"Jangankan tau orangnya, tau namanya aja enggak Azkia tuh. Lagian kenapa sih maksa banget? Kan dari awal Azkia bilang gak mau."
Emosi yang sudah di ambang batas, membuatnya kesal bukan main. Tapi Azkia tetap menjaga batasannya, mengingat yang sekarang ia hadapi adalah kedua orang tuanya.
"Ya nanti juga pasti tau sayang." Azman ayah dari Azkia. Terus berusaha untuk meyakinkan putri bungsunya itu. Meskipun ini bukanlah hal yang mudah.
“Lagian Abah sama mamah tuh main terima aja sih lamaran orang asing. Gak dibicarain dulu lagi sama orang yang mau dilamarnya."
Sudah kesekian kalinya, Azkia menolak perjodohan yang direncanakan kedua orang tuanya. Bukannya benar benar menolak, hanya saja Azkia tidak tau dengan siapa dan seperti apa lelaki yang akan dijodohkan dengannya itu.
Bahkan Azkia tau bahwa dirinya sudah dilamarpun pun baru sebulan yang lalu, saat kedua orang tuanya mulai gencar membujuk untuk ia menerima perjodohan ini.
"Mereka bukan orang asing sayang. Mereka itu sahabat Abah udah dari lama banget."
Terdengar aneh memang, di zaman modern
seperti ini masih ada budaya perjodohan hanya karena perjanjian mereka di masa lampau. Kalimat yang awalnya di anggap bercanda, tapi menjadi impian terbesar bagi sahabatnya yang sudah tiada. Dan Azman ingin mengabulkan mimpi sahabatnya, dan dirinya pun tidak ingin ingkar. Bukan berarti putrinya yang menjadi korban, hanya saja Azman pun sudah tau betul keluarga dari calaon suami putrinya nanti. Jadi ia sudah tidak perlu khawatir, karena Azkia akan berada di keluarga yang tepat.
"Ya tetep aja buat Azkia asing. Kan Azkia gak kenal siapa mereka?" Azkia kembali membantah, dirinya sudah kebal dengan alasan alasan yang di jelaskan Azkia.
"Kamu kenal tante Aulia?" Tanya Saskia Ibu dari Azkia.
"Tante Aulia?" Sejenak Azkia terdiam, seraya berusaha mengingat siapa yang di maksud Mamahnya itu.
Saskia membenarkan. "Iya kita pernah beberapa kali ketemu." Imbuhnya, membantu Azkia untuk segera mengingat.
Butuh waktu bagi Azkia untuk mengingat sosok wanita bernama Aulia itu, dan ingatannya pun tertuju pada kilasan wajah cantik nan ramah, dengan usia yang tidak bisa di bilang muda.
"Jadi yang lamar Azkia Tante Aulia?"
"Iya geulis." Azman menatap gemas putrinya.
“Lebih tepatnya, dia lamar kamu buat anak laki laki nya." Jelas Azman.
Takut takutnya Azkia keliru.
"Tapi kan Bah, Azkia gak tau yang mana anak Tante Aulia itu. Namanya aja gak tau, apalagi orangnya?"
Kembali Azkia melayangkan alasan atas ketidakstujuannya. Anak siapapun dia, jika Azkia belum mengenalnya, tetap ia tidak akan terima.
“Dengerin Mamah." Saskia mengalihkan perhatian Azkia.
"Sebelum kalian menikah, pastinya kalian ketemu dulu. Saling mengenal satu sama lain, sampai akhirnya kalian merasa cocok. Dan setelah itu baru deh kalian langsung nikah."
Sebagai Ibu, jelas Saskia tidak ingin anaknya jatuh ke tangan orang yang salah. Bagaimanapun Azkia harus tau terlebih dahulu siapa calon suaminya. Tapi sebelum Azkia tau, dirinya sudah tau terlebih dahulu calon menantunya. Maka dari itu, Saskia berusaha keras membujuk anaknya. Karena yakin, kali ini pilihan mereka sudah tepat.
"Kalau gak cocok?"
