NovelToon NovelToon

We And Problems

Chapter 1 : Celotehan Ree

Hidup adalah masalah utama setiap manusia, termasuk yang dirasakan oleh ku saat ini.

Masalah hidup itu banyak, jika disebut satu-satu dan uraikan akan habis kertas di dunia hanya untuk menguraikan masalah hidup.

Tetapi banyak yang bilang, 'kamu saja yang terlalu banyak mikir' kepadaku.

Aku menatap orang-orang di sekitar, berlalu lalang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hey! ada yang sedang tertawa di sana padahal tidak ada yang lucu.

Ah! rupanya orang gila.

Itu juga masalah tetapi bagi orang lain.

Baiklah Ree, untuk apa kamu memikirkan masalah hidup jika kamu cukup bernafas melalui hidung?

Awalnya seperti itu, hidupku hanya aku yang berkehendak bagaimana menjalaninya dengan bantuan Tuhan yang biasanya membuka jalan baru dan mengharuskan aku melalui serta menyelesaikannya.

Hingga semuanya seolah menjadi meja terbalik dan mengobrak-abrik hidup tenangku. Badai yang membuatku selalu menangis ketika mengingatnya. Memori yang sangat inginku hilangkan dari kepalaku, malah semakin lekat seiring waktu.

Bahkan setiap memejamkan mata mimpi buruk itu datang dan membuatku bergetar ketakutan. Seolah terjaga dan membangunkan sisi gelap dari diri yang bisa berbuat hal mengerikan.

Mungkin orang-orang melihatku seperti baik-baik saja, perempuan yang selalu tertawa dan mudah menjalin relasi.

Tetapi di balik semua tawa dan keramahan itu, diriku dengan rapat menutup emosi yang tidak boleh diketahui oleh siapapun, termasuk keluargaku.

Rasa sakit dan tertekan disebabkan oleh orang tua dapat membuat anak menjadi terluka hingga trauma seperti yang aku rasakan hingga detik ini.

Itu benar, aku mengakui jika keluargaku bukanlah tempat yang harmonis dan hangat seperti orang lain.

Di sini juga bisa mengerti bahwa cinta adalah sesuatu yang bodoh dan tidak berguna. Meski mulut berucap 'cinta' itu hanya membuatku semakin marah dan dongkol.

Rasa sakit itu bukan hanya satu-dua tahun ku rasa, semasa dari aku mulai bisa mengerti ucapan hingga saat ini sakit itu belum pernah terobati oleh siapa pun di dunia.

Meski hanya meringkuk sendirian menangisi kesakitan yang dirasakan setiap malam dan terus berdoa, tetap saja aku hidup di lingkungan yang banyak orang.

Terkadang kenyataan memukulku dan menegurku untuk membutuhkan orang lain.

Aku benci mengakui itu, tetapi nyata adanya aku butuh manusia lain untuk bersamaku.

Meski aku tidak tahu bagaimana memulai. Aku memiliki rasa takut yang berlebihan atau bisa dikatakan fobia.

Orang lain mengatakan bahwa aku terlalu cuek dan tidak peka dengan sekitarku, karena mereka berkata sesuai dengan apa yang mereka lihat, kenyataannya itu hanya alasan saja di balik kebenaran yang sesungguhnya.

Kelihatanya memang begitu, egoisnya semua orang adalah ingin di mengerti. Tidak apa-apa jika tidak satupun orang bisa mengerti diriku. Agar aku dapat tahu, sampai kapan pembatasan diriku akan berakhir.

Karena keterbatasan ini, aku hanya bertanya kepada perempuan normal lain yang dapat mudah bertahan menjalin hubungan atas nama cinta atau semacamnya dan seringkali ku menemukan mereka tersakiti karena kebodohan mereka sendiri.

“Tidak semua laki-laki sama.”

Banyak yang mengatakan itu, entah dari kaumku sendiri dan sebelah. Pembenaran tentang watak manusia memang sulit di cari jawaban pasti karena manusia ku katakan memiliki lebih dari satu ‘wajah’. Jangan munafik, kalian di luar sana pasti paham tentang makna ‘wajah’ yang ku maksud.

Jangankan kalian, aku saja punya lebih dari dua ‘wajah’.

Aku memerlukannya untuk kepentingan dan keegoisan diri yang tidak pernah cukup. Meski harus menyakiti satu sama lain, asal tidak ketahuan aku akan berada di zona aman.

Benar, jangan biarkan orang asing masuk ke privasi yang harus kamu simpan. Meski seseorang terbuka sekalipun, tetap ada satu atau dua hal yang menjadi hal penting dan tidak di publikasikan pada orang-orang.

Kenapa begitu? Alasannya tidak akan menjadi hal penting untuk orang lain.

“Ree, kamu tidak pernah membuka hati.”

Kata-kata itu seringkali muncul dari orang-orang terdekatku. Apakah aku secara tidak sengaja menciptakan dinding tembus pandang namun begitu terasa keberadaannya hingga semua orang menjaga jarak denganku?

Permasalahan ini seringkali muncul dengan bodohnya karena ada beberapa orang yang ingin berkenalan denganku. Hingga otomatis diriku menciptakan aura yang membuat orang lain merasa sangat tidak enak.

Aku hanya diam, tersenyum seadanya untuk basa-basi setelah itu akan kembali seperti biasa, sunyi sampai waktu yang tidak ku tentukan.

“Ree! Coba lihat! Dia sangat tampan.”

Satu lagi yang menjadi masalahku, jujur saja laki-laki akan sangat sulit menjadi tampan di mataku. Ini bukan alasan untuk mencari perhatian atau semacamnya karena pada dasarnya aku menghindari kerumunan dan pandangan orang.

Entah itu pemikiranku seorang yang aneh atau bagaimana.

Apa karena aku yang terbiasa melihat perempuan dengan tampang tampan di akademi membuatku menjadi menyamaratakan semua orang? Aku bingung sendiri.

“Entahlah, mereka biasa saja.” jawaban absolut yang belum pernah tergantikan hingga sekarang.

