Note:
Hallo, guys. Novel ini sedang dalam tahap revisi typo. Jadi, meskipun kalian baca tetap tidak akan merubah alur ya. Bagi yang baca karena sudah tamat. Mohon tetap tinggalkan jejak ya.
Selamat membaca. Mari kita menangis berjamaah. Karena di novel ini, kalian akan menemukan banyak taburan bawang. Mohon kuatkan mental, dan hati.
🦋🦋🦋🦋
Darren duduk lemah di pinggir ranjang sembari membelai bingkai foto seorang wanita cantik, yang kini telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Pria itu mengusap sudut matanya yang basah, perih, sakit, ketika ia harus bersikap menerima kenyataan yang ada.
"Bre, kenapa tidak aku saja yang pergi?" ucapnya lirih, ia kembali terisak. Bayangan wajah manis nan ayu sang kekasih yang menghiasi setiap harinya kembali terlintas. Rasanya ia enggan untuk menerima takdir hidupnya kini.
Breana sosok wanita cantik, anggun selalu bertutur kata lembut, setiap kata dan tingkah laku Breana menjadi kesenangan sendiri bagi Darren. Baginya wanita itu tergolong sempurna. Sungguh malang nasib menimpanya, tiga hari yang lalu Breana telah menghembuskan nafas terakhirnya akibat insiden kecelakaan.
"Kenapa semua orang yang aku sayangi dan cintai selalu pergi meninggalkanku. Apa aku tak berhak bahagia?" monolognya. Ia memukul dadanya yang terasa sesak badannya kembali merosot dari ranjang, membayangkan dari kedua orang tuanya yang meninggalkannya seorang diri. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Breana yang mampu membangkitkan kembali semangat hidupnya, dan sekarang wanita itu juga meninggalkan dirinya.
Tiga bulan yang lalu keduanya baru meresmikan pertunangannya, dan dua minggu lagi keduanya berniat akan melangsungkan pernikahan.
Pernikahan bak princess ala Cinderella merupakan impian sang kekasih, Darren berusaha keras untuk mengabulkan keinginan sang kekasih. Persiapan pernikahan yang sudah mencapai 99% tinggal beberapa langkah keduanya akan meresmikan hubungan yang sakral, dalam ikatan janji suci pernikahan.
Musnah, semuanya telah musnah dan tinggal kenangan. Dalam sekejap semua hancur menjadi mimpi buruk bagi Darren.
Sosok wanita paruh baya membuka pintu kamarnya, ia masuk membawa nampan yang berisi makanan dan minuman.
"Darren, ayo makanlah sejak kepergian Breana kau sama sekali tidak makan apapun. Jika begini kau bisa sakit," bujuk Bibi Nancy.
Darren bergeming, pria itu seperti tak punya semangat hidup lagi.
Bibi Nancy meletakkan nampan makanan itu di atas meja. Perlahan kakinya bergerak maju menghampiri keponakannya, Darren masih terisak terlihat badannya terguncang. Bibi Nancy mendapati hal yang sama, ketika dulu orang tua Darren pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
"Darren, makan ya?" ucap Bibi Nancy, kali ini wanita paruh baya itu memberanikan diri memegang pundak Darren.
Darren yang merasakan sentuhan seseorang pun mengangkat wajah dan menatapnya, lalu ia menggeleng tanda menolak.
"Darren?" pinta Bibi Nancy ia menganggukan kepalanya.
"Tidak Bibi, biarkan saja aku mati. Rasanya aku tidak ingin hidup lagi," serunya.
Bibi Nancy menghela nafasnya, "Lalu apa kau tidak kasihan pada Bibi. Ayolah makan setidaknya demi diriku. Ikhlaskan kepergian Breana orang yang menyebabkan ia pergi juga sudah masuk ke dalam penjara," tuturnya.
Darren menghapus sudut matanya yang basah mendengar orang yang menyebabkan kekasih hatinya meninggal membuat emosi Darren bangkit, tangannya mengepal matanya tampak memerah.
"Aku akan makan Bibi kau pergilah," serunya.
"Janji?"
"Ya Bibi."
