Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah tirai jendela pagi itu. Gadis itu baru saja selesai membersihkan dirinya dan bersiap untuk memulai aktivitasnya hari ini. Meraih setelan seragam sebuah bank swasta ternama di Indonesia, tak lupa stoking berwarna hitam menghiasi kaki jenjangnya.
Gadis itu melangkah keluar kamar saat dirasa sudah cukup dirinya berlama-lama menghadap kaca besar di kamarnya. Turun ke lantai satu rumah yang tidak terlalu besar, menuju ruang makan dimana sudah terdapat sepasang suami istri dan seorang lelaki tampan yang sudah menunggunya di sana.
"Pagi Ma, Pa ... Pagi Bang," ujarnya menarik kursi untuk bergabung dengan ketiga anggota keluarganya.
"Pagi Na ... kemarin kenapa pulang setelah magrib?" tanya sang mama seraya mengambilkan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi untuknya.
"Ada meeting mendadak menjelang pulang ... aku juga lupa kasih kabar," jawabnya.
Ya, keluarga ini sangat kaku menurutnya. Terlahir dari keluarga yang terbiasa dengan berbagai macam aturan. Semua harus terencana, dari hal kecil maupun besar. Seorang anak dari ayah yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan yang bukan main-main mengharuskannya untuk menjaga nama baik keluarga. Mempunyai seorang ibu yang mengagungkan nama keluarga besar yang masih keturunan ningrat mengharuskan dirinya untuk bertingkah laku dan bertutur kata yang baik. Dan seorang kakak satu-satunya yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung dan menjadi teman saat ia membutuhkan, namun itu harus dia kubur dalam-dalam.
"Mau bareng gak ke kantor?" tanya Akbar saat dia sudah menyelesaikan sarapan paginya.
"Aku di jemput Raka, Bang ... Abang duluan aja."
"Tumben Raka jemput kamu, lagi ada di sini dia?" tanya Raka lalu berdiri.
"Baru pulang dari Jakarta kemarin."
"Oh, oke ... Akbar berangkat Ma, Pa," ujar lelaki berumur 32 tahun yang masih sendiri itu.
"Kalo pulang sampai magrib, biasakan untuk kabari Mama atau kakak kamu, Na ... jadi kita di rumah juga gak khawatir."
"Mama sama Papa tenang aja, Jenna bisa jaga diri." Jenna lalu beranjak, meraih tas dan gawainya saat klakson mobil Raka sudah berbunyi di luar sana. Mengulurkan tangannya memberi salam dan berpamitan pada kedua orangtuanya.
"Jenna selalu bisa menjaga nama baik keluarga kita Ma, kamu jangan terlalu mengekang dia ... empat tahun dia menuntut ilmu di Jakarta dulu, dia berhasil menjadi seperti yang kamu mau," ujar Pak Sofyan lalu meletakkan gelas yang baru saja ia habiskan isinya.
Ibu Kartina hanya terdiam, selama ini ia selalu menentukan kehidupan putrinya, termasuk hubungan Jenna dan Raka adalah hasil dari proses perkenalan yang di atur olehnya. Nasib baik keduanya sama-sama jatuh cinta saat itu mungkin hingga sekarang.
"Hai," sapa Jenna saat masuk ke dalam mobil Raka.
"Hai," jawab Raka mencium pipi kekasihnya.
"Seneng banget liatnya?" tanya Jenna meletakkan tasnya ke jok belakang.
"Seneng dong, liat pacar aku tambah hari tambah cantik," ujar Raka menarik hidung mancung gadis itu. "Nanti sore ke coffee shop yuk, ada coffee shop baru dekat alun-alun," kata Raka lagi.
"Ijin Mama dulu," ujar Jenna mengusap layar gawainya.
"Gak ijin juga gak papa aku rasa, mama kamu udah tau kan aku ada di sini?" Jenna mengangguk. "Nanti sore aku jemput, kita langsung kesana." Raka menghentikan mobilnya tepat di depan lobi kantor Jenna.
"Aku kerja dulu," ujarnya tersenyum pada Raka.
...----------------...
