"Tante Lera!"
Seorang perempuan yang namanya baru saja diteriakkan oleh bocah 5 tahun lekas menoleh. Wajah ayunya terlihat bersinar saat melihat anak lelaki yang tengah berlari ke arahnya. Sebuah tawa lepas begitu saja kala anak itu meloncat dan memeluknya erat.
"Tumben sekali tante mau menjemput ku?" bocah itu berceloteh sambil menggembungkan pipinya gemas.
Tawa jenaka Lera berubah menjadi kekehan canggung. "Semua ini gara-gara ayah mu!" rasanya ia ingin memberitahu fakta pahit itu pada Erry, tapi dia tidak cukup tega untuk mengatakannya. Bocah itu pasti akan sedih dan kecewa.
Seharusnya hari ini ada hari liburnya, hari dimana ia akan menghabiskan seluruh waktunya untuk berburu barang-barang keluaran terbaru di mall dan bersantai dengan ditemani beberapa orang yang menata rambut juga kukunya di salon. Itu rencana yang sangat sempurna untuk membunuh waktu, namun siapa sangka jika bada akan datang.
Demon Estanbelt, sepupunya yang amat diktator itu mengirimnya pesan untuk segera menjemput Erry di sekolah.
Sejujurnya Lera bisa saja menolak perintah itu, namun resiko atas pembangkangannya itu terlalu berbahaya. Membayangkan ia akan kehilangan donatur tetapnya, itu seperti sebuah mimpi paling buruk. Jadi, dengan menggunakan seperempat hatinya yang tidak ikhlas, Lera akhirnya memutuskan untuk pergi menjemput Erry.
"Urm ... berhubung hari ini tante sedang tidak sibuk, jadi tante yang jemput kamu ke sekolah."
Bocah itu mencebikkan bibirnya, "Bohong!" sungutnya kemudian, "bilang saja kalau Ayah yang memaksa tante Lera kan? Kalau bukan karena Ayah, mana mau tante datang ke sini."
Lera berdecak tak percaya, sepupu kecilnya itu ternyata memiliki kecerdasan dan juga mulut yang tajam seperti ayahnya. "Benar kok, aku datang ke sini karena aku sangat merindukan sepupuku yang sangat tampan dan manis ini."
"Benar?" Bocah itu kembali bertanya, ia masih mencoba meyakinkan dan kepala Lera mengangguk dengan sangat cepat. "Ya sudah, karena tante Lera bilang tidak sibuk, kalau begitu ayo temani aku main dulu di taman dengan teman-teman. Erry ada pertandingan main layang-layang."
"Apa?"
Oh, No!!!
Lera tidak bisa untuk tidak membelalak kan matanya saat mendengar ocehan bocah itu. Tidak, sudah cukup menyebalkan untuk sampai di tempat ini dan ia tidak ingin—
"Erry!" Lera memejamkan matanya dan menahan diri
—untuk tidak mengumpat ketika bocah itu sudah melesat pergi dengan teman-temannya.
.
.
.
"Wow, pohon yang lumayan tinggi, ya?"
Lera mendesak sambil menatap layang-layang yang tersangkut pada ranting pohon. Dia sangat yakin bahwa hak sepatu yang ia pakai saat ini sama sekali tidak membantu dirinya untuk mendapatkan layang-layang itu.
"Erry, bagaimana kalau kita beli layang-layang yang baru saja?"
Itu adalah solusi paling praktis yang bisa ia tawarkan pada bocah itu.
"Tidak mau!" Erry berseru, dia jelas memberikan penolakan atas ide tantenya yang cemerlang. "Itu kan layang-layang yang dikasih sama temanku. Ayah bilang, aku harus menghargai pemberian orang lain."
Lera meringis, ingin rasanya ia mengumpat keras. Ya, pidato yang sangat bagus, Em! pikir Lera masam.
Bayangan tentang tubuhnya yang dipijat oleh tangan-tangan tukang pijat profesional langsung lenyap begitu saja, hari ini dia tidak akan bisa mampir ke salon langganannya.
"Emo akan membayar mahal rengekan putranya!" Dia kemudian kembali mendongak ke atas untuk melihat layang-layang sialan berwarna merah jelek. Lera berdecak sebentar sebelum memutuskan untuk melepas sepatu kesayangannya dan mulai meloncat-loncat di udara.
