Belasan tahun yang lalu
“Jadi gimana? Hari ini jadi ke rumah Dean kan?” tanya Toni menjajari langkah Langit di lorong kelas.
“Jadi. Pasti jadi. Dean kalo udah janji gak bakal ngeles. Lagian bokap-nyokapnya lagi nggak ada di rumah.” Langit berjalan menyampirkan ransel ke bahunya.
“Lo mau ke mana? Deannya mana? Rio?” tanya Toni tak sabar. Jam pelajaran sudah berakhir dan hari itu mereka sepakat untuk menonton film dewasa di kamar Dean demi mendalami ilmu menghadapi dunia pria sesungguhnya.
“Dean pacaran di kelasnya. Biasalah, kayak gak tau dia aja. Rio lagi di parkiran kayak biasa. Supir cewenya udah jemput, Rio cuma bisa tatap-tatapan aja di sebelah mobil Jenni." Langit berbelok menuju lapangan basket.
“Lo mau ke mana?” tanya Toni menghentikan langkahnya menahan lengan Langit.
“Gua main basket sebentar,” jawab Langit. “Lagian Dean juga masih enak-enakan di kelas kosong.” Langit kemudian berlari mencampakkan tasnya ke tepi lapangan basket dan langsung menyambut bola yang datang ke arahnya.
Langit menoleh pada Siska. Wanita manis namun tomboy yang juga hobi main basket, tapi tak hobi pacaran. Selagi menunggu Dean menyelesaikan acara rutinnya bersama Ara di kelas kosong, Langit memilih untuk menatap Siska dari dekat.
“Dih si anjing malah main basket,” maki Toni. “Entar kelamaan woi kalo nunggu Dean kelar! Sedot-sedotannya pasti lama!” seru Toni dari tepi lapangan basket.
“Ya udah! Lo obrak-abrik sana!” jerit Langit sembari mengoper bola pada Siska.
Toni berbalik dan setengah berlari menuju kelas Dean yang tertutup.
Sementara di dalam kelas.
“Mau ngapain sih bawa temen-temen ke rumah kamu? Mending belajar bareng aku,” rajuk Ara yang bersandar di dinding kelas dengan Dean yang duduk menghadapnya.
“Kita juga belajar kok, ada pelajaran yang harus kita berempat simak sama-sama. Aku kan udah sering bawa kamu ke rumah,” ucap Dean menggenggam tangan pacarnya.
“Tapi mama kamu makin benci sama aku karena kamu kecelakaan motor,” kata Ara memandang tongkat yang tersandar di meja tak jauh dari mereka.
“Namanya cowok keren, lukanya juga keren. Kecelakaan motor gede. Cium aku lagi dong, katanya sayang...” ucap Dean menarik lengan Ara untuk kembali mencium bibir gadis itu. Dua minggu yang lalu Dean kecelakaan motor seusai mengantarkan Ara pulang bermalam minggu. Tak bisa dihindari, Bu Amalia, mamanya semakin membenci Ara.
Ara kembali mengecup bibir Dean, tangan laki-laki itu terasa menekan punggungnya dan membuat tubuh mereka semakin rapat dan berhimpitan. Satu tangan Dean telah merayap dari paha dan sekarang memegang pinggang dan mengusap perutnya.
“Si anjing mesum! Kalo nggak mesum sehari rasanya nggak afdol. Kalo untuk urusan tegang, meski pincang, gak pernah jadi penghalang.” Toni menggedor pintu kelas dua kali kemudian langsung membukanya. Pintu ruang kelas hanya bisa dikunci oleh penjaga sekolah.
Dean hanya memanfaatkan pengaruhnya pada siswa lain untuk menjauhi pintu tiap ia berada di dalam kelas bersama Ara.
Mendengar gedoran dari luar, ciuman Dean terlepas.
“Udah nyet! Ayo pergi! Otak lo jangan mesum mulu.” Toni masuk ke kelas dan meraih tongkat Dean. “Buruan!” pekik Toni menyodorkan tongkat yang sudah dua minggu dipakai Dean sebagai alat bantu jalan usai kecelakaan.
“Aku balik dulu ya, kamu hati-hati di jalan.” Dean melepaskan cengkeramannya pada tangan Ara dan berdiri tertatih-tatih menuju Toni.
Ara memandang sebal pada Toni yang mengganggu waktunya bersama Dean. Ia selalu menanti kebersamaan setiap usai jam pelajaran. Mereka tak sekelas sejak memasuki tahun terakhir di sekolah itu. bermesraan seusai jam pelajaran sangat penting buat Ara. Di luar jam sekolah, susah sekali mengajak Dean keluar.