Definisi rupawan itu seperti apa? Aku hanya menilai semua orang memiliki ketampanan serta kecantikan masing-masing yang mencerminkan diri mereka sendiri.

Itulah kenapa, aku tidak minder dengan wajahku yang ku anggap cantik ini.

Bagaimana tidak, aku bersyukur Tuhan memberiku dua mata dengan bola mata kecoklatan yang indah seperti kacang hazelnut, hidung yang tidak maju maupun mundur secara berlebihan, bibir yang mudah untuk memberi senyuman hangat serta mengumpat dalam satu waktu, rambut lurus hitam yang selalu gagal di keriting.

Aku suka rambut bergelombang, tetapi Tuhan memberiku rambut lurus.

Cukup dengan curhatanku, tetapi yang paling penting adalah menjadi diri sendiri. Meski memiliki ketakutan yang tidak biasa dan sulit menyembuhkannya, tetaplah mencintai diri sendiri sampai akhir.

Maka, setelah 21 tahun aku hidup di dunia yang fana dengan menyandang nama Ree aku bertahan sampai sekarang dan menjadi salah satu murid sebuah Akademi di suatu kota pesisir bernama kota Litore Kerajaan Pulchra.

Kerajaan Pulchra yang dipimpin oleh raja Luxius I, merupakan kerajaan dengan banyak gunung dan bibir pantai dengan empat musim yang rutin berganti setiap tahunnya. Sejak bergantinya raja membuat kedudukan penduduk biasa dan bangsawan disamakan, dengan beberapa ketentuan.

Itulah membuat semua keluarga campuran seperti ku bisa hidup sejahtera dan berkecukupan hingga kedua orang tua ku mampu mengirimku ke Akademi.

Namun, ada hal yang terburuk yang kupikir akan ku alami didalam hidupku untuk beberapa waktu kedepan.

“Pertukaran pelajar?” tanyaku ketika melihat Profesor Roche memberikan sebuah surat rekomendasi dari Akademi di ibu kota tempat pusat kerajaan berada padaku.

“Kamu memenuhi persyaratan Ree, pelajar tingkat akhir dan tahun depan kamu bisa lulus dengan nilai serta kemampuan yang sangat luar biasa jika kamu ikut program ini.” ujar wanita paruh baya yang identik dengan rambut merah bergelombang dan sudah beruban itu.

Aku mengambil surat rekomendasi tersebut dan membaca lebih jeli apa yang tertera.

“Dari sekian banyaknya pelajar perempuan di Akademi ini, kenapa harus saya?” tanyaku lagi.

Itu karena aku bersekolah di Akademi putri, membuatku heran kenapa Profesor Roche menawarkan padaku.

“Jika kamu tidak ingin, saya bisa menawarkannya pada orang lain.”

Tetapi aku menjauhkan surat itu dari jangkauan Profesor Roche dan menatapnya untuk tidak dulu membuat keputusan tersebut.

Aku tertarik, karena aku suka hal yang baru. Tetapi, aku cukup ragu melangkah karena Akademi yang dituju merupakan La Priens.

Akademi putra La Priens, baru-baru ini menyatakan akan membuka pendaftaran untuk putri di tahun pelajaran yang baru dan tujuan program pertukaran ini adalah untuk menguji coba kelayakan serta kesiapan salah satu pusat pendidikan terbaik di kerajaan.

Tunggu, ini seperti kami menjadi objek percobaan.

“Tidak hanya dari Akademi kita, kota-kota lain di luar ibukota juga mengirim muridnya untuk mengikuti program ini.” jelas Profesor Roche membuat aku menjadi sedikit berani untuk mengambil langkah.

Itu berarti aku tidak sendirian.

Namun satu masalah yang harus aku selesaikan dengan diriku sendiri disini.

Aku benci beriteraksi dengan laki-laki dan aku sangat menghindari kaum adam itu.

Kenangan pahit, luka lama, serta ingatan tidak menyenangkan terus menghantui pikiran dan mempengaruhi perasaan. Aku sepenuhnya sadar apa yang aku putuskan dengan Profesor Roche bukan hal sepele karena kedepannya, pada hari-hari yang sulit aku terka akan datang.

Suka serta duka, datanglah padaku.

Agar aku tahu bagaimana cara mengatasi luka lamaku.

 

To Be Continued.

Chapter 2 : Start Line

Di sepanjang lorong sebuah gedung besar berdesain klasik yang khas dengan dinding coklat dan jendela besar di sepanjang koridor, serta karpet merah yang menjalar di sepanjang koridor bergema dentingan permainan piano klasik dari sebuah ruangan bertulis ‘ruang musik’ di ujung koridor dengan warna pintu yang selaras dengan dinding sedikit terbuka.

Jari-jarinya yang putih pucat itu nampak lugas ketika menekan tuts piano dan menghasilkan melodi yang sangat indah ketika melewati telinga.

Surai keemasannya sangat berkilau ketika disirami oleh cahaya matahari sore yang masih bersinar terang. Bola mata sebiru laut itu menatap tenang jemarinya yang sibuk bermain piano.

“Mau sampai kapan kamu disini? Apa kamu tidak ingin pulang?”

Seketika permainannya berhenti dan membuat ruang dan lorong kembali sunyi tanpa suara.

Seorang pria bersandar di daun pintu ruang musik dengan melipat lengannya di depan dada.

Intonasi suara datar dan sorot mata kosong seperti tak bergairah dalam menjalani hidup, namun masih bisa dikatakan tampan oleh murid perempuan akademi luar.

Apa yang tampan dari seorang pria seperti vampir itu?

“Aku menunggumu.” pemilik surai keemasaan itu terkekeh dan mengatakan maksudnya memainkan piano ketika seluruh kelas pada hari ini selesai.

“Haah…Kembalilah ke asrama sebelum makan malam.” tanpa menatap mata orang yang diajak bicara, laki-laki pemilik surai hitam itu langsung berbalik dan pergi dari ruang musik.