"Ayo, tante, sedikit lagi!" Erry berseru, ia mencoba memberikan semangat pada Tante nya tersebut.
"Sedikit lagi apanya?! Kau tidak lihat? Bahkan ujung tali layangannya saja belum tersebut oleh jemari cantikku!" dengkus Lera seraya menatap layang-layang sialan dia atas sana kesal, sangat, sangat kesal.
Kali ini Lera mengikat rambutnya tinggi-tinggi dan menggulung lengan bajunya. Lera sudah mengambil ancang-ancang untuk melompat namun sebelum itu berhasil, tubuhnya sudah melayang ke udara lebih dulu.
"Kyaaa!!" Dia memekik kaget, iris cokelatnya membelalak saat mendapati seorang pria dengan stelan rapi sedang mengangkat tubuhnya. "Apa yang sedang kau lakukan, br3ngs3k!"
Pria itu memutar mata bersamaan dengan decak menyebalkan yang lolos dari mulutnya. "Jangan hiraukan saya, cepat ambil saja layang-layangnya sebelum tanganku patah!"
Apa dia bilang?
Lera sudah mengumpulkan segala macam sumpah serapah untuk ia muntahkan pada pria tidak sopan itu namun saat retinanya kembali menatap wajah penuh harap Erry, ia memutuskan untuk menelannya kembali.
"Dengar ya, aku melakukan ini bukan karena mau." ucap Lera memperingatkan, dia kemudian kembali berusaha untuk mendapatkan layang-layang jelek itu. "Bisa lebih tinggi sedikit lagi? Sedikit lagi, sedikit lagi tanganku akan ... kena!"
Perasaan senang itu tidak bertahan lama, hanya sepersekian detik. Lera berkedip beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Bagian pinggulnya terasa nyeri, sepertinya ia terkilir.
"Aaakh ... sialan!" erangan marah bercampur sakit baru saja lolos dari mulutnya.
Iris cokelatnya menatap bengis sosok pria yang saat ini sedang tersenyum manis seraya memberikan layang-layang yang sudah ia dapatkan dengan setengah mati itu pada Erry. Hal yang membuat tangki kekebalan Lera membuncah karena pria itu sama sekali tidak membantunya berdiri setelah menjatuhkannya cukup keras dan tidak meminta maaf.
"Br3ngs3k! Beraninya kau menjatuhkan ku!!"
Pria itu menoleh, ada seringai menyebalkan di wajah tampannya. "Kau pikir siapa yang tahan menggendong kerbau?"
Lera mengernyitkan dahi, dia kemudian mengamati dirinya sendiri. Dia tidak gemuk, berat badannya pun tidak bertambah saat tiga hari lalu ia menimbang badan. Lalu, bagaimana bisa pria kurang ajar itu menyebutnya kerbau?
Dia kembali menatap sosok itu. Stelan kantor, wajah tampan, dompet tebal. Wah, pria itu tidak jauh berbeda dengan sepupunya, mereka sampah yang terbungkus pakaian bagus.
Oh, sepertinya Lera tahu apa yang harus ia lakukan pada pria itu. Tanpa banyak bicara, dengan sekali ayun pria kurang ajar itu langsung membungkuk memegang kakinya. Ya, seperti itulah yang sering ia lakukan pula pada sepupunya yang kurang ajar, sebuah tendangan manis ia daratan tepat pada tulang kering.
"Bagaimana rasanya ditendang oleh kerbau? Sakit?" Lera tertawa puas, setelahnya ia lekas menggandeng Erry. "Ayo, sayang, kita pulang."
"Tapi bagaimana dengan paman itu?"
"Biar saja, dia memang pantas mendapatkan—" Ia belum menyelesaikan ucapannya saat tubuhnya tiba-tiba saja ditarik ke belakang dan juga belum sempat bereaksi ketika mendapatkan serangan lanjutan, dia merasakan sepasang bibir lain yang menempel pada bibirnya.
Tidak, apa yang baru saja dia lakukan?
Apa yang baru saja pria kurang ajar itu lakukan pada bibirnya?
Bian menjilat bibirnya sendiri setelah sedikit memberi jarak, "Ternyata mencium kerbau tidak terlalu buruk." dia berisik di telinga gadis itu. Sebelum pergi menuju mobilnya, dia sempat menghampiri Erry, jemari panjangnya mengacak rambut bocah lelaki itu gemas. "Lain kali jangan mau pergi dengan kerbau bodoh."
