NovelToon NovelToon

Panji & Nadin

Prolog

Nadin Azzahra Salsabila,19 tahun, gadis cantik yang berasal dari keluarga pas-pasan, dan tinggal disebuah rumah kecil dipinggiran ibu kota. Dia adalah anak pertama dari dua bersaudara yang baru satu tahun lulus dari SMU. Semenjak lulus sekolah, Nadin langsung mencari pekerjaan, karena ingin membantu menghidupi keluarganya.

Dia tinggal bersama ayah, adik dan juga nenek dari ayahnya. Sedangkan sang ibu sudah meninggal saat Nadin duduk di kelas 5 sd karena penyakit kanker payudara yang sudah lama dideritanya.

Ayah Nadin sendiri dulunya adalah seorang pekerja disebuah gudang kain. Dia memutuskan berhenti kerja, saat kondisi istrinya semakin memburuk. Ayah Nadin ingin merawat istrinya sendiri, hingga akhirnya sang istri menghembuskan nafas terakhirnya.

Semenjak sang istri meninggal, pak Samsudin tidak pernah berniat mencari pengganti istrinya, dan memilih fokus memikirkan masa depan anak-anaknya. Selain karena sangat mencintai almarhumah istrinya, dia juga tidak ingin membagi cinta antara anak dan istri barunya, kalau seandainya dia menikah lagi.

Sang ayah merasa takut tidak akan bisa mencukupi kebutuhan anak juga istrinya, seandainya dia menikah lagi, mengingat pekerjaannya sekarang yang hanya seorang buruh bangunan.

Nadin bertekad ingin membantu ayahnya mencari uang, untuk menghidupi keluarganya juga biaya sekolah Hirlan, adiknya yang sekarang masih duduk di kelas satu SMU. Nadin sangat menyayangi keluarganya, terutama sang ayah yang menurutnya sangat baik dan setia terhadap ibunya.

Apalagi saat dia ingat, bagaimana sabar dan telatennya sang ayah saat merawat ibunya kala beliau terbaring sakit. Nadin bisa melihat betapa besarnya cinta ayah kepada ibunya itu. Nadin bercita-cita ingin membahagiakan ayahnya suatu saat nanti.

Beruntung, Nadin selalu dengan mudah mendapatkan pekerjaan, namun sayangnya dia tidak pernah lama bertahan di tempat kerjanya. Ada saja kejadian yang menyebabkannya berhenti atau diberhentikan dari tempat kerjanya.

Terakhir, dia bekerja disebuah mini market dan memutuskan berhenti, karena selalu di ganggu dan dipalak oleh preman yang ada didaerah itu.

Kini Nadin bekerja disebuah konveksi rumahan yang kebetulan pemiliknya adalah majikan bibinya. Gedung konveksi itu berada tepat di belakang rumah pemiliknya, yang ada disebuah komplek perumahan elit dan cukup besar. Konveksi itu juga lumayan besar. Ada sekitar 70 atau 80 orang karyawan yang bekerja disana termasuk Nadin.

Konveksi itu memproduksi barang-barang berkualitas A grade yang dipasarkan keluar negeri, dan sistem kerja disana juga tidak berbeda dengan di pabrik-pabrik besar.

Mereka dibayar dengan gaji umr, bonus produksi, premi hadir juga poin prestasi. Poin A plus adalah poin tertinggi, dan biasanya tukang jahit jarum dua, dan jarum empat(obras), atau karyawan dengan multi skill yang bisa mendapatkan poin ini. Selain itu peraturan yang ada disana tidak kalah ketat dengan pabrik besar.

Tak heran, tidak mudah untuk bisa masuk dan bekerja disana, karena semua pekerja disana sangat terampil dan mahir. Kalau bukan karena bibinya, Nadin juga tidak mungkin bisa dengan mudah masuk kesana.

Semenjak Nadin bekerja, tak sehari pun Nadin lalui tanpa omelan atau komplen dari QC ( quality control) kepadanya. Nadin selalu menerima semua itu, walau terkadang dia juga tidak tahan mendengar omelnya. Menurut Nadin, kata-kata yang QC (dibaca qiusi) ucapkan terkesan kasar dan keterlaluan.

Aku harus kuat demi bapak. Aku tidak mau terus-terusan pindah-pindah kerja. Aku tidak mau mempermalukan bibi, yang sudah membawaku bekerja disini. Aku harus kuat menghadapi omelan si nenek lampir itu.