“Harus cocok." Jawab Azman dan Saskia secara bersamaan, membuat Azkia menatap tidak percaya. Kompak sekali kedua orang tua ini.
"Kenapa harus cocok?" Sergah Azkia dengan cepat.
“Dia ganteng, udah mapan lagi. Pekerja keras juga, yang penting, dia bertanggung jawab." Saskia memberi tau gambaran tentang calon suami dari anaknya, walaupun dirinya belum mengenal lebih dalam tapi setidaknya itu yang bisa ia cari tau.
Azkia menghela nafas dalam, otaknya harus kembali bekerja untuk mencari alasan. Baginya, bukan hal yang mudah menerima perjodohan yang di anggapnya dadakan ini.
"Kenapa harus Azkia sih? Kenapa gak kak Kiy aja?" Azkia kembali bersuara, mengingat dirinya punya satu saudara perempuan.
"Karena kamu yang mereka mau."
Berusaha tenang, Azman kembali meyakinkan Azkia.
"Lagian kan Kak Kiy udah nikah sama A' Steven."
Skakmat, Azkia lupa kalau kakanya itu sudah berumah tangga, bahkan sudah berbuntut dua. Sekarang apalagi yang harus ia jadikan alasan?
"Kalau emang iya, perjodohan direncanakan dari dulu, kenapa kalian baru ngasih tau Azkia sekarang? Atau seenggaknya, Azkia sama dia kenal dari dulu. Biar kita sama sama tau." Azkia akui ini alasan terakhirnya, mengingat otaknya sudah kehabisan cara untuk menolak, semoga saja berhasil.
"Nak, ada kalanya rencana kita menjadi rahasia. Tidak semua orang harus tau, termasuk kamu. Karena ada waktunya juga semuanya terungkap. Dan mungkin ini waktunya."
"Tidak pertemukan kita sejak lama, itu termasuk rencana kalian?"
"Ada beberapa hal yang kita takutkan, dan bisa saja menggagalkan semuanya, jika kita mempertemukan kalian sejak awal."
Azkia terdiam, meresapi kata demi kata yang Abah dan Mamahnya ucapkan. Tidak ada yang salah memang dengan alasan dibalik perjodohan ini. Bahkan dirinya sudah hapal cerita besar antara kedua orang tuanya dengan sahabatnya itu, saat mereka sedang membujuknya.
Persahabatan antara Abah dan mendiang sahabatnya itu terjalin sejak lama, bahkan mereka berasal dari tempat kelahiran yang sama. Belangkat ke kota sama sama, berjuang sama sama, sampai akhirnya mereka menemukan kehidupan dan kebahagiaan mereka masing masing. Dan persahabatan mereka tidak terputus begitu saja, Bahkan semakin erat, saat keduanya memiliki keluarga masing masing. Namun komunikasi mereka kian hari kian jarang. Mengingat jarak yang terpisah jauh, saat keduanya membangun bisnis dengan cara masing masing. Bahkan sudah jarang untuk bertemu setahun sekalipun, dan itupun karena kesibukkan. Tapi itu tidak menjadi tali pemisah bagi mereka, meskipun komunikasi yang jarang.
Begitulah, sedikit ringkasan cerita yang Azkia hapal dari cerita yang selalu orang tuanya ceritakan. Dan lagi, Azkia tidak tau sebanyak apa rencana yang mereka rencanakan dibaliknya.
Bukan untuk kali ini saja Azkia memikirkan jawabannya, dari jauh jauh hari tepatnya saat mengetahui perjodohan ini, dirinya mulai memikirkan tentang semuanya. Terutama masa depannya. Bagaimana kehidupannya setelah menjadi istri? Apakah dirinya bisa?
Yang jelas untuk saat ini, kebahagiaan orang tuanya adalah yang utama.
"Baiklah..." Azkia menjeda ucapannya, kembali menguatkan tekad atas keputusannya kali ini.
"Dengan Bismillah, Azkia terima perjodohan ini." Tidak ada lagi alasan untuknya menolak, mengingat ini adalah pilihan orang tuanya. Azkia selalu meyakini, pilihan kedua orangtuanya selalu yang terbaik.