Tepat pukul empat sore, lelaki dengan postur tubuh tegap, dengan tinggi badan 187cm itu baru saja menjejakkan kakinya di Bandar Udara Depati Amir, rencananya sore ini adalah grand opening salah satu coffee shop yang ia miliki.
"Mau langsung ke coffee shop atau mau lihat rumah dulu, Mas Radit?" tanya pak Supri yang di tunjuk untuk menjadi supir pribadinya.
"Saya mau lihat rumahnya dulu Pak ... sesuai yang saya minta kan?" tanyanya.
"Sesuai yang Mas Radit minta, mbak Ellen sudah memberikan kuncinya pada saya."
"Ok ... kita liat dulu, setelahnya mungkin Pak Supri bisa temani saya mencari perabotan," ujar Radit lagi.
"Perabotan sudah di isi semua oleh mbak Ellen, Mas ... jadi Mas Radit tinggal masuk saja, semua sudah lengkap," ujar lelaki setengah baya itu.
"Oh baguslah ... berarti Ellen memang bisa andalkan," gumamnya.
Mobil melaju ke salah satu cluster minimalis di daerah Bangka. Kota itu tidak terlalu besar, namun di pilih Radit untuk menjadi tempat tinggalnya setelah Jakarta, sekaligus memperluas cabang usahanya.
"Silahkan Mas," ujar pak Supri mempersilahkan majikannya untuk masuk.
Terlihat bersih, sentuhan scandinavian seperti yang ia minta terlihat di sana. Hanya terdiri dari tiga kamar, satu kamar utama di lantai satu dan dua kamar di lantai dua. Lantai yang terbuat dari bahan finil dan ornamen kayu yang identik dengan scandinavian dari ruang tamu hingga ke dapur serta beberapa tanaman hijau menghiasi di sudut-sudut ruangan. Menuju kamar tidur utama, semua sudah tertata rapih, ia hanya tinggal merapikan baju-bajunya nanti di lemari.
"Di lantai dua, satu kamar dijadikan ruang kerja Mas Radit," ujar Pak Supri lagi.
Radit melangkahkan kakinya menaiki anak tangga ke lantai dua, membuka satu kamar yang sudah rapih dengan perabotan yang sudah lengkap. Lalu beralih ke kamar yang dikhususkan untuk menjadi ruang kerjanya.
"Perfect," gumamnya. Ellen benar-benar tau seleranya.
"Kita ke coffee shop sekarang Pak Supri, jarak dari sini ke sana berapa lama?" tanya pada pak Supri.
"Sekitar setengah jam kurang lebih, tapi jangan takut di sini gak ada macet Mas ... lancar jaya." Pak Supri menyatukan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.
Coffe shop itu sudah ramai pengunjung, ini adalah coffee shop ke enam milik Radit yang tersebar di Indonesia, salah satu coffee shop yang menjadi tempat nongkrong anak muda jaman sekarang.
"Apa kabar Ellen?" ujarnya saat Ellen menautkan pipinya pada Radit.
"Baik Mas Radit ... gimana, suka rumahnya?" tanya Ellen sang assisten pribadi.
"Pinter kamu ... tumben pas dengan yang aku minta."
"Kerja sama Mas Radit dua tahun masa gak ngerti mau bosnya kayak apa," kekeh Ellen, wanita bertubuh bongsor itu memang pintar dalam segala hal.
Mata Radit tertuju pada pasangan kekasih yang duduk di ujung ruangan. Gadis dengan mata seperti kucing, berkulit putih, dengan rambut yang di cepol masih tertata rapih, kaki jenjangnya berbalut stoking hitam, dengan stiletto 5cm berwarna senada, seragam salah satu bank swasta terbesar itu masih ia kenakan. Sedangkan pasangannya, asik menggulir gawainya tersenyum sendiri mengacuhkan gadis cantik yang ada disisinya.
"Aku ke toilet dulu," ujar Jenna berdiri dari duduknya.
"Aku temenin?" tanya Raka.
"Gak usah ... kamu terusin aja chating nya," kata Jenna datar menampakkan wajah tak suka.
