" Kamu tega, Mas. Anak kita masih kecil, kamu tega! Kamu rebut semuanya dari aku!" dengan suara lirih dan tangis sedu seorang wanita memegang erat tangan suaminya yang ingin pergi meninggalkannya dan membawa semua harta benda miliknya.
Namun, sikap angkuh seorang laki-laki itu bersikeras untuk pergi meninggalkan istrinya bahkan anaknya yang masih sangat kecil.
Laki-laki itu dengan tega melepas tangan istrinya dan mendorongnya hingga terjatuh.
" Udah, kamu gak usah bersikap kayak gini! Asal kamu tau, aku gak cinta sama kamu! Aku cuma mau harta kamu agar aku bisa hidup bahagia dengan istri dan anak aku!" ucapnya sembari menunjuk-nunjuk istrinya yang sebentar lagi akan ia ceraikan.
Dengan akal liciknya dia tega mengambil semua milik istrinya, perusahaan yang dipegangnya sekarang ada dalam kuasanya.
Tangis terus menyelimuti hari itu. Wanita itu sungguh lemah dan tak berdaya hingga langkah kecil berlarian terdengar dengan sopir yang ada bersamanya mengiringi langkahnya dibelakang.
Piala yang dibawanya dan sebuah kertas yang berisi gambar yang ia lukis tiba-tiba jatuh ketika anak berwajah lucu itu melihat Bundanya menangis terduduk dilantai.
" Bunda! " teriak anak itu dengan langkah kecilnya, walau dirinya masih kecil tapi anak itu mengerti dengan kesedihan Bundanya.
" Bunda kenapa nangis?" tanya anak kecil itu yang bernama Dhafa, matanya lalu menoleh ke arah Ayahnya yang hanya terdiam sama sekali tidak merasa bersalah atau kasihan melihat anak dan istrinya.
" Dhafa, kamu masuk sayang. Bunda gak papa, Bunda cuma mau bicara sama Ayah kamu. Ayo, nak, masuk." ucap Bunda dengan suara yang sangat lembut ia tidak ingin Dhafa melihat semua ini.
" Tapi Bunda, Dhafa lihat sendiri kalau Bunda nangis. Ayah mau kemana bawa koper? Ayah yang buat Bunda nangis? " tanya Dhafa dengan wajah yang sangat polos mendongakkan kepalanya ketika ia bicara pada Ayahnya.
" Dhafa, mulai sekarang kamu tinggal sama Bunda kamu aja. Ayah mau pergi untuk selamanya dari hidup kamu dan Bunda kamu yang sakit-sakitan ini! " Ayah Dhafa bicara dengan sangat keras kepada Dhafa yang seharusnya tidak mendengar ucapan seperti itu.
Dan, Dhafa dengan wajahnya yang sangat lucu hanya bisa terdiam dan mencermati semua ucapan Ayahnya.
" Mas, kamu gak seharusnya bicara seperti itu di depan Dhafa. Dia masih kecil, dimana hati kamu, Mas? Dia anak kamu, darah daging kamu!" ucap Bunda Dhafa yang tak tahan saat suaminya bicara seperti itu kepada Dhafa.
" Ah, terserah! Aku emang gak punya hati! Sudah, lebih baik kamu pikirin bagaimana kehidupan kamu kalau gak ada aku. Sopir, ayo antarkan saya dan jangan lagi bekerja dirumah ini." Ayah Dhafa.
Sopir itu bingung disisi lain dia hanya orang lemah yang butuh uang tapi ia juga tidak tega dengan Bunda Dhafa yang telah menjadi bosnya selama ini.
" Heh! Ayo! Yang bayar kamu itu saya, bukan dia!" Ayah Dhafa.
" Ba.. Ba.. Baik, Pak." sopir itu lebih memilih uang dan dia mau mengikuti perintah Ayah Dhafa.
" Oh, iya. Jangan lupa beresin barang-barang kamu dan anak kamu ini. Karena besok, rumah ini akan jadi milik aku." ucap laki-laki jahatnya itu.