“Lo kok mandang gua gitu sih? Sebel ya diganggu?” tanya Toni tertawa.
“Diem lo!” maki Ara. Toni tertawa-tawa mengejek sambil meraih ransel Dean untuk dibawanya.
“Ya udah ayo keluar! Ngapain kamu di sini? Barengan aja,” pinta Dean menunggu Ara. Meski dengan wajah sebal, Ara melangkah mengikuti Dean.
Ara kembali melemparkan tatapan sebal pada Toni. Siswa ganteng berwajah blasteran yang dinilainya tak berperasaan. Berpacaran dengan Dean tak pernah membuat Toni menganggap Ara ada. Toni seolah hanya menganggapnya bagai hama.
Supir Dean telah menunggu di depan sekolah. Ara tak bisa ikut menumpang pulang karena segala tindak tanduk Dean akan sampai langsung ke telinga mamanya dengan bantuan supir yang bertindak sebagai agen.
“Rio! Udah! Buset! Apa cuma gua aja yang gak pernah suka terikat dengan satu perempuan?” umpat Toni yang kelimpungan mengumpulkan teman-temannya.
Rio terlihat melepaskan genggaman tangannya pada Jennie dan membuka pintu mobil jemputan gadis itu. Tindakan gentle yang penuh sopan santun.
“Lang! Buruan!” teriak Rio pada Langit yang segera berlari menyambar ranselnya di tepi lapangan dan melambaikan tangannya pada Siska.
“Gua udah kayak bapak-bapak yang ngumpulin anak TK mau dijemput,” keluh Toni menghempaskan tubuhnya di jok belakang.
“Lah lo buru-buru mulu tiap hari. Santai kek sekali-kali,” jawab Dean dari sebelah supir.
“Mami gua ribet. Gak boleh pulang lewat maghrib. Mana katanya hari ini weton gua lahir,” tukas Toni.
“Gua no komen kalo udah ngomongin weton. Barangnya ada De?” tanya Langit menepuk bahu Dean. Ia menanyakan soal DVD film dewasa yang akan mereka tonton hari itu.
“Ada, aman. Jangan sampe langsung praktek ya!” Dean melirik ke arah supirnya untuk memastikan bahwa pria itu tak mengetahui topik pembicaraan mereka.
“Ini yang baru kan De?” tanya Rio memastikan.
“Baru dong, liat aja entar.” Dean tak sabar untuk menunjukkan koleksi terbaru film dewasa yang akan ia tonton bersama ketiga orang temannya. DVD film itu ia dapat dari hasil memesan di sebuah situs belanja internasional dengan kartu kredit yang diberikan oleh papanya.
20 menit kemudian, mobil yang ditumpangi empat siswa SMA itu tiba di sebuah kediaman megah di kawasan Menteng. Dengan tertatih-tatih Dean berjalan lurus dan berbelok ke kanan menuju sebuah lift.
“Padahal pake tangga lebih cepet dan lebih sehat,” gumam Rio melihat angka lift dengan tatapan menerawang.
“Masalahnya temen lo pincang Yo!” kesal Dean.
“Udah diem, kita nonton dulu. Abis nonton kita makan.” Toni merangkul Dean dan Rio yang sering saling melontarkan ejekan.
Empat ransel langsung dicampakkan begitu saja di atas sebuah ranjang besar. Dean menghempaskan tubuhnya di sebuah sofa pijat besar dan memegang dua remote.
“Entar malem gua ada bahan nih!” kata Langit tidur menelungkup di atas ranjang sambil memeluk sebuah guling.
“Kalo udah nyampe rumah, itu terserah lo mau ngapain.” Toni yang juga menelungkup di sebelah Langit terlihat tekun melihat credit title film yang sedang diputar.
“DVD beginian ada berapa De? Gua mau pinjem,” ucap Toni.
“Ah, gak boleh. Kalo udah sama lo alamat gak balik. Entar kalo diambil mami lo, bisa nyampe ke telinga bokap gua." Dean mengibaskan remote di tangannya.
Rio mengambil sebuah gitar dan memangkunya. Tatapannya tak lepas dari televisi yang mulai menampilan wanita seksi berpakaian sangat minim. “Gede-gede ya...” gumam Rio.
“Seleranya Dean...” sahut Langit.
“Tapi nggak sesuai kenyataan. Pacarnya standar,” sambung Toni.
