Matahari sudah menunjukkan diri. Teriknya menyinari sejumlah anak-anak yang sedang bermain-main di taman. Di tengah-tengah taman itu tampak seorang anak kecil berlari kencang. "Tangkap aku pangeran!" kata anak perempuan itu dengan lantang.
Kaki-kaki kecilnya dengan lihai melewati beberapa batu. Ia berlari sekuat tenaganya sambil sesekali melihat ke belakang.
Tak jauh darinya terdengar seseorang bersuara keras. "Berhenti!" ujarnya. Dengan napas naik turun dan tersengal, seorang pemuda mencoba mengejar anak perempuan itu.
"Tuan Putri, berhentilah!" kata pemuda itu lagi dengan wajah merah menahan kekesalannya. Suaranya bercampur dengan suara-suara anak-anak kecil lain yang ada di sana.
Pemuda itu cukup kelelahan dan napasnya sudah terengah-engah. Lebih dari 15 menit ia menyusuri hampir semua jalanan di taman demi mengejar sang gadis kecil. Meskipun sudah menggunakan seluruh tenaganya, namun, hasilnya nihil. Gadis kecil itu benar-benar pelari yang handal. Usianya memang empat tahun di atas sang gadis dan juga ia memiliki kaki yang jauh lebih kuat dengan langkah yang lebar. Tapi kenyataannya pemuda itu tidak juga bisa menangkap gadis yang sangat nakal dan pengganggu serta suka mencuri permen miliknya itu.
Sang pemuda berhenti. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya. Ia menunduk dan memegang lututnya. Sesekali ia menyeka keringat yang terus menetes dari pelipisnya dan membasahi wajahnya. Rambut-rambut pendek yang tumbuh di kepalanya juga basah karena keringatnya yang banyak. Jika akan seperti ini kejadiannya, ia tidak mungkin menyetujui perkataan anak perempuan itu. Menyesal, mungkin kata itu yang bisa mendeskripsikan rasa yang ada di dalam hatinya kini.
Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat setelah melihat beberapa bangku taman di sebelahnya. Ia menjatuhkan bokongnya di salah satu bangku yang terbuat dari batu itu. Lalu, pemuda itu duduk santai sambil mengibas-ngibas kaosnya agar angin segar dapat menyejukkan tubuhnya yang basah karena keringat. Setelah mengatur napasnya, ia menyandarkan tubuhnya di sebuah batang pohon besar. Dedaunan rindang yang melindungi tubuhnya dari sengatan panas sinar matahari ditambah hembusan angin yang datang, memberi kesejukan tersendiri untuk pemuda itu. Ia memandang ke depan, ke arah anak-anak lain yang bermain di taman itu. Beberapa dari mereka juga bermain hal yang sama dengannya. Kejar-kejaran sambil saling mengejek. Pemuda itu tertawa kecil. Tampaknya bukan hanya dirinya saja yang mendapatkan penganiayaan dan kejahilan dari gadis-gadis kecil di sana.
Tak lama kemudian, perlahan-perlahan, rasa kantuk menyergapnya. Pandangan yang awalnya sangat terang, kini mulai buram dan gelap. Tak terasa ia memejamkan matanya.
"PANGERAN!!!" teriakan lantang di sebelah telinganya membuat pemuda itu tersentak. Ia terkejut dan nyaris saja terjatuh dari bangku batu itu.
"Hahaha!" Lagi, suara keras mengisi telinganya. Itu adalah suara dari gadis kecil yang ia kejar tadi. Bukan hanya membuatnya kelelahan, bahkan gadis itu berhasil membuat pemuda itu hampir terkena serangan jantung karena teriakannya. Bukannya merasa kasihan atau sekedar prihatin dengan keadaannya, sang gadis justru tertawa senang. Dan lihatlah tawanya, ia seperti sangat menikmati penderitaan pemuda itu. Huh! Gadis jahil itu memang harus diberi pelajaran.
Pemuda itu membenarkan posisi duduknya ke posisi semula. "Aku akan berhenti menjadi pangeranmu!" katanya sambil membuang muka ke arah lain. Ia melipat kedua tangannya di dadanya.
Sang gadis terkejut. "Kenapa?" tanyanya mendekati pemuda itu.
"Karena kau sangat nakal. Aku tidak mau bermain denganmu lagi."
"Tapi kau adalah pangeranku."
"Mulai hari ini aku berhenti jadi pangeranmu!" ujar pemuda itu tegas sambil terus mengabaikan wajah gadis itu.
"Hiks..." Suara tangisan secara tiba-tiba membuat sang pemuda yang awalnya membuang muka, kini mengalihkan pandangannya menatap sang gadis. Ia melihat kedua mata cokelat di depannya sedang berair. Pemandangan itu menyentak kesadarannya dan membuatnya terkejut. Ia menggaruk-garuk kepalanya bingung. Tampak sekali ia tengah kegelagapan dengan kondisi itu. Selama ini, selama tinggal bersamanya, gadis itu tidak pernah menangis. Setiap hari, hanya senyuman yang selalu mewarnai wajahnya. Dengan senyuman itu jugalah, membuat pemuda itu terpengaruh hingga rela menjadi pangeran milik gadis itu. Jangan sangka pangeran yang dimaksud bukannya pangeran yang baik hati seperti cerita-cerita dongeng tentang kisah kerajaan yang selalu mereka dengar dari Ibu Tere, namun pangeran yang mudah diatur dan tergila-gila pada sang putri. Kejam sekali memang imajinasi dari gadis kecil itu.
Tapi sekarang apa yang telah ia lakukan? Sang pemuda merasa bersalah telah membuat gadis itu menangis. Bahkan air mata yang mengalir deras dari kedua bola mata gadis itu sukses meluluh lantahkan perasaan pemuda itu.
Pemuda itu mendekati sang gadis. Ia mengulurkan kedua tangannya ke wajah gadis di depannya. "Hey, kenapa kau menangis?" katanya sambil menyentuh kedua pipi gadis itu yang basah.
"Kakak tidak mau jadi pangeran," jawab gadis itu dengan napas tersengal karena tangisannya.
Sang pemuda kembali terkejut. Masa hanya karena itu ia menangis? Itu tidak masuk akal dan menurutnya gadis itu sangat cengeng.
"Hhuaaaa," suara tangisan gadis itu kembali pecah dan kini semakin menjadi-jadi. Beberapa anak melihat ke arah mereka dan mencoba mendekat, namun, tatapan pemuda itu membuat mereka mengurungkan niat dan kembali ke permainan seru mereka.
Sang pemuda berusaha untuk bersabar. Ibu Tere sungguh keterlaluan karena selalu menitipkan gadis itu kepadanya. Ia memang kesal tapi ia juga senang dapat merawat gadis yang menurutnya adalah gadis tercantik yang ada di sana.