Gumam Nadin dalam hatinya.

....

Walaupun hidup pas-pasan, Nadin tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari keluarganya. Semua keluarga ayahnya sangat baik, begitupun keluarga almarhum ibunya yang juga tidak kalah baik, hanya saja keluarga almarhum sang ibu berada jauh darinya. Mereka ada di daerah Purworejo, jawa tengah, jadi Nadin dan Hirlan jarang bertemu dengan mereka.

Sepulang bekerja di konveksi, Nadin suka membantu neneknya berjualan mie rebus, kopi dan juga nasi rames, disebuah warung kecil yang terletak di dekat proyek pembangunan sebuah mall, yang tidak jauh dari rumah mereka.

Para pekerja proyek adalah pelanggan tetap di warung mak Ebah, nenek Nadin. Kebetulan ayah Nadin bekerja menjadi buruh di proyek itu. Warung mak Ebah buka dari pagi sampai larut malam, karena pekerja proyek disana kadang kerja lembur sampai larut malam.

Nadin mempunyai sahabat karib bernama Doni, yang sangat baik kepadanya. Nadin dan Doni bersahabat sejak kecil, dan mereka memang sangat dekat. Keduanya bersahabat sejak dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, dan mereka juga bertetangga. Susah senang mereka lalui bersama.

Doni sekarang bekerja disebuah butik. Dari dulu Doni bercita-citanya ingin menjadi seorang desainer atau seorang penata rias. Dia memang seorang lelaki yang menyukai pekerjaan yang berbau fashion atau kecantikan.

❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁❁

Panji Dwitya Prasydia Bahtiar (28 tahun) seorang laki-laki tampan, mapan, pendiam, angkuh dan sangat dingin. Dia adalah Ceo muda berdarah campuran etnis Tionghoa dan Indonesia.

Ayahnya Muhamad Anas Bahtiar, berdarah asli Indonesia, dan Ibunya Rika Lusiana Bahtiar, keturunan Tionghoa.

Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya Wily Arganexaputra Bahtiar, 35 tahun, sudah menikah dengan wanita cantik bernama Jesika Anastasya. Dan adik perempuannya Prisa Kirana Pratista Bahtiar, 19 tahun, seorang mahasiswi cantik dan juga baik hati.

Dengan wajahnya yang tampan, tak heran banyak sekali gadis-gadis cantik yang tergila-gila dan mengejarnya. Tapi sedikitpun Panji tidak pernah memberi respon pada mereka semua.

Banyak diantara gadis itu merasa sakit hati dan tak sedikit yang membencinya, karena Panji menolak mereka mentah-mentah, dengan sikap acuh dan tatapan begitu dingin, yang seolah merendahkan mereka. Seperti melihat sebuah kotoran yang menjijikan, begitulah dia melihat gadis-gadis itu.

Panji adalah sosok yang tegas, dan sangat serius, tidak ada kata bercanda dalam hidupnya. Dia juga sangat irit bicara, dan terkesan seperlunya. Dia hampir tidak pernah tersenyum kepada siapapun, bahkan kepada kliennya sendiri.

Panji jarang berkomunikasi dengan siapapun, termasuk dengan keluarganya. Dia seperti menutup diri, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri.

Panji memilih tinggal dirumah pribadinya, bersama dua orang art , satu orang tukang kebun, dan dua orang satpam yang bertugas secara bergiliran. Dia tidak betah tinggal bersama keluarga besarnya, dan lebih suka menyendiri, karena memang hubungan Panji dengan keluarga besarnya kurang baik.

Panji tidak percaya kepada siapapun di keluarganya. Dan menurut Panji, tidak ada satupun anggota keluarganya yang percaya dan mengerti dirinya. Hanya Adam, asisten pribadi yang setia kepada Panji, satu-satunya yang Panji percaya dan juga mengerti dirinya.

Berbeda dengan Panji yang pendiam, Adam justru sebaliknya. Dia sosok yang periang, suka bercanda, dan juga murah senyum. Dia mengenal panji dengan sangat baik.

Adam selalu siaga 24 jam seperti mini market atau klinik jaga yang selalu buka saat Panji membutuhkannya.