Wajahnya nampak lelah, namun malu mengakui dengan sifat dinginnya itu. Bola mata coklat itu menatap langit sore yang berwarna jingga dan keunguan dari koridor gedung akademi tempat ia menempuh pendidikan selama kurang lebih 4 tahun itu.

“Frigid!”

Namanya terpanggil oleh manusia yang ia tegur di ruang musik tadi membuatnya menghentikan langkah kaki dan menatap hampa laki-laki seumurannya yang berjalan menyusulnya dari arah belakang.

“Wajahmu nampak lelah sekali. Apa kamu bekerja keras akhir-akhir ini?” tanya laki-laki yang nampak seperti vitamin itu, karena selalu ceria dan tidak ada kata lelah dari wajahnya.

“Banyak yang harus di urus tentang percobaan akademi khusus menjadi akademi umum. Yohan, kamu bisa kembali ke asrama sendirian.”

Laki-laki yang dipanggil Yohan itu terdiam.

“Apa kamu tidak terganggu?” tanya Yohan sedikit khawatir.

Frigid melirik teman bicaranya yang nampak sedang menunggu jawaban yang akan diberikan.

“Semuanya tidak ada yang berubah.”

“Entah itu akademi.”

“Maupun apa yang di dalamnya.” ucap Frigid singkat.

*

*

*

“Ree, kamu seperti kentang rebus saat ini.”

Perempuan muda yang di tegur itu tiba-tiba ingin menyembur tawanya. Ia tidak tahu atas dasar apa temannya memanggilnya kentang rebus.

“Maksudmu Henny?” tanya Ree heran.

Henny terkekeh sembari membantu Ree sahabat sekamar asramanya itu duduk di kasur milik Ree.

Besok perempuan muda bernama Ree Iunae Lumen itu akan pergi meninggalkan Litore untuk pertama kali dalam hidupnya. Ree yang sudah terbiasa dengan kota Litore dengan bisingnya pelabuhan dan burung camar akan pergi jauh ke ibukota kerajaan yang berada jauh ke pegunungan sana bernama Crystallo.

“Aku tidak bisa membayangkan kamu akan pergi dalam waktu lama Ree.” timpal Henny.

Jangankan teman sekamarnya itu, Ree sendiri juga tidak menyangka akan pergi dalam satu tahun dan kembali dalam keadaan lulus.

“Terlebih kamu akan dikelilingi laki-laki!!”

“Ucapanmu mengarah pada dua arti, antara kamu mengkhawatirkanku atau iri.” timpal Ree sembari menampakkan dua jari kanannya dalam bentuk v.

“Bagaimana aku iri dengan hal yang mustahil ku capai. Justru aku mengkhawatirkan bagaimana jika kau tidak mendapat teman sementara 95% penghuni La Priens nantinya laki-laki.” ucap Henny.

“Ya… meskipun di satu sisi aku iri denganmu yang akan bertemu dengan salah satu pangeran muda di sana.” lanjut Henny kesal.

“Aku sudah memikirkannya.” ucap Ree percaya diri.

Henny terlihat penasaran.

“Apa itu?” tanyanya.

Ree tersenyum manis.

“Untuk apa repot-repot memikirkan hal yang tidak penting. Aku hanya perlu mengabaikan mereka dan bergabung dengan murid perempuan dari akademi lain.” ucap Ree riang.

Henny memang tidak heran dengan pola pikir sederhana Ree dalam menghadapi sesuatu.

“Apa kamu sudah berpamitan dengan keluargamu?” tanya Henny.

Ree tiba-tiba berhenti mengemas barang-barangnya.

“Tentu saja! Meskipun mereka sibuk dengan pekerjaannya, setidaknya mereka tetap memberiku uang untuk pergi.”

Henny tahu keadaan Ree yang tidak terlalu akrab jika harus membahas rumah maupun keluarga.

Keluarga Lumen dikenal sebagai pelaut yang selalu mengarungi lautan dalam waktu yang lama. Membuat Ree harus jarang bertemu kedua orang tua dan saudaranya yang selalu berlayar.

Ree yang terbiasa hidup sendiri sejak usia belia karena hanya dititipkan pada saudari ibunya membuatnya harus masuk asrama lebih awal di usia 12 tahun dan belajar di akademi sampai detik ini.

*

*

*

“Jangan lupa kirimkan surat padaku ketika sampai.” ucap Henny ketika Ree sudah bersiap untuk menaiki kereta uap yang akan membawanya menuju Crsytallo.

“Iya.” ucap Ree seadanya.

“Hanya itu? Hanya itu kata-katamu pada temanmu ini? kamu benar-benar berhati dingin.” timpal Henny sedikit kesal.

Ree tersenyum sembari menggenggam kopernya erat lalu berjalan memeluk Henny dan tentu saja pelukan itu dibalas dengan hangat seakan tidak ada hari esok.

“Aku akan merindukanmu, sungguh.” suara Ree sudah berubah menjadi sedikit berat karena menahan air matanya.

Banyak kekhawatiran yang kini harus ia rasakan tentang keputusannya untuk pergi. Ia akan banyak belajar hal baru, bertemu dengan orang-orang asing, suasana baru, bahkan masalah yang mungkin tidak pernah ia bayangkan.

Deru roda yang bergerak di atas rel serta suara mesin uap bersuara bersama dengan lambaian pengantar Henny dan orang-orang lain pada mereka yang menaiki kereta itu. Entah dengan senyuman atau malah wajah yang penuh dengan air mata.

Ree yang baru naik harus mencari kursinya dengan tiket yang ia pegang saat ini sembari menyeret koper besarnya melewati deretan kursi yang sudah terisi oleh beberapa penumpang. Cukup padat namun tidak menyulitkan Ree untuk menemukan kursinya yang ada di ujung gerbong.

Perjalanan Litore menuju Crystallo akan memakan waktu kurang lebih lima jam dengan kereta uap. Dengan waktu sebanyak itu untuk duduk, apa lagi yang harus Ree lakukan jika bukan untuk membaca buku lalu tidur.