Dengan berat pemuda itu menghirup udara dan menghembuskan napasnya. Ia mengelus-elus kepala sang gadis dengan lembut dan pelan. Ia berkata lagi.
"Baiklah, baiklah. Aku akan menjadi pangeranmu. Sekarang berhentilah menangis ya," tawarnya.
"Kakak bohong!"
"Aku tidak bohong. Aku akan menjadi pangeranmu selamanya."
Gadis itu menghapus air matanya. Ia membenahi anak-anak rambutnya yang menutupi wajahnya dan dalam keadaan basah karena terkena air mata dan keringatnya. Ia menatap pemuda di depannya. "Kakak tidak akan marah jika aku nakal?"
Pemuda itu mengangguk. "Aku tidak akan marah," ujarnya pelan.
Kedua mata gadis itu tiba-tiba berbinar-binar. Ia mengangkat tangan kanannya. Ia menyodorkan jari kelingkingnya ke depan pemuda itu. "Janji?" ucapnya.
Sang pemuda itu mengikuti yang dilakukan gadis itu. Ia juga mengangkat tangan kanannya dan menautkan jari kelingkingnya dengan jari gadis itu.
"Janji," katanya kepada sang gadis.
Anak perempuan berusia 11 tahun itu tersenyum. Senyuman indah yang seakan-akan mengalahkan keindahan dari ratusan bunga yang bermekaran di taman itu. Sang gadis menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang berhias gelang sebagai petanda bahwa mereka telah melakukan kesepakatan.
"Aku akan memberitahu satu rahasia pada pangeran," ujar gadis itu sambil melepaskan tautan jemarinya.
Sang pemuda menanggapinya dengan polos. "Apa?" katanya.
Sebuah senyuman merekah dari gadis itu diikuti gerakannya yang sedikit menjauh dari sang pemuda. Hal itu justru membuat pemuda di depannya merasa curiga. Ia mengerutkan keningnya saat melihat gadis itu bertingkah seolah akan kabur darinya.
"Aku telah menghabiskan agar-agar yang Ibu Tere buat untuk kakak. Jadi, hari ini kakak tidak akan mendapat cemilan," katanya sambil terus menjauh.
"KAU!!!" teriak pemuda itu dengan sangat geram. Ia bangkit berdiri dan mencoba mengejar gadis itu. Tapi tampaknya terlambat karena gadis itu sudah berlari menjauh darinya.
"Tangkap aku pangeran!" ucap sang gadis. Ia menjulurkan lidahnya sambil tertawa dengan menampilkan pipinya yang bergelembung menggemaskan. Tawa dari sang gadis membuat pemuda itu tersenyum walaupun ia sedang kesal. Pemuda itu berlari lagi untuk mengejar gadis itu. Ia berteriak keras untuk memanggil nama gadis itu. "VALLERIE!!!"
XXXXXX
Vallerie Leontyne adalah nama gadis itu. Gadis yang berambut coklat dengan paras cantik. Kulitnya putih mulus. Senyumannya yang manis membuat ia begitu disukai oleh banyak orang. Tapi sayang, senyuman memikat yang dulu selalu menghiasi wajah Vallerie, kini perlahan-lahan hilang entah kemana.
Erie. Begitu orang-orang di sekitarnya memanggil gadis itu. Sejak kecil Erie harus merasakan kepedihan. Tanpa orang tua dan keluarga, membuat Erie diasuh dan dibesarkan di suatu tempat di mana semua anak memiliki nasib yang sama sepertinya. Tempat yang sederhana namun cukup untuk menampung banyak anak. Tempat itu adalah panti asuhan.
Awalnya Erie adalah anak yang sangat aktif dan lincah. Akan tetapi, beragam peristiwa yang menimpanya, akhirnya menghilangkan keceriaan gadis kecil itu. Hal itulah yang membuat beberapa orang tua yang datang ke sana untuk mengangkat anak, sama sekali tidak ingin memilih Erie.
Satu per satu anak-anak panti beransur-ansur pergi dari panti asuhan milik Ibu Tere. Tapi seberapa banyak pun anak yang telah diangkat oleh orang tua mereka, panti asuhan itu tidak pernah sepi. Anak-anak lain dari berbagai daerah akan selalu datang ke sana.
Hari silih berganti. Pada usia ke 12 tahun, ada sepasang suami istri datang ke panti asuhan Ibu Tere. Dari pakaian mewah dan cara berbicara mereka, Erie bisa menduga bahwa keduanya adalah orang berkelas, mungkin orang yang sangat kaya. Erie tahu, orang kaya seperti mereka pasti akan memilih anak-anak yang aktif dan baik agar bisa menghibur mereka. Dan pilihan itu tidak akan jatuh kepada Erie yang begitu pendiam.
Semua anak dipanggil satu per satu. Ibu Tere menjelaskan kepribadian dan latar belakang dari anak-anak yang ada di panti asuhan miliknya. Erie juga ikut mendapatkan giliran. Ibu Tere tidak menjelaskan banyak hal tentang Erie. Wanita paruh baya itu tidak tahu dari mana asal usul Erie. Dulu, ia menemukan Erie tergeletak di depan pintu rumahnya dengan sebuah amplop di saku jaketnya. Di dalam amplop itu berisi sepucuk surat yang bertuliskan sedikit deskripsi nama dan usia Erie beserta uang tunai berjumlah 100 USD.
Setelah mendengar ucapan Ibu Tere yang selalu didengarnya itu, Erie keluar dari ruangan pertemuan. Ia berjalan menuju taman belakang dan kembali duduk di depan sebuah kandang yang berisi seekor kelinci putih. Ia memberi makan kelinci itu dengan wortel dan beberapa dedaunan yang ada di dekat kandang.
"Erie!"
Sebuah suara rendah memanggil Erie. Itu adalah suara miliki Ibu Tere. Suara yang selalu menemani Erie setiap hari. Tidak hanya Erie, tapi semua anak di panti itu.
Tujuan Ibu Tere untuk memanggil Erie karena hanya anak itu saja yang tidak berada di sekitar ruangan pertemuan. Ibu Tere sangat mengenal Erie. Ia mengerti dengan sangat baik akan sikap Erie. Jika sehabis dipertemukan dengan calon orang tua angkatnya anak-anak lain akan menunggu di sekitar ruangan, tapi Erie tidak seperti itu. Bocah kecil itu akan keluar dan pergi ke halaman belakang untuk menemui kelinci putih di sana. Ia seolah tahu bahwa tidak akan ada orang tua yang mau mengangkatnya. Itulah sebabnya Ibu Tere saat itu sengaja tidak meminta pengurus panti lain untuk memanggil Erie karena ia tahu hanya padanya saja Erie akan patuh.
