Kamar di dominasi warna pink dan putih terlihat sangat feminim, bisa ditebak siapa yang akan menempati kamar itu nantinya. Dari arah samping berhadapan dengan pintu yang terbuka, seorang bocah berumur 10 tahun meringsek paksa, masuk dan meneliti seisi ruangan ditengah sibuknya orang-orang yang membenahi kamar tersebut.
Tirai kain, lemari dan beberapa kotak yang entah isinya apa, tergeletak berhamburan memenuhi kamar yang ukurannya tidak terlalu besar.
Bocah itu mengedarkan pandangannya, meneliti dan menilai seisi ruangannya. "Mama... Mama," panggilnya memilin ujung baju sang Ibu yang duduk dipinggiran ranjang, sibuk memasukkan gelang pengait untuk tirai yang akan dipasang.
Wanita itu mengalihkan pandangannya dan melepas tangan sang anak yang menarik bajunya. "Kenapa?" tanya Nisa.
"Ma.. kenapa kamarnya tidak ada foto kita, aku mau dindingnya harus penuh dengan foto Angga, Mama, Papa, dan Adik," protes bocah itu menunjuk perut buncit sang Ibu. Nisa pun dibuat tersenyum dengan permintaan sang anak.
"Tentu Boy, tapi tunggu setelah kamarnya selesai direnovasi, mengerti?" sahut Dimas mendahului, ia duduk di samping istri dan mengelus pelan rambut sang anak yang berdiri tepat di depannya.
"Benarkah, harus yang banyak Papa, aku mau fotonya yang besar, foto Angga sedang memeluk Mama dan Adik," pinta bocah itu berbinar gembira.
Sedari Angga masih berumur 7 tahun dan bersekolah kelas 1 SD, bocah itu selalu merengek saat berangkat melalui TK yang tak jauh dari sekolah nya berada, dan beberapa teman sebangkunya sering mengantar sang adik ditemani sang Ibu.
Angga pun sama, ia menginginkan saat-saat berangkat sekolah bisa berbarengan dengan sang adik. Adik yang bisa menemani ia bermain dan selalu ada dimasa-masa pertumbuhannya.
"Iya," sahut Nisa dan Dimas menarik lengan Angga membawa kedalam pelukan hangat.
Para pekerja Art yang berada satu ruangan dengan majikannya itu, tidak heran lagi dengan keharmonisan keluarga Prayoga. Mengingat Dimas adalah anak majikannya yang terdahulu, Pak Yoga Dinata dan Ibu Andina Rajendra, yang terkenal baik dan ramah begitu pula dengan anak-anaknya.
***
Satu minggu berlalu, hari-hari Angga selalu ia habiskan dikamar yang nantinya akan ditempati sang adik. Bahkan Angga sampai tidur dikamar itu saking tidak sabaran menunggu malaikat kecilnya yang sebentar lagi akan lahir ke dunia.
Nisa dengan perut buncitnya berjalan tergopoh, dirasa semakin hari perutnya semakin turun dan membuat ia susah berjalan. Dengan perlahan dan tangan yang menyangga bawah perutnya, Nisa menghampiri sang anak.
Dielusnya rambut hitam nan lebat, mengusik dangan kelembutan seraya membangunkan sang putra. "Sayang, bangun. Sudah pagi lho! Nanti sekolahnya telat!" bisik Nisa pelan. Dikecupnya kening buah cinta pertamanya dengan Dimas. Anggara Mahesa Prayoga.
Angga menggeliat, merenggangkan otot-ototnya yang lemas, ditambah silaunya cahaya yang menembus jendela kaca dan suara lembut mengalun, membuat ia sadar. "Pagi, Mama." Angga memeluk tubuh berisi sang Ibu yang menyingkap tirai jendela.
"Ayo, Angga lekas mandi, setelah itu sarapan, Mama tunggu dibawah!" perintah Nisa diangguki Angga patuh.
***
Jalanan pagi sedikit lengang ditambah semalam habis diguyur hujan. Angga duduk di kursi penumpang dengan diam. Sesekali matanya melirik ke luar saat melihat beberapa temanya yang berkendara di boncengan sang Ibu dengan adiknya yang duduk di jok depan motor.