Dan mungkin, ini sudah menjadi jalan takdirnya. Mengingat sampai usianya saat ini Azkia masih sendiri. Bisa saja, ini semua adalah jawaban doa doanya selama ini. Bukankah Tuhan memiliki cara tersendiri dalam mempertemukan takdir hambanya?
"Sampai kapan Aa akan terjebak di masa lalu? Ingat sayang, masa itu telah berlalu. Jangan terus kamu larut didalamnya. Masih ada masa depan yang harus kamu tatap Nak..." Ucap sendu seorang ibu yang menatap iba pada anak pria satu satunya.
"Sudah enam tahun." Imbuhnya, dirinya tidak
akan lupa kejadian itu, kejadian yang telah merubah hidup putranya.
"Enam tahun dia pergi tanpa alasan dan kabar sama sekali. Dan Aa disini masih meratapi kepergiannya." Hana Ibu Evans, kembali bersuara. Hati ibu mana yang tidak terluka saat melihat putranya yang berubah seketika. Tidak ada lagi keceriaan di wajahnya, melainkan wajah sendu. Tidak ada lagi senyuman hangat, melainkan tatapan yang kosong. Jelas jauh berbeda seperti dahulu. Putra kesayangannya yang ceria sekarang menjadi tidak tersentuh, selalu menghindar dan menjauh.
"Dia ditakdirkan bukan untuk kamu sayang. Lupakan dia A!"
Untuk kesekian kalinya Aulia membujuk Evans untuk bangkit dari masa lalunya dan menjalani hidup seperti semula. Dan mungkin bukan hanya dirinya saja, membujuk dan memberi dorongan untuk Evans kembali seperti dulu. Berbagai cara dan bujukan telah dilakukan namun hasilnya tetap sama. Evans terlalu sulit untuk diluluhkan begitu saja, hati putranya itu terlalu keras.
"Sulit Bun."
Bukan hal yang mudah bagi Evans untuk melupakannya. Melupakan dia yang berarti dalam hidupnya.
"Gak ada yang sulit, kalau kamu mau berusaha." Dengan cepat Aulia menyela.
"Kamu pasti bisa A." Dirinya tidak akan menyerah, walaupun tidak mudah.
"Dengan cara?" Otaknya buntu jika mengenai hal seperti ini, bahkan Evans sudah kehabisan cara sampai akhirnya enggan untuk berusaha. Dan membiarkan semuanya berjalan begitu adanya.
"Penuhi permintaan terakhir Ayah!" Besar harapannya agar Evans mau menjalankan mandat terakhir sang suami yang telah tenang di alam sana. Tepat lima tahun yang lalu, suaminya itu pergi karena penyakit komplikasi yang dialami sejak lama. Namun sebelum pergi, Edi sang mendiang suami memiliki keinginan terakhir untuk putra pertamanya, Evans. Dan Aulia tau apa itu, karena dirinya pun terlibat dalam rencana suaminya.
Sudah sejak lama, Aulia membujuk Evans menyetujuinya. Bukan semata untuk memenuhi keinginan suaminya saja, tapi ini semua demi Kebaikan Evans dimasa depan juga, mengingat siapa wanita yang akan mendampinginya itu. Dan Aulia percaya wanita itu memang tepat untuk Evans.
"Keinginan Ayah untuk Aa nikahin anak sahabatnya itu?" Bukan pertama kalinya Evans mendengar rencana perjodohan yang dilakukan kedua orang tuanya ini. Dan semakin kesini Bundanya semakin gencar untuk membujuknya. Menurutnya ini konyol, bagaimana dirinya bisa menikah sedangkan dirinya sendiri tidak tau dengan siapa akan menikah? Yang Evans tau wanita itu adalah anak dari sahabat Ayahnya yang berada di Bandung, sempat dirinya juga beberapa kali bertemu, tapi tidak dengan wanita yang digadang gadang akan menjadi istrinya itu.