Adam sudah seperti Rex*na yang selalu setia setiap saat kepada Panji. Dia selalu ikut kemanapun Panji pergi, kecuali ke kamar mandi atau toilet. Dimana ada Panji disitu pasti ada Adam. Hanya kepada Adam lah Panji tidak mengirit suaranya.

Kendati demikian, tidak semua hal Panji ceritakan kepada Adam. Ada masalah besar lain yang tidak pernah dia ceritakan kepada Adam atau siapapun, ada masalah yang dia genggam sendiri sampai sekarang.

Dan itu adalah salah satu penyebab Panji menjadi sosok yang pendiam dan menutup diri dari wanita manapun, selain kisah cintanya yang berakhir menyakitkan.

Walau hidup bergelimang harta, tapi Panji kadang tidak merasa bahagia. Jiwanya kosong dan merasa sangat kesepian, apalagi setelah ibu kandungnya meninggal dunia dua puluh tahun lalu, dan Pak Bahtiar memutuskan menikah lagi dengan ibu tirinya, yang tidak dia sukai.

Panji dan istri baru ayahnya memang tidak pernah cocok. Panji merasa sangat kesal dan muak dengan kelakuan bu Soraya, (ibu tirinya) yang selalu berusaha menjodohkan Panji dengan gadis pilihannya, hingga akhirnya Panji memutuskan pergi dari rumah pak Bahtiar.

Selain itu, alasan kepergian Panji dari rumah itu adalah karena kehadiran Mikha. Gadis kecil yang disebut-sebut sebagai anak Panji dari hasil hubungannya dengan Vanesa.

Panji tidak pernah mau mengakui Mikha sebagai anaknya, karena dia tidak merasa melakukan hubungan terlarang dengan Vanesa, walaupun Panji akui, dia sangat mencintai Vanesa waktu itu.

Tapi tidak ada satupun keluarganya yang percaya kepadanya, bahkan pak Bahtiar sempat menamparnya, karena Panji dianggap mempermalukan keluarga dengan menghamili Vanesa.

Saat itu Panji sangat sakit hati dengan apa yang dilakukan pak Bahtiar kepadanya, juga semua tuduhan yang membuatnya merasa terpojok.

Panji sudah melakukan tes DNA, tapi bu Soraya mengatakan kalau itu semua hanya rekayasa Panji, dan semua keluarganya percaya kepada bu Soraya. Sejak saat itu, Panji semakin membenci ibu tirinya.

Semenjak meninggalkan rumah, Panji jarang sekali datang atau berkunjung ke rumah itu, kecuali ada urusan pekerjaan yang mendesak dan penting. Dia memang sangat malas bertemu dengan keluarganya, terutama dengan bu Soraya.

Tbc🌻

Kekesalan Nadin

Hujan masih turun membasahi ibu kota, saat Nadin dan semua karyawan lainya keluar dari gedung tempat mereka bekerja. Hampir semua karyawan memilih berteduh sebentar sambil menunggu hujan berhenti, tapi tidak dengan Nadin. Dia memutuskan untuk langsung pulang walau masih turun hujan.

Memang hujannya tidak sederas tadi, tapi tetap saja air hujan itu akan mampu membuatnya basah kuyup, terlebih dia harus berjalan kaki untuk sampai ke pinggir jalan raya, menunggu angkutan umum menuju ke rumahnya.

Tapi Nadin tidak peduli, dia tidak ingin melihat wajah Nina, seorang QC yang selalu memarahinya. Nadin juga tidak tahu, kenapa Nina begitu sentimen kepadanya. Nina selalu saja memarahi Nadin, walau dia tidak salah. Kesalahan yang dilakukan orang lain, maka Nadin yang akan kena semprot oleh Nina.

Seperti kejadian tadi siang, Nina memarahi dan menyalahkan Nadin dihadapan pak Sambaru.

Dia memojokkannya seolah-olah Nadin melakukan kesalahan yang fatal, padahal jelas-jelas itu adalah kesalahan tukang jahit. Nadin bekerja disana sebagai pekerja harian yang bertugas membuang dan merapikan benang sisa jahitan.

"Ada apa ini Nina? Kenapa kamu memarahi Nadin?." Tanya pak Sambaru.

"Ini pak, si Nadin meloloskan jahitan yang ngambang. Seharusnya dia kan mengembalikannya kepada tukang jahit, bukannya meloloskan ke proses selanjutnya." Sahut Nina.