Jenna melangkah ke arah toilet, sedangkan Radit secara kebetulan juga melangkah ke arah yang sama.
"Oh sorry," ujar Radit ketika dia menghalangi Jenna untuk masuk ke woman's room.
"Gak papa, aku yang gak liat ... maaf, salah kamar," ujar gadis itu tersenyum.
Mata yang indah itu seketika membuat Radit seakan tertembak di tempat.
"Silahkan," ujar Radit memberi jalan pada Jenna.
"Makasih." Lagi-lagi gadis itu tersenyum, sepertinya memang gadis yang murah senyum.
Jenna kembali ke tempat duduknya, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Radit, lagi-lagi gadis itu melempar senyum.
"Siapa?" tanya Raka, namun Jenna hanya mengangkat kedua bahunya. "Kamu kenapa sih dari tadi diem aja?"
"Harusnya aku yang ngomong gitu sama kamu," ucap Jenna dengan wajah yang dingin.
"Kenapa aku?"
Jenna menggeleng, "kamu yang ngajak aku kesini, tapi kamu juga yang nyuekin aku, sibuk sama hp kamu, asik banget kayaknya ... lebih asik dari aku kan, yang kamu ajak chat itu? iya?"
Jenna beranjak, melangkah menuju pintu keluar meninggalkan kekasih yang dua minggu sekali menemuinya itu selebihnya hanya telpon, chat dan video call, dan rasa bosan pun selalu melanda. Kalo bukan karena sang mama mungkin sudah lama ia pergi dari Raka.
"Jenna ...." seru Raka, menyelipkan tiga lembar uang seratus ribu di bawah gelas minuman mereka, Raka mengejar gadis itu.
Radit mengamati sepasang kekasih di luar sana, menyunggingkan sedikit senyum.
"Cantik ya," ujar Ellen.
"Iya, senyumnya manis ... tapi sayang," ujar Radit.
"Kok sayang?" tanya Ellen menyodorkan satu cangkir kopi hitam tanpa gula pada Radit.
"Iya sayang ... sayang udah punya pacar," ujarnya menyesap kopi yang Ellen berikan namun matanya tak lepas dengan pemandangan di luar sana.
Haiii... ketemu lagi di karya aku yang ke ... ke sekian 🤣 semoga kalian suka... ikuti terus kisah cinta mereka ya.
Jangan lupa dukung terus Chida dengan like dan komen dari teman-teman semua 😘
"Kamu kenapa sih?" Raka menarik tangan Jenna saat mereka berada di parkiran mobil.
"Harusnya aku yang nanya, kamu niat ngajak aku kesini cuma buat nemenin kamu cengar-cengir di depan layar hp kamu, iya?" Jenna benar-benar kesal. "Kamu kira aku patung? hampir satu jam kita di sana dan kamu asik sendiri ... aku mau liat hp kamu, mana?" Jenna geram.
"Gak ada apa-apa, sorry aku gak maksud nyuekin kamu ... tapi tadi memang nge bahas tentang proyek yang aku kembangin di Belitung, investornya orang Jakarta, gak mungkin aku cuekin, Sayang ... maaf ya." Raka membelai lembut rambut gadis itu.
Jenna menepis tangan Raka, membuka pintu mobil, "antar aku pulang."
Raka hanya bisa merutuki kebodohannya, dua minggu sekali dia baru bisa menemui Jenna karena kesibukannya selama ini yang selalu saja keluar kota untuk menghandle proyek besar pemerintah ataupun swasta, pembangunan di provinsi itu memang sedang berkembang pesat.
"Pulang?"
"Iya pulang ...."
Jenna melempar pandangannya keluar jendela, matanya menyusuri jalanan di luar sana, ramai namu dia merasa sendiri. Baginya dulu Raka lah yang bisa mengerti posisinya, Raka yang selalu menjadi tempatnya untuk berbagi semua masalahnya di rumah, Raka juga tahu bagaimana membosankannya hidup di dalam keluarga yang penuh dengan aturan.