"Sampai kapan Bunda akan terus bujuk Aa ? Padahal Bunda pasti tau jawaban Aa masih sama."
Ada alasan pasti kenapa Evans menolak keras perjodohan ini. Bukannya dirinya tidak ingin untuk mewujudkan permintaan sang Ayah. Hanya saja, haruskah demi mengeratkan tali persahabatan dirinya menjadi korban? Evans tidak habis pikir dengan hal itu, tidakkah ada cara lain selain perjodohan?
"Besar harapan Bunda Aa bisa kasih Bunda jawaban yang berbeda." Sekeras apapun hati anaknya, Aulia yakin akan mampu meluluhkannya.
“Ingat sayang, kita hanya ingin yang terbaik buat kamu. Bunda hanya mau kamu bahagia A."
"Jangan mikirin Aa Bun. Aa udah dewasa, bisa bahagia dengan cara Aa sendiri. Bunda pikirin aja kesehatan Bunda. Bunda sehat dan terus ada disamping Aa itu udah cukup buat Aa bahagia." Bagi Evans, kini tidak ada lagi yang berharga melainkan Bundanya. Dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup nya nanti jika harus merasakan kehilangan terbesar lagi.
“Bunda bahagia, kalau Aa juga bahagia. Lagian usia kamu udah dewasa, sudah waktunya untuk membangun rumah tangga. Yang pasti, ini waktunya Aa menata masa depan, bangkit dari masa lalu, lupakan dia, dan cari kebahagiaan dengan keluarga Aa nanti."
Evans termenung, benar yang dikatakan Bundanya. Diusinya saat ini harusnya dirinya mulai terpikirkan ke arah sana. Bagaimanapun ia seorang pria, yang pasti membutuhkan seorang pendamping hidup dan anak anak untuk menemaninya kelak dihari tua.
"Kenapa harus dia Bun?"
"Karena dia pilihan yang tepat buat kamu A."
“Bukannya itu kemauan Ayah."
"Ayah punya alasan khusus kenapa memilih dia, selain cantik, dia wanita cerdas dan mandiri. Dan yang paling utama, kita yakin dia bisa bahagiain kamu."
"Tapi aku gak tau siapa dia Bunda."
"Akan ada waktunya kamu tau A."
"Aa gak yakin Bun."
“Kenapa enggak? Aa lupa janji sama Ayah?" Sekilas Evans terdiam, sebelum Ayahnya meninggal dulu. Dirinya sempat berjanji untuk menjadi pria yang bertanggung jawab.
"Aa selalu berusaha buat bertanggung jawab Bun."
"Bisa dikatakan ini amanat dari Ayah buat kamu A. Dan udah jadi tanggung jawab Aa buat memenuhinya." Evans kalah telak, sejak dulu dirinya tidak pernah menang jika sudah berurusan dengan Bundanya.
Bertanggung jawab dalam hal ini, itu berarti dirinya harus menikah dengan anak dari sahabat Ayahnya itu. Lucu memang, dirinya harus menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dirinya ketahui.
Bisa saja Evans menerima, yang ditakutkan seperti kata peribahasa
'membeli kucing dalam karung', bisa saja orang tuanya membangga banggakan wanita itu sekarang, tapi nyata jauh dari kenyataan. Maka dari itu perkenalan lebih diutamakan, mengetahui seluk beluk wanita tersebut, itu diharuskan. Mengingat hubungan mereka bukan main main, dan tidak ingin berakhir dengan yang tidak di inginkan.
Evans tidak mau itu. Tapi Mungkinkah orang tuanya berbohong? Jika iya, mengapa mereka begitu yakin dengan pilihannya? Itu tandanya pilihan mereka tepat bukan? Ada kalanya juga pilihan orang tua itu yang terbaik.
Entahlah, Evans jadi bingung sendiri.
Haruskah dia menerimanya?
Jika tidak, belum tentu juga dirinya akan menemukan pendamping hidup dalam waktu cepat dan tepat, dengan usia yang kian menua.