Nadin diam saja, tidak berani berkata apapun. Selain dia karyawan baru, dia juga merasa dirinya memang salah.

Pak Sambaru mengambil barang setengah jadi itu, mengecek proses yang bermasalah tadi. "Kamu ini aneh Nina, bukannya ini tugas kamu sendiri? Kenapa menyalahkan orang lain?. Kamu tahu tugas kamu disini untuk apa? Mengecek kualitas bukan? Dan anak ini, tugasnya disini hanya merapikan sisa benang jahit yang tidak rapi, bukan mengecek kualitas."

"Tapi kan pak, walaupun dia hanya buang benang, dia harusnya jangan meloloskan jahitan ngambang kayak gini."

"Iya saya tahu, tapi kamu juga tidak perlu memarahinya seperti tadi, kamu beri arahan yang baik. Kamu maklumi saja, dia kan karyawan baru." Bela pak Sambaru.

"Nadin, lain kali kalau kamu lihat jahitan kayak gini, kamu kasihin sama Nina ya, jangan diloloskan." Ucap pak Sambaru.

"Iya pak." Sahut Nadin.

"Sekarang kamu kerja lagi. Dan Nina, kamu kasih ini ke penjahitnya, suruh perbaiki." Titah pak Sambaru.

"Baik pak." Jawab Nina, lalu pergi dari sana dengan perasaan kesal, karena pak Sambaru membela Nadin.

Posisi pak Sambaru di sana mungkin setara manager kalau dipabrik besar. Dia juga orang kepercayaan pemilik konveksi. Dia memang baik kepada semua karyawan, tak terkecuali kepada Nadin. Apalagi bi Sum, bibinya Nadin yang bekerja menjadi tukang masak dirumah pemilik konveksi, menitipkan Nadin langsung kepadanya.

Sejak hari pertama Nadin bekerja, Nina memang tidak menyukai Nadin, karena dia merasa tersaingi olehnya. Budi, seorang montir yang Nina taksir, malah sering menyapa dan menggoda Nadin anak baru, dibandingkan dengan dirinya yang sudah lama kenal dengan Budi. Ditambah dengan sikap pak Sambaru yang sangat baik kepada Nadin, membuat Nina semakin membencinya.

Setelah pak Sambaru pergi, Nina kembali menghampiri Nadin, menyindirnya dengan kata-kata tidak pantas. Dia menyebut Nadin telah merayu dan menggoda pak Sambaru. Dia juga mengatakan kalau kerja Nadin sangat lambat dan selalu keteteran.

"Hey anak baru." Panggil Nina pada Nadin.

"Saya kak?." Sahut Nadin.

"Iya kamulah, siapa lagi anak baru disini?." Jawab Nina Sinis.

Nadin beranjak, dan melangkahkan kakinya menghampiri Nina.

"Ada apa kak?." Tanya Nadin.

"Nih ambil." Ujar Nina, sembari memberikan sebuah sapu kepada Nadin. Nina menyuruh Nadin menyapu semua ruangan, padahal ada karyawan yang selalu menyapu gedung dua jam sekali.

Nadin mengambil sapu itu, lalu mulai menyapu. Budi yang melihat kejadian itu bergegas menghampiri Nadin, dan melarangnya meneruskan pekerjaan yang bukan pekerjaannya.

"Nadin, ngapain kamu nyapu? Ini tugas Yadi, kamu nggak perlu nyapu." Ujar Budi, sembari merebut sapu dari tangan Nadin.

Tiba-tiba Nina datang, dan memarahi Nadin. Budi membelanya, dan mengatakan kalau tugas Nadin bukanlah menyapu, tapi Nina mengatakan kalau ini perintah pak Sambaru. Budi tidak bisa berbuat apa-apa, dan akhirnya membiarkan Nadin menyapu.

Setelah selesai Nadin kembali mengerjakan pekerjaannya. Siapa sangka, pekerjaan Nadin sudah sangat menumpuk, karena selama dia menyapu, Nina melarang rekan kerja Nadin mengerjakan pekerjaan Nadin, hingga akhirnya pekerjaan Nadin sudah lumayan menggunung disana.