Tersenyum tipis, Bibi Nancy pun pergi meninggalkan Darren.
Sepeninggal Bibi Nancy, Darren tersenyum smirk. Pikirannya kembali melayang akan ucapan Bibi nya. Senyum licik tercetak jelas di wajahnya, tangannya mengepal, aura mukanya memperlihatkan kemarahan.
"Akan ku pastikan dia membusuk di penjara. Agar dia merasakan apa yang aku rasakan," ancamnya.
Darren kembali menatap foto Breana, sosok wanita yang tengah tersenyum itu menjadi semangat hidup baginya. Dan kini sosok itu telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya, lalu bagaimana kini ia akan menata hidupnya lagi.
Darren bangkit dan kembali meletakkan foto Breana di atas meja, kemudian ia berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di sebuah ruang penjara yang berukuran sempit, wanita berpakaian kaos warna biru, di belakangnya tertulis TAHANAN. Calista menelungkup kan wajahnya menekuk kedua lututnya, tampak badannya bergetar, air matanya terus menetes. Ia tidak menduga jika kini ia akan berakhir mendekam di penjara.
Menyesal, Calista sungguh menyesal ketika ia tidak mengindahkan kata Mona sang ibu yang melarangnya pergi di waktu itu. Andai saat itu ia tetap berdiam diri di rumah, pasti saat ini ia masih bebas berkeliaran di sana.
Bayangan ledakan mobil di depannya waktu itu kembali terlintas, rasa bersalah kembali menghampiri hatinya. Apalagi ketika ia mendengar wanita itu tidak dapat terselematkan. Apakah kini ia memang telah dinyatakan seorang pembunuh.
Pasrah, ya Calista memilih pasrah pada nasibnya kini, tidak mengapa dia akan berdiam di penjara asalkan rasa bersalahnya itu dapat berkurang. Seorang polisi wanita menghampiri Calista, dan membuka sel tahanan.
"Nona Calista hari ini anda kami bebaskan!" kata polisi itu.
Calista mendongak dan menatap bingung pada polisi itu. "Bagaimana bisa?" tanyanya.
"Seseorang telah menjamin anda," tutur polisi itu.
Calista masih tak percaya jika ia akan bebas dalam waktu sesingkat ini. Ia berdiri menghampiri polisi itu.
"Ayo Nona."
Calista menurut keluar dari sana mengikuti polisi itu.
"Ayah?" panggilnya ketika ia melihat ayahnya sudah berdiri di ruang tunggu.
"Sayang?" sahut Aeron ayah kandung Calista.
Usai dinyatakan bebas Aeron membawa Calista keluar dan menyuruhnya masuk ke mobil.
Tidak jauh dari sana seorang pria berkaca mata hitam di dalam mobil miliknya memandang tajam keduanya.
"Sialan, dasar manusia licik. Hebat sekali belum satu minggu wanita itu sudah bebas dari penjara!" umpatnya marah. Darren mencengkram stir kemudinya dengan kasar.
🌹🌹
"Ayah kenapa kau membuat keputusan untuk membebaskan ku dengan cara menjamin menggunakan kekuasaan uangmu?" kata Calista dengan sendu.
"Ayah terpaksa, mamamu terus menangisi dirimu. Ayah juga tidak mungkin membiarkanmu mendekam di penjara selama-lamanya. Kau putriku satu-satunya," jawab Aeron sembari menyetir mobilnya menuju rumahnya.
Calista menghela nafasnya. "Tapi Ayah, apa kau tau dengan kau melakukan ini aku seperti wanita pecundang yang lari dari tanggung jawabku."
"Kau tidak bersalah nak. Ayah yakin itu," sanggah Aeron.
Bagaimana mungkin karena video itu sudah membuktikan segalanya, meski Calista merasa ada yang janggal namun ia tidak mendapatkan bukti apapun. Yang jelas saat ini merasa sangat berdosa dan bersalah.
Mobil tiba di rumahnya, Calista berjalan masuk terlihat di ambang pintu Mona sang ibu telah menantikan kehadirannya.
"Ibu?" pekik Calista ia berlari memeluk ibunya. Mona merentangkan tangannya lalu memeluk putrinya, tangisnya pecah ia sangat senang putrinya telah kembali.
