ayah.

"Abi sudah datang?"

"Sudah, sayang. Assalamualaikum," jawab Daniel sembari memberi salam.

"Wa'alaikumusalam warohmatullahi wabarakatuh, Abi."

"Abi bawakan ini untuk, Zia. Mau?" tawar Daniel menunjukkan beberapa eskrim dengan berbagai rasa.

"Mau," jawab Zia senang.

"Umi dimana, Abi?" tanya Zia sembari duduk di pinggir kolam dan menikmati eskrim pemberian sang ayah.

"Umi sedang menemani nenek ke butik, biasa emak-emak." Daniel pun ikut duduk di samping putrinya yang sudah dewasa itu.

Usia Zia sudah memasuki 25 tahun, sudah matang untuk menikah. Hanya saja, Daniel belum menemukan yang cocok untuk Zia. Lagi pula Zia belum mau menikah, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatinya walau sudah banyak lamaran yang ia terima.

Zia berprofesi sebagai guru TK, mungkin bagi segelintir orang itu hanyalah pekerjaan biasa dengan gaji yang kecil. Namun, bagi Zia mengajar anak-anak paud itu sangatlah mulia. Ia tak memikirkan gaji yang ia dapat, yang ia pikirkan hanyalah nyaman.

Lagi pula untuk apa memikirkan uang, ia saja akan memegang perusahaan Abi nya nanti. Guru TK itu hanya sebagai pelengkap kehidupan Zia saja.

"Terus kalau bapak-bapak suka apa?" tanya Zia.

"Minum kopi," jawab Daniel terkekeh.

"Abi saja tidak suka minum kopi," ucap dia mengambil lagi satu bungkus eskrim nya.

"Oh ya, Zia. Anak Wira akan datang kemari, maksudnya keluarga nya bersama anaknya akan datang nanti malam," ucap Daniel membuat kening Zia berkerut.

"Siapa itu, Abi? Zia tak kenal," tanya Zia.

"Rekan bisnis Abi, masa tidak kenal sih?"

"Zia tidak kenal, Abi."

"Owalah," tawa Daniel lepas.

"Untuk apa mereka kemari, Abi?"

"Melamar mu," jawab Daniel santai.

"Zia lelah dengan acara lamar melamar ini, Abi. Tak ada yang bisa membuat Zia luluh, mereka hanya suka dengan harta yang kita miliki saja. Kenapa banyak sekali sih laki-laki mata duitan, seharusnya yang mata duitan itu perempuan." Zia menumpahkan unek-unek yang ada di kepalanya.

"Kita lihat saja nanti malam, sayang. Kalau tidak cocok yah hempaskan," sahut Daniel mengedip sebelah matanya.

"Hahahahaha, Abi luar biasa."

****

Malam harinya tepatnya pukul delapan malam setelah shalat isya.

Mansion Raymond kedatangan tamu dari keluarga Wiratama, keluarga pengusaha tambang emas.

Sebelum ke intinya, mereka makan malam terlebih dahulu. Terlihat Zia tak nyaman karena di tatap oleh putra dari Wiratama yang bernama Varel.

Zia tampak cantik malam ini walau hanya memakai gamis dengan satu warna yaitu warna coksu. Tak ada riasan karena memang sudah cantik dari sononya.

Setelah selesai makan malam, barulah mereka berkumpul di ruang keluarga. Keluarga Wiratama tampak tegang melihat tatapan dari Malik serta Daniel, mau melamar gadis Raymond saja semacam mau melamar malaikat maut.

"Jadi kedatangan kami kemari adalah meminang putri dari keluarga Raymond Fauziah Azahra Raymond untuk disandingkan dengan putra kami Varel Andara Wiratama," ucap pak Wira dengan nada ramah serta sopan.

"Apa kelebihan anak mu?" tanya Daniel dengan eskpresi datar.

"Anak saya...

"Biarkan putra mu yang menjawab, Wira. Yang ingin menikah kan putra mu," sela Malik santai.

"Oh, baiklah pak Malik. Varel, jelaskan," sahut Pak Wira ramah.

"Kelebihan saya banyak, om. Saya pandai berbisnis, romantis, bisa memasak, bisa bersih-bersih juga, good looking, saya juga bisa menyenangkan istri saya," papar Varel dengan bangga.

"Hm, anda di tolak, nak Varel. Dari kelebihan yang anda sebutkan, anda tidak memaparkan bahwa anda rajin shalat atau bisa shalat, saya ingin suami dari anak saya adalah laki-laki yang taat walau ia tak punya harta benda sekali pun," jelas Daniel dengan tegas.