Bunda Dhafa geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Suaminya pergi membawa harta bendanya. Bunda Dhafa sudah tidak memiliki apapun, kedua orangtuanya juga sudah tiada dan kini, ia bingung harus bagaimana. Melihat Dhafa yang masih sangat kecil hanya bisa melihat semua ini dengan wajah lucunya utu mencoba memahami apa yang terjadi pada Ayah dan Bundanya.
" Bunda, Ayah beneran mau ninggalin kita? " tanya Dhafa memegangi tangan Bundanya dengan kepala yang harus ia dongakkan saat ia bicara karena tubuhnya yang masih pendek dan mungil.
Di hadapan anaknya, ia tidak boleh lemah dan harus tetap tersenyum. Tidak ingin Dhafa sedih dan merusak mentalnya di usianya yang masih sangat kecil.
Bunda Dhafa membungkukkan tubuhnya dan jongkok dihadapan Dhafa sembari memegangi wajah putranya dengan kedua tangannya.
" Dhafa sayang, Ayah gak ninggalin Dhafa, kok. Kan, Dhafa masih punya Bunda yang sayang banget sama Dhafa. Sekarang, Dhafa gak boleh mikirin yang macam-macam ya, sayang." Bunda Dhafa ia bicara dengan suara yang sangat lirih mencoba menahan tangisnya ketika bicara dengan putranya yang sangat ia sayangi ia bicara sembari mengelus lembut kepala Dhafa, merapikan rambutnya dan juga merapikan seragam TK Dhafa yang Dhafa kenakan.
Dhafa mengangguk pelan beberapa kali.
" Dhafa cuma mau Bunda bahagia. Kalau Bunda bahagia, Dhafa juga pasti bahagia." Dhafa ia bicara dengan sungguh polos, Dhafa memberikan senyum kecil kepada Bundanya.
" Iya sayang, Dhafa pintar banget, sih." Bunda Dhafa mencubit pelan pipI Dhafa. Pandangan matanya lalu mengarah pada piala dan kertas gambar yang terletak dilantai.
Bunda Dhafa berdiri untuk mengambil piala dan kertas gambar Dhafa.
Bunda Dhafa sangat terharu saat melihat gambar yang terlukis Bunda, Ayah dan Dhafa. Nama itu ditulis Dhafa dibagian ujung kertas gambarnya. Gambar Dhafa begitu indah walau Dhafa masih sangat kecil.
" Masya Allah. Dhafa, ini Dhafa yang buat. Bagus sekali, sayang." Bunda Dhafa menghampiri putranya dan menunjukkan gambar itu beserta pialanya yang tertulis juara 1 lomba menggambar.
" Iya, Bunda. Itu gambar Dhafa, Bunda sama Ayah. Tapi, sekarang Ayah udah pergi ninggalin kita. Ayah udah gak sayang lagi sama Dhafa. Sekarang Dhafa gak bisa wujudin mimpi Dhafa supaya Ayah sama Bunda hidup rukun kayak dulu lagi." Dhafa.
Bunda Dhafa semakin terharu akan ucapan putranya yang cerdas. Wajahnya cemberut saat bicara tentang Ayahnya.
" Hey, Dhafa jangan nangis dong, Dhafa kan anak Bunda yang pintar, ganteng, kuat lagi. Dhafa kuat, iya, kan. Dhafa masih punya Bunda. Dhafa anak hebat, " Bunda Dhafa.
Dhafa mengangguk dan menghapus air matanya atas permintaan Bundanya.
Bunda Dhafa memeluk erat anaknya dengan penuh kasih sayang walau ia juga menangis dibalik pelukan Dhafa.
Ini sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Suaminya yang akhir-akhir ini memang sering bertengkar karena berbeda pendapat dan sekarang dia mengambil semuanya dari dirinya yang tidak memiliki siapa-siapa karena ia anak semata wayang.
Orangtuanya juga meninggal karena sakit yang diderita.