"Maaf, membuat ibu sedih," ucapnya lirih.
Mona tersenyum tipis. "Ayo masuk, ibu sudah memasak masakan kesukaanmu."
Calista mengangguk menuruti perintah ibunya lalu di susul Aeron.
Dari balik gerbang Darren tampak mengamati interaksi keluarga itu, usai mendapati Calista bebas ia memilih mengikuti mobil Calista.
"Jadi ini rumahnya." Darren memicingkan matanya, tak lama ia juga menggertakkan giginya.
"Pantas dia mudah bebas dari penjara ternyata ia merupakan seorang putri tunggal dari seorang pria yang berpengaruh di muka bumi ini," sambungnya.
"Akan ku pikirkan nanti bagaimana aku bisa membalaskan dendamku, tunggu saja tanggal mainnya," ucapnya sebelum kemudian ia memacu mobilnya meninggalkan area rumah Calista.
Calista terdiam mengaduk-aduk makanannya di atas piring, pikirannya kembali melayang akan kesalahan dirinya.
"Calista, apa masakan Ibu tidak enak?" tanya Mona.
Aeron pun sama menatap putrinya.
"Tidak ibu, apapun yang ibu masak itu selalu enak. Aku hanya merasa lelah karena kurang tidur," dustanya, ia tidak mau kembali membuat ibunya bersedih.
"Kalau begitu selesaikanlah makanmu, setelah itu pergilah ke istirahat," titah Mona
Calista menganggukan kepalanya, ia pun mulai menyuapkan makanannya ke mulut sesuap demi sesuap hingga habis tak tersisa.
"Tidak!!”
"Bukan aku.”
"Aku tidak melakukan apapun.”
Calista terus meracau dalam tidurnya, terkadang ia akan menghentak-hentakkan kakinya. Terlihat keringat dingin membanjiri dahinya. Wanita itu terus berbicara sambil memberontak.
"Tidakkkkkkk!!” teriaknya, hingga ia terbangun dalam kondisi duduk. Nafasnya terlihat naik turun wajahnya pucat.
"Calista?” panggil Mona dan Aeron, mereka masuk ke dalam kamar putrinya karena mendengar teriakan Calista.
Mereka mendekati Calista, Mona duduk di pinggir ranjang Calista.
"Ibu.”
"Ibu di sini nak, ada apa kenapa kau teriak-teriak?" tanya Mona dengan cemas.
"Ya katakan sayang ada apa?” timpal Aeron yang tak kalah khawatirnya.
"Ayah, Ibu aku baik-baik saja. Hanya bermimpi buruk,” tutur Calista setelah ia berhasil menenangkan dirinya. Ia sama sekali tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir.
Mona mengelus rambut Calista.” Maka berdo'alah nak sebelum tidur."
"Iya Ibu... Mungkin karena aku lupa."
"Ya sudah Ayah dan Ibu kembali ke kamar ya,” pamit Mona
Calista mengangguk sambil tersenyum, berusaha menutupi kegelisahan dan ketakutan yang ia rasa.
Sepeninggal Ayah dan Ibunya, Calista kembali membaringkan dirinya. Ia berusaha memejamkan matanya bayangan mimpi buruk itu kembali terlintas di kepalanya.
🌹🌹🌹
Usai sarapan bersama Ayah dan Ibunya, Calista kembali masuk ke kamarnya. Ia mengganti pakaiannya lalu mengambil tas miliknya.
Bunyi ketukan sandal dari tangga membuat Mona mengalihkan pandangannya, keningnya mengkerut mendapati putri tunggalnya sudah berpakaian rapi.
"Ibu apakah Ayah sudah berangkat ke kantor?" tanya Calista menghampiri Ibunya.
Mona meletakkan kembali secangkir tehnya. "Sudah."
"Kau mau kemana sayang? Rapi sekali,” sambungnya.
Calista tersenyum tipis. “Hari ini temanku mengajak bertemu, kami rindu untuk berbelanja bersama. Ibu bolehkah aku pergi,” pinta Calista dengan wajah memelas.
