Lintang
"Aku sudah bilang, aku dan dia khilaf, Lin. Jadi tolong maafkan dia. Dia akan melahirkan, sudah semalaman dia merasakan sakit." Mas Rezki, suamiku memohon padaku dengan berlinang air mata.
"Dia ingin meminta maaf padamu. Dia ingin melahirkan secara normal, Lin."
"Dia berharap dengan meminta maaf padamu maka akan memudahkan persalinannya. Dia ingin menjadi wanita seutuhnya."
Mas Rezki kini tengah menggenggam tanganku dan berlutut dihadapanku. Tapi aku langsung menarik tanganku dari genggamannya.
Dia memohon maaf untuk orang yang telah mengambilnya dariku. Miris sekali.
Apa katanya tadi? Menjadi wanita seutuhnya?
Bagaimana bisa, seorang wanita yang merebut kebahagiaan wanita lain ingin menjadi wanita seutuhnya.
"Tidak akan ada kata maaf Mas. Kamu pilih dia dan anaknya, atau aku dan anakku," ucapku dengan mengusap kandunganku yang berusia 7 bulan.
Mas Rezki diam.
"Sakit yang dia rasa tak sebanding dengan yang kurasa Mas, anggap saja ini karma untuknya," ucapku geram.
"Sekarang Mas pergi dan urus saja dia!"
"Sayang..." Ia masih berusaha meraih tanganku. Aku tau ini hanya sandiwara. Semua ini bukan keinginannya. Dia memohon karena wanita yang dicintainya itu yang memintanya melakukan semua ini.
"Pergi!" bentakku dengan menunjuk pintu keluar. Dia bangkit dengan amarah tertahan dan berjalan menjauh tapi tangannya meraih guci di meja dan melemparnya kearahku.
"Praaaaang...." Pecahan guci berserakan tepat di depanku.
"Aaaaaaaaaa," teriakku dengan nafas tersengal, peluh membasahi kening. Tubuhku bergetar. Aku duduk dan memeluk lutut. Mimpi itu lagi.
Kejadian empat tahun lalu.
Kejadian di mana aku harus menerima kenyataan bahwa pernikahanku di ambang kehancuran.
Pernikahanku baru sepuluh bulan, dan aku dihadapkan pada kenyataan, di mana suamiku memiliki wanita lain yang tengah mengandung sembilan bulan.
Hantaman terkeras dalam hidup saat ia dengan sadar memohon maaf padaku atas kekhilafan mereka.
Aku bukan Tuhan yang semudah itu memaafkan. Dia menyembunyikan hal sebesar itu bahkan sejak awal pernikahan.
Jarang memberiku perhatian, bahkan tak turut bahagia saat ku tunjukkan benda pipih dengan dua garis biru.
Kini aku tau jawabannya, wanita lain sudah memberikannya lebih dulu. Wanita yang akhirnya ku tau adalah mantan pacarnya saat SMA.
Jika masih cinta mengapa menikahiku. Membawaku pada akhir yang menyesakkan.
Membuatku menjadi wanita sempurna sekaligus cacat, dengan hadirnya putri kecil dan status single mother.
Aku tak ingin berlama lama dengan mimpi buruk itu. Ku lihat jam di atas nakas, hampir jam 12.
Kuseka keringat dan air mata yang telah bercampur menjadi satu. Beringsut dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk berwudhu.
Aku keluar dari kamar mandi. Dan sedikit kaget melihat orang orang tersayangku sudah berada diatas ranjang.
Ada ayah, bunda, Bintang-anakku, dan Langit adikku yang tengah memegang cake dengan lilin berangka 27.
"Happy birthday mama." Bocah 4 tahun berlari kearahku dan memeluk kakiku. Aku berlutut menyamai tingginya dan dia mencium pipiku.
"Terima kasih Bintang sayang." Ku cium pipi chubbynya dengan gemas.
"Duh... cepetan tiup lilinnya kak. Berat banget ini." Ini dia perusak moment, Langit gelap. Adik tersayangku.