"Mengapa anda tidak menanyakan terlebih dahulu pada putri Anda, tuan? Bukankah yang di lamar itu putri anda, bukan anda."

Daniel tampak menghela nafas panjang lalu mengkode Zia agar memberikan keputusan atas lamaran keluarga Wiratama.

"Mohon maaf, tapi saya tidak bersedia," jawab Zia dengan nada sopan agar tak membuat keluarga Pak Wira sakit hati.

"Sombong sekali," ketus Tante Varel.

"Iya, kalian terlalu sombong. Banyak sekali kriteria yang kalian inginkan, kalian pikir anak perempuan kalian itu bidadari dari surga. Kalau begini tau nya, tak usah kami capek-capek kemari," sambung ibu Varel dengan nada ketus.

"Pak Malik, anda orang tertua di sini. Apa anda tak bisa memberi solusi? Kami datang dengan itikad baik yaitu melamar cucu anda. Anda pastinya tak ingin kan cucu anda itu menjadi perawan tua," lanjut pak Wira berharap Malik menanggapi.

"Baru beberapa detik kalian di uji kalian sudah menampakkan wajah asli kalian. Asal kalian tau, kami memang selalu menolak lamaran siapapun yang datang kemari untuk melihat reaksi mereka. Dan reaksi mereka lah yang akan menentukan di terima atau tidaknya lamaran itu. Sekarang saja kalian sudah memaki secara halus cucu ku, bagaimana jika dia menikah dengan putra kalian? Kalian pasti akan memaki nya jika ia berbuat kesalahan," jelas Malik tersenyum menyeringai.

"Cih, kalau anda ingin mencari yang sempurna maka tunggu saja sampai ajal menjemput. Ayo, Pa. Kita pulang saja, aku sudah tak berselera melihat keluarga ini. Biar saja anak perempuan mereka menjadi perawan tua!" ketus Varel berdiri dan berjalan meninggalkan dua keluarga yang masih duduk.

"Perawan tua, perawan tua. Bilang saja kau sakit hati karena di tolak putri ku, dengan bangganya kau mengatakan bahwa kau good looking. Tapi kulihat macam peyek pun," ketus Zahra berdiri sembari berkacak pinggang.

"Pergi kalian dari sini, tanpa kalian pun cucu ku akan menikah! Melihat tampang attitude kalian, aku jadi muak! Pergi sana!" usir Aisyah dengan tampang galak dan mata melotot.

Bahkan Daniel dan yang lainnya hanya bisa geleng-geleng saja. Semakin naik umur, semakin garang.

Keluarga Wira pun pergi dengan wajah yang merah padam menahan amarah serta malu. Bisa-bisanya mereka di permalukan seperti ini.

Setelah kepergian keluarga Wira, Zahra mengelus punggung Xia dengan lembut.

"Umi yakin suatu saat ada laki-laki yang bisa membuat mu nyaman, nak."

"Terimakasih, Umi."

_

_

_

_

_

_

_

...Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh readers....

Bertemu lagi dengan author yang baik, ramah lingkungan dan tak suka menabung ini.

Semoga kalian suka yah dengan kisah Razka.

Salam sejahtera, salam toleransi.

Untuk umur Zia sudah author rombak yah, seharusnya tak jauh dari umur Razka. Cuma nanti ketuaan😂

Jangan lupa beri dukungan untuk author agar semangat dalam membuat cerita menarik lainnya.

Terimakasih.

to be continue.

Bab 2. Pertemuan

Keesokan harinya.

Razka akan segera pergi ke lokasi proyek, ia tak mau menunda lagi. Semakin di tunda semakin lama ia bisa pulang dan berjumpa dua keponakan nya.

"Vian ayo cepat," titah Razka sudah masuk ke dalam mobil sedangkan Vian masih berbicara dengan anak buah Gabriel.

Vian pun langsung masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju lokasi proyek.

Di perjalanan tampak Razka menikmati keindahan kota di negara orang, banyak orang-orang yang memilih berjalan kaki daripada menaiki kendaraan.

Beberapa menit kemudian, mobil sudah sampai di lokasi proyek. Razka turun dari mobil lalu langsung mengamati perkembangan proyek.

Di sisi lain, Zia baru saja selesai mengajar. Jam belajar anak TK memanglah sebentar, jam 10 pagi sudah keluar.