“Impian gua dapet yang gede, tapi perasaan tetap yang paling utama.” Dean mengedikkan bahu dan mengangkat alisnya dengan sombong.
“Lo ngapain mangku gitar?” tanya Toni menoleh pada Rio.
“Buat menghalangi anunya kalo berdiri biar gak keliatan,” jawab Dean santai.
Langit terkekeh-kekeh dengan mata tak lepas menatap film yang sudah masuk ke sesi pemanasan.
Sedang asyik-asyiknya mata mereka menatap sepasang artis yang sedang saling melucuti pakaian, tiba-tiba televisi padam.
“Eh! Kenapa nih?” tanya Toni menegakkan tubuhnya. “Mati lampu De?”
“Kayaknya iya...” Dean melemparkan remote DVD ke lantai yang dilapisi permadani tebal.
“Genset dong De... telfon ke supir lo minta nyalain genset. Rumah pengusaha segede ini kelewatan banget kalo gak ada genset,” dengus Langit ikut menegakkan diri.
“Entar lagi pasti dinyalain,” jawab Dean.
“Pulang aja deh... gua pinjem DVD-nya,” ucap Toni yang anak mami dan selalu khawatir jika pulang terlambat.
“Mau pinjem gimana? Itu DVD di dalem player-nya gak bisa dikeluarin. Bego dipelihara. Sapi gih dipelihara!” kesal Dean.
“Iya ya...” gumam Toni. “DVD-nya ketahan di dalem.”
“Iya Toni... iya...” balas Langit yang kembali merebahkan diri di ranjang dan mengatur posisi berbaringnya.
“Gua ngerjain ini dulu deh.... Besok dikumpulin ke guru,” timpal Rio menarik tasnya dan mengeluarkan buku matematika.
“Cemen banget mesti dikerjain sekarang. 15 menit juga selesai,” tukas Dean mencibir menatap Rio. Mereka berdua adalah murid sekelas. Ranking satu dan dua di kelas yang mereka dapat secara bergiliran.
Dean dan Rio sama pintarnya. Bedanya, Rio terlihat lebih rajin belajar dibanding Dean. Rio aktif di sekolah sebagai ketua berbagai organisasi termasuk ketua OSIS, sedangkan Dean aktif sebagai pelajar mata keranjang yang menggoda hampir setengah siswi perempuan meski pada akhirnya ia selalu kembali pada Ara.
Penantian mereka akan listrik yang menyala ternyata memakan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka semua tertidur di kamar Dean dengan posisi berserakan. Dean merebahkan posisi sofa pijatnya dan tertidur di sana dengan kaki cederanya yang diluruskan.
Rio tidur menelungkup di atas permadani dengan buku matematika sebagai bantalnya. Sedangkan Toni dan Langit tidur nyaman di atas ranjang besar Dean.
Pukul 5 sore, seseorang terlihat membuka pintu kamar Dean. Berpakaian rapi dengan sepatu kulit mengkilap melangkah masuk dan langsung menuju televisi dan DVD player yang memutar film panas. Adegannya sudah masuk ke bagian puncak dengan suara desah dan erangan memenuhi kamar itu.
Rupanya listrik telah menyala dan DVD itu berputar otomatis melanjutkan sendiri meski tanpa penonton.
“Dasar anak sekarang, dapet dari mana beli beginian.” Pak Hartono melangkahi Rio dan langsung menuju Dean yang berada di sisi kanan.
Dengan kedua tangan yang disilangkan di belakang tubuhnya Pak Hartono menendang sofa Dean lebih dulu.
“Bangun! Bangun!” seru Pak Hartono. Dean seketika gelagapan.
“Toni! Langit! Rio! Bangun!" seru Pak Hartono lagi.
Dean mendelik memandang papanya dan televisi secara bergantian. Tokoh utama di film itu sedang memekik karena mencapai puncak.
“Buset! Eh, Om!” pekik Toni mengusap wajah berkali-kali. “Dean bilang baru pulang besok,” kata Toni dengan bodohnya.
“Pa...” lirih Dean pasrah. Sebelah kakinya meraba-raba permadani untuk mencari remote yang tadi dicampakkannya.
"Kaget ya papa pulang lebih awal?" tanya Pak Hartono memandang tajam putranya.
Rio duduk meraup semua bukunya dan menjejalkan ke dalam ransel. Langit berpura-pura sibuk mengatur bantal dan guling di ranjang Dean.
“Jadi, sudah dapat pelajaran apa aja hari ini?” tanya Pak Hartono mengedarkan pandangannya berkeliling pada keempat remaja pria yang penuh rasa penasaran itu.