Angga tersenyum, sebentar lagi ia akan merasakan berada diposisi sama seperti temanya yang lain. "Abang tunggu kamu, Dek," gumam Angga melirik kursi pengemudi.
Angga turun bersama Nisa. Wanita hamil itu senantiasa mengantar jemput sang anak sekolah, baginya tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan dibanding menemani masa-masa pertumbuhan sang anak.
"Belajar yang benar, patuh dengan guru. Jangan bertingkah nakal yang membuat teman-teman menjauhi Angga, mengerti?" nasehat Nisa yang tak pernah lupa disampaikan untuk putranya.
"Iya, Mama," sahut Angga mengangguk membawa tangan sang Ibu menempel di dahi dan mengecup sayang. "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Nisa berdiri dipagar sekolah memandang punggung sang anak yang menghilang ditelan bangunan tempat ia menimba ilmu.
***
Sepulang mengantar Angga, Nisa menyempatkan mampir ke toko perlengkapan bayi. Sebenarnya dirumah baju-baju dan mainan sudah ada, namun untuk perlengkapan mandi, Nisa belum sempat membelinya, mengingat tanggal kelahiran buah hati keduanya akan lahir kurang dari sepuluh hari lagi.
Dimas sebenarnya melarang Nisa untuk berpergian, mengantar Angga pun Dimas sudah merasa cemas, tapi ia pun tidak bisa egois. Ibu hamil itu sangat rentan dan sebisa mungkin jangan mengekang yang membuat pikirannya terbebani dan akhirnya setres.
Dan Dimas percaya penuh, Nisa bisa menjaga diri serta anak yang dikandungnya seperti kehamilan pertamanya.
"Sudah sampai Nis?" tanya Dimas berbicara lewat panggilan. Tadi setelah selesai berbelanja, Nisa menyempatkan memberi kabar pada sang suami. Ia tak mau Dimas banyak pikiran hanya karena mencemaskan nya.
"Lagi dijalan. Mas tenang saja, Nisa bisa jaga diri, sebentar lagi sampai."
"Hati-hati, jaga diri kamu dan anak kita." Dimas mengakhiri panggilan. Kecemasannya sedikit berkurang setelah mendengar kabar sang istri.
***
Nisa melaju pelan membelah jalanan kota. Duduknya sedari tadi mulai tak enak dengan perut yang terasa mules, ditambah peluh yang mulai mengucur membasahi kulit putih wajahnya.
"Awhhhh.. Kamu udah gak sabar mau ketemu Abang ya, Dek," ringis Nisa mengelus perutnya. Sepertinya, tanggal kelahiran anaknya akan meleset dari perkiraan Dokter.
"Sabar, bantu Mama pulang dulu, baju dan perlengkapan lainya masih di rumah, nanti kamu pas lahiran memang tidak mau pakai bedong yang sudah Abang kamu siapkan, hemm!" dialog Nisa berbicara dengan buah hati yang masih dalam kandungan.
Lampu merah menyala. Nisa menghentikan mobil sejenak dan menunggu pergantian lampu menjadi hijau. Namun tiap detik, menit yang berlalu, perut Nisa semakin menjadi, sakit dan panas menjalar hingga ke pinggang.
Ting
Mobil dan kendaraan lainya mulai melaju kembali, Nisa dengan gemetar menarik tuas gas dan melaju pelan. "Awshhh...," rintih Nisa kesakitan, di sela kesibukannya mennyupir.
Konsentrasi Nisa terpecah, kendali mobilnya pun terlepas, reflek kedua tangan Nisa terangkat mengelus perutnya yang sakit.
Dari arah berlawanan, mobil sedan melaju ugal-ugalan dengan kecepatan yang kencang mengarah ke mobil Nisa.
Gelagapan mata Nisa membola, takut dan gemetaran namun tak bisa bergerak karena menahan sakit yang teramat menjalar perut sampai ke pinggangnya. "Astagfirullah," gumam Nisa ber-Istighfar. Bulir keringat semakin mengucur. Rasa panas diperutnya, kini berganti menjadi rasa dingin karena tegang.