Tapi itu dulu satu tahun yang lalu, hubungannya dengan Raka semakin merenggang saat Raka mulai menjamah bisnis di luar pulau Bangka. Raka kadang datang beberapa hari lalu pergi lagi selama berminggu-minggu, tidak lost contact namun terkadang hubungan jarak jauh sangat menyiksa bagi Jenna. Dimana di saat-saat ia membutuhkan orang yang ia sayangi selalu berada di sisi nya namun tak ia dapati, seperti hampa.
"Tiga hari lagi aku ke Belitung, di sana kira-kira satu minggu," ujar Raka tanpa melihat wajah Jenna yang memerah menahan marah.
"Baru datang sudah pergi, kenapa datang kalo cuma sekedar say hello doang?" Jenna berkata dengan raut wajah kesalnya.
"Kan aku kerja, Sayang ... aku punya kewajiban, ini juga buat kamu ... biar aku makin bisa memantaskan diri di hadapan keluarga kamu," ujar Raka menepikan mobilnya di depan toko roti langganan Mama Kartika.
"Kamu gak usah memantaskan diri mama juga sudah senang," ujar Jenna.
"Oke, sekarang mau nya apa?"
"Kamu nantangin aku?" Mata Jenna mulai memerah.
"Aku gak nantangin, Sayang ... aku cuma tanya." Raka serba salah.
Jenna terdiam, dan membiarkan Raka turun sendiri membeli roti-roti mama Kartika.
Mobil berhenti tepat di pekarangan rumah Jenna malam itu. Mereka masih sama-sama saling terdiam, Raka memiringkan duduknya menghadap pada Jenna.
"Maaf ya," ujarnya meraih lengan Jenna agar Raka bisa melihat wajah kekasihnya itu. "Besok pagi aku antar ke kantor, ok." Raka membelai pipi gadis itu.
Jenna masih diam, tak banyak bicara. Raka mendekatkan wajahnya, menautkan bibirnya perlahan begitu lembut namun sayangnya Jenna tak membalas.
Jenna melepaskan pagutan lembut Raka. "Aku masuk dulu ... makasih rotinya buat mama." Jenna membuka pintu mobil.
"Na ...," panggil Raka lirih, hati lelaki ini sepertinya tak tega terus menerus mengesampingkan hubungannya demi usahanya yang sedang berkembang pesat.
"It's ok Ka, aku baik-baik aja ...."
"Besok pagi aku jemput," ujarnya mengulang perkataannya.
Jenna turun dari mobil dan berlalu tanpa menoleh ke belakang, Raka memandangi punggung kekasihnya, ia sadar banyak kekecewaan di sana.
...----------------...
Pukul lima sore, sepulang kantor Jenna menyempatkan diri berkunjung ke sebuah toko buku. Rasanya sudah lama sekali dia tak pernah lagi mengunjungi toko buku semenjak bertaburan online shop yang menjual buku-buku yang ia cari secara online.
Menyusuri rak demi rak mencari suatu bacaan yang mengena di hati itu memang membutuhkan waktu yang lama. Matanya mengamati beberapa novel yang sedang naik daun, Jenna meraih satu buku dari penulis terkenal di tanah air, setelah membaca sinopsisnya Jenna kembali berjalan ke salah satu rak dan meraih satu buku dari penulis Agustinus Wibowo, saat itu juga ada satu tangan lagi meraih buku yang sama.
"Ups, sorry ... silahkan," ujar lelaki itu, sesaat mata mereka saling memandang. "Biar aku ambil cetakan buku yang lain," ujarnya lagi.
Jenna hanya tersenyum.
"Kita pernah ketemu?" tanya lelaki itu.
"Seingat aku gak," jawab Jenna dengan mata yang masih terarah pada buku berjudul Garis Batas.
"Buku ini nyeritain penduduk di desa Afghan yang deket banget dengan perbatasan. Mereka cuma tinggal memandang selebar sungai dan bisa ngeliat mobil-mobil melintas tanpa pernah menikmati rasanya duduk di dalam mobil," terangnya. "Mereka ngeliat rumah-rumah cantik bak vila hanya selemparan pandangan. Sementara mereka sendiri tinggal di ruangan kumuh remang yang terbuat dari batu dan lempung. Hal begini banyak. Tempatnya di desa kecil Afghan," ujarnya lagi.