*

*

*

“Semua yang hadir adalah murid-murid akademi putri dari seluruh negeri. Selama satu tahun ke depan sampai kelulusan, akademi kita akan benar-benar diuji kualitasnya untuk menjadi akademi campuran.”

Frigid yang mendengar arahan dari kepala akademinya tuan Jeremy hanya mengangguk mengerti lalu langsung pergi keluar dari ruangan itu dan terlihat Yohan sudah berdiri di depan pintu.

“Bagaimana?” tanya Yohan.

“Para pelajar akan hadir sore nanti. Kementerian pendidikan akan mengurus sisanya.” ucap Frigid.

Yohan mengangguk paham lalu menatap koridor yang cukup ramai dengan laki-laki akan berakhir hari ini juga.

“Mungkin besok akan menjadi hari yang aneh.” ucap Yohan.

“Kenapa begitu?” tanya Frigid.

“Kita tidak akan melihat semua orang memakai celana.”

Itu terdengar kocak dan menggelikan, namun Frigid hanya tersenyum tipis.

“Karena ini semua adalah tujuan dari kerajaan, mereka ingin membuat jenjang sosial yang ada di masyarakat sedikit menghilang.”

“Namun, bukankah itu malah merusak citra La priens?” timpal Yohan.

“Selama puluhan tahun dan selama banyak pergantian kekuasaan, sekolah ini tetap kukuh menjadi akademi putra dan tiba-tiba saja…”

Frigid berhenti melangkah hingga membuat Yohan juga berbuat hal yang sama.

“Aku tidak punya hak untuk melawan dan seharusnya kamu bisa tanyakan itu pada dirimu sendiri jika ‘kenapa’.” ucap Frigid tanpa menatap Yohan dan langsung masuk ke dalam ruangan bertuliskan ‘Ruang Senat’.

*

*

*

Ternyata perjalanan Ree tidak sesederhana itu, setelah berhasil mencapai stasiun di kota yang ia tidak mau tahu namanya, ia langsung transit ke kereta yang khusus untuk murid utusan ke La Priens. Memang tidak mengherankan jika akademi tempat para putra bangsawan bahkan pangeran negerinya itu memiliki kereta pribadi. Dari sinilah Ree bisa melihat calon ‘kelinci percobaan’ yang akan bersamanya setahun ke depan di La Priens. Ree bisa melihat dari bermacam-macam seragam yang mereka kenakan, mulai dari akademi putri yang paling terkenal hingga akademi yang rasanya Ree baru ketahui ternyata ada.

“Permisi… permisi…” ucap Ree sembari mencari kursi tempat ia akan duduk.

Tanpa menunggu lama, Ree langsung bergabung dengan beberapa murid akademi lain yang dalam perjalanan.

“Halo…” sapa Ree canggung pada perempuan muda yang duduk di sampingnya.

“Halo…” ucap perempuan yang memiliki gaya rambut panjang bergelombang itu padanya lalu kembali sibuk dengan buku yang ia baca.

Wajar saja, mereka tidak mungkin langsung seramah itu. Ree mengerti dan merogoh tasnya serta mengambil buku yang ia bawa untuk membunuh waktu perjalanan.

*

*

*

Memang bukan pemandangan yang biasa bagi para penghuni lama La Priens ketika melihat barisan kedatangan perempuan-perempuan muda dengan menyeret koper mereka masing-masing masuk ke dalam gerbang akademi dan menuju gedung asrama yang telah dipersiapkan bagi Ree dan peserta ‘kelinci percobaan’ yang lain.

Ree sendiri benar-benar merasa sangat lelah dan hampir saja mabuk karena terlalu jenuh berada di kereta. Ia berangkat pagi-pagi dari Litore dan tiba di Crystallo ketika matahari sudah mau menghilang dari muka bumi. Jujur saja itu melelahkan baginya. Terlebih kedatangan mereka malah disambut dengan tatapan yang Ree sulit artikan dari tuan rumah.

“Bahkan akademi Princessa juga mengirim seseorang.” ujar Yohan pada Frigid ketika melihat seorang wanita yang masuk dengan beberapa pelayan di belakangnya untuk membawakan barang wanita itu.

Seragam beludru berwarna ungu ciri khas akademi yang mengajar anak perempuan kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan membuat semua mata langsung terpusat pada satu orang.

“Putri Yohanna.”

“Kenapa bisa dia ada disini?”

Bisikkan itu jelas mengarah pada seorang perempuan cantik yang memiliki rambut pirang dan bola mata yang biru mirip dengan Yohan.

“Nampaknya kembaranmu tidak bisa berpisah denganmu, Yohan.”

Frigid dan Yohan kompak menatap kepada seorang pria yang baru saja datang.

“Profesor Millesimun.”

Profesor muda itu hanya tersenyum ringan lalu menatap objek yang menarik perhatian seluruh tuan rumah yang ada termasuk gadis muda yang bernama Yohanna itu.

“Mana mungkin ia mau kalah dari orang-orang di sekitarnya untuk menjadi pelajar di akademi ini. Terlebih ada Frigid.” Yohan mengatakan hal tersebut sembari menatap laki-laki yang dimaksud dengan sedikit bumbu menyindir disana.

“Katakan itu pada dirimu sendiri siscon.” Frigid pergi begitu saja setelah mengatakan kata-kata yang membuat Yohan kehilangan kata-kata.

“Siscon!? Aku tidak semenjijikan itu! Hey! Frigid!”

Rasanya menyenangkan ketika melihat gairah masa muda di sekitarnya menurut Millesimun. Melihat para penghuni lama dan penghuni baru yang baru datang membuat akademi yang selalu di isi dengan keributan siswa laki-laki akan menjadi lebih banyak variasi.

Entah itu dalam lingkaran pertemanan bahkan sampai perasaan.

Millesimun cukup menantikannya.

Sementara itu, disisi lain ada yang sedang sedikit tercengang dengan kenyataan di hadapannya.