Lera memejamkan mata, ia marah, geram dan malu bercampur jadi satu. Ketika ia membuka mata dan bersiap untuk memuntahkan kemarahannya, "Berani-beraninya kau mencuri-" ternyata pria itu sudah tidak ada di sana. "Sialan! Kemana perginya si br3ngs3k itu?" umpatnya kesal.
Erry mengerutkan dahinya sambil mengerutkan bibir. "Br3ngs3k itu apa tante?"
Oh, mulut sialan!
Lera memejamkan mata sejenak sambil menghela napas beberapa kali. Tarik napas, hembuskan. Ya, sekali lagi, tarik napas .... lalu hembuskan. Ia terus mengulang-ulang kegiatan tersebut setidaknya sampai kesabarannya mulai terkumpul kembali.
Setelah embusan ke lima, Lera sudah siap untuk menghadapi Erry dan segala rasa ingin tahunnya akan kosakata baru. "Br3ngs3k itu artinya tampan, sangat tampan." ucapnya seraya tersenyum, sebuah kebohongan akhirnya tercipta.
Dalam hati, Lera hanya berdo'a semoga sepupu kecilnya tersebut tidak menyebut Demon Estanbelt -Ayahnya atau orang lain dengan kata-kata umpatan itu. Tamat riwayatnya kalau hal itu benar-benar terjadi.
Lera mematung di tempatnya kala mendapat hadiah dari sang sepupu. Astaga, itu sangat tidak bisa dipercaya. Dia sekali lagi memandang pria yang sedang sibuk menyuapi Erry makan dengan telaten itu penuh kecurigaan.
"Ini bukan jebakan, kan?" Dia masih memberikan tatapan menyelidik.
Oh, Ayolah, dia seorang Demon Estanbelt, sosok yang kejamnya sebelas dua belas dengan lucifer itu mana mungkin memberikan Credit Card-nya dengan cuma-cuma begini, setidaknya Lera yakin ada hal yang sedang dia rencanakan.
Gerakan tangan Demon yang membawa sendok berhenti tepat di depan mulut Erry, ia kemudian melirik Lera dari sudut matanya. "Kalau kau tidak butuh, letakkan kembali di atas meja." ujarnya tak acuh.
Mendengar kata-kata itu Lera ingin tersenyum lebar, namun dia harus menjaga ekspresinya agar tidak terlihat terlalu senang. "Kalau kau memaksa ya sudah, kau tahu sendiri aku tipe orang yang tidak bisa menolak kalau sudah dipaksa." ucapnya dengan suara dibuat begitu pasrah, seolah dia memang dipaksa untuk mengambil CC itu untuk menemaninya berkeliling mall.
Saat mengalihkan tatapan pada Erry, ternyata bocah itu sedang menatapnya balik dengan tatapan jahil. Kedut bibirnya membuat Lera tahu kalau dia akan berbicara pada ayahnya.
Oh, Tidak!
Jangan bilang bocah itu akan mengatakan apa yang terjadi di taman siang tadi?
"Ayah ..." panggil Erry.
"Ya?"
"Saat di taman siang tadi, Tante Lera dan ..."
"Erry!" Lera segera menginterupsi, ia tidak bisa membiarkan Credit Card yang didapatkan dengan cuma-cuma ini kembali disita olehnya. Bagaimanapun dia harus mencari cara untuk membungkam mulut ember bocah tengik itu. "Bukankah bulan lalu kau mau mainan Lego? Kau mau ikut dengan tante berbelanja?" bujuknya tak begitu yakin kalau akan berhasil.
Demon memberikan tatapan tidak terima, "Dia sedang makan, Lera. Pergi saja sendiri, sana!" dia mengomel sambil mengibaskan tangannya sebagai isyarat pengusiran.
Lera menggigit bibirnya, ia berusaha untuk tidak mengumpat. Dalam benaknya yang paling dalam, ia juga maunya pergi ke mall sendiri, memangnya siapa yang mau mengajak bocah kematian itu pergi berbelanja? Sangat merepotkan dan membuang-buang waktu pastinya.
Tapi masalahnya, kalau ia tidak mengajak Erry, kemungkinan besar akan ada bencana yang siap menunggu karena mulut bocah itu sangat tidak bisa dijaga apalagi dipercaya.