Ku tiup lilin dan mereka bergiliran mencium serta mendoakanku.
"Semoga selalu sehat dan bahagia." Itu doa bunda. Sosok Ibu peri dalam dunia nyata.
"Selalu jadi wanita yang berada dijalan Allah." Air mataku mulai luruh, doa ayah. Pria terhebatku.
"Selamat menua kak. Semoga cepat dapat jodoh." Doa Langit yang membuatku tak mampu menahan senyum. Karena biasanya dia akan mendoakan rezekiku lancar dan usahaku semakin maju.
Setelah hampir setengah jam berkumpul di ruang keluarga dan hampir setengah cake habis kami lahap (aku, Langit dan Bintang), kami masuk ke kamar masing masing. Dan Bintang tetap ingin tidur dengan Uti dan Kakung nya.
Apa yang ku lakukan setelah acara sederhana itu?
Aku kembali berwudhu untuk melaksanakan sholat yang sempat ku tunda. Bersimpuh diatas sajadah adalah ritual malamku, mengadu, sekaligus mengucap syukur atas segala yang Dia titipkan padaku. Aku tak percaya siapapun lagi. Kecuali keluarga dan Tuhan.
Berbagi cerita versiku hanya dengan mengadu pada sang pencipta diatas bentangan sajadah. Aku yakin Dia akan menjaga rahasiaku, aibku bahkan memberi jalan dari setiap masalahku.
Aku adalah chameleon. Kenapa chameleon? Karena sikapku bisa berubah ubah, sesuai pada siapa aku berhadapan.
Aku akan baik pada yang baik, aku akan acuh pada yang tidak penting. Dan aku akan menjauh jika aku terancam.
Aku akan tertawa bersama orang yang kusayang. Aku akan menangis dengan orang yang kupercaya. Dan aku akan membangun tembok pembatas pada orang asing.
Aku Lintang Alkhaleena. Aku adalah satu dari jutaan wanita yang berdiri diatas kaki sendiri untuk membesarkan buah hati.
Aku menjadi single mother saat putriku baru berumur beberapa hari. Kisah paling menyakitkan yang pernah kurasa.
Saat kakiku tak mampu lagi berpijak karena kenyataan terpahit dalam hidup, disitulah aku melihat siapa orang yang paling peduli padaku. Ada ayah, bunda dan Langit. Ada juga Mama papa mertua dan Bunga, adik iparku.
Semangatku kembali tersulut saat tangan kecil bayi prematur dengan berat kurang dari 2 kg itu menggenggam tanganku saat aku mengunjunginya yang masih berada di inkubator.
Malaikatku, bintangku, cahayaku, nafasku, dan seluruh hidupku. Bintang Alkhaleena.
Kusematkan namaku di dalam namanya. Tanpa nama ayah. Ayah bintang, suami yang ku agungkan namun sekejap menjadi sosok asing yang membuatku begitu terluka.
***
Pagi ini, aku bersiap memulai hari dengan wajah berseri. Sepertinya cake coklat yang kusantap tengah malam tadi memberi efek positif padaku.
Atau mungkin karena ucapan selamat ulang tahun dari keluarga dan para karyawanku. Entahlah.
Ku buka ruko satu lantai yang ku bangun tepat di sebelah rumah orang tuaku. Dengan plang besar berwarna biru, Bintang Lintang Shop.
Usaha yang kurintis sejak 3 tahun lalu. Online shop yang hanya menjual pakaian jadi dari balita hingga dewasa.
Resellerku jumlahnya hampir seratus orang. Aku punya 5 karyawan. Anna, Siska, Rara, Bayu dan Asep. Kami membagi tugas, menerima orderan, mempacking dan terkadang aku menjadikan Bayu atau Asep sebagai kurir yang mengantar barang Cod free ongkir di wilayah sekitar.
Aku juga melibatkan Langit karena dia memiliki teman dalam jumlah yang lumayan banyak.