"Kamu tau banget garis besar isi buku ini," ujar Jenna yang akhirnya menatap netra lelaki itu.
"Ah, kenalin ... aku Radit." Radit mengulurkan tangannya.
"Jenna," ujar Jenna menyambut uluran tangan Radit sebagai awal perkenalan mereka.
"Aku cuma baca sepintas waktu itu, makanya aku mau beli ... buku ini memperlihatkan kehidupan yang jomplang antara si miskin dan si kaya, tentang kekuasaan dan lain-lain."
Jenna mengangguk angguk, "ini," ujarnya menyerahkan buku itu pada Radit.
"Kamu gak jadi ambil?" tanya Radit dan Jenna menggeleng.
"Aku sudah ambil ini aja." Jenna menunjukkan dua novel yang dia pilih tadi.
"Cewek banget." Radit tersenyum.
Jenna membalas senyuman lelaki itu. "Senang kenalan sama kamu," ujarnya, "aku duluan ya."
"Hah?" Radit terpana melihat gadis di depannya yang melewati dirinya berjalan santai meninggalkan rasa penasaran.
Perkenalan macam apa ini? pikirnya.
"Tunggu!" seru Radit lalu mensejajarkan langkahnya. "Bener kan, kita pernah ketemu?" tanyanya lagi memastikan.
"Seingat aku iya ... pertemuan di toilet," ujar Jenna, ia meletakkan bukunya di meja kasir.
"Ternyata ingatan kamu tepat." Radit mengembangkan sudut bibirnya.
"Aku masih muda," ujar Jenna lagi lalu mengambil uang ratusan ribu dua lembar.
"Biar aku yang bayar," ujar Radit.
"Eh jangan," ujar Jenna menyingkirkan tangan Radit yang menahan tangannya untuk membayar pada kasir.
"Biar aku aja, anggap ini traktiran awal perkenalan kita," ujarnya memberikan kartu pada penjaga kasir. "Sekalian ini semua Mbak," katanya.
"Kamu seharusnya gak usah repot-repot," ujar Jenna menoleh pada Radit. "Kalo begini bisa jadi sewaktu-waktu kamu minta gantian di traktir," ujar Jenna tersenyum tipis.
Penjaga kasir yang mendengar percakapan mereka pun ikut tersenyum.
"Memang itu tujuan aku," Radit terkekeh.
"Dasar." Jenna meraih gawainya yang bergetar di dalam tas. "Sorry, sebentar ya," ujarnya pada Radit.
"Aku udah selesai, kamu dimana?" Jenna mengangguk, mengiyakan percakapan itu. "Oke, aku keluar," ujarnya lagi lalu memutuskan percakapan itu.
"Di jemput?" tanya Radit.
"Iya, aku duluan ya ... senang kenalan sama kamu," ujar Jenna.
"Nice to meet you ... again," kata Radit mengulas senyum perpisahan.
Radit memandangi punggung gadis itu yang melangkah menuju sebuah mobil yang baru saja tiba, hingga mobil itu membawa sang gadis hilang dari pandangannya.
**enjoy reading 😘
jangan lupa untuk mengarahkan jempol teman-teman ke arah yang tepat 😂**
"Mau mampir dulu?" tanya Jenna pada Raka saat mereka sampai di rumah.
"Boleh," jawab Raka lalu membuka pintu mobilnya.
Memasuki rumah yang sepi menjelang malam, Raka duduk di sofa ruang tamu. Rasanya sudah satu bulan dia tak menyambangi rumah ini, hubungannya semakin lama semakin jauh dari kata harmonis karena kesibukan yang ia lakukan.
"Mama pergi ternyata, Abang belom pulang ... kamu mau minum apa?" tanya Jenna.
"Gak usah," ujar Raka, ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, menepuk sisi sofa agar Jenna mendekat.
"Apa?" tanya Jenna yang ikut menyandarkan kepalanya di sofa.