Nina memang sengaja melakukan ini, karena dia ingin membuat Nadin terlihat buruk dihadapan bu Ratna, supervisor disana. Dan Nina berhasil, bu Ratna yang baru saja kembali dari meeting bersama pak Sambaru dan pemilik konveksi, langsung marah-marah dan menegur Nadin.

Dia menyangka kinerja Nadin memang kurang baik, dan juga sangat lambat seperti apa yang dikatakan Nina.

Saat itu Nadin ingin sekali menjelaskan, tapi dia urungkan niatnya, karena menurut Nadin semua itu akan percuma, bu Ratna pasti tidak akan percaya dan Nadin juga sudah kehilangan semangat untuk menjelaskannya, apalagi Nina ada disana sedang tersenyum meledek ke arah Nadin.

Rasain kamu Nadin. Mungkin itulah yang Nina ucapkan dalam hatinya. Sepertinya dia sangat senang melihat Nadin dimarahi oleh bu Ratna.

Nadin ingin sekali menarik wajah Nina, menjambak rambutnya, menjahit mulutnya dengan mesin obras, atau memasukan badan Nina yang subur kedalam mesin pres yang panas, atau opsi lainya Nadin ingin memasukkan Nina kedalam karung, dan melemparkannya ke kali Ciliwung, itulah yang dipikirkan Nadin saat itu.

Nadin sungguh kesal dan rasanya sangat benci kepada makhluk Tuhan yang bernama Nina itu. Sepanjang jalan dia mengumpat, dan memakinya, hingga dia menyadari sesuatu, Hujan...iya, hujan yang diharapkan berhenti malah semakin turun cukup deras. Dia berteduh disebuah pos kecil didekat portal, hingga akhirnya hujan pun mulai sedikit reda.

Nadin memutuskan untuk memesan ojol, karena tak mau naik angkot dengan baju yang basah kuyup seperti ini.

Sepuluh menit kemudian hujan akhirnya reda, tapi ojol pesanannya belum juga tiba. Karena merasa bosan, Nadin melangkahkan kakinya sambil menunggu ojol itu.

Saat dia sedang berjalan, tiba-tiba sebuah motor melaju cukup kencang dari arah belakang, melewati genangan air dijalan aspal hingga air itu mengenai tubuh Nadin, membuat baju Nadin semakin basah.

Nadin yang kaget berteriak memaki sang pengendara, tapi sepertinya pengendara itu tidak peduli dan...tunggu,

Itu motor si kuda nil kan?. Tanya Nadin dalam hati.

Nadin memperhatikan motor matic berwarna merah yang tiba-tiba berhenti, dan pengendaranya menoleh ke arahnya. Dia membuka helm, lalu tersenyum miring melihat Nadin yang basah kuyup.

"Duuhh kamu kecipratan ya tadi, maaf ya aku sengaja. Kalau kayak gini kamu kok mirip tikus kecebur got ya, hahaha." Ujar sang pengendara sambil tertawa puas, lalu pergi dari sana.

Nadin sungguh kesal dan sangat benci kepada pengendara itu, yang tak lain adalah Nina. Dia ternyata sengaja melakukan itu kepadanya, Dan dia juga menghinanya.

"Dasar Nina sialan!! Dasar kuda nil, awas kamu !! Suatu saat aku akan balas perbuatan kamu ini, tunggu saja pembalasanku gajah bengkak." Gerutu Nadin memaki Nina.

Baru saja Nadin berhenti memaki Nina, dia kembali mendapatkan kejadian tidak menyenangkan. Sebuah mobil mewah melaju cukup kencang dari arah berlawanan. menerobos genangan air, hingga air itu kembali mengenai tubuh Nadin, dan kali ini tidak hanya tubuhnya yang terciprat air itu, tapi juga wajah dan rambutnya.

Nadin semakin naik pitam dan kembali berteriak memaki pengendara mobil. Rasanya dia sangat kesal, marah dan ingin menangis.

Nadin berlari meneriaki sang pengendara mobil yang sepertinya tidak mempedulikan teriakannya. Suara Nadin bahkan sudah terdengar serak karena terus berteriak.

Dia melihat ada dua batu seukuran kepalan tangan anak kecil dipinggir jalan, Nadin yang emosi mengambil batu itu dan melemparkannya ke arah mobil tadi.