To Be Continued.....
Mari kita mulai berkenalan dengan empat laki-laki melalui potongan kisah masa lalu mereka.
Selamat mengikuti kisah Genk Duda Akut :*
******
juskelapa akan mengadakan event Give Away merchandise GENK DUDA AKUT untuk 3 podium utama pemberi hadiah.
Event Give Away gak akan lama masanya karena novel GENK DUDA AKUT juga bukan novel panjang.
Merchandise ini juskelapa buat sebagai simbolis dan kenang-kenangan dari 4 bapak-bapak ganteng.
3 tote bag yang disablon sublim eksklusif timbal balik. Diikuti sampai akhir periode yaaa...
Salam sayang dari juskelapa :*
Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre romantis-komedi 21+.
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
...______________________...
Suatu hari di kala usia mereka semua menginjak 33 tahun.
“Pokoknya harus temenin gua. Lo jalan aja terus, alamatnya gak masuk peta kayaknya,” ucap Toni melihat jalanan di depan.
“Lo yang jelas dong, tau alamatnya nggak?” Dean terus mengomel sambil menyetir dan menatap jalanan yang kanan kirinya dipenuhi pepohonan.
“Ini nyari alamat siapa sih, Ton?” Langit menatap Toni dari kaca spion tengah. Dahinya mengernyit butuh jawaban segera.
“Sabar …” sahut Toni.
“Gua jadi curiga. Jangan-jangan ….” Rio menatap jalanan yang semakin mengecil.
“Pasti Yo! Pasti!” sambut Dean dari depan.
“Nyesel gua bilang ke dia soal ketemu Wulan sama cowok lain. Pasti mau ke dukun!” maki Rio dengan wajah sebal.
“Udah cerai lama, nggak pernah mau usaha balikan. Tapi tiap denger Wulan jalan sama cowok lain, heboh sendiri.” Langit ikut menendang ujung sepatu Toni yang duduk di sebelah kirinya.
“Tadi bilang mau ke café temennya. Ada perlu sekalian nongkrong. Gua kira emang tema cafe-nya hutan lindung. Ngaku lo! Ini ke dukun, kan?” sergah Dean.
“Iya—iya … udah deh jangan ngomel aja. Gak bakalan lama,” jawab Toni dari sebelah Langit.
“Ngapain sih ke dukun? Mau dukunin Wulan lagi biar mau ama lo?” sinis Langit sambil memangku sebungkus snack berukuran besar yang belum dibuka.
“Ya enggaklah dukunin Wulan. Bisa murka, nyokap gue. Ini cuma perhelatan rutin buka aura, buang sial. Mami udah bikin janji. Gue sih cuma nurut aja.” Toni nyengir memukul lutut Langit.
“Wulan tau gak sih kebiasaan lo begini?” tanya Rio penasaran. Ia menoleh ke belakang sejenak untuk menatap Toni yang terlihat garang, tampan, modern namun terlalu sering mengucapkan ‘kata mami gue’.
“Ini bukan dukun. Mami gua bilangnya penasehat spiritual. Gak bakalan pake macem-macem,” ujar Toni.
“Kayak nggak punya Tuhan aja.” Dean mengerling Toni dari spion. “Jangan lama-lama ya … bini gua lagi sensi.”
“Ini lagi, kerjaannya nyetak anak terus. Yang tiga belum gede, udah bikin lagi. Rajin banget,” gumam Langit.
Dean terkekeh. “Ketimbang bini gua ikut-ikut kegiatan kampusnya. Untuk apa coba? Mending gua hamilin lagi. Biar dia diem di rumah. Gak apa-apa uring-uringan. Paling nitip beli ini-itu aja.”
“Laki-laki licik,” desis Langit dari belakang jok yang diduduki Dean. “Lakinya ceriwis, untung bininya nurut.”
“Itu namanya jodoh. Winarsih hanya tercipta untuk Pak Dean.” Dean terkekeh sebentar kemudian diam menatap jalanan yang semakin mengecil. “Ton! Liat peta lo! Kita di mana ini? Kok jalannya makin aneh.”
Dean menghentikan mobil di ujung jalan yang mengecil. Sisi kanan jalan dipenuhi pohon bambu dan sisi kirinya beragam pohon berbeda jenis. Matahari semakin condong tapi langit masih terang. Mata mereka tertuju pada pemandangan yang membuat kuduk merinding. Di ujung jalan terlihat beberapa batu nisan mencuat di antara ilalang.