Erie menggenggam tangan ibu Tere dan melepaskannya ketika ia sudah sampai di tempat duduknya. Inilah saat-saat di mana Ibu Tere akan mengumumkan anak yang akan diadopsi oleh pasangan kaya itu. Erie awal bersikap acuh tak acuh. Akan tetapi, ketika nama Vallerie Leontyne disebut, seketika itu juga Erie terkejut. Itu adalah namanya, satu-satunya hal pemberian yang ditinggalkan oleh orang tua Erie.
Di tengah-tengah keterkejutannya, nyonya kaya itu tiba-tiba memeluknya. Dengan jarak sedekat itu, Erie dapat mencium wewangian segar dari parfum yang wanita itu gunakan. Aromanya seperti kombinasi aroma bunga lili, bunga sedap malam dan daun hijau. Aroma yang memberikan ketenangan ditambah dengan dekapannya yang lembut.
Hangat. Itulah hal pertama yang Erie rasakan ketika secara resmi menjadi seorang anak yang memiliki orang tua. Sebenarnya ada berbagai rasa yang bercampur saat namanya dipanggil oleh Ibu Tere. Ia merasa senang sekaligus sedih. Ia senang karena akan memiliki keluarga baru, tapi ia sedih harus meninggalkan teman-temannya, terutama meninggalkan Ibu Tere, wanita yang tidak hanya sebagai pengasuh, namun sudah Erie anggap sebagai ibu kandungnya.
Orang tua Erie sekarang adalah orang yang sangat kaya. Daddy dan mommy, begitulah ia memanggil ayah dan ibu barunya. Daddynya adalah seorang CEO dari perusahaan furniture Eduard Company. Perusahaan yang dinamai dengan nama asli pria itu, merupakan salah satu perusahaan besar di negara ini dan memiliki beberapa anak perusahaan yang menyebar di seluruh negeri. Sedangkan sang mommy adalah seorang mantan desainer yang beralih menjadi istri dan ibu rumah tangga yang sangat cantik dan baik setelah menikah dengan Eduard.
Erie amat beruntung karena mendapatkan orang tua seperti daddy dan mommynya. Mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka menyayangi Erie tanpa menganggap Erie bukan darah daging mereka sendiri. Malah, Tuan dan Nyonya Eduard mencurahkan semua perhatiannya kepada Erie. Erie memang bukan anak kandung dari keluarga Eduard, tapi Erie bisa berbangga diri karena keluarga barunya itu menyematkan nama Eduard di belakang nama Erie. Tidak hanya itu, Erie juga disekolahkan di tempat yang sangat baik dan mendapatkan beberapa tambahan pendidikan lain untuk membekali kehidupan Erie kelak.
Namun sayang, kebahagiaan Erie hanya berlangsung sebentar saja karena dua tahun kemudian, orang tuanya yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jerman harus mengalami peristiwa naas. Pesawat yang mereka tumpangi mengalami kebakaran mesin, jatuh dan meledak. Kecelakaan itu menewaskan semua yang ada di dalam pesawat, termasuk pilot, awak pesawat dan para penumpang.
Keluarga Nyonya Eduard menentang keras atas rencana pengangkatan Erie dan tidak pernah menganggap Erie sebagai bagian dari mereka. Sedangkan Tuan Eduard tak memiliki siapa-siapa kecuali seorang adik perempuan kandungnya. Hal itulah yang membuat Erie yang kembali menjadi anak yatim piatu, mau tak mau harus tinggal dan diasuh oleh bibinya, Betty Eduard. Wanita yang cantik namun sangat kejam.
By: Mei Shin Manalu
Malam pasca acara persemayaman terakhir Tuan dan Nyonya Eduard, Erie sama sekali tidak bisa tidur. Padahal, ia sudah memasang penutup matanya. Ia juga sudah membawa foto orangtuanya ke dalam kamarnya. Namun, semuanya tidak juga membuatnya bisa tidur dengan nyenyak.
Tak terhitung berapa kali manik mata Erie menatap kosong ke langit-langit kamarnya. Perasaannya begitu kacau. Kehadiran orang tua asuhnya dalam dua tahun ini membebaskan Erie dari rasa kesepian. Mereka menunjukan kasih sayang dan harapan kepadanya. Memberikan perhatian yang tiada batas. Tapi itu semua pergi begitu saja, seperti direnggut secara paksa.
Kehilangan orang yang dikasihinya lagi barang tentu mengejutkan Erie dan memberikan gadis itu kekosongan serta rasa hampa. Erie bersedih. Ia memimpikan ibunya yang selalu mengecup keningnya sebelum tidur. Ia merindukan senyuman ayahnya. Ia menginginkan lagi pelukan hangat dari keduanya.
Erie melepaskan penutup matanya dan menyibak selimutnya. Ia berjalan ke meja belajarnya. Di sana terdapat sebuah fotonya bersama kedua orang tuanya. Aneh sekali. Padahal foto itu baru diambil minggu lalu, saat mereka sedang berkebun di halaman belakang rumah. Erie masih tidak pecaya dengan kenyataan pahit ini. Rasanya bagaikan terbangun secara tiba-tiba dari mimpi yang begitu indah.
Erie terdiam sembari memandangi foto itu. Tak lama kemudian air matanya menetes dan membasahi kedua pipinya. Tangisnya semakin lama semakin deras. Segera Erie menutup mulutnya. Ia selalu menahan suara isakannya agar tidak terdengar bibinya. Aunty Betty -sapaan Erie padanya, tidak akan segan-segan menampar pipi Erie jika gadis itu menangis, sama seperti tadi saat acara pemakaman.
Bibinya tidak suka dengan Erie. Wanita yang berusia 30 tahun itu sangat membenci Erie yang tiba-tiba hadir dalam keluarga kakaknya. Bibi Betty merasa bahwa Erie adalah anak pembawa sial karena sejak pertama kali menginjak rumah kakaknya, masalah terus menerus datang ke dalam kehidupan mereka. Berulang kali Bibi Betty meminta Tuan dan Nyonya Eduard untuk mengusir Erie, tapi berulang kali juga mereka menolak.
Rasa benci Bibi Betty semakin hari semakin menumpuk sepanjang dua tahun ini. Dan puncaknya saat ia mengetahui bahwa kakak dan kakak iparnya tewas karena kecelakaan pesawat. Meskipun dikatakan kecelakaan, tapi Bibi Betty tidak percaya dengan hal itu. Menurutnya penyebab kejadian itu adalah kehadiran Erie di rumah itu. Dan dengan menggunakan alasan itu, Bibi Betty yang dengan rasa benci menggunung, sempat ingin mengusir Erie. Akan tetapi suatu alasan lain membuatnya mengurungkan niatannya. Jadi, mau tak mau ia harus rela membiarkan Erie tinggal dan mengurus rumah itu.