Jika iya. Haruskah dengannya? Wanita yang namanya saja ia belum tau. Lalu setelah menikah, akankah rumah tangga nya berjalan baik? Sedangkan pernikahannya saja tidak berlandaskan cinta. Malah yang ditakutkan, mereka akan saling tersakiti.
"Ayah sama Bunda akan bahagia, jika Aa menerimanya."
Seperti mendapat dorongan, kata kata Hana barusan membuat Evans mengambil cepat keputusannya.
"Aa terima Bun."
Dengan penuh keyakinan Evans menjawabnya. Untuk saat ini kebagian orang tuanya yang paling utama. Dan biar masalah masa lalu dan masa depannya akan ia pikirkan nanti.
"Gak ada ceritanya ya Mah, Bah, yang dilamar nyamperin yang ngelamar." Sudah tidak terhitung, seberapa kali Azkia melayangkan aksi protes terhadap kedua orang tuanya, Azman dan Saskia.
Bagaimana tidak? Sepulangnya sore tadi dari tempat kerja, Azkia langsung disuruh untuk segera bersiap siap dengan cepat. Dan orang tuanya itu, sama sekali tidak memberi tahu tujuan kemana mereka akan pergi. Bilangnya sih, sekedar makan malam diluar. Nyatanya, memang iya mereka akan makan malam diluar. Lebih tepatnya di luar kota. Saat ini, Azkia beserta kedua orang tuanya sedang berada di dalam mobil perjalanan menuju Ibu Kota. Kalau kata Mamahnya Azkia sih, ke Kota Ibu Mertua. Terserah kata Nenek bercucu dua itu lah.
"Kalau gak ada. Berarti bagus dong kita bikin cerita yang pertama." Sudah menjadi kebiasaan bagi Saskia menggoda Azkia saat sedang kesal. Seperti saat ini.
Azkia merenggut kesal. "Mamah ih anaknya lagi kesel juga malah ditambah kesel. Gak asik deh."
Azman dan Saskia terkekeh, mendengar Azkia yang terus menggerutu.
"Kesel atau kesel ? Gak usah malu, bilang aja deg degan mau ketemu sama calon suami.
"Mamahhh." Azkia menggeram, menahan kekesalannya terhadap sang Mamah.
"Udah Mah, kesian tuh geulis nya Abah. Bibirnya udah maju semeter."
Tak elak perkataan Azman malah membuat Saskia semakin tertawa. Dan membuat Azkia semakin bertambah kesal.
"Abahhhh." Azkia merenggut kesal, dan setelahnya memilih diam. Bisa bisanya kedua orang tuanya ini malah menjadikan kekesalannya sebagai bahan bercandaan.
Selama perjalan Azkia hanya diam, menikmati hembusan angin malam lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Percuma dirinya bersuara pun pasti ujungnya jadi bahan tertawaan kedua orangtuanya.
Dalam diamnya pikiran Azkia berkecamuk. Terutama tentang keputusannya menerima pernikahan ini.
Sejak hari itu, dimana Azkia menerima pernikahan ini. Seminggu kemudian Hana calon mertuanya datang ke Bandung, untuk menemuinya secara langsung. Saat itu Azkia Dapat melihat betapa bahagianya Aulia, setelah tau dirinya menerima pernikahan ini. Termasuk kedua orang tuanya, mereka larut dalam kebahagiaan tanpa memikirkan perasaannya.
Di hari itu juga, Aulia mengundang keluarga Azkia untuk datang ke Jakarta. Selain sebagai ajang untuk silaturahmi, tapi juga diperuntukan mempertemukan Azkia dengan sang calon suami.
Dua minggu telah berlalu, dan malam ini adalah waktunya. Parahnya lagi, Azkia lupa akan acara malam ini. Padahal kan kalau ingat dirinya bisa pulang dari tempat kerja lebih awal. Agar bisa bersiap siap dengan baik, tidak berpenampilan seadanua seperti ini. Maklum ini kali pertama ia akan bertemu dengan pria yang akan menjadi suaminya. Tidak salah bukan, jika Azkia ingin mendapat kesan terbaik?