Ree benar-benar tidak menyangka akan seramai ini yang menatap kedatangan ia dan para ‘kelinci percobaan’ lainnya. Padahal jika di Litore, jam segini mereka sudah kembali ke asrama dan bersiap untuk makan malam. Namun di La Priens masih saja ada yang sibuk dengan kegiatan di luar akademis.

Karena masih ada hari esok, Ree tidak terlalu ingin memperhatikan dan terus mengikuti arahan kepala asrama untuk mengantar mereka istirahat dan bersiap untuk hari pembukaan.

*

*

*

“Setiap kamar akan dihuni oleh dua orang. Kami di sini tidak memberi hak istimewa untuk siapapun itu. Karena kalian semua sama-sama murid akademi.” jelas seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya sebagai madam Denise.

Ia yang akan mengurus asrama putri di La Priens selama masa percobaan.

“Maka dari itu, para murid yang membawa pelayan pribadi, mereka akan dipulangkan.” ucapnya mutlak.

Tentu saja, setiap ucapan akan memiliki timbal balik yang berbeda-beda. Ada yang setuju dan tidak, itu karena pandangan mereka beragam.

“Mohon diam.” seketika madam Denise menepuk sekali tangannya dan Ree cukup takjub karena situasi kembali hening.

Kekuatan macam apa itu, pikir Ree.

“Kalian harus mendengar kata sambutan dari professor yang bertanggung jawab selama program ini. Ia merupakan lulusan La Priens dengan predikat terbaik sejauh ini. Profesor Millesimun Aviao Viturdes.”

Refleks semua orang langsung menepuk tangannya ketika mendengar seseorang dengan pencapaian sehebat itu. Tidak lama, seorang pria tampak anggun dan beribawa maju ke podium kecil yang ada di aula asrama. Senyumnya sangat ringan hingga rasanya tahu jika suara pria itu akan lembut.

Ree hanya mengangguk saja, ketika setuju dengan pujian yang dilontarkan oleh teman-teman seperjuangannya itu. Memangnya kenyataan harus disangkal?

“Selamat datang para murid perempuan pertama di La Priens. Kalian merupakan murid-murid terbaik yang akademi kalian utus untuk berkesempatan belajar di La Priens.” ucap Millesimum membuka pidatonya.

“Seperti yang kalian ketahui, sistem pembelajaran di La Priens tidak berbeda jauh dari akademi kalian. Disini kalian tidak terpaku dengan jurusan ataupun itu. Di La Priens, kalian hanya akan mengikuti kelas yang memang kalian ingin ambil. Namun untuk mengantisipasi kemalasan murid, La Priens mewajibkan jumlah minimum kelas yang harus diambil.”

Ree tahu tidak akan mudah, meskipun Millesimun mengatakannya dengan wajah sumringah. Namun cukup untuk membuat rata-rata murid menelan ludah.

“Jika dilihat dari tingkat akademik kalian saat ini, ada lima puluh jenis kelas dan kalian wajib mengambil setidaknya sepuluh kelas yang berkaitan dengan jurusan akademi kalian lalu lima kelas pengembangan diri. Misalnya, jika kalian mengambil fokus bidang akademis seni musik, selain dari pelajaran pokok kalian harus mengambil lima kelas bebas diluar itu. La Priens memberi kalian kebebasan untuk memilih kelas, maka kalian pikirkan lagi apa saja yang ingin kalian lakukan di La Priens. Terima kasih.”

Millesimun menutup pembicaraannya dengan salam hangat dan senyuman yang teduh sementara meninggalkan jejak beban di atas pundak para calon murid La Priens.

Sudahlah dari perjalanan jauh, Ree harus memikirkan lima kelas yang harus ia ambil diluar fokus akademiknya.

“Bagaimana bisa aku di kirim ke neraka seperti ini?! lebih baik aku kembali ke akademi lama saja!”

“Ini benar-benar menyiksa, dari luar saja mereka bergensi, namun isinya adalah sumber penderitaan.”

“Aku ingin pulang…”

Ree mendengar beberapa sungutan murid lain. Dalam hati Ree hanya bisa tersenyum karena mereka baru menyadari jebakan dari ‘kelinci percobaan’ ini.

“Baiklah… kalian harus pergi ke kamar kalian untuk beristirahat karena besok adalah upacara pembukaan semester baru. Bagi kalian ‘murid pindahan’ harus mengisi energi ya.”

Ree setuju, daftar kelas dapat ia pikirkan besok. Karena yang terpenting adalah mengisi energinya untuk menerima kenyataan.

Ree tahu, bahwa esok bukan hari dimana ia bisa mendengar deru ombak pantai dan burung camar lagi. Besok adalah dimana ia akan berada di medan perang yang baru dengan hal-hal yang baru.

 

To Be Continued.

Chapter 3 : Kelas Berburu

Setelah melihat daftar kamar, Ree menyeret koper dan barang-barangnya menyelusuri lorong yang sedang cukup ramai karena para penghuni baru termasuk Ree di dalamnya. Setelah mengecek kunci yang ia pegang bernomor 224, Ree pun mencari pintu kayu coklat yang memiliki nomor itu. Tidak berada di ujung dan di tepi, juga bukan dari pertengahan, Ree berhasil menemukan pintu bernomor 224. Jika dari lubang kunci yang sudah tidak ingin diputar ketika Ree ingin membukanya, itu berarti sudah ada orang di dalamnya.

“Permisi…” bisik Ree sembari membuka pelan pintu kamarnya dan langsung menampakkan ruangan yang memiliki luas 5 x 5 meter persegi dengan dua ranjang yang bersebelahan dan lemari dua pintu yang terletak di depan ujung ranjang.

Ree dapat membayangkan ranjang di asrama ini lebih empuk dari asrama lamanya dulu. Ia yakin dapat terlelap cepat jika langsung tidur.

Namun, abaikan itu. Ree tidak sendirian disini. Ada seorang gadis yang memiliki rambut coklat bergelombang sedang menatapnya di ujung ruangan.

Lalu kembali mengemasi barang-barangnya yang kebanyakan buku itu dalam satu detik kemudian.

Ree awalnya acuh tak acuh lalu nampak kaget sendiri.