Ada guratan rasa khawatir di hati Mona mengingat tentang riwayat yang menimpa putrinya. Namun melihat wajah sendu putrinya ia tidak tega jika ia harus mengurungnya terus di rumah.
"Berapa lama sayang?" tanya Mona.
"Hanya sebentar, jika urusannya sudah selesai aku akan pulang.."
Mona mengangguk. "Baiklah pergilah. Tapi ingat kau harus-harus berhati-hati berkendara."
Calista menggeleng, "No Ibu. Aku akan pergi menggunakan taksi. Aku sudah memesan taksi ku rasa sudah sampai di depan. Ibu jangan khawatir."
"Baiklah, hati-hati ya..."
🌹🌹
"Bagaimana mungkin aku bertemu dengan temanku. Aku bahkan tidak tau setelah kejadian hal itu apakah masih ada yang sudi menjadi temanku,” gumam Calista, menatap lalu lintas jalanan yang cukup padat dari dalam taksi miliknya.
Menghela nafasnya Calista menyandarkan badannya ke kursi, mengenyahkan segala pikiran buruknya. Hingga ia merasakan taksi yang ia tumpangi berhenti.
"Nona, kita sudah sampai di tujuan," seru sopir taksi.
Calista tersenyum tipis di balik masker yang ia kenakan di wajahnya, membuka tas miliknya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya, lalu memberikannya pada sopir itu.
"Nona ini terlalu banyak,” ujar sopir taksi yang sudah berusia paruh baya, melihat wajahnya Calista jadi mengingat seorang tukang kebun di rumahnya.
Calista menggeleng, "Anggap saja ini rejeki untuk bapak, terimakasih sudah mengantar saya sampai tujuan."
Calista keluar dari taksi, setelah membujuk sopir untuk menerima uangnya.
'Kau wanita yang baik Nona, hatimu sangat mulia. Semoga hidupmu selalu di kelilingi kebaikan,' gumam sopir itu.
Calista menghentikan langkah di depan papan nama pemakaman. Ia membaca sekilas untuk memastikan jika ia tidak salah tempat.
Kemudian ia kembali melangkahkan kakinya masuk, mata dan kakinya bergerak mencari sesuatu. Hingga ekor matanya berhenti pada salah satu pemakaman baru.
Ia melangkahkan kakinya mendekati makam itu nissan itu tertuliskan nama BREANA. Tampak di sana masih banyak taburan bunga yang baru, sepertinya ada seseorang yang setiap hari mengunjungi makamnya. Membaca namanya, membuat Calista kembali merasakan perasaan bersalah. Ia tidak menduga jika wanita itu akan berakhir di sini.
Calista mendudukan dirinya di sebelah makam Breana, membuka maskernya, dengan tangan gemetar ia mengulurkan tangannya untuk membelai nissan Breana.
"Maaf.” Dengan bibir bergetar Calista mengucapkan nama itu.
"Aku harus apa Bre agar aku bisa menebus perasaan bersalahku. Kita tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya, tapi aku merasa sangat tersiksa dengan perasaan bersalahku ini. Haruskah aku mengikuti jejakmu meninggalkan dunia ini, agar kau mau memaafkanku," ucap Calista perlahan air matanya mulai mengalir dari sudut kedua matanya.
Calista menggeleng, "Tidak Bre, aku masih mempunyai kedua orang tua. Bagaimana aku bisa meninggalkan mereka. Aku harus apa Bre. Tolong beritahu aku?” Calista mengusap kedua matanya yang basah, wanita itu kembali menunduk memegang dadanya yang tampak sesak.
Terdengar suara sepasang kaki mendekat, "Siapa kamu?!" Suara bariton terdengar tajam dan menusuk menyusup masuk ke dalam indra pendengaran Calista.
Seketika Calista mendongakkan wajahnya, tatapan keduanya bertemu.
"Kau?” tunjuk Darren seketika rahangnya mengeras melihat Calista berada di sana.
🌹🌹🌹
Novel ini masih tahap revisi typo ya. Bagi yang baca karena statusnya udah tamat. Mohon tetap tinggalkan jejak likenya ya. Thank you.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!