"Ya ampun, mobilnya mau kesini, awshhh sakit."
"Ya, Allah... jika ini akhir dari nafas ku, maka berikan keikhlasan keluarga ku Ya Rabb," bulir bening menggenang di pelupuk mata Nisa. Tangisannya teredam rasa sakit dan takut.
Perlahan mata Nisa terpejam erat, kepalanya mendadak pusing, tak sanggup membayangkan yang akan terjadi padanya. Warna gelap menyelimuti, Nisa pingsan tak sadarkan diri, diiringi dentuman bunyi yang memekakkan telinga.
Brakk...
Dummmm...
Suara keras mengalun ditelinga, beriringan dentuman bunyi benda yang bertabrakan hebat.
Angga yang fokus belajar terhenyak dengan kotak bekalnya yang terjatuh dan menghamburkan isi makanan di dalamnya. "Mama...," ucapnya tanpa sadar. Jantung Angga serasa dipompa dan bulir bening seketika menggenang di pelupuk, mengucur jatuh dimata membasahi pipinya.
"Mama..."
Tita si gadis berkaca mata yang duduk bersebelahan dengan Angga mengernyit. "Kenapa?" tanyanya polos. Tak ada jawaban, Angga malah sibuk memungut makanannya lagi.
"Angga jangan sedih. Bekalnya ganti punya Tita saja," ucapnya lagi tak tega melihat wajah muram dan sedih teman sebangkunya.
Bu Imelda selaku wali kelas dan guru pengajar mata pelajar kali ini mencuri pandang murid lelaki dan perempuan yang berjongkok memasukkan makanan ke dalam kotak bekal kembali.
"Angga, Tita ada apa?" tanya Bu Imelda ikut berjongkok.
"Bekal Angga jatuh, Bu guru. Tita bantu Angga bersihin makanannya," jawab gadis itu jujur.
Angga selesai membersihkan makannya yang berserakan dibantu Tita, namun rasa sedihnya menjalar menjadi tangis yang pecah. Ia langsung memeluk tubuh gurunya. "Mama..." rengek Angga menangis. Bocah sepuluh tahun yang duduk di bangku kelas 4 SD itu mendekap erat gurunya.
Hati dan jantung Angga mendadak tak baik-baik saja. Ia merasa sedih yang teramat dalam hingga terbawa suasana. "Angga, kenapa?" Bu Imelda dengan lembut bertanya. Anak kecil memang mudah sedih tanpa sebab, namun Angga, murid teladan yang irit bicara, dingin dan pendiam. Kini terlihat sangat rapuh diliputi kesedihan tanpa sebab.
"Sedih! Jantung dan hati Angga mendadak sakit, huuuu... Sakit, Bu," lirihnya diikuti tangis yang menjadi.
"Shhh.. Angga jangan nangis, anak laki-laki nggak boleh cengeng! Bentar lagi Angga mau punya adik kan? Jadi stop tangisnya ya. Ayo sekarang Angga ikut Ibu ke kantor!" bujuk Bu Imelda mengusap punggung Angga lembut.
Sebelum keluar kelas Bu Imelda memberi tugas untuk murid lainya yang sedari tadi memandang penasaran ke arah Angga. "Tita, kamu sekalian ikut Ibu! Temani Angga." pinta Bu Imelda. Tita menurut.
***
Kabar tabrakan beruntun berhembus beredar di televisi. Dikabarkan pula kecelakaan tersebut memakan korban jiwa dan luka-luka berjumlah sebanyak 12 orang, dengan satu korban Ibu Hamil kritis, mengalami pendarahan juga kepala bocor.
Dimas tertegun, dipandanginya lekat televisi yang memperlihatkan lokasi serta kondisi bekas kecelakaan terjadi. Jantungnya berdebar apalagi saat melihat mobil yang dipasangi barrecade line polisi. "Niisaa..." raungnya berteriak. Niko sang sekretaris terkejut. Dipandangnya bosnya itu tanpa bertanya.