Tidak, tidak, tidak!
Lera tidak bisa pergi sendiri, Lerry Estanbelt, dia itu memiliki sifat polos dan jail. Kalau bocah itu menceritakan kejadian dimana dia dicium oleh pria tidak dikenal maka tamatlah riwayatnya.
Demon pasti akan membunuhnya karena sudah memberikan contoh yang tidak baik di depan anak kesayangannya tersebut. Belum lagi kalau berita itu sampai ke telinga Nyonya besar Estan dan Papa Aditama ... sial, Lera tidak mau membayangkan apa yang akan mereka lakukan padanya.
"Aku tidak mau Lego, aku sudah punya banyak di kamar. Tapi ... kalau tante mau mengajak ku main ke timezone, aku mau ikut!"
Timezone? Oh, Tuhan ... itu pilihan yang sangat sulit, benar-benar sulit!
Dia pernah sekali menemani bocah itu bermain di timezone dan itu bukan cuma satu sampai dua jam, anak itu menghabiskan waktunya sejak siang sampai sore dan bahkan Erry sempat tantrum tidak mau pulang.
Baiklah, mari buat perjanjian sejak awal dengan anak ingusan ini. "Hanya 1 jam saja, oke?"
Kepala cerdas bocah itu menggeleng, "Dua jam."
Dua jam? Lera menatapnya penuh pertimbangan. "Baiklah, hanya dua jam ya."
"Iya."
"Oke, deal!"
Bocah itu lekas tersenyum, dia segera meloncat turun dari sofa dan mulai merengek pada ayahnya. " Ayah ... Erry ingin main dengan tante Lera, boleh ya?"
Demon mendelik kesal pada Lera yang sedang cengengesan, akan tetapi dia tidak akan bisa berkutik karena Erry sedang melayangkan tatapan memelas padanya. "Jangan pulang terlalu malam, besok kau harus sekolah."
"Iya, Erry tahu."
Lera tersenyum, untuk saat ini kelangsungan hidupnya akan tetap aman.
"Dan Lera," kali ini Demon memberikan warning padanya, "belanja lah sesuatu yang bermanfaat."
"Tentu saja, Emo!" jawab Lera kemudian menggandeng Erry pergi.
Sepeninggalan Lera dan Erry, pria itu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, disusul dengan kedua matanya terpejam.
Besok ia akan mendapat badai besar. Keputusan yang dibuat Nenek mereka memang sangat baik, tapi itu akan membuatnya kerepotan. Selain Erry, akan bertambah satu lagi orang yang merengek padanya seperti bayi.
.
.
.
Ruangan yang biasanya damai kali ini begitu tenang. Seorang wanita tua sedang sibuk menulis sesuatu di atas kertas putih, sedangkan pria di seberang sofa hanya bisa duduk pasrah.
"Ibu melakukan ini bukan karena membenci Lera, kau tahu itu kan, Adi?" ucap Sinta seraya melirik sang menantu yang terlihat begitu sedih.
Tumbuh besar tanpa seorang ibu membuat semua orang menaruh perhatian berlebihan pada Lera, namun Sinta maupun Aditama tidak memperkirakan efek sampingnya.
Anak itu jadi terlalu manja, segala keinginannya harus terpenuhi, suka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting dan pergi ke salon sudah seperti minum vitamin 3x seminggu, semua hal itu membuat kepala Sinta ingin meledak setiap harinya, belum lagi ketika melihat laporan keuangan yang berlembar-lembar setiap bulannya.
"Kau tahu kita sudah terlalu jauh dan terlalu lama memanjakan Lera. Dia sudah besar Adi, dia harus berubah. Ibu mau anak itu belajar mandiri mulai dari sekarang, sebelum semuanya terlambat."
Aditama menghela napas. Kalau boleh jujur, apapun yang dilakukan Lera tidaklah masalah asalkan gadis kecilnya itu bahagia dan tetap sehat. Semua kerja kerasnya selama ini memanglah untuk Lera seorang, anak gadis semata wayangnya.
Akan tetapi, melihat kelakuan Lera yang semakin hari semakin tidak terkontrol saat menghabiskan uang, itu sedikit membuatnya takut. Bagaimana kalau suatu hari nanti ketika dirinya sudah tidak ada di samping gadis itu? Bagaimana kalau dia tidak bisa mengelola kekayaan yang ia tinggalkan?