***
Dhafa dan Bundanya sudah pergi dengan koper yang Bunda Dhafa bawa. Semua pembantu dan sopir telah pergi meninggalkan mereka. Karena nasib buruk yang menimpa mereka.
Baru saja menutup pintu gerbang, mobil mewah berwarna hitam menghampiri mereka dan berhenti tepat didepan gerbang.
Ayah Dhafa membuka jendela mobil bukannya merasa kasihan, laki-laki kejam itu malah tersenyum melihat penderitaan istri dan anaknya.
" Selamat tinggal, jangan pernah datang ke kehidupan saya, istri dan anak saya." Ayah Dhafa.
" Harusnya aku yang bilang gitu ke kamu, Mas. Jangan pernah kamu ganggu aku sama Dhafa. Sudah cukup semua harta milik aku kamu rebut." Bunda Dhafa.
" Mas, dia ini gak akan laporin kita ke polisi, kan? " tanya seorang wanita yang merupakan istri Ayah Dhafa.
" Ya, gak mungkin lah. Dia gak akan bisa ngelaporin kita ke polisi itu gak akan bisa. Tapi, kalau dia sampai ngelakuin itu. Awas aja, aku akan ambil Dhafa dari dia." Ayah Dhafa.
Bunda Dhafa sangat kesal mendengar semua perkataan suami dan istri barunya. Tapi, ia tidak berdaya untuk melawan mereka.
Dhafa melihat perempuan yang menggendong anaknya yang berusia lebih kecil dari Dhafa dan Dhafa menatap anak itu penuh kebencian.
Tanpa basa-basi mobil itu berjalan masuk atas perintah Ayah Dhafa.
" Dhafa, ayo, nak. Kita pergi." Bunda Dhafa.
" Bunda, kenapa Ayah jahat sama kita? Ayah udah gak sayang lagi sama aku dan Bunda." tanya Dhafa menatap dalam wajah Bundanya.
" Sayang, kamu gak usah mikirin itu, ya. Sekarang ada Bunda yang akan jadi Bunda sekaligus Ayah kamu. Udah, Dhafa anak Bunda yang hebat gak boleh sedih, oke." Bunda Dhafa dengan senyuman yang ia berikan pada Dhafa tidak ingin membuat putra satu-satunya itu sedih.
" Apa tante sama anak itu udah rebut Ayah dari kita? Tapi kenapa, Bunda?" Dhafa.
Bunda Dhafa terdiam mendengar ucapan Dhafa, ia bingung harus jawab apa.
" Sayang, kita pergi sekarang, yuk, nak. Udah, mulai sekarang Dhafa gak usah mikirin Ayah. Atau apapun itu yang bikin Dhafa sedih." Bunda Dhafa.
" Iya, Bunda." Dhafa.
Dhafa dengan wajah polos dan imutnya hanya bisa mengangguk mengikuti apa yang Bundanya bilang.
Bunda dan Dhafa akhirnya pergi, mereka berjalan sampai menemukan kontrakan untuk tempat tinggal mereka.
Dalam tubuh Dhafa yang masih kecil ia menyimpan dendam pada Ayahnya yang sangat jahat ia juga tidak akan lupa pada anak yang telah merebut Ayahnya.
Bersambung.....
12 tahun berlalu, kini Dhafa menjadi anak yang tangguh, berani dan kuat. Penampilannya juga sangat keren. Dikaruniai wajah tampan membuat Dhafa menjadi sosok idol disekolahnya.
Sikap jahil, kepada teman-teman sekelasnya sangat melekat pada diri Dhafa. Tapi, Dhafa juga dikenal dengan anak yang pandai ia juga begitu cuek dengan perempuan walau sekali-kali Dhafa menjahili mereka yang begitu sangat mengagumi dirinya.
Dhafa bersiap untuk pergi ke sekolah dengan jaket putih kesayangannya yang langsung terpasang topi dijaket itu.