"Tunda rapat nanti siang, Niko! Saya mau pergi!" tekan dan titah Dimas dingin. Niko sampai dibuat terheran-heran, tidak sekalipun sedari awal ia bekerja melihat atasannya marah dan bersikap dingin, terkecuali terhadap klien dan pekerja lainnya. Namun dengan Niko baru kali ini.
"Ta..., tapi kenapa, Pak?" tanyanya ragu-ragu. Dimas tidak menjawab, ia buru-buru mengambil kontak mobil dan keluar tergesa.
Diusapnya kasar layar handphone, mendial nomor sang istri namun tak ada juga balasan. "Angkat, Nisa.." cemas Dimas.
Mobilnya melaju ketempat kejadian perkara. Hati dan jantungnya sakit membayangkan kondisi sang istri. "Itu hanya kebetulan saja, pasti itu bukan mobil kamu Nis. Mas yakin!"
Sesampainya di TKP, Dimas langsung mendekati polisi, mencecar pertanyaan dan mencari informasi korban-korban yang sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Sebagian korban luka ringan masih berada ditempat. Sedang lainya sudah dilarikan ke RSUD.
"Bapak dimohon jangan mendekati area yang sudah di barrecade line," cegah Pak Polisi yang bertugas.
"Tapi saya ingin memastikan mobil itu bukan milik istri saya Pak, tolong izinkan saya," mohon Dimas mengiba. Polisi itu pun mengangguk serta menemani kelurga korban ke area TKP.
Deg...
Tubuh Dimas mendadak lemas. Benar mobil itu yang tadi pagi Nisa kendarai. "Niisaa..." teriak Dimas, air matanya jatuh menganak sungai.
Dibukanya pintu mobil paksa, melihat sisa-sisa darah yang tercecer. "Pak, mohon kerja samanya, jangan menyentuh area yang dibarrecade line." Pak polisi itu mengitrupsi lagi. Dimas mengalah toh dimobil itu sudah tidak ada Nisa lagi.
***
"Ayo, Angga minum dulu," Bu Imelda menyodorkan air meminta muridnya menenangkan diri.
Isak tangis tergugu Angga masih terdengar namun tak separah dikelas tadi. Tita yang melihat jadi kasihan. Dengan berani ia mengulurkan tangan, mengambil air dari Bu Imelda dan mendekatkan cangkir itu ke bibir Angga. "Minum dulu, nangis juga butuh tenaga," Tita berucap polos.
Angga yang memang kehausan pun tak sungkan merengguk air yang Tita sodorkan hingga tandas. "Makasih Tita.. hiks."
"Sama-sama, Angga jangan nangis lagi ya."
***
Di rumah sakit, Nisa terbaring diatas brankar dan dibawa tergesa menuju IGD. Kecelakaan yang Nisa alami membuat kontraksi semakin parah dan berimbas ke pendarahan, ditambah kepala bocor bekas terbentur dengan dashboard mobil.
Pemeriksaan observasi kilat dilakukan di ruangan IGD dengan penanganan Dokter ahli, Nisa pun langsung dilarikan ke ruangan OK ( Operatie Kamer) untuk tindakan lanjutan.
"Atas nama kelurga Ibu Annisa Maharani," panggil dokter keluar ruangan IGD. Orang tersebut mendekat. "Saya, Dokter."
"Benar! Anda kelurga pasien?"
"Iya!." Jawabnya berbohong.
"Dimohon kelurga pasien untuk menyelesaikan biaya Admistrasi terlebih dahulu, sebelum tindakan operasi dilakukan." Jelas Dokter.
Memang peraturan di RSUD ini, segala tindakan medis dan operasi harus dibayar muka. Bukan maksud, para petugas medis lalai dan menunda! Jelas mereka hanya berkerja dan mentaati peraturan RSUD.
"Lakukan apapun asal Ibu Annisa bisa selamat, Dokter! Berapa pun biayanya akan saya bayar. Tolong, Dok!" Pintanya berharap yang terbaik.
Operasi caesar terpaksa dilakukan tanpa persetujuan kelurga asli. Mengingat saat kejadian kecelakaan, tas korban yang berisi hp dan dompet tidak ditemukan di mobil. Beruntung ada seseorang yang menolong Nisa dan membawanya secepat mungkin ke rumah sakit. Orang itu pula yang menjamin biaya pengobatan operasi korban yang sedang berlangsung.