Ruko ini buka enam hari dalam seminggu. Dan terkadang ku lemburkan jika memang dibutuhkan. Seperti hari ini, hari minggu tapi mereka tetap bekerja. Karena cukup banyak barang yang harus kami packing agar besok langsung bisa dikirim.
"Cie... yang ulang tahun wajahnya bersinar bener. Habis suntik DNA kerang mutiara ya mbak?" Rara gadis baru lulus SMA itu terus menggodaku. Anak milenial memang agak absurd.
"Bukan, tapi DNA belut listrik, Ra," jawabku asal dan mereka malah tertawa.
"Makan-makan nih kayaknya," ucap Anna yang yang memang sahabatku sejak SMA.
"Liburan dong, Mbak," pinta Siska dengan sedikit merengek seperti anak kecil.
Aku hanya tersenyum. Aku memang berniat membagi kebahagiaan dengan mereka. "Siang nanti kita makan pizza ya ...."
Mereka bersorak.
"Dan untuk permintaan Siska, tergantung target penjualan ya Bebeb- Bebebku. Kalau bulan ini target kita naik lagi 30% dari bulan lalu. Bulan depan kita nginap di villa deh."
"Yeeeeee ...." Bak gayung bersambut. Mereka teriak kegirangan seperti anak Tk.
Walau akhir bulan masih 2 minggu lagi, aku tau mereka butuh reward atas kerja keras mereka semua.
***
Sudah azan Ashar. Aku sudah berjanji pada Bintang untuk mengajaknya jalan jalan hingga malam. Berkeliling kota menikmati pendar lampu jalanan.
Kami bahagia walau hanya berdua. Aku bisa menjadi mama, ayah bahkan teman baginya. Aku akan berusaha sebaik mungkin menjaganya. Apapun itu demi dia, karena dalam hidup dan mimpiku hanya ada aku dan Bintang.
Akhtar
Suara qiroah dari toa masjid tak jauh dari rumah membangunkan tubuh lelahku. Baru 2 jam aku tertidur. Setelah perjalanan panjang kutempuh dari luar kota, malam tadi aku tiba dirumah orang tuaku.
Dipindah tugaskan ke kantor pusat sebagai Manager konstruksi di salah satu perusahaan ternama. Karirku 4 tahun ini memang meningkat. Aku bersyukur, bahkan sangat bersyukur.
Aku segera mandi, memakai baju koko putih dan sarung. Tak lupa kopiah putih favoritku. Aku berjalan bersama papa menuju masjid. Lingkungan yang ku rindu. Karena aku baru kembali setelah enam bulan.
Ramai orang menyapaku.
"Akhtar? Kapan pulang?"
"Wah. Bodyguard pak Rendra pulang nih."
"Gemukan nih. Makin sukses ya, Tar."
"Wah... Durennya pak Rendra makin mateng nih."
Dan sapaan terakhir membuatku tak mampu menahan senyum. Senyum pedih maksudnya.
Usia belum 30 tahun tapi sudah menduda selama 5 tahun. Sungguh, pencapaian yang paling ku sesali.
Sejak berpisah, aku tak pernah mengenal cinta. Aku bahagia seperti ini, tanpa rasa takut kecewa dan mengecewakan.
Pagi ini di meja makan sudah berkumpul keluargaku. Mama cantikku yang bernama Riana, papaku Rendra, adikku Sora dan anaknya Caraka yang memang tinggal disini. Suaminya-Abimanyu seorang TNI di tugaskan di perbatasan Malaysia Kalimantan.
"Om Ataaaaaa." Keponakanku tersayang menghambur kepelukanku setelah melihatku turun dari lantai 2.
Bocah 3 tahun ini sangat menggemaskan. Aku menggendongnya seperti pesawat terbang dan dia tak henti tertawa.
"Awas jatuh kak. Itu anakku loh, bukan satu sak semen." Sora memperingatkanku.
"Elah... ini mah gak lebih berat dari gantungan kunci," balasku dan disambut tawa oleh mama papa.
"Yang cangkang siput itu ya, Tar?" tanya papa yang sengaja menggoda Sora.