XXXX
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Tak terasa sudah lima tahun Erie hidup bersama adik dari ayahnya itu. Kini, usia Erie sudah menginjak 19 tahun. Ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dengan senyuman dan sorotan mata yang memikat.
Erie bangun pukul lima pagi. Itu adalah rutinitasnya hari lepas hari. Setiap hari ketika bangun tidur, Erie buru-buru menyibak selimutnya, merapikan ranjangnya dan berjalan menuju meja belajar yang masih ada di kamarnya. Ia selalu menjadi tidak sabar ketika ingin melihat foto ayah dan ibunya yang ada di atas meja belajarnya. Wajah mereka yang tersenyum memberikan semangat bagi Erie. Gadis itu memejamkan matanya dan melipat tangannya.
"Daddy, Mommy, hari ini aku akan menjadi gadis yang baik," janjinya. Lalu ia membuka matanya dan mengecup foto yang berlapis kaca itu.
Saat ini Erie sudah terbiasa. Tidak ada lagi air mata yang menetes kala ia melihat foto daddy dan mommynya itu. Ia telah mampu mengendalikan keadaan karena rasanya sudah terlalu lama ia terlarut dalam kesedihan. Toh, keadaannya akan terus seperti ini dan tidak akan berubah.
Usai menyapa kedua orang tuanya, Erie bergegas menuju ke dapur. Ia melirik jam yang ada di ruang makan. Gawat, sudah pukul setengah enam! Dengan cepat Erie memulai kegiatan memasaknya. Pertama, ia menyiapkan segala bahannya terlebih dahulu. Jika ada bahan makanan atau kebutuhan sehari-hari yang habis, ia akan mencatatnya dan menempelkannya di kulkas. Bibinya akan membawa kertas itu dan menyuruh orang untuk membelinya nanti. Lalu, ketika semua makanan yang ia masak sudah siap, Erie berjalan menuju kamar orang tuanya yang kini digunakan oleh bibinya.
“Aunty, sarapannya sudah siap," ujar Erie dari balik pintu. Karena tak mendapatkan jawaban, Erie menggedor dan berseru lagi.
“Aunty, sarapannya---"
"Berisik!" teriak Bibi Betty memotong ucapan Erie dari dalam pintu.
Erie menghembuskan napasnya dan melenggang pergi. Ia lega sudah menyiapkan sarapan dan membangunkan bibinya tepat waktu, karena kalau tidak, wanita itu akan mengurung Erie di dalam kamar selama sehari tanpa makan dan minum.
Erie masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia tidak bisa bertatapan muka dengan sang bibi. Wanita itu berkata bahwa jika ia melihat wajah Erie, maka kesialan akan segera menimpanya. Erie adalah gadis pembawa sial. Itu terus yang dikatakannya dan Itu juga yang menyebabkan wanita itu sangat kesal saat melihat Erie dan selalu bisa memancingnya untuk memukul Erie.
Tidak apa-apa. Erie sudah bisa menerima keadaannya. Ia tidak pernah mengeluh meski hampir setiap bertemu dengan bibinya Erie selalu mendapat cacian dan makian bahkan juga pukulan fisik. Erie tak pernah berontak dan ia juga tidak bisa keluar dari rumah, meskipun rumah itu memang bukan tempat terbaik untuk Erie.
Setelah mandi, Erie duduk di depan meja belajarnya. Ia mengambil sebuah buku tentang bisnis milik ayahnya. Erie membaca buku itu dengan seksama. Jika ada bahasa atau pembahasan yang tidak dimengerti, Erie mencatatnya, mengumpulkannya dan menanyakannya kepada Pak Robbert, pria yang merupakan sekretaris sekaligus pengacara perusahaan Eduard Company.
Tidak, bukan Erie yang menghubungi Pak Robbert. Erie tidak pernah diizinkan keluar rumah. Ia juga tidak memiliki alat komunikasi untuk berbicara kepada orang lain. Pak Robbert sendirilah yang datang ke rumah itu atas permintaan bibinya. Biasanya dua minggu sekali, atau yang paling jarang sebulan sekali.
Itu aneh memang. Walau Bibi Betty adalah wanita jahat, tapi ia tidak pernah melarang Erie membaca buku-buku milik kakaknya atau memarahinya saat Erie bertanya seputar bisnis kepada Pak Robbert. Bahkan Bibi Betty juga sering kali memaksa Erie untuk mendengarkan laporan yang disampaikan Pak Robbert kepadanya. Tak jarang Bibi Betty juga menyuruh Erie membereskan beberapa dokumen perusahaan yang ia bawa pulang.
Sudah satu jam Erie habiskan di dalam kamar. Kini ia harus keluar kamarnya untuk membersihkan rumah dengan dua lantai itu. Erie mengendap-endap, ia melirik ke arah ruang makan untuk memastikan bahwa bibinya sudah pergi bekerja. Ketika melihat makanan di atas meja sudah habis, Erie baru bisa bernapas lega. Sempat terbesit di benak Erie untuk berjalan ke arah pintu keluar, siapa sangka jika bibinya lupa mengunci pintu itu. Tapi beberapa detik kemudian, Erie menggelengkan kepalanya. Mana mungkin kan?
Erie kembali ke pekerjaannya. Tidak butuh waktu lama baginya agar mampu hidup mandiri seperti sekarang. Setiap hari ia belajar. Bukan hanya tentang pelajaran yang tidak ia dapat karena sekolah formalnya dihentikan oleh Bibi Betty, melainkan juga tentang mengurus keperluan rumah.
Memasak contohnya. Bibinya hanya mengizikan Erie untuk belajar dari asisten rumah tangga selama sebulan. Setelah itu, bibinya memecat orang itu. Mulai saat itu Erie lah yang memasak setiap hari, baik itu waktu sarapan, makan siang dan makan malam, meskipun Erie tidak pernah tahu kapan bibinya akan berada di dalam rumah. Sama halnya dengan pekerjaan rumah lainnya yang setiap hari harus dikerjakaan Erie seorang diri tanpa pertolongan siapa pun.