Membayangkan Lera jatuh miskin karena tidak bisa mengelola aset kemudian menjadi gelandangan membuat Adi mengalami mimpi buruk selama beberapa bulan terakhir.
"Apapun yang Ibu lakukan akan saya dukung jika itu bertujuan baik untuk putri saya."
Sinta telah selesai menulis, ia memasukkan kertas putih itu ke dalam sebuah amplop yang kemudian ia berikan pada orang suruhannya.
"Kita sudah sepakat untuk melakukan operasi ini saat Lera tidur. Kartu ATM, CC, kendaraan dan barang-barang yang mendukung sifat manjanya harus disita. Ibu hanya akan memberikan uang tunai sebesar Rp100.000 per minggu untuk menghidupinya.
Selain itu Ibu akan menyuruhnya bekerja di perusahaan kalau dia mau mendapatkan uang lebih. Jangan tersinggung Adi, Ibu akan menempatkan Lera sebagai Cleaning Service. Hal itu Ibu lakukan agar dia bisa melakukan pekerjaan dasar."
Aditama tanpa sadar menahan napas selama mendengar penjelasan Ibu Mertuanya. Lera, putri semata wayangnya, calon pewaris Aditama Group akan bekerja sebagai Cleaning Service mulai besok?
Adi meneguhkan hati, dia akan mengganti nomor sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan untuk menghindari rengekan maut putrinya nanti.
"Ayah melakukan ini karena Ayah menyayangimu, Nak. Maafkan Ayah, Lera."
Terlahir sebagai anak tunggal di keluarga kaya raya membuat hidup Lera layaknya seorang putri raja. Paras cantik dan otak cerdas adalah pelengkap kesempurnaan dirinya. Selama ini apapun yang diinginkannya akan selalu dikabulkan oleh sang Ayah tercinta hanya dengan satu magic Word "Andai saja Mama ada bersamaku, aku pasti tidak akan kesepian."
Fasilitas seperti apartemen, mobil mewah, dan kartu unlimited adalah sebagian kecil yang dapat ayahnya berikan padanya untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Akan tetapi, seperti yang pepatah katakan bahwa roda selalu berputar. Pagi ini Lera seperti baru saja terbangun dari mimpi indahnya dan dihadapkan dengan kenyataan terburuk.
Lera terduduk di sisi ranjang, matanya menatap lemari berisi gaun-gaun indah miliknya yang telah dirantai dan digembok besar. Tidak hanya itu, bahkan isi kamarnya sudah kosong, tidak ada televisi, tidak ada mini kulkas, bahkan meja riasnya sudah bersih dari jejeran makeup mahal miliknya.
Oh, Tuhan ... mimpi buruk macam apa ini?
Dia kembali memejamkan mata, berharap saat ia membuka matanya kembali maka mimpi buruk sialan ini akan berakhir dan semuanya kembali seperti sedia kala.
Benar, ini masi masih dalam dunia mimpi kan?
"Cepat angkut semuanya!"
"Baik bos!"
Suara siapa itu? Kenapa diluar kamar terdengar berisik sekali?
"Pastikan tidak ada yang tersisa kecuali lemari pending, sofa dan kompor!"
Kening Lera berkerut. Kalau ini mimpi, lalu kenapa suara orang-orang itu terdengar begitu jelas di telinganya? Belum lagi kata-kata mereka yang sangat ambigu.
"Oh, tidak!" Lera terpekik, dia segera membuka mata kemudian berlari keluar kamar. "Oh, Tuhaaan!" ia menatap sekelilingnya dengan keterkejutan yang sama. Di ruang tengah dan area dapur terdapat beberapa orang berbadan besar sedang berlalu lalang menjarah semua isi apartemennya tersebut.
Tunggu, kalau diingat-ingat, dia sama sekali tidak memiliki hutang pada rentenir manapun. Lalu, apa mereka perampok?
"Stop, apa yang sedang kalian lakukan di kediamanku?" Lera berseru panik saat orang-orang itu mulai mengangkut lemari berisi koleksi DVD dan juga koleksi komik kesayangannya.