"Sudah lama kita gak berduaan begini ya," ucap Raka.
Jenna menoleh, "kesibukan kamu yang bikin kita udah gak pernah lagi berduaan."
Mereka terdiam, Raka meraih tangan gadis itu mengecupinya seakan menyalurkan rasa rindu di hatinya. Jenna terlalu baik untuk di sakiti, mungkin bukan kata menyakiti karena orang ketiga tapi menyakitinya karena mereka tak mempunyai waktu bersama.
"Aku gak bisa ninggalin kerjaan aku Jenna, kamu tau sendiri perusahaan ini baru saja berkembang, aku banyak memeras keringat untuk mencari investor dan sesama pengembang." Raka menyematkan rambut Jenna, "aku takut lama-kelamaan kamu bakal ninggalin aku," lirih Raka.
Pagutan itu begitu lembut, Jenna merindukannya. Raka kekasih yang baik, namun saja terkadang ego dan ambisinya terlalu berlebihan. Meski dari keluarga berada, pria 28 tahun itu punya mimpi sendiri untuk usahanya. Dia berharap Jenna mengerti, sayangnya saat Jenna mengerti tentang diri dan kesibukannya, Raka ragu akan hatinya, ia takut akan menyia-nyiakan Jenna. Gadis itu terlalu baik untuk dilukai.
"Aku kangen," ujar Jenna.
Raka mengangguk,ia mengusap bibir Jenna. "Aku tau, tapi aku harus apa? aku gak mau ninggalin kamu ... tunggu aku sedikit lagi, aku ingin cita-cita aku ini tercapai," ujar Raka lalu menyesap kembali bibir gadis itu.
"Aku pulang ya ... sebelum berangkat besok, aku pastiin ketemu kamu dulu ... aku sayang kamu," ujar Raka membawa Jenna ke dalam dekapannya.
"Cepat pulang, aku tunggu kamu." Jenna mendekap erat kekasihnya.
...----------------...
Dua minggu berlalu semenjak terakhir kali Jenna bertemu dengan Raka, selebihnya hanya sekedar telpon atau pun chat, itupun satu hari hanya sekali atau sama sekali tidak. Terkadang Jenna bertanya pada hatinya, apakah dia yang terlalu cuek atau Raka yang memang sudah tak lagi memikirkan hubungan ini.
Sore itu, Jenna berada di sebuah coffe shop dia menunggu Raka yang berjanji akan datang setelah dirinya sampai di bandara hari itu.
Satu jam berlalu, Raka belum juga mengabarinya sedangkan gawai lelaki itu masih tak dapat di hubungi. Sementara, sang Mama sudah beberapa kali menghubunginya menanyakan kapan pulang.
"Halo," ujar Jenna saat nama yang ditunggu-tunggu akhirnya nampak di layar gawainya.
"Kok diem?" tanya Jenna.
Hembusan nafas Raka terdengar kasar. "Kamu udah di rumah?"
"Aku masih nungguin kamu di sini." Jenna seakan mengerti akan seperti apa nasibnya sore itu.
"Aku minta maaf, hari ini aku gak jadi pulang ... meeting dadakan tadi, ini baru selesai."
"Jadi kamu masih di Jakarta? Dan aku nunggu kamu di sini sudah satu jam lebih tanpa kabar!"
"Jenna ... aku minta maaf," kata Raka sungguh-sungguh.
"Aku bisa apa? aku mau marah ... percuma, ya kan? aku kecewa sama kamu ...." Jenna menutup sepihak pembicaraan mereka.
Kesal sudah rasa hati, sudah tak mampu lagi ia menahan rasa sakit hatinya. Hubungan jarak jauh ini benar-benar membuat Jenna jenuh. Jenna memijat keningnya, Raka tak berhenti menghubunginya namun, Jenna memilih untuk tidak mengangkat telpon itu.
Mengaduk-aduk secangkir kopi, pandangannya menatap keluar jendela. Coffe shop itu mengarah langsung ke alun-alun kota yang ramai dengan pasar malamnya di sana. Jenna menggulir layar gawainya, mencari nama Akbar sang kakak agar menjemputnya.