Zia tadi datang diantarkan Daniel karena memang wanita itu tengah kurang sehat. Mental Zia sangat lemah begitu juga dengan fisiknya. Ia sering kesurupan karena mental lemah itu.

"Abi lama sekali," gumam Zia suntuk menunggu jemputan. Ia ingin naik taksi tapi ia takut kejadian masa lalu terulang lagi dimana supir taksi pernah mau mencoba melecehkan nya. Ia takut kejadian itu terulang kembali.

"Eh, Bu Zia kok belum pulang?" tanya seorang pria yang juga guru di TK itu.

"Menunggu jemputan," jawab Zia seadanya.

"Oh, bagaimana kalau saya hantarkan saja bu?" tawar pria itu tersenyum ramah.

"Tidak perlu, pak."

"Tak apa, saya hantarkan saja. Kalau di sini sendirian bisa di culik hantu genit loh Bu," ucap pria itu tetap kekeuh.

"Tidak perlu, pak! Saya bisa pulang sendiri!" tekan Zia berdiri dari duduk nya lalu mengambil tas ranselnya dan memilih berjalan meninggalkan pria itu.

Zia semakin mempercepat langkahnya ketika pria itu masih mengikutinya dan menawarkan agar Zia di hantarkan.

Hingga akhirnya Zia pun melihat pria itu tak mengejar lagi, ia menghela nafas lega dan melanjutkan jalannya. Ia akan berhenti di persimpangan jalan nanti. Namun, sebelum itu ia harus memberitahu Abi nya dulu.

Zia terus berjalan menuju simpang jalan yang masih sedikit jauh, kepalanya sudah pusing karena panas. Meski masih jam 10, tapi cuaca di kota itu sangat terik.

"Ya Allah panas sekali," gumam Zia memijit pelan kepalanya.

Wajahnya sudah pucat, pandangan nya juga kabur. Perutnya serasa di aduk dan ingin muntah.

Hingga tanpa aba-aba Zia pun tumbang juga. Para pejalan kaki seketika berhenti untuk melihat, tak ada yang berinisiatif untuk menolong atau mengangkat tubuh wanita yang sudah jatuh pingsan di hadapan mereka.

Di saat itu pula Razka baru saja selesai mengontrol perkembangan proyek nya dan melihat ada kerumunan tak jauh dari tempatnya.

Ia pun penasaran dan berjalan mendekat lalu melihat apa yang dikerumuni.

"Bagaimana ini?"

"Kemana keluarga nya?"

"Apa kita harus menolongnya?"

"Aku takut menolongnya, kalau nanti ada sesuatu bagaimana?"

Razka tak habis pikir, bagaimana bisa masyarakat di sini tidak punya empati melihat seseorang yang sudah terkapar tak berdaya di hadapannya.

Ia pun berinisiatif menolong, awalnya ragu karena yang pingsan itu wanita. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau di biarkan ia akan menjadi manusia dzalim.

"Vian bawa kemari mobilnya!" titah Razka.Vian pun dengan cepat membawa mobil lalu melajukan mobil mendekati tuan nya.

Dengan sigap Razka mengangkat tubuh Zia lalu memasukkan nya kedalam mobil.

"Kalian manusia, tapi tak bisa memanusiakan manusia lainnya!" sinis Razka menatap kerumunan itu lalu masuk ke dalam mobil.

"Ke puskesmas terdekat saja," ucap Razka.

Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang karena Vian belum tau dimana puskesmas itu.

Di sisi lain, Daniel sudah ada di simpang jalan menunggu putrinya. Perkiraan nya Zia pasti sudah sampai di simpang jalan, tapi kenapa belum ada.

Daniel pun mencoba menghubungi ponsel Zia namun tak diangkat. Ia menjadi khawatir, apalagi putrinya sedang kurang sehat tadi ditambah cuaca terik.

******

Puskesmas.

Razka dan Vian sudah menemukan letak puskesmas lalu membawa Zia masuk ke dalam untuk di periksa. Kata dokter Zia hanya kelelahan saja, apalagi tubuhnya yang lemah menjadi faktor Zia suka pingsan.

"Tuan, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Vian pada Razka. Tak mungkin mereka menunggu sampai wanita itu sadar kan. Tapi meninggalkan nya juga tak baik, lebih tepatnya kasihan.

Drrrrttt

Drrrrttt

Suara getaran ponsel berasal dari tas milik Zia. Razka menatap Vian dengan tatapan tanda tanya.

"Angkat saja, tuan. Mana tau itu keluarga nya," saran Vian.