Salah satu orang yang Lera yakini bahwa dialah sang pemimpin sedang berjalan ke arahnya, Pria itu memberi senyum ramah sebelum akhirnya memberikan sebuah amplop pada Lera.
"Maaf, Nona, anda pasti terkejut dengan kedatangan kami di kediaman Anda yang tiba-tiba ini. Tapi percayalah bahwa kedatangan kami di sini atas perintah dari Nyonya besar. Dan ini, beliau menitipkan surat untuk anda."
Nyonya besar?
Lera mengejutkan kening disertai dengan mulut yang mengerucut. Dia merasakan bulu kuduknya berdiri saat nama Sinta Estanbelt terlintas di otaknya. Jika itu benar ulah wanita tua itu, maka hidupnya sudah benar-benar tidak tertolong.
Memandang amplop yang disodorkan orang suruhan sang Nyonya besar, Lera segera mengambil dan kemudian membuka surat itu.
Dear Lera,
Maafkan Omah atas kejutan di pagi hari mu yang tenang, bersama surat ini Omah dan Ayahmu ingin memberitahukan bahwa kami sudah sepakat untuk menyita semua aset yang kamu miliki. Kamu tidak perlu khawatir, kami akan mengembalikan semua aset itu jika kamu sudah bisa mengubah kebiasaan buruk mu. Datanglah ke kantor Emo untuk mendapatkan pekerjaan jika kamu ingin tetap hidup. Kami sangat menyayangimu.
With Love,
Sinta dan Adi
Lera berkedip beberapa kali dan kembali membaca surat itu dengan lebih teliti. Sekali, dua kali, dan untuk yang ketiga kalinya ia membaca surat itu, isi suratnya tetap sama. Matanya tidak mungkin salah, dan ia yakin kalau semua ini memang bukanlah mimpi.
"Cih, menyayangi apanya!" sungut Lera seraya membuang surat itu kemudian menginjak nya dengan kebencian yang berkali-kali lipat.
"Kalau mereka menyayangiku, mana mungkin mereka berlaku setega ini padaku!" Lera kembali mengomel setelah memeriksa isi dompetnya yang juga sudah kosong, hanya menyisakan selembar uang seratus ribu. Padahal semalam dia sudah mengambil banyak yang dari kartu debit card sang sepupu dan barang belanjaan semalam juga telah raib.
"Double sial!"
.
.
.
Estan Holding Company adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bisnis jasa konstruksi, mereka berfokus pada layanan kontraktor utama, layanan rancang dan bangun (Design and Build). Selain itu EHC juga mengerjakan proyek joint Operation untuk proyek-proyek berskala nasional.
Lera menggigit bibirnya gugup, iris coklatnya menatap gedung di depannya ragu-ragu. Sejak dulu dia memang tidak pernah menaruh minat pada perusahaan keluarga. Kalau bisa, dia lebih memilih menjadi pengangguran namun banyak uang daripada harus pusing memikirkan cara untuk memajukan perusahaan. Lagipula sudah ada Demon si gila kerja yang bersedia Menghandle semuanya, jadi tidak ada salahnya kalau Lera hanya ingin menjadi penikmat.
"Kenapa Omah melakukan ini padaku? Dari sekian banyak proyek yang berjalan, aku rasa mustahil kalau perusahaan sedang pailit."
Dia memasuki gedung dengan mulut penuh sumpah serapah atas kebijakan tidak masuk akal yang dibuat oleh sang nenek. Namun begitu ia sama sekali tidak memiliki pilihan lain, mau menangis sampai air matanya mengering pun Nyonya besar Estan tidak akan berubah pikiran.
"Tunggu, Nona Lera!" Seorang sekretaris baru saja menegur Lera saat dia hendak membuka pintu ruang kerja atasannya. "Tuan Estan sedang ada tamu. Kalau Nona berkenan, silakan menunggu lebih dulu di ruang tunggu."
Apa dia bercanda? Menunggu katanya? Yang benar saja!
Lera memberikan tatapan protes pada Geffy, nama sekretaris itu. Menunggu tidak pernah ada dalam kamusnya disaat kelangsungan hidupnya sudah diujung tanduk seperti saat ini.
Persetan dengan tamu di dalam sana, Lera segera menerobos masuk bersamaan dengan suara debum pintu yang cukup keras.