Sebenarnya begitu banyak pertanyaan yang membuat Azkia ragu. Seperti apakah dan bagaimanakah sosok yang akan jadi suaminya nanti? Apakah sesuai dengan keinginannya? Lalu setelah menikah apakah Azkia bisa menjalani tugasnya sebagai istri dengan baik? Sementara dirinya pun masih di manja sang Mamah. Pantaskah dirinya untuk bersanding dengan pria itu? Mengingat pernikahan mereka yang diawali dengan perjodohan, bukan karena saling berkeinginan.
Entahlah, sulit rasanya untuk menjawab pertanyaan itu satu persatu. Karena memang Azkia pun tidak tau? Satu yang membuat ada keyakinan dalam hati Azkia. Yaitu kedua orangtuanya, yang begitu antusias menyambut pernikahan ini. Bisa saja Azkia menolaknya, tapi dirinya tidak akan mungkin bisa menghapus lukisan kebahagiaan orang tuanya, yang sebelumnya belum bisa ia buat sebahagia ini.
"Yang mau ketemu camer sama calon suami. Udah kenapa deg degannya. Mau sampai kapan disitu ? Ayo turun".
Suara Saskia yang mampu mengembalikan alam sadar Azkia yang sedang berkalut dengan pikirannya.
Setelah sadar sepenuhnya, Azkia baru tau bahwa mereka sudah sampai di Jakarta. Mungkin lebih tepatnya di rumah Ibu Mertua. Tepat dihadapannya, terpampang sebuah rumah mewah bercat putih, dengan halaman yang cukup luas.
"Ayo turun!" Suara Saskia kembali mengintrupsi Azkia.
"Mamah sama Abah duluan aja, Azkia mau dandan sebentar."
Saskia dan Azman sama sama menggelengkan kepala melihat kelakuan Azkia.
"Ya udah, dandan yang cantik, mau ketemu camer sama casu loh ini, masa kumel gini?"
Setelah merasa cukup dengan perubahan penampilannya, Azkia bergegas keluar dari mobil untuk menyusul Azman dan Saskia yang sudah berada didalam.
Akibat jalannya yang tergesa gesa, tanpa disadari Qzman menabrak sesuatu yang cukup keras. Bersamaan dengan terdengarnya ringisan.
"Awwww", Azkia meringis merasakan sakit di bahu kirinya.
"Jalan memang menggunakan kaki. Tapi mata digunakan untuk melihat jalan." Sarkas seorang pria yang baru saja Azkia tabrak tanpa sengaja.
Dengan segera, Azkia memalingkan muka ke arah sumber suara. Dan terlihatlah sosok pria yang menatapnya dengan tatapan yang seakan ingin menerkam.
Untuk beberapa waktu, kedua mata Azkia tidak berpaling dari tatapan mengunci pria yang ada didepannya. Ada rasa menghangat di hatinya ketika menatap kedua manik hitam legam itu. Sorot mata yang menenangakan, walaupun tatapannya terasa tajam.
Tapi entah mengapa Azkia merasa matapria itu begitu dalam menatapnya. Seakan mencari sesuatu dalam matanya.
drrtitrit'
Sampai akhirnya suara getaran dari HP pria tersebut mampu menyadarkan keduanya.
"Maaf tadi saya ...."
Sebelum Qzkiq menyelesaikan perkataannya. Pria yang ada di hadapannya itu sudah berlalu begitu saja. Berjalan cepat memasuki rumah yang Azkia tuju.
“Ganteng sih. Tapi mulutnya pedes, sombong lagi."
Batin Azkia menggerutu. Ia masih tidak terima saat niat baiknya untuk meminta maaf malah diacuhkan begitu saja. Dasar!
Sebelum melangkahkan kaki memasuki rumah calon Ibu mertuanya. Azkia diam sejenak, menatap rumah yang kelak akan menjadi salah satu tempat Fara pulang. Azkia berharap dirinya mampu beradaptasi dengan segala suasana yang jelas berbeda dengan rumahnya di Bandung.
Dan dari sinilah, kehidupan barunya dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!