Namun sayang, lemparannya tidak tepat sasaran. Dia melempar batu kedua, saat mobil itu memperlambat lajunya, karena didepannya ada polisi tidur.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Nadin. Dia melempar batu itu, dan kali ini lemparannya tepat sasaran. Batu itu tepat mengenai kaca mobil belakang, untung saja batu itu tidak membuat kaca mobilnya pecah, atau retak.

Nadin sepertinya belum puas melampiaskan amarahnya. Dia kembali melempar mobil itu dengan batu yang dia lihat tidak jauh darinya, dan lemparan ketiganya berhasil mengenai bodi belakang mobil, membuat sang pengemudi dan penumpang mobil terkejut.

"Apaan tuh?." Tanya sang pengemudi, sembari melirik spion kanan dan menghentikan mobilnya.

Sang penumpang yang juga sedang menahan amarah di dadanya, refleks menoleh kebelakang. Dia melihat seorang gadis berdiri beberapa meter dibelakang mobilnya.

Kedua orang yang ada di dalam mobil belum menyadari apa sebenarnya yang terjadi.

Sang penumpang segera turun, diikuti sang pengemudi. Lelaki itu (sang penumpang) menatap Nadin yang basah kuyup dan wajahnya dipenuhi aura kebencian dan amarah. Namun, sesaat kemudian wajah lelaki itu tiba-tiba berubah merah menyala melihat bodi mobilnya sedikit penyok. Dia juga melihat ada batu disana. Dia yakin batu itu tadi mengenai mobilnya, dan apa mungkin wanita itu pelakunya. Tanyanya dalam hati.

Dia kembali menatap Nadin. "Apa kamu yang sudah melempar batu ini ke mobilku?." Tanya lelaki itu.

Tbc🌻

Aku memang pelakunya

Nadin menatap bodi mobil mewah yang sedikit penyok akibat lemparan batu yang dia lakukan. Dia tersentak kaget, dan jujur saja sedikit takut sekarang.

Dalam hati Nadin menyesal dengan apa yang dia lakukan tadi. Karena tidak bisa menguasai emosi, mungkin saja sekarang dia akan mendapatkan masalah besar.

Mati aku, gimana kalau dia minta ganti rugi?

"Hey!! kamu denger aku kan?. Apa kamu yang sudah melempar batu ini ke mobilku? JAWAB!!! Tanya lelaki itu, dengan nada tinggi dan tatapan dingin, tapi air wajahnya semakin terasa panas, karena amarah di dadanya semakin dia rasakan.

Ya Tuhan gimana ini? Sepertinya dia sangat marah, dan pasti akan minta ganti rugi. Gimana ini? Dapet uang darimana aku? Gajiku saja bahkan aku belum menerima dan tidak tahu berapa? Tolonglah hambaMu ini, ya Tuhan.

Do'a Nadin dalam hati.

"Kamu nggak tuli kan?."Tanya lelaki itu lagi.

"Iya!! Aku memang pelakunya. Siapa suruh bawa mobil ngebut dijalan komplek kayak gini. Anda tidak lihat, akibat perbuatan anda aku sampai basah kuyup kayak gini?." Sahut Nadin, mencoba menutupi kesalahannya.

"Kamu pikir baju kamu itu lebih mahal dari ongkos perbaikan mobilku?." Sahut pemilik mobil masih dengan nada tinggi.

Tuh kan bener, dia pasti minta ganti rugi, aku sangat yakin. Tuhan...tolong selamatkan aku.

Dan tiba-tiba, sang ojol pesanan Nadin datang tepat waktu. Do'a Nadin dikabulkan Tuhan, malaikat penyelamatnya datang disaat yang tepat. Tanpa buang waktu, dia segera menaiki ojol itu.

"Maaf ya pak, saya gak sengaja. Nanti saya akan ganti kerugiannya, kalau saya punya uang dan kalau kita ketemu lagi. Kalau enggak, saya minta keridhoan bapak ya, anggap saja sedekah" Ucap Nadin pada pemilik mobil

"Mas..mas...cepetan jalan mas!! Ayo mas!! Titah Nadin sembari menepuk-nepuk punggung pengemudi ojol.

"Hey...hey jangan kabur hey." Teriak pemilik mobil itu. Dia setengah berlari ingin mengejar Nadin, namun sayang dia tidak bisa mengejarnya.

"Cewek sialan." Maki lelaki itu, yang tak lain adalah Panji, si jaran goyang, eh bukan jarang ngomong.