Memasak sudah, membersihkan dapur juga sudah dilakukan. Erie melanjutkan pekerjaannya dengan membersihkan perabotan rumah yang ada di ruangan keluarga. Ia memulainya dengan membersihkan TV. Dulu ia sering menghabiskan waktunya di sana bersama ibunya sambil menonton TV. Namun kini, TV LED dengan 55 inch itu bagi Erie hanya sebuah pajangan. Ia tidak pernah bisa menggunakannya lagi karena bibinya menggunakan kata sandi khusus untuk mengaksesnya. Begitu pula dengan komputer dan laptop yang ada di rumah itu. Dengan artian, Erie tidak dapat mengetahui tentang dunia luar kecuali melalui jendela rumah, Pak Robbert dan buku-buku daddynya.
Saat bertanya kepada sang bibi tentang alasan pengurungannya, wanita itu berkata, "Untuk apa kau bertanya? Dunia di luar sana sangat jahat. Tidak akan ada yang peduli denganmu. Bersyukurlah kau bisa punya tempat tinggal dan hidup di sini."
Begitu ucapnya berulang-ulang. Kalimat-kalimat kejam dan memprihatinkan itu membuat Erie berpikir, mungkin memang rumah ini adalah tempat teraman dan ternyaman untuknya.
XXXX
"Erie!" Sebuah panggilan menggema di seluruh penjuru rumah. "Erie! Cepat kemari anak sial!" teriak orang itu lagi yang mengusik telinga Erie yang tengah membaca sebuah majalah pakaian milik ibunya.
"Iya aunty!" sahut Erie. Ia meletakkan majalahnya dan langsung berlari menuju sumber suara.
"Ada apa aunty?" tanya Erie dengan napas tersengal akibat tergesah-gesah menuju ke pintu depan. Ia melihat penampilan bibinya yang berantakan. Wanita itu tak sendirian. Di sampingnya ada seorang pria yang sama berantakannya sedang memapah sang bibi. Dari tubuh keduanya tercium aroma alkohol yang sangat menyengat.
"Bawakan kami minuman ke kamar!" perintah Bibi Betty kepada Erie. Kemudian ia mengelus pipi pria di sampingnya. "Darius, ayo kita ke kamar," katanya pada pria itu. Wanita itu menoleh lagi ke arah Erie. "Dan kau, jangan sampai kau tidak membawa minuman kami!"
Tanpa berpikir panjang, Erie langsung menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan. Sekilas ia melihat bibinya dan pria barunya itu menaiki tangga menuju kamarnya. Bibinya melangkah dengan terhuyung-huyung. Beruntung pria di sampingnya tidak terlihat begitu mabuk sehingga masih sanggup memapah tubuh bibinya.
Erie berjalan ke dapur untuk melakukan apa yang diperintahkan. Ia berjinjit dan membuka lemari kaca yang berada di atas. Ia mengambil sebuah botol dari sana. Lalu ia membuka tutup botolnya dan terciumlah aroma menyengat dari sana. Wine. Itulah minuman yang dimaksud oleh Bibi Betty.
Setelah menuangkan minuman itu ke dalam dua gelas dan meletakkan botolnya di atas nampan, Erie melangkah menaiki anak tangga menuju ke kamar bibinya. Ketika hendak mengetuk pintu, Erie mendengar suara erangan dari dalam sana. Walau hampir tiap malam ia mendengar suara-suara itu dari sana, tapi Erie tetap tidak terbiasa. Bulu kuduknya tetap berdiri dan ia selalu merasa takut.
Bibi Betty adalah wanita yang sangat menyukai one night stand dengan para CEO atau pengusaha yang menjadi partner kerjanya. Itu juga yang menjadi alasan Erie selalu mengurung diri di dalam kamarnya agar tidak melihat pemandangan atau mendengar hal-hal menjijikkan dari sana.
Dengan mengumpulkan semua keberaniannya, Erie mengetuk pintu.
"Aunty, aku membawa minuman," serunya.
"Maaa.. aaghh.. suukk.." suara pria yang sedikit mengerang menjawab perkataan Erie.
Gadis itu membuka pintu. Ia langsung melihat pria tadi duduk di atas ranjang dengan bertelanjang dada. Namun, Erie tidak melihat bibinya. Mungkin ada di dalam kamar mandi karena terdengar suara gemercik air dari sana.
Erie membawa nampan di atas tangannya masuk ke dalam. Aroma alkohol yang kuat menjadi wewangian di dalam kamar itu. Erie tak menyangka kamar daddynya yang dulu indah, sekarang menjadi saksi percumbuan panas adik perempuannya bersama para lelaki yang berbeda hampir tiap malam.
Erie hendak menaruh nampan itu di atas meja di dekat sofa, tapi satu suara menyergahnya.
"Mmmh... Tunggu!" Suara yang dibarengi desahan itu terdengar lagi. "Letakan di sini," katanya seraya menunjuk nakas yang ada di sebelahnya.
DEG
Erie merasakan sesuatu yang aneh. Gelagat pria itu tampak mencurigakan. Hatinya memperingatkan seperti ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi kepadanya.
"Kau tidaaakk mendengar? Argh, apa kau butuh auntymu untuk memerintahkanmu?" racau pria itu sambil menyeringai.
Erie tidak ingin ke sana. Tapi ia juga takut mendapatkan hukuman dari bibinya. Ia tidak mau mendapatkan cambukan lagi seperti bulan lalu.
Dengan ragu Erie mendekati nakas. Saat melewati pria itu, ia merasa bulu kuduknya semakin berdiri yang pertanda tidak baik untuknya.
Secepatnya Erie meletakkannya nampannya. Saat hendak pergi dari sana, tiba-tiba tangannya dipegang oleh pria itu. Erie yang terkejut berusaha melawan dan menjauh. Namun usahanya gagal, dalam sekejap Erie sudah berada dalam dekapan pria itu.
"Kau cantik. Badanmu juga bagus.. Rasanya aku ingin mencicipi tubuhmu," kata pria itu sambil mencoba mengelus-elus punggung Erie.
Erie berteriak, ia memandang pintu kamar mandi. "Aunty!" seruan Erie dengan suara gemetar itu langsung dihentikan oleh pria itu. Ia membungkam mulut Erie dengan menggunakan sebelah tangannya. Sedangkan sebelah tangannya lagi meneruskan aksinya.
Dengan wajah semakin pucat, Erie memohon di dalam hatinya agar bibinya segera keluar. Tapi itu hanya harapan belaka. Bibinya tak kunjung keluar dan itu semakin membuat pria itu tersenyum senang.
"Bibimu tidak dengar ya?" kata pria itu dengan nada mengejek. Tangannya mulai bergerilya di paha Erie dan membuat gadis itu berkeringat dingin. Sekuat tenaga Erie memberontak. Ia mengumpulkan tenaganya. Dengan sekeras mungkin Erie menginjak kaki pria itu. Setelah dekapan pria itu melonggar, Erie menggunakan celah itu untuk meraih botol wine yang ia bawa tadi dan memukul pria itu dengan keras. Membuat pria itu meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang berdarah.