"Iya, Pa. Yang ada tulisan thank you-nya."
"Souvenir pernikahan dong," ucap mama juga. Dan kami semua tertawa terkecuali Sora.
"Astaga... seneng banget ya, ngecengin aku." Sora cemberut. Lucu banget adikku yang satu ini.
Mama dan papa bekerja sama mengurus 2 minimarket. Mama juga punya yayasan sekolah paud dan Tk sejak sepuluh tahun lalu. Karena mama merasa sepi sebab kami sudah jarang di rumah untuk sekolah dan kuliah.
"Waah... cumi pedas," ucapku dengan semangat saat melihat makanan favoritku.
Selesai sarapan aku dan Papa duduk di bangku halaman belakang. Masih sejuk dan panas matahari masih bagus- bagusnya.
Dan ini masih jam 8 pagi , masih terlalu pagi di hari libur seperti ini tapi suara notifikasi dari aplikasi berwarna hijau di ponselku seperti tak berjeda.
Papaku hanya tertawa. "Hari libur sibuk banget ya notif di ponsel kamu. Lagi punya pacar, ya?"
"Belum minat pa, Akhtar masih fokus kerja," jawabku singkat, dan tanganku mengambil ponsel dari saku celana.
Chat dari group 'Manusia Sibuk'
Ray : Woi... yang pulang kampung, kuy ngopi ngopi...
Sania : Siapa sayang?
Ray : Duren kesepian. Si Akhtar.
Sania: Ayolah. Lama nih gak ngumpul.
Dion: Kuy lah, berangkat!!
Josep: Pak Dureeeen, pliss traktir kita 😆
Ray : Masih tidur dia mah kayaknya.
Dion : Pantes jodohnya dipatok ayam.
Sania: Hahahah... numpang ketawa Yon.
Aku senyum sendiri membaca obrolan mereka.
Akhtar : Woi... 😎 (gue cuma mau lewat doang)
Ray : Eh... balik sini lo. Gak usah pura pura lupa. (Gulung lengan baju, pengen nonjok)
Dion : Balik gak lo Tar, gue seret lo dari rumah pak Rendra. (Bawa 6 bodyguard)
Sania : Dih... dia kabur.
Akhtar : Feeling gue gak enak, San.
Ray : Gue tunggu di cafe, jam 4 sore ini. Siapa gak datang, kita seret dari rumahnya.
Akhtar : Kejam banget, Bang?
Ray : Bodo' amat.
Sania : Deal !!!
Dion : Berang-berang bawa tongkat! Beraaangkat!!!
Josep : Makaaan gratis, come to Papa.
Akhtar : Ampuni dosa mereka ya Tuhan karena menganiaya A'im.
Ray : Najis!!
Mereka adalah teman SMAku. Kami tetap berkomunikasi meski memiliki kesibukan masing-masing.
Aku meletakkan ponselku saat papa tiba tiba berkata, "Sudah 5 tahun loh. Apa gak terlalu lama Tar." Papa menatap lurus kedepan.
"Bulan depan umurku baru 30, Pa. Masih muda juga. Temanku juga masih banyak yang single," jawabku enteng.
"Terserah kamu sih. Papa sama Mama gak mau ikut campur lagi. Yang penting kamu bahagia dengan siapapun wanita itu." Papa memegang bahuku. Ku pegang tangannya dan ku elus perlahan.
Papa sepertinya trauma menjodohkanku. Karena pernikahanku dulu adalah hasil perjodohan Papa dan anak teman kuliahnya.
Teman kuliah papa itu ingin segera punya cucu, tapi sayangnya pernikahan selama 2 tahun itu tak kunjung dihadiahi keturunan. Jadi, kami memutuskan untuk berpisah. Salah, bukan kami, melainkan mantan istriku yang ingin kami berpisah.
"Sudah. Jangan melow, Pa. Nanti Akhtar carikan menantu yang cantik, solehah, baik, sabar, penyayang dan nurut sama Akhtar." Aku tertawa di ujung kalimat.