“Itu kuburan Toni … Sebenarnya lo menjerumuskan temen-temen lo ke mana?” bisik Dean. “Serem ya …” sambungnya lagi.
“Peta—peta! Selama ada teknologi, semua pasti masuk akal!” pekik Rio mengambil ponselnya dari depan kantong mobil dan membuka aplikasi peta. Beberapa saat terpekur memandangi ponselnya, Rio menoleh Dean. “Gak ada sinyal …” bisik Rio membuat suasana mencekam.
Langit mengernyit kemudian menjepit snack di ketiaknya dan ikut membuka ponsel. Tak berapa lama ia juga bergumam. “Iya, gak ada sinyal …”
“Menurut petunjuk dari mami gue, kita udah nyampe. Ayo turun,” ajak Toni. Ia membuka pintu dan menurunkan kakinya yang terbalut sepatu berkilap menginjak tanah coklat yang disisipi rumput. Toni mengantongi ponsel setelah mengirim pesan pada ibunya.
“Yang bener aja Ton! Gak ada rumah di sekitar sini. “Kayaknya gak ada yang tingg—” Dean menoleh pada Toni.
BRAKK!!
Dean tersentak karena hempasan pintu yang dilakukan Toni. “Sialan … main turun aja.”
Toni dengan celana cokelat muda dan kemeja kotak-kotak kecil perpaduan cokelat hitam, berjalan ke depan mobil dengan dua ibu jarinya tercantol di saku belakang celana. Ia mendongak menatap langit yang sebagian besarnya tertutup dedaunan. Rambut dan bola matanya yang berwarna cokelat blasteran Indo-Amerika sebenarnya bisa membuat Toni lebih sadar akan tujuannya ke sana.
Rio berjalan memutari Toni. Pria bermata sipit yang biasanya paling logis dan pintar di antara mereka berempat, kini ikut terlibat mendatangi rumah ‘orang pintar’ lainnya. Rio sedang mengamati daerah sekitar sana sambil menyusun soal kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya tak perlu ia pikirkan. Sore itu setelan Rio santai. Meski begitu, jeans dan kemeja biru yang tergulung sampai ke siku tetap memancarkan kesan mahal pria itu.
Sedangkan Langit, berdiri di belakang Rio dan Toni. Menatap berkeliling sekilas kemudian kembali memusatkan perhatian pada kemasan besar snack penuh micin yang dikaguminya sejak tadi. Bapak muda dengan anak kembar itu, tadi baru saja pulang dari Bandung dan berhasil diculik dari kantornya. Langit dengan kemeja body fit berwarna hijau lembut dan celana chinos hijau lumut, terlihat masih sangat segar sore itu. Ditambah sepasang sepatu slip on menambah kesan penampilan santainya.
Dan Dean ….
“Kok belum turun sih dia?” tanya Toni.
“Biasa …” jawab Langit menoleh Dean yang baru melipat sun visor. Laki-laki yang mengemudikan mobil tadi, baru selesai bercermin mengecek rambut dan tampilannya sekilas.
Dean membuka pintu dan menjejakkan sepatu monk strap hitamnya ke tanah berumput. Tubuhnya masih terbalut rapi dengan setelan jas hitam beserta dasi. Dengan posisi rambut yang masih tegak dan satu tangannya menggenggam clutch cokelat, penampilan Dean lebih cocok pergi ke sebuah meeting.
“Si anjing bibirnya mengkilap, sebelum turun pasti disempet-sempetin pake pelembab bibir dulu.” Toni memandang sinis pada Dean yang berjalan dengan satu tangannya berada di saku.
Mereka berempat menatap jalanan kecil yang berbelok ke kanan. Sebelah kiri sebelum tikungan itu, memang ada pemakaman. Hanya beberapa batu nisan. Jadi kemungkinan besar itu adalah pemakaman keluarga.
“Keliatan serem, tapi setelah turun ternyata B aja tuh,” ujar Langit.
“Iya, biasa aja kok. Ini kita jalan kaki?” tanya Rio kembali menatap jalanan.
“Menurut lo?” sinis Toni.
“Udah—udah buruan. Entar kalo bini gue nelfon, gue tinggalin lo semuanya.” Dean melangkah mendahului teman-temannya.
“Siapa yang tadi bilang serem? Adem gini kok,” ucap Dean.
“Lo!!” jawab Toni, Langit dan Rio bersamaan.
“Oh,” sahut Dean.