Ia mungkin orang asing yang mengaku kerabat walau sebenarnya ia tak ada hubungan darah dan kekerabatan sekalipun! namun ia sedikit banyak mengenal Annisa. Mengingat Annisa dulu adalah juniornya semasa kuliah.
***
Dimas sampai di rumah sakit yang diberitahukan Pak Polisi. Dengan pakaian acak-acakan, mata merah dan sembab. Dimas buru-buru menuju kasir, bertanya pada resepsionis atas nama pasien istrinya sendiri. "Ada yang bisa dibantu, Pak?" sambutnya bertanya.
"Bisa tolong cek pasien atas nama Annisa Maharani," pinta Dimas cepat. Wajah cemas Dimas tak bisa ditutup-tutupi, tanpa bertanya lagi, Resepsionis itu langsung mengetikkan indentitas pasien di atas keyboard dan meneliti satu-persatu nama yang ingin diperiksa.
Beruntung Dimas tak salah tuju, Nisa memang dibawa ke RSUD ini. Namun kabarnya Nisa masih dalam penanganan medis karena menjalani operasi lanjutan. Operasi kepala bocor.
"Ruangan atas nama Ibu Annisa Maharani ada dilantai dua, ruangan OK ( Operatie Kamer), Pak, beliau akan menjalani tidak operasi penjahitan dibagian kepala," jelas Resepsionis.
Dimas lagi-lagi menghela nafas berat. Nisa istrinya sedang dalam kondisi yang parah dan tengah menjalani operasi. "Baik! Terimakasih, Mbak."
Dimas bergegas menaiki lift, segera dicarinya ruangan penanganan sang istri yang berlangsung. Tepat didepan ruangan OK, pintunya masih tertutup menandakan operasi belum selesai.
Diliriknya sekeliling, mencari keberadaan Dokter atau perawat yang bisa ia tanyai. Beruntung tak lama ada perawat yang berjalan mendekati ruangan OK, dengan tangan yang membawa kotak putih kecil, entah isinya apa. Dimas pun menyambutnya dengan cecaran pertanyaan. "Suster.. suster," panggil Dimas.
"Ada yang bisa dibantu? Maaf saya sedang buru-buru," ucap Suster mengerling ke kotak yang ia bawa.
"Sebentar saja, saya hanya bertanya kondisi Ibu Annisa? Istri saya keadaanya sekarang dan juga janin yang dikandungnya, bagaimana kabarnya, apa Suster tahu?" tanya Dimas penasaran. Harap cemas dengan buah hati keduanya itu.
"Kondisi pasien Ibu Annisa, masih dalam penanganan, Pak! Untuk baby nya, selamat. Kondisinya sehat dan tanpa ada kecacatan. Sekarang baby nya sudah dipindahkan ke ruangan NICU ( Neonatal Intensive Care Unit ). Maaf, sekali lagi saya buru-buru." Jelas Suster berlalu masuk ke ruangan OK ( Operatie Kamer).
Hati Dimas kalut dan cemas dengan kondisi sang istri, namun ia juga bersyukur kondisi buah hatinya selamat dan dalam keadaan baik-baik saja.
Dimas duduk di samping ranjang rawat sang istri yang belum siuman. Dua jam sebelumnya setelah Nisa selesai di operasi, pasien pun dipindahkan ke kamar rawat. "Cepat sembuh, sayang! Mas, Abang dan Adik, menunggu kamu," lirih Dimas menggenggam tangan dingin Annisa.
Dimas hendak berterimakasih dengan orang yang telah menolong istrinya, namun belum sempat bertemu, orang itu ternyata sudah meninggalkan RSUD setelah membayar lunas biaya pengobatan Annisa. Orang itu juga berpesan, besok dia akan kembali lagi, untuk mengetahui perkembangan kondisi Annisa.