"Memangnya ada wanita seperti itu?" tanya papa dengan kening berkerut.
"Doa aja dulu, Pa. Siapa tau itu salah satu dari doa miliyaran umat yang terkabul hari ini."
"Amin." Papa mengaminkan doaku. Entah di sudut dunia mana akan ku temukan wanita seperti itu. Mimpi saja dulu, berdoa saja dulu, soal terwujud atau tidak itu urusan Tuhan.
"Akhtar Alvarendra!" Dengan nada pelan, tiba tiba papa memanggil nama lengkapku.
"Ya pa!" sahutku tak kalah lembut.
"Kamu tau arti nama kamu?".
Aku menggeleng.
Papa tersenyum tipis. "Akhtar itu memiliki dua arti, yang pertama adalah bintang dan yang kedua adalah yang terpilih."
"Alvarendra artinya mulia, cerdas dan beruntung."
"Sudah jelas, kan Nak, harapan dan doa kami terselip dalam nama itu?"
Aku mengangguk. "Akhtar faham pa. Selalu ada di belakang Akhtar, Pa. Maaf karena pernah mengecewakan Papa." Aku benci suasana seperti ini.
"Papa yang harus minta maaf karena pernah memintamu menuruti keinginan Papa."
Jujur, aku sudah melupakan semuanya, aku memang sulit untuk mencintai Arum, mantan istriku, tapi aku berusaha untuk mencintai dan terbiasa dengan keberadaannya di sisiku agar tak mengecewakan orang tua kami.
"Sekarang, cari kebahagiaan kamu, Nak!" Papa merengkuhku dalam pelukannya. Tiba tiba kecupan mendarat di pucuk kepalaku dan tangan lembut menyentuh pipiku. Ternyata mama datang dan memeluk kami dari belakang.
"Semoga selalu bahagia, anak mama," bisiknya ditelingaku.
"Pasti Ma, dipeluk mama seperti ini aja udah bahagia banget." Aku mengecup pipi wanita terhebatku.
Tiba-tiba papa menarik telingaku. "Gombalin yang lain, yang ini milik Papa."
"Dih, dasar overprotektiv, pelit," cibirku pura-pura merajuk.
Papa melepasku dari pelukannya dan menarik mama untuk duduk di sebelah papa. Mama bersandar dibahu papa. Pemandangan terindah yang selalu ingin ku lihat.
"Bahagia selalu Ma, Pa," ucapku dalam hati.
Aku beranjak dari dudukku, hendak masuk kerumah.
"Mau kemana Tar?" tanya mama.
"Masuk ma, gak enak ganggu orang pacaran?" jawabku.
"Bagus kalau sadar diri," ucap papa sambil tertawa.
"Ngenes ya, jadi jomblo, punya pacar, dong!" Candaan papa menusuk jantung, paru paru hingga ke ginjal, tapi aku tak peduli.
Aku melenggang masuk kerumah. Saat sebelum menghilang di balik pintu, aku berteriak, "Ma, pulang dari masjid tadi pagi, papa ngelirik tante Caca ma." Aku langsung lari kedalam tak peduli papa memprotesku untuk membela diri.
"1:1 papa vs Akhtar"
Tante Caca adalah janda beranak dua yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Aku hanya becanda, dan mama tau itu.
Jadi aku tak perlu khawatir dengan nasip papa.
Candaanku takkan merusak keharmonisan mereka. Pondasi cinta mereka terlalu kuat untuk diguncang oleh candaan tak bermutuku.
Lintang
Aku dan Bintang keluar dari rumah. Aku memakai gamis putih dengan motif bunga kecil berwarna biru langit. Serta hijab pasmina berwarna putih yang ku tata sedemikian rupa agar menutup hingga ke dada.
Sedangkan Bintang memakai tunik putih dengan motif yang sama dengan gamisku dengan legging berwarna biru langit. Tak lupa rambut lurusnya ku kucir dua.
"Cie... yang mau nge-date."
"Cie... couple-an."
"Cie... gak ngajak ngajak."