“Kamu yang di kereta tadi bukan?” tanya Ree.

Gadis yang diajak bicara oleh Ree itu menunda pekerjaannya lalu menyeret sorot matanya untuk menatap seorang yang seumuran dengannya itu dari bawah hingga atas.

“Kulit kekuningan sedikit terbakar matahari dan berambut pendek. Akademi semi militer.” ucapannya bukan menyinggung atau bermaksud jahat menurut Ree, juga bukan untuk merendahkan.

Tiba-tiba gadis itu berdiri dan menghampiri Ree dengan sorot mata yang sangat tidak bergairah untuk berkenalan menurut Ree.

Ia pun mengulurkan tangannya.

“Ghea Friesesia Jackwood.”

Tanpa menunggu lama Ree langsung menyambut uluran tangan itu ketika mendengar nama dari teman sekamarnya.

“Ree Iunae Lumen dari Akademi Puteri Litore.” ucap Ree.

“Sudah kuduga, kamu nampak bercahaya namun terasa sangat dingin.” timpal Ghea.

“Maksudnya?” tanya Ree bingung.

Ghea hanya tersenyum tipis dan penuh misteri lalu kembali menyusun kembali barang-barangnya tanpa berminat menjawab pertanyaan janggal Ree.

“Eh? Eh? Lalu, Ghea. Darimana asalmu?” tanya Ree sembari mulai membereskan barang-barangnya sebelum makan malam dimulai.

“Akademi Puteri Desera.” jawab Ghea singkat.

“Itu adalah kota yang terkenal dengan gurun pasirnya dan ramalan...” ucap Ree pelan.

Ree tidak menyangka akan sekamar dengan murid akademi yang lebih fokus pada bidang sihir dan ilmu semacamnya. Ia sendiri bahkan tidak yakin apa sihir itu ada. Seperti yang Ghea katakan, Ree memang berasal dari akademi yang mempelajari ilmu maritim dan semi militer merupakan sesuatu yang nyata adanya. Perpaduan kamar ini benar-benar kacau, pikir Ree.

*

*

*

Ree baru saja selesai mandi. Ia melihat hari penyambutan sangat cerah sampai sinar matahari dapat masuk ke dalam kamarnya dan Ghea. Matanya menatap seragam yang tidak seperti miliknya di akademi lama. Seragam terusan berwarna coklat tua dan ditambah dengan mantel sepinggang serta topi yang menurut Ree akan sedikit kebesaran jika ia kenakan.

“Ree, apa kamu akan melewati sarapan?” tanya Ghea yang sudah berpakaian.

“Ah, tidak, tunggu sebentar.” ucap Ree lalu dengan cepat mengenakan seragamnya.

*

*

*

Sudah Ree duga, topi bundar yang diberikan akademi untuknya cukup besar hingga menutupi matanya dan setengah dari hidungnya. Ree hampir tertawa sendiri karena tingkah konyolnya. Ghea pun nampak tidak terlalu menggubris orang lain, jadi Ree nikmati saja upacara pembuka dengan senyamannya.

“Apa Ree tahu? Di sini ada matahari.” bisik Ghea di tengah-tengah upacara.

Ree melirik teman sekamarnya itu dengan heran, kali ini apa lagi yang dimaksud? Apa semua murid akademi ilmu supranatural seperti ini?

“Ini di dalam aula Ghea, matahari tentu ada, namun terhalangi oleh bangunan.” balas Ree tidak kalah pelan.

“Tidak, benar-benar ada.”

“Baiklah, selanjutnya penyampaian dari ketua senat, Frigid Ventfons Cali.” ucap pembawa acara dan disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh penghuni termasuk Ree.

“Datang!” ucap Ghea.

Ree menatap Ghea jengah karena sejak tadi teman sekamarnya itu sudah banyak mengatakan hal-hal aneh secara tiba-tiba.

“Kali ini apa yang datang?” tanya Ree.

Ghea menoleh pada Ree dengan tatapan kosongnya.

“Eh? Apa aku mengatakan sesuatu?”

“Apa?!”

Keduanya saling menatap satu sama lain tanpa kata. Ree merasa semakin ia bertanya tentang maksud perkataan Ghea, semakin tampak tidak jelas arah pembicaraan mereka.

“Karena akademi ini telah berubah, maka mau tidak mau perubahan juga dialami oleh kami para anggota senat. Kami akan merekrut beberapa murid perempuan, silahkan datang berkunjung ke ruang senat dan mendaftar.” ucap Frigid sebelum ia menutup pidatonya.

Kesan lembut dan ramah langsung tersampaikan pada seluruh murid perempuan ketika mendengar pidato Frigid yang seperti seorang pemeran utama di cerita. Terlihat bersinar meski kulitnya pucat, kontras dengan rambut hitamnya.

Iya, semua orang yang berani berdiri di podium dan di depan orang ramai selalu memiliki aura pemeran utama. Mereka berani, percaya diri, dan mampu membuat semua orang memperhatikannya.

“Karena itu, selamat datang di Akademi La Priens. Semoga kita bisa membuat tahun terakhir dengan menyenangkan.” ucap Frigid lalu kembali ke tempat duduknya semula.

*

*

*

“Apa kamu akan langsung pergi ke kelas?” tanya Ree pada Ghea ketika mereka sedang makan siang di kafetaria.

“Begitulah, aku masih harus menyusun kelas yang harus ku ambil.” jawab Ghea lalu menghabiskan roti isinya.

“Sampai nanti Ree.” ucap Ghea melesat sembari membawa nampan makan siangnya.

Beruntungnya Ree sudah membuat daftar kelas yang ia ambil dan bersiap untuk kelas pertamanya hari ini. ia tidak ingin terlalu ambil pusing. Apa yang sudah di putuskan oleh akademi, ia tinggal mengikuti saja.