Razka pun mengangguk dan mengambil ponsel milik Zia dari dalam tas. Ia menatap nama yang tertera di layar ponsel.

"Abi," gumam Razka menatap Vian.

"Angkat saja, tuan."

Razka pun memilih mengangkat panggilan itu.

"Assalamualaikum, Zia." Belum juga Razka berbicara, ia di kejutkan dengan suara orang panik dari balik telepon.

"Wa'alaikumusalam warohmatullahi wabarakatuh, pak. Apa bapak ini keluarga pemilik handphone ini?" tanya Razka sembari membalas salam.

"Iya, kau siapa? Dimana putri ku?" tanya Daniel panik.

"Oh, putri anda ada di puskesmas. Saya melihat dia pingsan di pinggir jalan tadi, jadi saya bawa dia ke puskesmas," jawab Razka sopan.

"Puskesmas mana?" tanya Daniel.

"Eum, puskesmas jalan xxx."

"Oke-oke, saya akan kesana. Terimakasih," ucap Daniel langsung memutuskan panggilan dan melajukan mobilnya menuju puskesmas yang dimaksud.

Razka menatap layar ponsel yang sudah mati, ia meletakkan kembali ponsel itu ke dalam tas Zia.

"Bagaimana, tuan? Apa kita sudah bisa meninggalkan nya?" tanya Vian.

"Tunggu sampai ayah nya datang, kita harus menjadi laki-laki yang bertanggung jawab."

"Memangnya kita menghamili wanita ini?" tanya Vian membuat Razka menatap jengkel pada asisten nya itu.

"Hehehehe, canda hamil." Vian menggaruk kepalanya sembari tertawa renyah.

Beberapa menit kemudian. Tampak Zia sudah sadarkan diri. Namun, Daniel belum juga datang.

"Anda sudah sadar, nona? Bagaimana keadaan anda?" tanya Vian pada Zia yang masih kebingungan.

"Eum, kau bertanya pada ku, tuan?" tanya Zia menunjuk dirinya.

"Bukan, saya bertanya pada rumput yang bergoyang," jawab Vian tersenyum ramah.

"Oh, hehehehe. Saya ada dimana, tuan?" tanya Zia melirik sekitarnya hingga pandangan nya jatuh pada Razka yang berdiri di dekat pintu.

Zia tersenyum ke arah Razka lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya. Sedangkan Razka juga mengalihkan pandangannya karena ia baru saja melihat gulali yang manis.

"Zia," panggil Daniel yang baru saja sampai. Di perjalanan ia terus berdoa agar putrinya baik-baik saja.

"Abi," balas Zia memeluk sang ayah.

"Kau baik-baik saja? Sudah Abi bilang jangan kerja dulu kan, kau membuat Abi khawatir, sayang."

"Iya, Abi. Zia minta maaf," ucap Zia. Ia sedikit malu karena ada orang lain yang melihat ke-posesifan ayah nya.

"Terimakasih karena sudah berbaik hati membawa putri saya ke puskesmas, terimakasih banyak." Daniel berterima kasih pada Razka dan juga Vian.

"Sama-sama, tuan. Kami permisi dulu yah," jawab Razka tersenyum ramah.

"Terimakasih," ucap Zia tersenyum lagi ke arah Razka.

"Ah, sama-sama." Razka membalas senyuman Zia lalu sesegera mungkin memalingkan wajahnya.

"Kami permisi," ucap Razka sembari memberi salam dan di balas oleh Daniel serta Zia.

Razka dan Vian pun sudah pergi dari ruang perawatan meninggalkan Daniel dan Zia.

"Kenapa Zia tersenyum begitu?" tanya Daniel melihat putrinya masih tersenyum.

"Lah, iyakah? Perasaan Zia tak tersenyum," sangkal Zia langsung menormalkan wajahnya.

Daniel hanya terkekeh saja melihat tingkah putrinya yang tak biasa. Tapi ia tak tau apa maksud dari senyuman putrinya.

_

_

_

_

_

_

Eum, ada yang kecantol nih😁😂

To be continue

Bab 3. Terjadi lagi.

Sepulang dari puskesmas, Razka langsung pulang ke villa. Ia merebahkan tubuhnya lalu menutup matanya, tiba-tiba saja ia kembali teringat bayangan wanita tersenyum manis padanya.

"Astaghfirullah." Razka beristigfar, mengapa bayangan Zia terus melayang-layang di pikirannya.