Setalah mengetahui kondisi sang istri! Dimas buru-buru menghubungi orang rumah, memberitahukan kronologis kondisi Annisa, pada orang tua juga mertuanya. Tak lupa pula Dimas berpesan untuk menjemput Angga disekolah karena sudah waktunya jam pulang, pada Mang Kosim supir pribadi yang bekerja dikediaman Dimas.
***
Alat Patient Monitor jantung terus berbunyi, selang oksigen dan peralatan lainya turut serta terpasang di tubuh sang istri. "Yang sabar! Nisa wanita kuat, Dim. Sebentar lagi pasti siuman, meminta pada Tuhan dan berdoa untuk kesembuhan istrimu," Pak Yoga menepuk pelan bahu sang anak.
Ia tahu kesedihan yang sedang dialami Dimas. Annisa, menantunya itulah yang membuat rona kebahagian Dimas memudar. Hati siapa yang tidak terluka melihat belahan jiwanya terbaring lemah di rumah sakit, dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.
"Iya, Pah. Dimas minta doa Papa, Mama juga untuk kesembuhan Nisa!."
Angga tertidur lelap di sofa kamar rawat sang Ibu sehabis menangis, ditemani Oma Andina yang menjaga Baby. Sepulang sekolah Angga celingukan menunggu, sang Ibu menjemput, tapi yang datang malah Mang Kosim. Dan Angga pun dibuat shock saat dibawa ke RSUD. Pantas saja hatinya mendadak sakit ternyata Ibu dan adiknya dalam bahaya.
Baby, anak kedua Dimas dan Annisa berjenis kelamin perempuan. Nama bayi kecil dan imut itu belum disematkan untuknya, karena Dimas akan memberi nama anaknya sesuai dengan orang yang telah menolong Annisa.
Andai saat itu Annisa tidak dilarikan secepat mungkin ke rumah sakit, dan ditangani cepat pekerja medis, mungkin nyawa dan anak yang dikandungnya tidak akan tertolong. Beruntung Tuhan masih sayang dengan Annisa hingga memberikan kesempatan hidup meskipun harus melewati kondisi kritis.
"Kamu makan dulu Dim, sekalian pulang ke rumah, bersihkan tubuh kamu dan ambil baju Angga juga Baby. Jangan sampai kamu ikutan sakit, nanti siapa yang akan menjaga cucu-cucu, Mama," seru Oma Andina memerintah, menyodorkan makanan yang tadi ia beli, sebelum ke rumah sakit.
Sekalut-kalutnya Dimas, tetap tidak boleh egois. Ada anak-anaknya yang harus diperhatikan dan masih butuh pengawasan orang tuanya. "Iya, Ma. Dimas makan dijalan saja. Titip Angga dan Baby. Dimas pulang. Assalamualaikum." Pamit Dimas mengambil makanan, lalu mengecup kening Annisa tak lupa mennyalimi takzim kedua orangtuanya.
***
Keesokan harinya, tepat jam 2 siang, orang yang menolong Annisa menyempatkan berkunjung. "Dimas yang menyuapi Angga, menolehkan kepalanya sejenak ke arah pintu yang terbuka, menyembulkan sosok gagah dibaliknya dengan wanita dan anak kecil yang mengiringinya.
"Anda siapa?" cecar Dimas. Heran dengan lelaki yang seumurannya itu masuk kedalam ruang rawat sang istri dengan menggandeng anak kecil seumuran Angga, juga wanita yang menenteng Parsel buah-buahan.
"Maaf, menggangu! Saya hanya ingin mengunjungi Ibu Annisa dan memastikan kondisi kesehatan beliau. Ini ada sedikit buah tangan, tolong diterima," sodor orang itu mengambil parsel dari tangan wanita yang ada disampingnya.
"Terimakasih. Kalau boleh tahu, anda siapanya Annisa? Apa anda orang yang kemaren menolong istri saya?" cecar Dimas lagi.
"Saya, Ardani Jordan, senior Annisa semasa kuliah dan ini istri saya Silvana. Iya benar saya yang menolong Ibu Annisa."
"Benarkan. Terimakasih banyak, Pak Dani, Bu Silva! Saya berhutang budi pada anda sekeluarga. Kenalkan saya Dimas Prayoga, suami Annisa." Dimas mengulurkan tangan mengajak berkenalan, dan disambut baik Dani sekeluarga.