“Iya ya … adem banget kayaknya tinggal di sini. Oksigen masih bersih. Faktanya di kota udara udah semakin tercemar,” kata Rio setengah memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Fakta—fakta … kebanyakan ngomong fakta. Kalo tinggal di sini, faktanya pasti lo langsung ngacir di hari pertama.” Langit berbicara sambil menepuk nyamuk di pipinya.
“Kok jauh banget sih? Gak jelas!” Dean menghentikan langkahnya menoleh sinis pada Toni. Kesabarannya mulai habis.
“Dikit lagi—dikit lagi.” Toni memegang bahu Dean dari belakang dan mendorong tubuh sahabatnya agar tetap berjalan.
“Eh, itu rumah. Bener Ton! Di kanan tuh,” Rio menunjuk sebuah rumah tak jauh dari sisi jalan namun terlindung dari pepohonan.
Serentak mereka mendekati rumah itu. Langit terlihat semakin gelap dan desing jangkrik mulai terdengar tajam menyerang telinga. Dean mengibaskan tangannya berkali-kali di depan wajahnya demi menghalau nyamuk hutan yang terbang rendah berniat mendarat.
“Gue duluan,” ucap Toni mempercepat langkahnya. Lalu ia merasakan ponsel di sakunya bergetar. Balasan pesan dari ibunya. “Lang, pegang dulu. Entar bacain,” seru Toni pada langit di belakangnya.
Langit berdiri tepat di belakang Toni, tangannya terulur mengambil ponsel Toni. Entah dari siapa snack yang sejak tadi ditimang-timang oleh Langit. Yang jelas bibirnya sedikit menarik gurat senyum tiap memandangi bungkusan itu.
Rio dan Dean ikut masuk ke teras rumah yang berpagar kayu sepinggang orang dewasa. Bagian depan teras yang rendah, membuat Toni dan Dean sedikit menunduk karena khawatir terbentur. Syukurnya mereka bisa berdiri tegak ketika tiba di depan pintu.
Sebelum berangkat, Toni sudah diingatkan ibunya akan aturan mengetuk pintu rumah itu. Tak ingin kelupaan, Toni meminta instruksinya kembali melalui pesan singkat.
“Emang gak serem sih, malah adem tinggal di sini.” Rio kembali memandang berkeliling.
“Iya, biasa aja.” Dean menjawab dengan wajah bosan.
“Bacaannya apa Lang?” tanya Toni pada Langit yang sedang memegang ponselnya.
“Ha? Bacaannya? Sobek di sini—” sahut Langit memandang bungkus snack-nya.
“Bacaan di pesan mami gue, Langit … bukan tulisan di bungkusan snack yang lo puja itu!” kesal Toni.
“Ha? Oh, sorry …” Langit membacakan sepotong perintah dari pesan yang dikirimkan ibu Toni melalui pesan singkat.
Dean dan Rio tertawa terbahak-bahak melihat wajah kesal Toni. Langit memasang wajah serius menatap layar ponsel sahabatnya yang sedang tersesat dalam dunia perdukunan. Namun, saat sedang mengomeli Langit, tiba-tiba ….
“Cari siapa?” Suara seorang wanita terdengar dari belakang punggung Dean.
“What?!” teriak Dean. Ia terlonjak dan mendorong punggung langit yang berada di depannya. Rio yang terkejut tak sempat menoleh dan ikut memeluk punggung Langit. Sedangkan Langit yang berdiri tanpa ancang-ancang karena satu tangannya memegang ponsel dan tangan lainnya masih memeluk snack secara tak sengaja menabrak Toni yang terlihat sedang merapal sesuatu.
Toni menabrak pintu rumah sampai menjeblak terbuka karena dorongan tiga orang temannya. Tanpa mantra-mantra, rumah seorang yang katanya penasehat spiritual berhasil mereka masuki.
To Be Continued
Daftar istilah yang digunakan :
“Cari siapa?” Suara seorang wanita terdengar dari belakang punggung Dean.
“What?!” teriak Dean. Ia yang sejak tadi mengatakan tempat itu tidak menyeramkan malah membuat tiga orang pria di depannya bergerak panik dan menabrak pintu rumah orang.
Toni yang berdiri paling depan berhasil membuat satu engsel pintu terlepas. Meski tak jatuh tersungkur, ia menoleh berang pada tiga orang pria yang langsung berdiri tegak dengan raut tak bersalah. Semuanya sedang membenarkan letak pakaian.
Dean yang berada paling belakang, sudah merapikan rambutnya dan menaruh satu tangan di saku celana.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Dean pada wanita muda yang menyapa mereka dari belakang tadi. Ia memang melemparkan pandangan sekilas. Tapi sudut matanya mampu meneliti apa yang dikenakan wanita itu secara menyeluruh.