*

*

*

Sementara itu, berada sisi gedung yang berbeda namun tetap di tempat yang sama dengan keberadaan Ree sedang mengisi sebuah ruangan yang cukup luas dan diisi dengan beberapa murid yang nampaknya mengikuti kelas seni musik. Karena baru hari pertama, mereka yang ikut dalam kelas diperkenankan untuk melihat pertunjukan dari Yohan yang merupakan salah satu pianis terbaik di akademi.

“Baiklah, terima kasih Yohan sudah bersedia bermain untuk kami.” ucap seorang wanita yang dikenal sebagai nyonya Apple, ia adalah pengajar di kelas seni.

Yohan tersenyum kepada nyonyal Apple lalu pada murid perempuan yang mengikuti kelas seni.

“Lalu, bagaimana dengan para gadis? Apa kalian ada yang ingin dipertunjukkan juga?” tanya nyonya Apple pada deretan gadis yang pertama kali bergabung dalam kelas.

Tiba-tiba dari arah belakang terdapat tangan yang menjulur keatas sembari menyerukan namanya.

“Saya.”

Seluruh mata tertuju pada seorang gadis yang memiliki surai pirang seperti Yohan, wajahnya pun tidak ada bedanya dengan Yohan hanya saja ia mengenakan seragam perempuan dan memiliki rambut panjang yang bergelombang.

“Yohanna, silahkan.” ucap nyonya Apple senang.

Yohanna pun langsung mengambil sebuah biola yang tertata rapi bersama alat musik lainnya. Ia menghirup napas dalam lalu mulai mengisi ruang musik itu dengan permainan lembutnya.

Yohan menatap saudari kembarnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Inti dari tatapannya tidak menunjukkan bahwa ia tertarik dengan permainan itu dan lebih memilih untuk melihat rombongan kelas lain yang membawa berbagai macam alat berburu seperti panah, jebakan, bahkan pedang dari jendela kelas yang berada di lantai tiga gedung akademi. Terlebih di rombongan itu terdapat salah satu yang mencolok di matanya.

Siapa lagi jika bukan Frigid yang sudah berseragam berburu dan membawa busur dan anak panah di punggungnya.

“Eh!?” seru Yohan kaget hingga membuat permainan biola Yohanna berhenti dan membuat seluruh penghuni kelas menatapnya bingung.

“Ada apa Yohan?” tanya nyonya Apple.

Yohan langsung memutar pandangannya dan menatap seluruh teman sekelasnya lalu tersenyum canggung.

“Maafkan saya.” ucapnya sembari menyembunyikan fakta bahwa ia sedikit kaget karena terdapat beberapa murid perempuan meski perawakan mereka tidak seperti rata-rata murid perempuan lainnya.

Termasuk Ree di dalam rombongan kelas yang menuju ke gunung yang terletak di belakang gedung akademi dan diberi pagar cukup tinggi di sekelilingnya karena merupakan tempat berbahaya sumber dari sarang hewan buas.

“Bukankah keterlaluan jika kelas ini menerima murid perempuan?”

Alis Ree sedikit terangkat ketika mendengar beberapa bisikan di belakangnya yang tentu saja arah singgungan itu kemana. Memang benar berburu tidak banyak perempuan yang berani untuk ikut, namun bukan berarti hal itu tabu untuk dilakukan oleh perempuan.

“Apa mereka meremehkan kita?”

Ree mengalihkan pandangannya pada salah satu murid perempuan yang ikut kelas berburu bersamanya. Perempuan itu lebih tinggi dari Ree, memiliki bentuk tubuh tegap dan agak kekar serta gaya rambutnya sangat pendek dan terlihat seperti laki-laki. Ree pikir ia laki-laki pada awalnya karena seragam berburu mereka sama-sama mengenakan celana.

“Bagaimana menurutmu?” gadis itu melirik Ree tajam.

“Jika dihitung, jumlah murid perempuan di kelas ini tidak lebih dari lima. Hanya ada aku, kamu, dan dia.” tiba-tiba seorang gadis mungil muncul dari samping gadis kekar tersebut dan memberi komentar.

“Bukankah kita hanya ingin mendapat nilai tambahan di kelas ini?” tanya Ree.

Ketiga perempuan itu mengangguk setuju dengan perkataan Ree dan kembali hening.

“Mereka akan menjadi beban dan menyusahkan kita. Gunung ini bukanlah taman bunga.” sekali lagi komentar pedas berasal dari belakang dan membuat ketiga gadis itu kompak berhenti lalu memutar wajahnya untuk melihat mulut siapa yang berisik.

“Hey! Hey! Kamu sudah keterlaluan. Apa kamu buta? Apa benar di depanmu adalah perempuan? Lihat tubuhnya yang besar itu. Itu berarti hanya dua perempuan yang ada, sudah tugas laki-laki untuk melindungi mereka dari bahaya.”

Ree sedikit terkejut jika arah pembicaraan mereka akan lebih tajam dari sebelumnya. Bahkan tidak ragu untuk menyerang menggunakan kata-kata yang bisa jadi sangat menyakiti perasaan seorang perempuan.

“Antonio! Berhenti bicara omong kosong!”

Tiba-tiba Frigid dari arah depan muncul menengahi ketegangan yang sudah ada itu.

“Frigid, jangan bercanda. Aku hanya mengatakan apa yang ada di mataku.” jelas Antonio sembari menatap remeh perempuan kekar yang ada di depannya.

“Maglina Heavring.” ucap si gadis mungil menyebutkan sebuah nama dan pemilik nama yang disebutkan langsung maju melangkah menuju Antonio dan langsung menaruh anak panah pada busurnya lalu tanpa ragu mengarahkannya tepat di depan wajah Antonio.

“Apa yang kamu lakukan! Apa kamu tidak tahu siapa aku!” ucap Antonio sementara Maglina tidak peduli dan hanya mengeratkan tarikan pada busurnya.

Lalu melesat dengan cepat dan menjatuhkan sesuatu yang lewat di atas kepala rombongan kelas itu.

“Itu elang gunung ini! Bukankah burung itu sulit untuk diburu?!” seru salah satu peserta kelas setelah melihat apa yang telah panah Maglina jatuhkan.