Erie secepat mungkin pergi ketika melihat ada kesempatan untuk kabur. Ia berlari menuju kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Erie bersandar di depan pintu kamarnya. Air matanya tiba-tiba menetes. Tubuhnya berguncang hebat. Ia berjalan menuju kamar mandi. Perutnya terasa mual dan ia langsung memuntahkan isinya di dalam closet. Lalu ia berjalan ke bawah shower, menghidupkan shower itu dan membiarkan tubuhnya yang masih menggunakan pakaian lengkap, basah karena terkena air. Ia mengambil sabun dan menggosok-gosong tubuhnya. Ia merasa jijik dengan aroma pria itu yang menempel di tubuhnya.
Cukup lama Erie menangis di bawah pancuran air itu. Isakkannya terdengar begitu pilu. "Tolong, siapa saja, selamatkan aku! Tolong bawa aku keluar! Bawa aku keluar dari rumah ini!" teriak Erie sambil menangis.
XXXXXX
Jangan lupa berikan like dan comment kalian untuk perbaikan novel ini... Danke ♥️
By: Mei Shin Manalu
Erie mengunci diri selama sehari. Ia tidak menceritakan peristiwa semalam kepada siapa-siapa. Juga kepada bibinya ia merahasiakan kejadian itu. Lagi pula percuma ia menceritakannya. Justu bibinya akan menggunakan kejadian itu untuk menyebutnya sebagai perempuan perayu.
Pagi itu, Erie dapat mendengar teriakan dan makian kencang dari Bibi Betty. Ia menggedor kamar Erie dengan kencang karena amarahnya. Erie tidak menyiapkan sarapan seperti biasa dan gadis itu berani tidak menjawab panggilannya. Jika saja hari ini ia tidak ada rapat penting, Bibi Betty tidak akan membiarkan Erie selamat begitu saja.
Erie takut. Ia khawatir pria itu masih ada di sana. Ingin rasanya Erie melarikan diri dari sang bibi. Tapi ke mana? Jangankan tempat tinggal, uang saja ia tidak punya. Ia memang bisa mengambil beberapa barang berharga milik Bibi Betty. Setelah itu apa? Tidak ada jalan keluar dari rumah terkunci itu. Belum lagi ucapan-ucapan Bibi Betty tentang dunia di luar rumah yang begitu kejam. Tak ada jaminan bahwa orang-orang di luar sana jauh lebih baik dari bibinya dan laki-laki brengsek itu.
Mengurung diri dengan menatap sinar matahari dari jendela yang berteralis itu menjadi kegiatan Erie sepanjang hari, dari pagi hingga sore. Tidak ada niatan baginya untuk keluar dari kamarnya. Rasa lapar dan hausnya telah hilang entah kemana. Gairahnya untuk membaca juga ikut pergi.
TOK TOK TOK!
"Nona Erie, saya Robbert."
Erie mengalihkan pandangannya dari jendela. Rasa bingung dan ragu hinggap di hatinya. Benarkah itu suara Pak Robbert? Tapi itu bukanlah jadwal Pak Robbert untuk datang. Lalu, suara siapa itu?
"Nona Erie, bisakah Anda membuka pintu?"
Benar! Itu adalah suara Pak Robbert. Erie bergegas berjalan menuju pintu kamarnya. Ia berpikir mungkin saja ia bisa meminta bantuan pria paruh baya itu untuk keluar dari rumah bibinya.
"Pak Robbert," kata Erie membuka pintu kamarnya.
Pak Robbert menunduk hormat. Hanya laki-laki itu saja yang menganggap Erie sebagai manusia.
"Apakah Anda baik-baik saja?" ucapnya setelah melihat tubuh Erie yang sekarang semakin kurus dan wajahnya yang juga terlihat pucat.
"Apakah aku terlihat baik, Pak?" tanya Erie. Pria berusia 53 tahun itu tidak bisa berkata-kata. Ia tahu apa yang dialami Erie. Tapi ia tidak punya kuasa untuk membebaskan Erie sekarang.
"Pak, apakah saya bisa keluar dari rumah ini?" Erie berkata lagi. Ia menatap Pak Robbert yang diam tertunduk. Beberapa saat kemudian, barulah Pak Robbert mengangkat suaranya.
"Nona Erie, sebenarnya---"
"Apakah perusahaan mengajimu untuk mengurusi anak sial itu, Pak Robbert?" ucap Bibi Betty memotong pembicaraan Pak Robbert dengan Erie.
"Maafkan saya, Nona Betty," ujar Pak Robbert meminta maaf.
"Cepatlah. Kita tidak punya waktu bermain-main. Dan kau!" kata Bibi Betty lalu menunjuk Erie.
"Kau ikut rapat kami. Jika kau membantahku lagi, aku pastikan kau tidak akan pernah keluar dari kamar itu hidup-hidup!" perintahnya tegas lalu berjalan pergi.
"Mari Nona, sebaiknya kita tidak membantah beliau," ajak Pak Robbert pada Erie. Gadis itu hanya mengangguk dan berjalan mengikuti Pak Robbert.
Pak Robbert dan Bibi Betty memulai rapat mereka di ruang tamu. Erie memang tak banyak mengerti, tapi dari yang disampaikan Pak Robbert, Erie tahu bahwa ada masalah serius dalam perusahaan.
"Brengsek!!!" ucap Bibi Betty sambil melemparkan gelasnya ke lantai hingga menimbulkan suara pecahan yang keras. Ia tidak bisa menahan emosinya saat mengetahui produsen kayu nomor wahid di negara itu enggan memasok kebutuhan bagi perusahaannya. Padahal, bagi perusahaan mebel seperti perusahaannya, kayu merupakan kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi.
"Apa yang membuatnya memutuskan kerja sama dengan kita?" tanya Bibi Betty pada Pak Robbert.
"Saya tidak mendapatkan keterangan yang jelas Nona. Tapi kita harus mencari produsen lain."
"Tidak semudah itu Pak Robbert. Setidaknya butuh waktu tiga bulan untuk menyusun kerja sama baru, sedangkan cadangan kayu kita hanya bertahan untuk sebulan saja."
Bibi Betty berdiri dari sofa. Ia berjalan sebentar lalu berhenti dan berbalik. Ia menghadap Pak Robbert sambil menatap wajah lelaki itu.
"Sepertinya aku harus memohon pada Tuan Muda."
Tuan Muda? Erie mencoba mengingat nama produsen yang tengah diperbincangkan oleh Pak Robbert dan bibinya. Kini ia ingat siapa Tuan Muda yang dimaksud. Tuan Muda itu pernah ke rumah mereka dan melakukan kekerasan pada Bibi Betty. Bahkan ia juga beberapa kali menipu bibinya.