Awas aja dia. Aku pasti akan menemukannya.

"Sudahlah man, ngapain lo harus ributin masalah kecil kayak gini? Gue janji, besok sore mobil lo sudah mulus kembali seperti sedia kala." Kata Adam, sahabat merangkap asisten pribadi Panji.

"Masalah kecil lo bilang? Mobil gue penyok, dan orang itu malah lari dari tanggung jawab. Nggak bisa, gue nggak bisa terima ini. Gue paling benci orang yang lari dari tanggung jawab, sekalipun itu gadis kecil kayak dia tadi." Ujar Panji.

"Iya gue tau. Tapi kita juga yang salah. Tadi mobil ini, udah bikin dia basah kuyup. Itu juga kan gara-gara elo, yang suruh gue ngebut, jadi kecipratan air genangan kan dia. Wajar sih dia marah. Dan kalau menurut gue, dia lari karena dia takut. Mungkin dia tahu lo bakal minta ganti rugi, mungkin dia gak punya duit." Ucap Adam.

"Walaupun dia gak punya duit, harusnya dia jangan main pergi gitu aja. Minta maaf kek, atau apalah sebagai bentuk pertanggungjawaban dia.

Gue minta lo jangan perbaiki mobil ini, sebelum lo bisa temuin gadis itu. Ngerti lo Dam." Pungkas Panji lalu masuk kembali ke mobilnya.

"Iya deh, terserah lo bapak Panji." Gumam Adam, lalu dia juga masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka.

Mood panji memang sangat tidak baik sore itu. Untuk pertama kalinya dia kalah tender, ditambah kedatangan Jovanka ke kantornya, yang membuat emosinya semakin meledak-ledak. Apalagi setelah mendengar ucapan Jovanka, yang mengatakan kalau keluarga Panji dan keluarga Jovanka sudah menentukan tanggal pertunangan mereka.

Darahnya semakin mendidih mendengar hal itu. Dia tidak pernah menyukai Jovanka atau gadis manapun. Panji sudah berkali-kali menolak Jovanka, tapi gadis itu memang tidak punya kemal*an, eh tidak punya malu maksudnya.

Sore itu, Panji berniat ingin menemui kedua orangtuanya, untuk menegaskan sekali lagi, kalau dia tidak mau dijodohkan apalagi bertunangan, baik itu dengan Jovanka atau dengan gadis manapun.

"Lo kenapa sih Panji, kayaknya gak suka banget kalau orang tua lo, nyuruh lo berhubungan ama cewek? Apa lo udah gak suka sama cewek?. Jangan bilang lo suka sama gue, Ji. Karena lo gak akan bisa bikin gue hamil, dan gue gak bisa ngelahirin anak lo." Celetuk Adam.

Panji sama sekali tidak menanggapi ucapan Adam, dan Adam sudah terbiasa dengan hal itu. Adam tahu sekuat apapun dia menggoda Panji, dia tidak akan pernah tergoda apalagi tertawa.

Panji memang sering menampakan senyumnya dihadapan Adam, tapi tawanya, Adam sudah lama tidak pernah melihatnya.

"Kenapa sih, lo kayaknya susah move on dari si Vanesa? Padahal banyak banget cewek cantik yang ngejar-ngejar lo? Emang lo nggak pernah tertarik sama satupun dari mereka? Gue kok jadi curiga, jangan-jangan bener lo udah nggak suka ama cewek."

"Gue udah pernah bilang sama lo, lo jangan sebut-sebut nama Vanesa lagi dihadapan gue, atau lo gue cip*k, mau lo?." Sahut Panji.

"Ya Tuhan, apa hamba-Mu ini bermimpi? Apa yang berbicara barusan itu benar-benar Panji si manusia dingin sedingin salju? Hamba sangat bersyukur seandainya dia kembali menjadi Panji yang dulu. Panji manusia aluminium, yang baik hati, tidak sombong, suka menolong orang dan juga membasmi kejahatan. Aamiin."

"Biar sekalian lo gue basmi." Sahut Panji

"Hahaha." Adam tertawa mendengar ucapan Panji. Dia senang karena merasa seperti mendengar Panji yang dulu.