Maglina pun langsung mendekatkan wajahnya pada Antonio yang sudah pucat pasi itu dengan senyum tipis di wajahnya.

“Aku sama sekali tidak perlu perlindungan dari siapapun.” ucap Maglina lalu kembali ke tempat ia semula.

“Profesor! Saya sudah dapat buruan! Apa saya boleh pulang!?” seru Maglina sembari menunjukkan hasil buruannya pada Millesimun.

“Nona Heavring, kita belum memulai kelas. Jadi simpan saja untuk bonusmu.” jelas Millesimun sembari melanjutkan perjalanan.

“Status keluargamu di sini tidak penting. Jika kamu bicara tidak penting seperti tadi, mungkin panah selanjutnya bukan kearah hewan di gunung ini, hihihi…” suara pelan gadis mungil itu lalu mengajak Ree untuk lanjut berjalan.

“Sialan…” ucap Antonio marah.

Tiba-tiba Frigid menepuk bahu Antonio dan menampakkan wajah yang sama sekali tidak nampak senang itu, hingga membuat seluruh orang yang memperhatikannya merinding ketakutan.

“Jika kamu melakukan hal yang tidak berguna, lebih baik berhenti dan pergi dari sini.” ucapan Frigid memang tidak setajam dengan apa yang dikatakan gadis mungil tadi, namun aura yang laki-laki itu bawa mampu membuat Antonio jatuh dan berlutut karena tak mampu.

“Apa kamu terkejut?” tanya Maglina pada Ree yang sejak tadi diam.

“Tidak. Aku hanya tidak ingin terlibat keributan dengan mereka. Namun bukan berarti tindakanmu salah. Jika aku mengalaminya tentu saja aku tidak akan mengarahkan panah itu pada elang yang tidak bersalah dan numpang lewat tadi.” timpal Ree.

Maglina tiba-tiba terkekeh.

“Kamu benar, namamu siapa? Aku Maglina Heavring dari akademi putri Southsea.” ucap Maglina.

“Dan aku adalah Liliana Flown dari akademi Brightwort.” lanjut si gadis mungil yang memiliki kata-kata pedas tadi.

“Ree Iunae Lumen, Akademi Litore.”

“Senang bertemu denganmu Ree.” ucap Maglina.

Ree tersenyum.

“Aku juga.”

Setidaknya Ree tidak sendiri di kelas berburu.

“Setiap kelompok akan berisi lima anggota. Kita akan membangun kemah disini, karena kelas berburu memiliki waktu khusus untuk bermalam. Karena kita terdapat beberapa murid perempuan yang mengikuti kelas ini, maka mereka akan satu tenda khusus meski berbeda kelompok.” jelas Millesimun.

“Jangan khawatir dengan pengawas, di sini saya juga bersama dengan professor Kyle. Beliau yang akan mengawasi para murid wanita.” ucap Millesimun sembari memperkenalkan rekan kerjanya yang nampak lebih tua dibanding Millesimun.

“Baiklah untuk kelompok pertama Antonio Carp, Maglina Heavring…”

“Apa?!”

Baru saja Antonio ingin protes tentang kelompoknya, ia sudah merasa tatapan Frigid dari arah sisi kanannya dan membuatnya bungkam seketika.

“Baiklah, selanjutnya kelompok dua. Frigid Ventfons Cali,…, Ree Iunae Lumen.”

Ree langsung tersadar dari lamunannya ketika namanya disebut dan bergabung bersama kelompok dua dan Liliana bergabung di kelompok lima bersama rekan berburu lainnya.

“Baiklah, kelompok sudah dibagi. Saatnya memberitahukan tugas apa yang akan kalian lakukan.” ucap Millesimun sembari mempersilahkan profesor Kyle untuk bicara.

“Terima kasih atas waktunya. Tugas kalian di kelas ini apa lagi jika bukan berburu. Gunung ini memiliki banyak fauna dan biasanya menjadi medan perburuan keluarga kerajaan setiap musim gugur. Karena ini baru awal musim semi, tangkaplah setidaknya seekor kelinci untuk pemanasan. Batas waktu kalian sampai besok siang. Jadi, telusurilah hutan ini sesuka kalian.” jelas profesor Kyle.

“Ah! Iya! Karena kita sama sekali tidak membawa bekal makanan, jadi pastikan kalian sendiri mencari makanan kalian.”

Meski dengan senyumannya yang manis, profesor Kyle tetap memberi tekanan pada semua muridnya.

“Tsk! Kenapa aku harus sekelompok denganmu.” sungut Antonio.

“Jika kamu tidak ingin, aku bisa meminta tukar.” balas Magnolia enteng.

“Antonio, jangan bertingkah.” pesan salah satu rekan sekelompoknya.

“Tsk! Dia lebih menyebalkan.” Antonio menatap punggung Frigid yang sedang sibuk membersihkan anak panahnya sembari berdiskusi dengan rekan sekelompoknya.

Maglina yang mendengar ikut menatap objek yang Antonio tatap karena ada Ree disana.

“Mari kita tangkap rusa jantan hidup-hidup.” ucap Liliana ketika ia dan kelompoknya sudah masuk ke dalam hutan.

“Eh? Rusa jantan? Bukannya itu terlalu sulit untuk di tangkap jika hanya berbekal panah? Minimal kita membutuhkan senapan.” timpal rekannya.

“Kita tidak akan melukainya sedikitpun.” ucap Liliana.

“Itu mustahil Lili.” Semua rekannya heran dengan ucapan Liliana. Bagaimana bisa berburu tanpa melukai?

Tiba-tiba Liliana berhenti melangkah dan menatap keseluruh sisi hutan yang mereka masuki. Hanya ada pepohonan rindang dan cukup lembab karena tertutupi dengan hutan pinus. Aroma lumut dan suara deru arus sungai yang cukup deras berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Ada apa Lili?” tanya salah satu rekannya menanyakan gelagat gadis bersurai hitam lurus sepinggang itu.

“Kita pasang perangkapnya di sini.”

 

 

To Be Continued.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!