" Dhafa, sarapan dulu sayang. Ini Bunda buatin nasi goreng buat kamu, " suara lembut penuh kasih sayang untuk Dhafa itu terdengar dari meja makan dimana Bunda sudah duduk dihadapan makanan yang sudah ia sajikan dengan rapi.
Dhafa terhenti ketika ia mendengar suara dari Bundanya. Dhafa menoleh dan memberikan senyuman pada Bundanya.
" Pagi, Bunda. Bunda tau aja, kalau Dhafa paling suka masakan nasi goreng Bunda yang gak ada lawan." ucap Dhafa dengan penuh semangat sembari duduk, mengambil sendok untuk menyantap nasi gorengnya.
" Kamu, Dhafa. Emang paling bisa bikin Bundanya bahagia. Makan dulu, tuh. Habisin, " Bunda.
" Oke, Bunda cantik." Dhafa ia kembali tersenyum kepada Bundanya.
Bunda Dhafa juga memberikan senyum kepada putranya yang selalu bisa membuatnya bahagia.
Bunda Dhafa sangat senang melihat putranya yang menyantap lahap nasi gorengnya hingga habis bersih tanpa sisa.
" Dhafa, " ucap Bunda dengan nada suara yang tiba-tiba lemas dan lirih.
Dhafa yang baru saja selesai minum, seketika menoleh ke arah Bundanya yang tampak serius ingin bicara kepadanya.
" Iya, ada apa, Bund? " tanya Dhafa.
" Bunda mau kamu belajar yang benar dan serius di sekolah. Bunda ingin kamu jadi anak yang sukses dan bisa buat Bunda bangga sama kamu. Satu lagi, kamu gak perlu mikir biaya sekolah kamu karena itu tanggung jawab Bunda. Jangan sampai Bunda lihat kamu kerja lagi sama orang. Ngerti? " Bunda Dhafa.
Suasana rumah yang sangat hening menambahkan kesan tegang saat Bunda bicara. Dhafa yang mendengarkan dengan serius dan menundukkan kepalanya mengangguk pelan.
" Iya, Bunda." jawab Dhafa dengan singkat dan suaranya yang berubah lemas.
" Kalau gitu, Dhafa berangkat sekolah dulu, ya, Bund. Assalamualaikum." Dhafa ia mencium tangan Bundanya dan segera berangkat menuju sekolahnya yang bisa ditempuh Dhafa dengan hanya berjalan kaki.
" Wa'alaikumussalam, hati-hati, Nak! " teriak Bunda Dhafa kepada Dhafa yang sudah melangkah keluar rumah.
" Oke, Bunda! " jawab Dhafa.
Dari selat kontrakan Dhafa, tetangga Dhafa yang melihat Dhafa hendak pergi sekolah meneriaki Dhafa yang membuat langkah Dhafa terhenti.
" Dhafa! " teriak Om Burhan, tetangga Dhafa yang sangat baik dan perhatian kepada Dhafa dan Bundanya.
Om Burhan juga memiliki Istri dan anak yang masih sangat kecil.
" Om Burhan, " ucap Dhafa menoleh ke arah sebelah kontrakannya yang dibatasi dengan pagar rumput.
" Mau sekolah, kamu? " tanya om Burhan.
" Iya, om." jawab Dhafa singkat.
" Hati-hati, belajar yang benar. Jangan aneh-aneh disekolah. Ingat, Bundamu udah banting tulang untuk kamu." Om Burhan.
Seketika Dhafa terdiam, ia merasa kasihan dengan Bundanya yang harus kerja susah payah demi menyekolahkan Dhafa. Dhafa menunduk seolah ia sedih hingga ia kembali memandang ke arah Om Burhan sembari tersenyum kecil dan mengangguk.
" Iya, Om. Dhafa berangkat dulu, Assalamualaikum." Dhafa.
" Wa'alaikumussalam. " jawab Om Burhan.
Dhafa kembali melangkah dengan semangat. Seragam sekolah putihnya tersembunyi dibalik jaket putih kerennya. Topi yang terpasang dijaket itu ia pasang untuk menutupi kepala dan rambutnya yang tersisir sangat rapi.