"Aku mau mandi saja," gumam Razka. Dari pada terus memikirkan seseorang yang bisa menambah dosa nya, lebih baik ia mandi dan menyegarkan kembali otak nya.

Di kamar mandi, Razka menyalakan shower lalu berdiam diri di bawah guyuran air.

"Zia," gumam Razka tiba-tiba tersenyum.

"Hei, apa yang aku lakukan?"

Razka menepuk bibirnya yang tersenyum itu. Bagaimana bisa ia tersenyum sendirian di kamar mandi, sudah seperti orang gila saja.

******

Di sisi lain.

Zia dan Daniel sudah tiba di mansion. Zia langsung ke kamar karena lelah dan ingin beristirahat hingga waktu dhuhur tiba nanti.

Zia mengganti pakaiannya menjadi pakaian tidur, ia membaringkan tubuhnya lalu menatap langit-langit dengan intens.

"Kaya tidak menjamin hati akan tenang," gumam Zia pelan.

"Ketenangan itu sangatlah mahal, namun orang yang tak punya uang bisa mendapatkan nya. Ketenangan itu akan hadir jika rasa syukur tak pernah pudar," lanjut Zia.

Inilah yang dilakukannya sebelum tidur, berbicara sendiri menasehati dirinya sendiri.

"Mengapa aku masih belum bersyukur?" lirih Zia pelan.

Zia hidup dengan bergelimang harta dan juga keluarga yang hangat. Hanya saja ada sesuatu yang selalu mengganjal hatinya. Rasa bersalah dan juga rasa hampa.

Daniel sudah mengatakan agar Zia terus berdoa dan juga selalu mendekatkan diri pada Allah. Wanita itu sering melamun dan kesurupan di tengah malam.

Ingin di ruqyah, namun ada saja penghalang agar Zia tak di ruqyah. Dulu sempat di ruqyah, tapi dia malah melukai ustadz itu bahkan sampai meludah.

Perlahan mata Zia tertutup, ia sudah mulai terbuai akan alam mimpi. Melupakan sejenak masalah dunia yang rumit.

******

Malam harinya.

Di villa.

Razka baru saja selesai menghubungi Gabriel. Ia sedang makan malam saat ini, ia bernafas lega karena bayangan Zia yang tersenyum dan tatapan itu tak lagi menghantuinya. Bisa pecah kepala nya kalau terus memikirkan anak orang.

"Tuan," panggil Vian ikut duduk di meja makan.

"Hm?"

"Jalan-jalan yuk," anak Vian.

"Kemana?" tanya Razka tak tertarik.

"Cari pendamping hidup," jawab Vian sekenanya.

"Pergi saja sana, aku tak mau," tolak Razka. Ia tak ingin keluar, tak ada yang menarik di luar sana.

"Ck, mana seru kalau keluar sendiri. Enaknya rame-rame," ucap Vian.

"Kalau tak seru yasudah, tidur saja. Besok kita harus kerja lagi, nanti mengantuk kalau tidurnya telat," sahut Razka mengangkat sendok nya.

"Hidup anda datar sekali, tuan." Vian berdecak kesal karena Razka tak menuruti keinginannya. Vian pun berdiri dan meninggalkan Razka yang masih makan.

"Dasar tukang merajuk," gerutu Razka melanjutkan makannya.

Di sisi lain.

Keluarga Raymond akan segera melaksanakan makan malam. Malik dan Aisyah sudah berada di meja makan, begitu juga dengan Daniel yang tampak bersemangat.

"Pak Lim, apa menu hari ini?" tanya Daniel pada kepala pelayan yang sudah setia bekerja di mansion Raymond walau bekerja di mansion ini sangatlah mengerikan.

Pak Lim pun menyebutkan menu-menu yang di masak hari ini, rata-rata adalah menu kesukaan Daniel dan Zia. Dua orang itu mempunyai sifat yang sama, jarang makan dan pilih-pilih.

Daniel mengangguk, tinggal menunggu istrinya memanggil Zia dulu.

Di sisi lain.

Zahra pergi ke kamar Zia untuk meminta anaknya segera turun. Tak biasanya Zia belum turun selepas Maghrib.

Tok..

Tok..

Tok..

Zahra mengetuk pintu kamar Zia, namun tak ada sahutan dari dalam. Di lihat dari celah pintu pun seperti tak ada cahaya dari dalam kamar.

"Zia," panggil Zahra tak kunjung mendengar sahutan dari Zia.