Sudah bisa dimaklumi kenapa Dean refleks menoleh ke belakang dan merapikan rambutnya. Wanita yang menyapa mereka tadi cukup muda. Pasti anak penasehat spiritual ibunya Toni, pikir Dean.
“Iya, saya yang tinggal di sini. Itu pintunya ….” Wanita itu memandang daun pintu yang terkulai dengan posisi janggal.
“Aman—aman, jangan khawatirkan soal pintu itu.” Dean menarik garis senyum ‘pembunuh’nya.
“Mas yang benerin?” tanya perempuan itu.
“Tentu bukan, Mas yang bule itu yang bakal benerin.” Dean nyengir memandang Toni yang melemparkan tatapan kesal.
“Maaf Mbak, ini bener rumahnya Bu Asih? Saya diminta ke sini—”
“Bener. Ini rumah Bu Asih. Mari masuk,” ucap wanita itu memotong ucapan Toni.
“Buka nggak?” tanya Langit menunduk memandang sepatunya.
“Dibuka dong. Gak pernah tinggal di desa apa?” sergah Dean.
“Emang nggak pernah Nyong, lo yang sekarang jadi penduduk Desa Beringin kampung halaman bini lo.” Langit menyikut tubuh Dean yang baru saja melepaskan sepatunya dan masuk mengikuti Toni.
“Gue kira rumah dukun bakal serem,” bisik Dean di telinga Rio.
“Gak mungkin serem di depan. Pasti ada tempat khusus. Dan gue ingetin ama lo dari sekarang. Lo jangan ngomong yang macem-macem ama dukunnya. Eh penasehat spiritualnya maksud gue—”
“Dukun—dukun, tetep dukun namanya. Hihihi …” Dean terkikik-kikik memotong ucapan Rio. Ia memandang kasihan pada Toni yang mengekori wanita muda tadi masuk ke sebuah ruangan.
“Mulut lo De … jangan sampe kita diusir orang lagi karena mulut lo.” Langit ikut mengingatkan. Mereka semua sudah cukup kapok berurusan dengan orang karena Dean yang tak bisa menahan mulutnya.
“Iya—iya anjir … gue diem. Puas?” Dean menghentikan langkahnya di lorong rumah saat melihat Toni menghilang dari pandangan.
“Psst,” panggil Langit menunjuk ruangan tempat Toni menghilang. “Kita biarin aja dia sendirian?” tanya Langit.
“Berdua ama cewe tadi? Cewe tadi anaknya Bu Asih itu, kan?” tanya Rio memandang Dean.
“Ya gak tau, ya udah kita gak usah masuk. Kali-kali aja ada ritual pegang-pegang si Toni.” Dean kembali terkikik-kikik.
“Si anjing pikirannya,” omel Langit kemudian ikut terkekeh.
“Ya udah, kita jalan-jalan di luar aja. Biarin dia di dalem.” Baru saja Rio menggantung lengannya di bahu Dean, pintu kamar di belakang mereka di buka.
“Pssst! Mau ke mana? Temenin gue …” bisik Toni menjengukkan kepalanya keluar dari pintu.
“Ogah … lo sendiri aja deh,” balas Dean menggeleng.
“Please …” bisik Toni memelas kemudian ia mengintip ke dalam dan mengatakan, “Maaf, sebentar ya Bu ….”
“Ya udah deh, kita temenin. Kasian,” ujar Rio menarik lengan Dean yang masih terlihat ogah-ogahan.
Ternyata ruangan yang dimasuki wanita muda tadi hanya sebuah ruangan kosong dengan tikar plastik yang dibentang begitu saja. Tak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berempat dan wanita muda tadi yang duduk menempeli dinding di depan sebuah baskom besar berisi air.
Toni Duduk paling depan juga menghadapi baskom. Di belakangnya, Rio dan Langit yang masih memangku snack duduk menghadap punggung Toni. Sedangkan Dean, duduk bersila paling belakang sambil bersandar santai di dinding. Meski duduk paling belakang, posisi Dean yang menyerong ke kanan, lurus menghadap wanita muda tadi.
Beberapa saat duduk dalam diam, Rio dan Langit mulai gelisah sedikit menoleh ke belakang seolah mengecek Dean apakah masih berada di ruangan itu.
“Kita nunggu Bu Asih ya?” Akhirnya Dean buka suara. Ruangan itu terasa pengap dan cahaya lampu kuning yang seolah sengaja dinyalakan untuk menimbulkan kesan mistis mulai membuatnya bosan.