**
Gadis cantik berjilbab dengan seragam SMAnya turun dengan langkah berlarian melewati tangga rumahnya.
Waktu sudah sangat siang, tapi dia baru saja siap dan terlihat sangat terburu-buru menghampiri keluarganya.
" Mama, Papa sama Iqbal, mana?" ucap Meisya, anak dari pemilik perusahaan yang cukup sukses dikotanya.
Keluarganya memanggilnya dengan sebutan, Ica. Entah, darimana mendapat panggilan itu. Tapi, Meisya sudah biasa dipanggil Ica oleh keluarganya.
" Udah berangkat dari tadi, kamu lelet banget, sih." jawab Mama Meisya yang duduk bersama Kakak Meisya terlihat santai menikmati roti sandwich yang tersedia di meja makan.
" Lah, kok udah duluan, sih? Kenapa gak nunggu aku dulu? Terus aku gimana dong, kesekolahnya? Masa jalan kaki, kan jauh, Mah." keluh Meisya yang bicara sambil melangkah sampai ke meja makan dan duduk untuk berbicara kepada Mamanya.
" Salah kamulah, Dek. Lama banget, siap-siapnya. Papa buru-buru kerja dan Iqbal juga harus kesekolahnya." jawab Arvin, Kakak Meisya.
" Udah, ini masih belum terlambat. Sekolah Adek kamu itu jauh, jadi Papa terpaksa ninggalin kamu. Arvin, kamu antar Meisya, kamu kan juga sekalian ke kampus." Mama.
" Aku, Mah? Enggak, ah. Malas banget nganter dia," jawab Arvin.
" Lihat, Mah. Jadi Kakak gak ada peduli-pedulinya banget sama Adeknya. Kalau aku kenapa-napa, gimana? Kakak gak khawatir? " Meisya.
" Ya, enggaklah. Udah bagus kamu itu dipesantren. Lah, sekarang malah pindah kesini." Arvin.
" Arvin! Jangan ngomong kayak gitu sama Adek kamu. Bukan dia yang minta pulang dari pesantren. Kamu tau sendiri, kan, Adek kamu itu punya penyakit." tegur Mama yang tidak suka Arvin bicara seperti itu kepada Meisya.
Arvin terdiam, ia sadar akan ucapan yang seharusnya tidak ia lontarkan kepada Meisya.
Meisya yang merasa sedih dan sakit hati akan ucapan Kakaknya, mulai merengek, menahan tangisnya.
Dengan perasaan sedih dan kesal kepada Kakaknya, Meisya mengambil roti sandwich dan pergi begitu saja dengan langkah cepat hendak keluar rumah.
" Ica! Sayang, kamu mau kemana? Ini susunya minum dulu! " teriak Mama.
Arvin mulai merasa bersalah dan dia tertunduk saat ditatap Mamanya.
" Gak usah!" jawab Meisya singkat sambil menghapus air matanya.
" Arvin, kejar Adek kamu, sekarang! Mama minta tolong sama kamu, antar Ica dengan selamat kesekolah." Mama.
" Iya, Ma. Aku antar Ica sekarang," Arvin.
Arvin bergegas menggendong tasnya dan mencium tangan Mamanya untuk pamit pergi.
" Assalamualaikum, Ma." Arvin.
" Wa'alaikumussalam, hati-hati." Mama.
Arvin berlari agar tak tertinggal mengejar langkah Adeknya yang ternyata belum jauh.
" Pak, buka pintunya." ucap Meisya kepada satpam penjaga rumahnya.
" Lho, kok, Non cantik sendiri? " tanya pak satpam yang bingung hingga akhirnya ia mendengar teriakan Arvin.
" Dek, tunggu! Ica! " teriak Arvin sambil terus berlari dan menarik tangan Adiknya menghentikan langkah Ica.
" Kakak minta maaf, Kakak gak sengaja ngomong kayak gitu tadi." Arvin.