Zahra pun berinisiatif membuka pintu kamar dan ternyata tak di kunci. Keadaan kamar sangat gelap, hanya ada lampu kecil di atas nakas yang menyinari kamar yang gelap itu.

"Zia," panggil Zahra. Kemana putrinya itu? Mengapa kamar sangat gelap sedangkan ini masih Maghrib.

Terdengar suara orang terkikik dari kamar mandi, Zahra langsung memundurkan langkahnya kakinya dan menutup pintu.

Dengan cepat ia berlari menuju meja makan untuk memanggil suami dan juga ayah mertua nya.

Daniel yang melihat Zahra berlari menjadi bingung dan langsung berdiri.

"Ada apa? Dimana Zia?" tanya Daniel.

"Zia, Zia....

Zahra mencoba bernafas dengan tenang agar bisa berbicara.

"Zia kenapa?" tanya Malik.

"Zia kesurupan lagi," jawab Zahra merinding.

Daniel dan Malik pun dengan cepat langsung pergi ke kamar Zia. Sedangkan Zahra dan Aisyah harus menunggu di bawah karena akan berbahaya jika mereka ikut ke kamar Zia.

Kesurupan Zia itu sangatlah berbeda. Zia sudah kesurupan dari sewaktu masih duduk di bangku remaja.

Daniel dan Malik masuk ke dalam kamar, Malik menghidupkan lampu kamar lalu berjalan mendekat ke arah kamar mandi, karena dari sanalah terdengar suara orang yang sedang bicara.

"Leher mu di tusuk dengan pisau?"

Terdengar suara Zia yang bertanya sembari terisak.

"Apa itu sakit?"

Masih dengan suara yang sama.

"Sesakit apa? Biarkan aku merasakan nya. Aku juga akan menusuk leher ku dan menancapkan nya di pintu."

Mendengar itu Daniel langsung mendobrak pintu, tak boleh di biarkan begitu saja. Putrinya bisa mati nanti.

"Akhhh!! Pembunuh!" teriak Zia langsung menjauh dan mengangkat pisau yang ada di tangannya. Pisau itu di arahkan ke arah Daniel dan Malik.

"Ini Abi, Zia."

Zia tampak menggelengkan kepalanya lalu terisak keras. Ia menganggukkan kepalanya seperti tengah mendengarkan seseorang yang bicara di dekatnya.

"Aku harus membunuh nya?" tanya Zia sembari menunjuk Daniel.

"Iya, iya. Aku akan membunuhnya," ucap Zia.

Zia menatap tajam ke arah Daniel lalu tersenyum lebar. Dengan cepat ia berlari sembari mengayunkan pisau yang ada di tangannya. Malik dan Daniel pun dengan sigap melakukan perlawanan.

Malik menangkap Zia dan berusaha membuang pisau itu. Sedangkan Daniel menarik kaki Zia agar keluar dari kamar mandi.

Setelah keluar dari kamar mandi, Daniel membantu Abi nya untuk memegang Zia.

"Sadarlah, Zia! Istighfar nak!"

Zia tampak lebih ganas malam ini, ia bahkan sudah menusukkan pisau itu di lengan Malik.

"Istighfar kata mu! Hahahahahaha, munafik!" teriak Zia sembari tertawa menggema di dalam kamar.

Daniel mencoba menenangkan putrinya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah di ajarkan seorang ustadz padanya. Ayat-ayat yang biasa digunakan untuk me-ruqyah orang kesurupan.

"Hahahahaha, Tak mampan! Aku bahkan bisa membaca lebih dari yang kau baca!" teriak Zia tertawa mengejek.

"Lalu apa yang mampan?" tanya Daniel mencengkeram wajah Zia dengan keras.

"Tak ada yang bisa mengalahkan aku! Kalian orang-orang munafik tak akan bisa mengusir ku!" teriak Zia.

Dengan keras Daniel menampar wajah Zia hingga putrinya itu tak sadarkan diri. Sudut bibir Zia mengeluarkan darah, Daniel langsung memeluk putrinya itu.

"Maafkan Abi," lirih Daniel merasa sangat bersalah karena sudah mengkasari putrinya.

Entah sampai kapan ini akan berlanjut, tapi Daniel dan yang lainnya akan berusaha agar Zia sembuh.

Zia pasti akan sembuh, Daniel yakin itu.

"Maafkan Abi, sayang."

_

_

_

_

_

Next?

Kita bakalan main hantu-hantuan ini😂, ilmu hitam dan segala macam😁

Author tunggu komen nya di sini yah🥰

To be continue.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!