"Cie... mbak Bintang mau ngabisin duit mama."
Karyawanku terus menggoda kami. Tapi Bintang malah meledek mereka. "Cie... disuruh lembur sama mama."
Gelak tawa mereka pecah saat itu juga. Bintang memang terbiasa mengimbangi candaan mereka.
Kami mengendarai motor matic dengan Bintang duduk di depan. Helm bergambar little pony menjadi favoritnya. Sengaja tidak mengedarai mobil karena tempat tujuan kami tidak terlalu jauh.
Setelah mendekati alun alun kami memutuskan untuk mampir mengisi perut.
"Yang disana ma." Tunjuk Bintang ke salah satu cafe.
Aku mengarahkan sepeda motor ke parkir area di halaman cafe.
Suasana cukup nyaman dan lumayan ramai. Padahal ini sudah sore, mungkin pelanggan disini sama seperti kami, hanya ingin nongkrong.
Bintang memilih duduk di sofa minimalis karena mejanya lebih pendek dibanding meja di kursi yang lain. Tujuannya agar ia lebih mudah untuk makan atau minum.
Pilih sesukamu Bi, apapun itu untukmu.
"Kentang goreng 1, burger 1 dan jus alpukat 2 mbak." ucapku pada pelayan yang cafe.
"Bintang mau jus itu ma." Bintang menunjuk Jus berwarna merah keunguan di meja belakang kami.
"Jus buah naga ya mbak?" Tanyaku.
"Iya mbak. Tapi kebetulan stok buah naga kami sedang habis. Itu yang terakhir mbak."
"Ganti yang lain aja Bi." Bujukku.
Tapi bocah yang empat tahun itu mulai merengek.
"Nanti kita beli di stand dekat alun alun nak. Sekarang Bi pesan yang lain dulu ya." Bujukku.
Seperti dugaanku, bocah ini pasti sulit dibujuk. "Bi mau yang itu ma, Bi suka gelasnya."
Astaga bocah ini cuma tertarik dengan bentuk jar yang di pakai sebagai wadah jusnya.
"Jus alpukat juga pakai gelas itu Bi." Bujukku lagi.
"Bi suka buah naga ma, suka warnanya juga." Bintang makin merengek. Entah mengapa kali ini dia semanja ini.
Suara bintang mencuri perhatian sekelompok orang di sofa di belakang kami.
"Adek mau Jus ini?" Tanya seorang pria berkaos hitam dengan mengangkat jusnya yang tinggal setengah.
Bintang menganggukan kepala berkali kali hingga rambutnya bergerak naik turun. Senyumnya mengembang, dan mata jernihnya berbinar. Cantik sekali putriku.
Tiba tiba pria berkemeja biru muda yang duduk tepat dibelakangku menyodorkan jusnya pada Bintang.
"Ini minum punya Om. Belum om minum kok." Tanpa bertanya padaku, Bintang berusaha meraih jar berisi jus itu namun tangannya tidak sampai.
Sebegitu inginnya Bi?
Akhirnya aku berdiri meraih jar yang terbuat dari kaca itu. Tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih Mas. Maaf ya mas."
Pria itu membalas senyum. "Sama sama. Iya gak apa apa. Saya bisa pesan yang lain."
"Mbak masukkan ke bill saya aja ya." Ucapku pada pelayan.
Dan pria itu memesan minuman yang lain
Bintang terus mengoceh sambil mengunyah kentang gorengnya. Membahas apa yang akan ia lakukan di alun alun nanti.
Ini bukan kali pertamanya kami ke alun alun kota. Tapi dia tetap excited.
"Bi disini sebentar ya. Mama mau bayar dulu setelah itu kita pergi ke..." aku sengaja menggantung kalimatku.
"Alun alun... yeee...." Bintang berteriak senang.
Aku sampai meletakkan telunjuk dibibir. Sebagai isyarat Bi gak boleh brisik.
Orang orang sempat menatap kami. Bahkan ada yang tertawa.