Satu sosok yang tak asing memperhatikannya dari kejauhan, pemilik coffee shop yang memakai appron itu ikut melayani pembeli. Matanya tak lepas dari Jenna, ada garis kecewa di wajah gadis itu. Raut wajah kesepian seolah membutuhkan teman hanya untuk berbagi segala resah.
Dimana lelaki yang saat itu menemaninya? pikir Radit.
"Udah samperin ... kasian sendirian," kata Ellen mengagetkan Radit.
"Cantik tapi kesepian, kasian ya."
"Gue juga kesepian Bos," ujar Ellen cemberut.
"Kalo itu lo yang buat sendiri, salah siapa malah lo tinggalin," jawab Radit melepaskan appron yang melekat di tubuhnya.
"Mo kemana?" tanya Ellen saat Radit membawa secangkir kopi latte melangkah menjauh dari dirinya.
"Tadi lo bilang suruh samperin," ujar Radit menoleh ke belakang tanpa melihat ke arah depan.
"Awas itu ... nabr---" seru Ellen saat melihat Radit berbalik dan kopi di cangkir yang ia pegang membasahi seragam kerja Jenna saat tubuh mereka saling bertabrakan.
"Astaga ... ya ampun, sorry," ujar Radit meletakkan cangkir tadi, lalu segera mencari tisue. "Maaf ... maaf, aku gak sengaja ... sebentar," ujar Radit melangkah cepat menuju meja bar dan membesarkan bola matanya pada Ellen.
"Udah gue bilang tadi Bos, awas ... lo main tabrak aja," kata Ellen menahan tawanya.
"Tisue ... gue butuh tisue, cepet!" Radit setengah berbisik.
Lalu dia kembali lagi ke arah Jenna yang sedang membersihkan sendiri tumpahan latte di bajunya.
"Butuh tisue?" Radit menyodorkan tisue pada Jenna.
Jenna meraih tisue itu dan menepuk-nepukkan perlahan pada bajunya. "Gak papa kok, nanti di cuci juga hilang," ujarnya.
"Kita ketemu lagi," kata Jenna mengukir senyum di wajahnya.
"Masih inget?"
Jenna mengangguk.
"Na," seru seorang lelaki di depan pintu masuk.
"Abang ... tunggu sebentar." Jenna menyerahkan sisa tisue pada Radit. "Ini, makasih ya ... kapan-kapan ketemu lagi," ujar Jenna lalu melangkah meninggalkan Radit yang terpaku dengan cara gadis itu yang selalu tergesa-gesa pergi meninggalkannya.
"Keduluan lagi dah," seru Ellen cekikikan.
"Bawel lo, bukannya bantuin," kesal Radit.
"Ada saatnya gue turun tangan nanti Bos," kata Ellen menarik turunkan alisnya.
"Asli ... gue penasaran Len, itu cewek di wajahnya itu kayak tertekan gitu ya padahal kalo senyum manis, matanya bagus ... cantik, tapi gue ngerasa dia kayak gak bebas gitu ... iya gak sih?" Radit menoleh pada Ellen.
"Mana gue tau Bos, kan gue belom kenal, gue juga gak bisa baca mimik wajah orang kayak lo yang bisa baca wajah ataupun sifat orang tetapi akhirnya ...."
"Dah lah ... susah ngomong sama lo mah, itu pelanggan makin banyak yang dateng ... urusin kasih tau anak-anak yang maksimal kerjanya, kan kita masih dalam masa promo ... oh ya gue tunggu laporan lo satu bulan ini." Radit berlalu dari hadapan Ellen, Ellen yang notabenenya sepupu jauh itu pun hanya bisa menuruti titah atasannya dan saat dia sudah masuk ke dalam ranah pribadi sang atasan maka yang ada Radit akan selalu berlalu.
**enjoy reading 😘
buat temen-teman yang sudah ngikutin Chida dari karya pertama hingga akhir pasti udah ngerti banget alurnya akan terkesan santai... semoga dapet feel nya sembari mencari chemistry diantara kita 😂**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!