Ica tidak bisa menjawab, ia masih menahan tangis dan menghapus air matanya.
" Kamu jangan marah sama Kakak, ya. Ayo, sekarang Kakak antar kamu kesekolah. Biar Adek, Kakak yang paling cantik ini sampai kesekolah dengan selamat, ayo." bujuk Arvin dengan rayuannya yang berhasil membuat Ica tersenyum kecil saat melihat ekspresi Arvin.
Meisya mengangguk kecil, ia mau berangkat dengan Kakaknya.
Arvin senang karena Meisya mau berangkat bersamanya.
" Pak, tolong bukakan gerbangnya." ucap Arvin kepada pak satpam.
" Siap, Den." Pak satpam.
" Ayo, " ajak Arvin.
Dengan motor ninja berwarna merah mencolok, Arvin siap mengantarkan Adiknya, Ica.
***
SMA 1 PANCASILA
Disinilah, Dhafa bersekolah. Baru saja sampai di depan gerbang sekolah, sudah banyak cewek-cewek yang menyapanya dengan penuh rayuan.
" Pagi, Dhafa."
" Dhafa, kamu ganteng banget, sih."
" Damagenya itu, emang, ya. Oh my god."
Dhafa hanya tersenyum akan ucapan-ucapan yang tertuju untuknya.
" Pagi, pak."
Bukannya membalas sapaan cewek-cewek itu, tapi Dhafa malah menyapa pak satpam yang berjaga didepan gerbang.
" Pagi, Nak, Dhafa." ucap pak satpam dengan semangat dan ramah membuat Dhafa tersenyum kembali kepada pak satpam.
Dikenal dengan murid berbakat, walau Dhafa sering menjahili teman-temannya membuat Dhafa tidak disukai oleh Johan, anak yang paling kaya, nakal dan bodoh dikelasnya yang satu kelas dengan Dhafa.
Bukan hanya itu, Johan juga sangat tidak suka kepada Dhafa yang dipuji-puji oleh banyak cewek-cewek termasuk oleh cewek yang ia suka.
Dibantu dengan kedua soibnya, Riski dan Ale, Johan siap menjebak Dhafa.
" Heh, kalian semua jangan ada yang kasih tau, Dhafa kalau disini gue kasih minyak! Awas kalian!" ancam Johan kepada semua siswa yang melintas.
Para siswa itu tidak bisa melawan Johan, mereka malah berbisik tentang sikap licik Johan itu.
•
•
•
" Udah, kamu masuk gih. Jangan cemberut lagi, senyum dong," Arvin.
" Iya, aku masuk dulu. Assalamualaikum, " Ica ia tidak lupa ia mencium tangan Kakaknya.
" Wa'alaikumussalam," Arvin sebelum kembali melanjutkan tujuannya untuk berangkat ke kampus ia mengawasi Ica sampai benar-benar masuk ke dalam sekolah yang cukup besar itu.
Semua siswa hening dan mereka cepat melangkah atas perintah Johan yang bersembunyi bersama kedua soibnya untuk melihat Dhafa melintas dan terjatuh.
Dhafa berjalan dengan sangat santai walau ia sempat curiga saat tempat yang ia lewati sangat sepi.
Johan terus mengawasi Dhafa dari balik tembok hingga....
Srttttttttttthhhhhh....
" Arghhh! Ini siapa, sih yang buat jalanan licin? Gak ada kerjaan banget! Woi, ini gak ada yang mau nolongin gue apa?!" teriak Dhafa yang merengek kesakitan karena jatuh dengan cukup keras dan kakinya terkilir karena itu.
Johan dan teman-temannya datang untuk mentertawai Dhafa yang masih terduduk dilantai.
" Hahahhahah, Dhafa, Dhafa, " Johan.
Dhafa melihat sepatu Johan dan ia mendongak ke atas.
" Lo lagi, lo lagi, gak ada bosan-bosannya, ya ngerjain gue!" sentak Dhafa yang sudah enek melihat wajah Johan.