𑁍𑁍𑁍𑁍𑁍

Maafkan aku wahai pemilik mobil mewah tadi. Aku tidak bermaksud kabur. Tapi aku yakin anda akan meminta ganti rugi. Aku tahu ongkos perbaikan mobil mewah seperti itu pasti sangat mahal, aku tidak punya uang sebanyak itu.

Gajiku satu bulan mungkin tidak akan cukup. Aku harap, kamu pemilik mobil itu tidak akan mencari ku. Lagian kenapa tadi aku harus melemparnya dengan batu sih? Kenapa nggak sekalian aja tadi aku lempar pake pot beton yang ada dipinggir jalan, dasar bodoh kamu Nadin.

ini semua gara-gara si kuda nil. Kalau saja dia tidak membuatku emosi, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Awas kamu. Batin Nadin,saat dalam perjalanan pulang

Jam setengah enam sore, Nadin tiba dirumahnya. Dia langsung mandi dan menganti bajunya. Hirlan sang adik, membuatkan minuman hangat untuk Nadin, karena Hirlan tahu kakaknya pasti kedinginan. "Nih kak, minum dulu." Ucap Hirlan.

"Terima kasih adik manis." Sahut Nadin. Setelah itu Nadin makan, lalu pamit pada Hirlan, karena dia akan membantu neneknya berjualan.

"Sebaiknya kakak istirahat saja, kakak kayaknya sangat capek, biar aku yang bantu nenek jualan malam ini." Saran Hirlan.

"Tapi kan, kamu udah dari tadi bantuin nenek, sekarang giliran kakak."

"Gapapa kak. Kakak istirahat saja malam ini. Biar aku yang gantiin kakak. Lagipula besok aku libur." Ujar Hirlan.

"Libur?."

"Iya kak. Katanya semua guru akan mengikuti rapat di kantor dinas."

"Oohh, tapi kamu beneran gapapa kalau gantiin kakak?."

"Ya bener lah kak, asal nanti kalau kakak gajian jangan lupa traktir aku ya."

"Ah siiiaap." Sahut Nadin.

"Ya udah, aku ke warung sekarang."

"Eh Lan, ngomong-ngomong besok kamu bisa kan anterin kakak ke tempat kerja kakak ?."

"Bisa kak, tapi gimana kalo ada polisi?." Kata Hirlan sedikit takut.

"Ya nggak gimana-gimana, orang tiap hari juga ada polisi kok dikantornya." Sahut Nadin.

"Aku kan gak punya sim kak, gimana kalau kita kena tilang?."

"Besok kita berangkat lebih awal, kakak yakin gak ada patroli kalau masih pagi."

"Oke deh kalo gitu." Sahut Hirlan, lalu pergi ke warung, membantu neneknya berjualan. Sedangkan Nadin pergi ke kamarnya, dan beristirahat.

Dia memang sangat capek hari ini, karena pekerjaannya dua kali lebih banyak dibandingkan hari-hari sebelumnya. Walau sebenarnya pekerjaannya masih sama saja, tapi gara-gara Nina menyuruhnya menyapu, membuat kerjaan Nadin yang biasanya mengalir one piece flow, tapi tadi siang kerjaan menumpuk diprosesnya, membuat dia harus bekerja ekstra cepat, agar proses selanjutnya tidak menganggur, karena menunggu kerjaan darinya.

Untungnya Nadin bisa dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya yang sudah menggunung, walau harus mendengar omelan bu Ratna.

Dan untungnya lagi, ada yang membelanya tadi, dengan mengatakan kepada bu Ratna kalau Nadin disuruh menyapu oleh Nina, tapi bu Ratna malah semakin memarahi Nadin.

"Supervisor disini saya. Yang berhak menyuruh kamu itu saya, bukan Nina. Kenapa kamu nurutin dia?. Tugas dia hanya mengecek kualitas, bukan nyuruh-nyuruh operator, harusnya kamu tahu itu."

Kata-kata bu Ratna, masih terngiang jelas ditelinga Nadin, membuat Nadin serba salah.

Tapi kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan bu Ratna tadi bener juga. Si kuda nil kan bukan atasanku, kenapa juga aku harus nurutin dia.

Baiklah Nadin, mulai besok kamu nggak perlu dengerin dia. Yang harus kamu dengerin itu bu Ratna dan pak Sambaru. Kata Nadin dalam hati, lalu dia pun tidur.

Tbc🌻

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!