“Saya Bu Asih,” jawab wanita muda itu.
“Ha??!” Kecuali Toni, semuanya serentak bersuara. Toni sedikit memutar tubuhnya ke kanan dan melemparkan pandangan pada Dean yang berarti ‘diem lo’. Dean langsung mengatupkan mulutnya.
“Nama saya Asih, memangnya kenapa? Saya nggak cocok ya jadi dukun?” sinis Asih yang memang terlihat terlalu muda untuk profesinya itu. Ia berumur 20 tahun saat ditinggal mati ibunya dan mengambil alih profesi itu demi bertahan hidup dengan memanfaatkan pikiran picik manusia.
“Dukun? Tapi katanya—” Perkataan Dean terpotong seiring dengan Toni yang kembali menoleh ke belakang memelototinya. Dean kembali bungkam. Rio dan Langit ikut memutar tubuh ke belakang dan memberi tatapan ‘mulut lo!’.
“Saya langsung mulai aja ya …” ucap Asih mengambil sebutir jeruk purut dan mulai mengiris jeruk itu di atas baskom dan membuang irisannya ke atas air. “Ehem! Liat ini,” kata Asih menunjuk baskom.
“Ya?” kata Toni sedikit bingung ikut menatap potongan jeruk yang mengambang di dalam baskom.
“Mas ini sering bimbang. Ragu-ragu memutuskan segala sesuatu. Harusnya sebagai laki-laki Mas jangan kayak gitu. Bisa dilihat dari potongan jeruk yang menjauh ke sebelah sini,” ucap Asih menunjuk seiris jeruk purut di atas air dengan ujung pisaunya.
Dean menatap lurus ke arah Asih. Tak perlu dukun untuk menilai kalau Toni adalah pria yang sangat plin-plan. Kalau hanya ingin mendengar hal itu, Toni lebih tepat jika mendatangi mantan istrinya. Wulan pasti lebih tahu tingkah Toni yang menyebabkannya digugat cerai hanya dalam jangka waktu 6 bulan menikah.
“Dua irisan jeruk yang sebelah sini, artinya ada dua wanita yang menaruh hati dengan Mas Toni,” ucap Asih.
Yang benar saja. Lima irisan jeruk pun Toni pasti percaya. Toni terlalu ganteng kalau cuma ada dua wanita yang menyukainya. Dibayar hanya untuk mengambil kesimpulan dengan menilai hal-hal umum. Dean melirik Toni yang terlihat mengetukkan jarinya di atas lutut. Ekspresi tak sabar. Artinya, Toni sebenarnya tak percaya dengan hal yang baru saja dikatakan perempuan manis berkain sarung di depannya. Tak sengaja Dean mendengus keras.
Asih berhenti berbicara dan menatap tajam ke arah Dean. “Saya belajar hal kayak gini bukan asal-asalan. Mas jangan kayak gitu,” sinis Asih pada Dean.
“Eh apaan sih! Emang gue ngomong apaan?” sergah Dean tak terima. Ia yang sudah sangat gerah berada di kamar pengap itu berdiri mengendurkan simpulan dasinya.
Seketika Rio dan Langit juga ikut berdiri.
To Be Continued
Belum bosan, kan? Karena ini novel baru, juskelapa berusaha secepat mungkin memenuhi target up 20 bab agar lebih asik bacanya.
Nah, di bawah ini adalah cast visual novel Genk Duda Akut. Dan seperti yang pembaca tau dalam novel CINTA WINARSIH, juskelapa terlalu tinggi menggambarkan Pak Dean hingga sangat sulit menemukan cast yang tepat dan sesuai imajinasi. Karena dalam semua novel, biasanya cerita lebih dulu dibuat ketimbang nyari castnya. Setelah karakter terbentuk, baru heboh nyarinya.
Dan di bawah ini adalah, visual terbaik yang bisa menggambarkan Pak Dean, pria keturunan Jawa-Tionghoa dengan tinggi 184 cm berzodiak Taurus.
Visual Langit disarankan oleh Chida. Visual Toni disarankan oleh Gallon, dan visual Rio, disarankan oleh Miss Admin GC.
Jika tidak sesuai harapan, jangan diungkapkan yaaa... disimpan dalam hati aja. Wkwkwkk
Selanjutnya, imajinasi pembaca bebas. Karena ini hanya memenuhi permintaan bagi sebagian yang nanya soal visual.
Visual lainnya bisa diliat di Instagram @juskelapa_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!