"Bunda... Bunda, aku mau main," rengek bocah seumuran Angga itu menarik lengan sang Ibu. "Iya sayang, iya." Silvana lalu mengeluarkan mainan kecil yang ia bawa ditasnya dan menyodorkan pada sang putra.
Dani dan Dimas mengalihkan pandangannya. "Hai, boy. Mau bermain dengan anak, Om?" tanya Dimas menunjuk Angga yang telaten makan disuapi Opanya.
"Iya, Rafa main dengan anak Om Dimas ya. Ayah dan Bunda mau ada yang diobrolkan. Bisa?" Dani mengerling anaknya.
"Iya, Ayah, Bunda, Om. Aku ke sana ya." Rafael lalu mendekati Angga dan mengajak bermain. "Hai, aku ada robot. Mau bermain bersama?" ajaknya menenteng mainannya ke hadapan Angga.
"Boleh. Aku Angga, kamu siapa?" Angga mengambil satu robot yang disodorkan padanya. "Aku Rafael."
"Ayo kita main." Angga dan Rafael bermain di sudut ruangan dekat kulkas. Sedang para orang tua sibuk mengobrol.
***
Opa Yoga bergabung dengan Dimas dan Dani. Sedang Oma Andina ditemani Silvana, mereka sibuk mengobrol juga menjaga Baby.
"Cantik, baby nya. Silva juga menginginkan anak perempuan, Tante," ucap Silvana sendu. Sudah sebelas tahun ia menikah namun hanya dikarunia seorang putra. Rafael Jordan Senggala.
Berbagai metode sudah dicoba Silva dan Dani, namun mereka tetap tidak bisa memiliki anak lagi setelah kejadian Silva kecelakaan saat Rafael masih berumur 5 tahun.
Silvana dulu mengandung anak keduanya saat Rafael berumur 5 tahun. Namun karena kecelakaan terjatuh dari tangga yang menimpa Silvana, membuat ia keguguran dan berimbas pada kerusakan rahim. Meskipun rahimnya tidak diangkat, tatap saja Silvana susah untuk memiliki anak lagi.
"Mungkin belum rejeki, Sil. Dicoba pelan-pelan, minta sama Allah dan panjatkan doa. Memang tidak mudah! Dulu Tante juga susah punya anak, apalagi dulu Tante sempat di diagnosa mandul, padahal Tante sudah pernah melahirkan. Beruntung 7 tahun berselang tante hamil kembali dan langsung dikarunia anak kembar." Pancing Oma Andina menyulut semangat Silvana.
Wanita beranak tiga itu mendengarkan seksama keluh resah Silvana yang sulit memiliki anak. Oma Andina juga pernah ada diposisi Silvana. Susah mengandung, meskipun kondisi Oma Andina dan Silvana berbeda. Tapi sebagai sesama wanita yang pernah merasakannya, pasti tau kondisi itu sangatlah tidak mudah.
"Iya, Tante."
***
Hari ketiga Annisa dirawat kondisinya masih sama, belum ada peningkatan. Bahkan sedari awal dirawat, kondisi kesadaran Annisa menurun drastis dan mengalami koma.
Seuntai doa, tidak lepas selalu Dimas sekeluarga panjatkan. Bahkan Abimanyu dan Amirah yang berhadir turut serta memanjatkan doa untuk kesembuhan putrinya.
Penerbangan dari Kalimantan ke Jakarta memang tidak memakan waktu sampai 24 jam. Namun dengan kesibukan yang banyak juga mengurusi perkebunan sawit dan batu bara. Baru dihari ketiga dan siang tadi Abimanyu sekeluarga bisa membesuk keadaan anak, mantu dan cucunya.
"Nenek, Dek Arra pipis," adu Angga pada sang Nenek. Lekas wanita berumur setengah abad itu bangkit dan mendekati cucu perempuannya.
Adharra Mahesa Prayoga. Baby Arra anak Dimas dan Annisa yang diberikan nama oleh Dani dan Silvana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!