"Tapi aunty, bukankah pria itu hanya memanfaatkanmu?" suara Erie tiba-tiba yang langsung dibarengi oleh tatapan dari Pak Robbert dan Bibi Betty.
Pak Robbert menatap Erie sambil menyesalkan mengapa gadis itu berbicara padahal mereka tahu betul bahwa bibinya tidak suka Erie berkomentar.
"Apa kau bilang?" kata Bibi Betty berjalan mendekati Erie.
PLLAAAKK
Sebuah tamparan keras menyentuh pipi Erie. "Apa aku meminta pendapatmu? Bahkan menghitung anggaran bulan ini saja kau salah," kata Bibi Betty dengan kejam dan penuh kebencian. Tamparan itu perlu ia lakukan agar Erie tidak lancang terhadapnya.
Erie terdiam. Ia tadi hanya spontan berucap. Ia tahu bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Tak seharusnya ia ikut campur masalah bisnis seperti itu.
"Kau tahu apa tentang perusahaan? Kau itu anak sial! Jika saja kau tidak ada, pasti semua masalah ini tidak akan muncul. Jadi semua adalah salahmu. Sekarang berani sekali kau berkomentar atas tindakanku. Cih, kenapa tidak sekalian saja kau mati bersama dengan kakakku yang bodoh itu?!!!"
Erie menggenggam erat tangannya kesal. Hinaan yang ia dapatkan dari bibinya itu sungguh keterlaluan dan membuat Erie marah.
Bibi Betty mengangkat dagu Erie. "Kenapa? Kau merasa kesal, hhmmm? Dengarkan ini anak sial! Jika kau hanya menjadi perempuan yang lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa, semua orang akan menghinamu seperti ini." Bibi Betty melepaskan tangannya. Ia beranjak dari tempat itu tanpa berkata apapun lagi.
XXXXX
Eduard Company benar-benar dilanda krisis. Bibi Betty yang merupakan puncak pimpinan menjadi sangat sibuk dan jarang pulang beberapa hari belakangan. Terakhir kembali ke rumah itu adalah dua hari yang lalu.
Namun, tiba-tiba pada hari ini, Erie yang sedang membersihkan ruang tamu dikejutkan dengan suara pintu depan yang terbuka. Melihat hal itu, dengan buru-buru Erie berlari menuju kamarnya. Dari langkah kakinya, gadis itu bisa menebak bahwa Bibi Betty sudah kembali ke rumah.
Sebenarnya Bibi Betty hanya pulang beberapa menit untuk membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya. Ia harus cepat-cepat kembali ke kantor dan pergi mengunjungi rekan bisnisnya. Bibi Betty sibuk dengan proyek ini dan itu. Semua proyek dikerjakan hanya untuk menyelamatkan perusahaan milik kakaknya.
Jika boleh jujur, Bibi Betty adalah orang yang bertanggung jawab atas perusahaan Eduard Company. Ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan lebih dari dua ribu orang pegawainya. Terkadang, rasa letih dan lelah sering tak dipedulikan wanita itu. Apapun ia sanggupi demi perusahaan. Bibi Betty juga termasuk orang yang menyelesaikan semua masalah dengan tangannya sendiri. Selain berkonsultasi dengan Pak Robbert, tak ada satupun yang tahu bagaimana cara Bibi Betty menyelesaikan masalah di kantor.
Erie menempelkan telinganya di pintu. Ia mencoba mendengarkan apakah bibinya sudah keluar dari rumah. Ketika tak mendengar suara berisik, Erie membuka pintunya. Namun, ia tersentak karena terkejut melihat Bibi Betty yang berada di depan pintunya.
"Astaga!" ujar Erie seketika. Ia memegang dadanya untuk menenangkan jantungnya yang nyaris saja copot. Sesaat kemudian ia tersadar. Ia memandang wajah Bibi Betty yang menatapnya dengan tajam.
"Ikut aku sekarang," kata Bibi Betty. Belum sempat Erie bersuara, Bibi Betty kembali berkata. "Jangan banyak bertanya. Ikut atau mati!" tegasnya.
Tubuh Erie merinding seketika. Gadis itu tidak ingin mati mengenaskan jadi ia memilih untuk mengikuti Bibi Betty. Erie melangkah keluar rumah. Itu adalah langkah pertamanya di luar setelah lima tahun terkurung di dalam rumah itu.
Erie mengikuti bibinya masuk ke dalam mobil dan duduk di samping supir pribadi keluarganya. Sedangkan bibinya duduk seorang diri di kursi belakang.
Erie memandang keluar jendela mobil. Semua yang ada di jalanan itu berubah sama sekali. Dalam lima tahun, banyak gedung-gedung baru yang belum pernah Erie lihat dulu. Kendaraan yang lalu lalang juga jauh lebih banyak yang menandakan mobilitas penduduk yang semakin tinggi.
Satu jam kemudian, Erie tiba di depan kantor pusat Eduard Company. Awalnya ia merasa canggung untuk kembali ke sana. Terakhir kali ia menginjak kantor itu adalah tiga hari sebelum hari kematian orang tuanya. Tempat di mana hampir setiap hari ia bisa melihat daddynya bekerja karena hampir setiap hari mommynya mengajaknya ke sana untuk mengantar makan siang untuk sang ayah.
Setiap sudut di perusahaan itu mengingatkan Erie pada ayah dan ibunya. Walau hanya dua tahun, tapi itu adalah waktu-waktu terindah menurutnya. Ia tidak menyangka ia akan kembali lagi ke sana dan melihat semuanya masih sama, tidak ada yang berubah, mulai dari lobby hingga lantai ruangan daddynya dulu.
Erie masuk ke dalam ruangan sang ayah sendirian. Saat di lobby, Bibi Betty dicegat oleh seorang karyawannya yang akan melaporkan hal yang tidak boleh diketahui oleh orang asing. Bibinya lalu menyuruh Erie untuk ke ruangannya duluan. Itulah sebabnya Erie bisa melangkah ke sana sendiri.
Saat berada di ruangan itu, Erie langsung disambut dengan sebuah foto besar yang terpajang di salah satu dinding. Itu adalah foto sang ayah sebagai perintis dan juga tokoh yang berperan dalam membesarkan perusahaan. Di bawahnya, terdapat sebuah lemari kaca tempat berbagai macam penghargaan dan foto-foto kesuksesaan CEO.
Erie berjalan menuju meja kebesaran ayahnya. Semuanya terlihat sama dan tak berubah ataupun bergeser. Bahkan foto Erie bersama daddy dan mommynya masih melekat di atas meja CEO yang sekarang menjadi milik Bibi Betty itu. Sebenarnya apa alasan bibinya tidak memindahkan foto itu? Bukankah ia sangat membenci Erie?