"EMO!" serunya sesaat setelah memasuki ruangan, iris coklatnya menemukan sang sepupu sedang duduk di sofa dengan santai. "Omah benar-benar sudah gila tahu tidak? Bayangkan, dia menyita semua aset ku! Semuanya, tanpa terkecuali!"
Demon sudah memprediksikan hal ini sejak jauh-jauh hari, bahwa gadis itu akan datang padanya dengan segudang rengekan. Tapi bukan saat ini, harusnya Lera tahu kalau di ruangan ini bukan hanya ada dirinya saja.
"Sial, aku kesal sekali!" Gadis itu masih bersungut marah, "bagaimana bisa nenek tua itu melakukan ini padaku, huh?" Dia masih menyemburkan emosinya dengan leluasa.
Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Demon yang tidak begitu terkejut membuat Lera tahu bahwa sepupunya itu pasti sudah mengetahui rencana sialan ini.
"Kau juga bersekongkol dengan mereka?" tanya nya tidak percaya, satu-satunya harapan yang ia punya, tameng yang mungkin bisa ia gunakan untuk melawan sang Nyonya besar kini lenyap dalam sekejap.
Demon menarik sudut bibirnya, ia memberikan tatapan yang seakan bicara 'Kau harus menyerah, sayang. Ikuti aturan Omah dan kau akan aman.' yang kemudian dibalas oleh Lera 'Jangan bercanda! Aku tidak akan pernah menyerah begitu saja!'
"Apa dia istri Anda, Tuan Estan?"
Suara seseorang berhasil menginterupsi kegiatan dua orang yang sibuk adu tatapan itu. Suara berat dan sedikit arogan itu ... entah mengapa Lera merasa tidak asing, mengingatkannya pada seseorang.
Demon membersihkan tenggorokannya lebih dulu sebelum memutuskan untuk bersuara. "Bukan, mana mau saya menikahi gadis super manja sepertinya." katanya kemudian menutup berkas yang telah ia tandatangani. "Dia sepupuku, Lera. Dan Lera, kenalkan, dia Bian, rekan kerjaku."
Bian? Nama yang cukup lucu untuk ukuran laki-laki yang memiliki suara berat dan sinis.
Sebagai bentuk kesopanan walaupun sangat terlambat untuk menyadari, Lera memutuskan untuk memberi salam pada rekan kerjanya. "Halo, nama saya Le—" kedua pupil kecoklatan itu melebar, siapa sangka kalau rekan kerja sepupunya itu adalah pria kurang ajar kemarin siang.
Lera menahan napas, ia mulai merasakan asap yang mengepul ketika menangkap sebuah seringai menyebalkan dibibir pria itu. "Kau! Dasar pria m3sum yang mencuri—"
Ops!
Lera segera menggigit lidahnya. Hampir saja mulutnya mengoceh tanpa tahu malu. Parahnya di sana ada Demon, demi Tuhan, dia tidak mau menambah masalah disaat seperti ini.
"Kalian sudah saling kenal?" Demon menatap dua orang itu secara bergantian.
Lera yang sedang mengepalkan kedua tangannya dengan wajah memerah, dan Bian yang justru terlihat senang ketika melihat emosi Lera yang tak kunjung meledak itu membuat Demon memahami situasi diantara mereka berdua.
"Ya, kami bertemu kemarin." sahut BIan sambil mengedipkan sebelah matanya pada Lera.
Demon mengangguk mengerti, tatapan nya kini beralih pada Lera. "Dan Lera, apa yang sudah Bian curi darimu?"
Ciuman pertamaku!
Ciuman yang telah aku jaga selama 21 tahun aku hidup. Ciuman yang akan aku persembahan untuk Kenan, tapi sialnya ciumanku sudah dicuri oleh si br3ngs3k itu! Rasanya Lera ingin sekali mengatakan semua unek-uneknya, akan tetapi ia tidak bisa.
"Tidak ada, aku hanya salah paham."
Lera tidak sudi untuk menceritakan kejadian memalukan kemari pada Demon. Belum lagi kejadian itu berlangsung tepat di depan Erry, Lera tidak mau menambah masalah pada hidupnya yang sudah kacau.
"Em, aku ingin posisi yang bagus di perusahaan, kalau bisa posisi yang memiliki bayaran paling mahal tapi dengan tingkat kesulitan kerja yang sangat mudah." Lera sedang bernegosiasi untuk posisinya nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!