Setelah membayar, aku kembali ke tempat duduk kami untuk membawa Bintang keluar dari cafe. Aku melewati sofa berisi beberapa orang yang tadi memberikan jusnya pada Bintang.
Namun tiba tiba lengan kekar merengkuh pinggangku. Menyebabkan aku jatuh terduduk.
"Astagfirullah..." jeritku saat tubuhku mendarat dipangkuan seseorang.
Sepersekian detik...
Prang.......
suara benda kaca yang pecah membuatku semakin mencengkram apa yang bisa ku cengkram dan menyembunyikan wajahku. Ya... aku takut.
Suara itu, suara yang masih membuatku trauma. Jantungku berdetak tak karuan, dan nafasku saling berkejaran.
Tak lama suara riuh pengunjung cafe menyadarkanku.
Tubuh siapa ini? Kenapa aku ada di pangkuannya. Aku melihat tanganku mencengkram kerah kemejanya. Sedangkan tadi wajahku berada di ceruk lehernya.
Bintang! Ya Allah. Batinku berteriak. Otakku mulai bekerja setelah berhenti sepersekian detik.
Aku bangkit dari pangkuan pria itu.
"Maaf." Ucapnya.
"Maaf." Ucapku bersamaan dengannya.
"Terimakasih." Suaraku bergetar.
Kami tersenyum canggung. Tapi sepertinya teman temannya riuh berteriak cieee...
Aku memperhatikan sekeliling dengan jemari yang masih menggenggam untuk menyembunyikan tangan yang masih bergetar.
Pecahan mangkuk kaca dengan seblak dan kuah merah yang bercecer di lantai. Entah apa yang terjadi yang pasti saat ini aku ingin memeluk Bintangku.
"Mama...." ia merentangkan tangan.
My sweetheart. Kusambut pelukannya.
"Bi gak apa apa sayang? Kaget ya?"
Dia mengangguk dalam pelukanku. "Mama gak apa apa kan. Mama jangan takut, ada Bi disini."
Air mataku akhirnya lolos juga. Bagaimana bisa bocah ini berlagak seperti pelindungku.
Aku menghapus air mataku. Saat seorang pelayan wanita dan seorang pria berkaos hitam di belakang kami tadi berdiri di dekatku.
"Bagaimana keadaanmu? Maaf atas keteledoran pegawaiku." Jadi Cafe ini miliknya.
Hampir seluruh pelanggan cafe menatap kami. Aku merasa risih menjadi pusat perhatian begini. Ini harus segera ku selesaikan.
"Ehm..." aku berdehem untuk menghilangkan rasa gugup dan takut.
"Aku baik baik saja. Tidak perlu khawatir. Hanya sedikit kaget." Aku berusaha tersenyum.
"Maafkan saya mbak. Saya ceroboh, saya salah langkah dan menyebabkan nampan itu terlepas dari tangan saya." Suaranya bergetar dan wajahnya pucat. Aku tau dia ketakutan.
Sementara pelayan yang lain masih membersihkan kekacauannya.
"Gak apa apa. Saya juga baik baik saja. Syukur Mas yang tadi cepat bertindak." Aku menunjuk pria berkemeja biru itu.
Dan pria itu kembali tersenyum menatapku.
"Sekali lagi maaf mbak. Saya akan memberikan voucher makan disini sebagai ucapan maaf." Ucap pria itu.
"Gak perlu Mas. Saya baik baik saja. Ya sudah ya, masalah ini clear ya. Kasian mbaknya. Dia pasti juga gak sengaja. Saya permisi dulu." Aku menggenggam tangan Bintang dan bangkit dari duduk.
Aku tidak ingin masalah ini diperpanjang. Walau aku tau bagaimana rasa bersalah saat mengecewakan pelanggan. Tapi aku juga tau bagaimana rasanya jadi karyawan.
"Ayo Bintang. Kita jalan jalan lagi."
"Permisi ya mas, mbak."
"Sudah. Mbaknya gak perlu merasa bersalah lagi ya. Lebih hati - hati saat bekerja." Ku usap lengannya sebelum berlalu pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!