Bicara tentang foto, Erie jadi ingat dengan boneka kecil yang menjadi gantungan kunci tasnya di dalam foto itu. Ia teringat bahwa gantungan kelinci itu sempat rusak dan ayahnya menyimpannya di dalam laci. Katanya sang ayah akan memperbaikinya. Namun, sampai sekarang, gantungan itu tak juga kembali. Mungkin daddynya tidak sempat karena tak punya waktu.
Erie merendahkan tubuhnya. Ia memegang laci bawah meja itu. Saat hendak mengambilnya, tiba-tiba saja sebuah suara menginterupsi kegiatannya.
"Apa yang kau lakukan?" ujar sang bibi baru masuk ke dalam ruangan. Ia lalu memegang tangan Erie, menariknya agar menjauh dari mejanya.
"Bisakah kau sekali saja tidak membuat aku kesal?" kata bibinya lagi sambil menghempaskan tangan Erie.
Bibi Betty menghentikan pertengkarannya ketika melihat Pak Robbert masuk ke dalam ruangan itu.
"Selamat Siang, Nona Betty, Selamat Siang, Nona Erie," salam dari Pak Robbert di hadapan Erie dan bibinya.
"Duduklah Pak Robbert!" perintah Bibi Betty setelah ia dan Erie menjawab sapaan pria tua itu. Pengacara sekaligus sekretaris Eduard Company itu mengucapkan terima kasih sembari duduk di samping Erie.
"Jadi jelaskan padaku, kenapa tadi kau memintaku membawa Erie ke kantor?" tanya Bibi Betty tanpa basa-basi.
Sang pengacara mengeluarkan dokumen dari dalam tas yang sering ia bawa. "Saya di sini ingin menyampaikan surat warisan dari Tuan Eduard sebelum beliau meninggal--"
"Tunggu dulu!" sergah Bibi Betty. "Jadi kakak meninggalkan surat wasiat? Kenapa baru diberitahu sekarang?"
Pak Robbert menjelaskan. "Tuan memang meninggalkan surat wasiat Nona. Hanya saja surat itu baru boleh dibuka saat Nona Erie sudah berusia 19 tahun di hari ulang tahun perusahaan yang ke 20."
Hari ini memang hari ulang tahun perusahaan yang ke 20. Tapi perusahaan tidak bisa merayakan seperti biasa karena devisit anggaran. Belum lagi rumor PHK yang masif terdengar, membuat citra perusahaan tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya.
"Baiklah. Bacakan isi suratnya," kata Bibi Betty mempersilakan Pak Robbert melanjutkan membaca surat wasiat Tuan Eduard.
"Melalui surat ini, beliau menyampaikan bahwa perusahaan dan aset keluarga termasuk rumah, villa dan mobil, 90 persennya akan menjadi milik Nona Erie dan 10 persennya milik Nona Betty. Hal ini berlaku mulai saat ini sampai Nona Erie menikah. Namun, setelah Nona Erie menikah, Tuan Eduard mempunyai kebijakan lain."
"Kebijakan apa?" potong Bibi Betty.
"Maaf nona, Tuan Eduard telah memberikan mandat kepada saya untuk membacakan kebijakan yang selanjutnya hanya setelah Nona Erie menikah."
"Brengsek! Apa sebenarnya keinginan orang bodoh itu?" umpat Bibi Betty. Wajah kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Ia marah atas kebijakan yang diberikan kakaknya. Mengapa harus Erie? Padahal anak sialan itu tidak punya garis darah Eduard sepertinya. Ia tidak bisa menerima keputusan itu karena ia adalah orang yang mengurus perusahaan selama ini, tapi apa yang ia dapat? Hanya 10 persen dari warisan Eduard Company? Sialan! Ini sama sekali tidak masuk akal.
Hal serupa juga yang ada di pikiran Erie. Selama ini ia sudah sangat beruntung dengan pengangkatannya menjadi anak resmi keluarga Eduard dan mendapatkan kasih sayang yang melimpah. Ia tidak meminta lebih dari itu. Ia juga tidak mengerti mengapa daddynya menyerahkan perusahaannya kepadanya yang bukan anak kandungnya? Semua hal itu berkecamuk di dalam batin Erie.
"Baiklah. Minggu depan Erie akan menikah!" kata sang bibi membuyarkan pikiran Erie.
"Ha?" ucap gadis itu terkejut.
Bibi Betty memandang wajah gadis yang terkejut di depannya. "Kenapa Erie? Bukankah usiamu sudah 19 tahun? Usia yang cukup untuk menikah!"
"Tapi aunty--”
"Tidak ada tapi-tapian! Pak Robbert, tolong urus semua keperluan pernikahan Erie," perintah wanita itu dengan tegas.
"Baik Nona akan saya persiapkan."
Pak Robbert memasukkan kertas wasiat itu ke dalam tasnya lalu berdiri.
"Jika tidak ada hal lain, saya undur diri untuk mengurus hal-hal selanjutnya. Selamat pagi Nona Betty dan Nona Erie," kata Pak Robbert sambil menundukkan kepala kepada sang bibi dan Erie sebagai tanda penghormatan kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.
“Aunty, aku akan menikah?" tanya Erie masih tidak percaya dengan keputusan bibinya.
"Iya!"
"Tapi aku masih--"
BRRAAKKK
Bibi Betty menggebrak meja. "Tidak usah membantah! Kau ingin keluar dari penyiksaanku kan? Maka menikahlah dan pergi dari kehidupanku."
"Tapi aku tidak tahu siapa yang harus aku nikahi aunty."
Erie berpikir keras. Jangankan untuk menjalin kasih dengan seorang pria, bertemu pria luar saja ia tidak pernah. Lalu bagaimana ia akan menikah?
Bibi Betty menyunggingkan senyumnya. "Kau tidak perlu khawatir anak sial. Aku akan menyiapkan seoarang pria untukmu," katanya sambil berdiri dari sofa.
"Tapi--" katanya sambil menarik tangan bibinya.
PPLLAAKK
Satu tamparan keras mendarat ke pipi Erie. Tamparan yang memberikan rasa panas yang menyakitkan di wajah gadis itu.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu bodoh!!!! Dan satu lagi, kau akan bertemu dengan pria itu di hari pernikahanmu," kata Bibi Betty sambil menepuk-nepuk lengannya, seolah-olah telah terkena kotoran.
XXXXXX
**Jangan lupa tinggalkan jejak dukungan dengan memberi like dan comment...
Danke ♥️
By: Mei Shin Manalu**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!