Dengan wajah yang sangat licik, Johan membuka tutup botol minumnya dan menyiraminya kepada Dhafa.
Dhafa sangat terkejut atas perlakuan Johan, kepalanya tertunduk saat Johan menyiraminya dengan air.
Siswa yang lain tidak bisa melakukan apapun, dan kejadian itu juga terjadi di tempat yang mengarah ke kelas 11 dimana Kakak kelas ataupun guru masih belum ada yang melintas disana.
" Woi, " Johan memberikan kode kepada kedua temannya.
Riski dan Ale, mengangguk dan mulai mengikuti perintah Johan yaitu melemparinya dengan sampah.
Meisya yang melihat kejadian itu tepat didepan matanya merasa sangat kaget dan ia tidak tega melihat Dhafa yang sedang di bully seperti itu.
Walau Meisya heran kenapa tidak ada yang membantu Dhafa, mereka hanya asyik menonton bahkan ada yang merekam dan mentertawai Dhafa.
Tapi, dengan berani Meisya berlari dan berteriak menghentikan perlakuan bully yang dilakukan Johan dengan kedua teman-temannya.
" Stop, stop!"
Riski dan Ale tiba-tiba menghentikan aksinya saat melihat Meisya.
Meisya berdiri dihadapan Dhafa untuk melindunginya. Semua mata mengarah kepada Meisya begitu juga dengan Dhafa yang kaget dan tercengang melihat Meisya yang dengan berani menolong dirinya.
Bersambung...
" Kalian gak seharusnya berperilaku kayak gini. Kasihan dia," tegas Meisya menatap Johan, Riski, dan Ale yang sudah berhenti melempari sampah pada Dhafa.
" Berani banget, nih, cewek? Heh, lihat! Seorang Dhafa yang kalian puji-puji dibelain sama cewek kayak dia! Cowok apaan, lo!" Johan.
Dhafa berdiri membersihkan pakaiannya, dan juga rambutnya yang kotor setelah dilempari sampah kering.
" Johan, gue bingung banget sama lo, ya! Udah berapa kali lo ngehina gue, ngejek gue, mau lo apa, hah? Lo insecure sama gue?!" Dhafa.
Johan malah tersenyum licik setelah mendengar ucapan Dhafa, ia melangkah maju dan Meisya menyingkir karena takut akan wajah galak Johan.
" Hmh, lo bilang, apa? Gue insecure sama lo? Buat apa? Buat apa gue insecure sama anak yang gak jelas Bapaknya dimana? " Johan.
Riski dan Ale tertawa akan ucapan Johan membuat Meisya menoleh ke arah Dhafa sekilas dan merasa kasihan kepada Dhafa.
" Haha, benar-benar! Orangtuanya gak jelas, bokapnya tukang selingkuh!" tambah Ale dengan santainya.
Ucapan Johan itu membuat Dhafa semakin geram, kedua tangannya ia kepal seakan siap menonjok wajah Johan.
Semua siswa tegang melihat peristiwa itu, tidak ada yang berani bicara. Dan mereka semua tau, siapa Dhafa dan siapa Johan.
" Gak bisa jawab, kan, lo? Ngapain gue insecure sama anak yang Ibunya, oh, bukan, Bundanya kerja di toko kue dekil gak pantas sama sekali buat jualan! Hmh, nyokab, bokapnya aja gak jelas, apa lagi dia!" Johan.
Telinga Dhafa mulai panas sudah tak bisa menahan emosinya dan satu pukulan keras diberikan untuk Johan. Seorang Dhafa yang sudah sangat sakit hati, tak terima dengan perkataan Johan, ia memukul keras Johan hingga terjatuh sampai dibawah kaki Meisya.
" Astagfirullah," Meisya sambil menutup mulutnya ia kaget dan takut karena Dhafa yang terlihat sangat marah.
Keadaan mulai tegang, siswa yang lain yang menonton tanpa berani melerai mereka berdua.
" Lo boleh ngehina gue, tapi jangan sekali-kali lo ngehina orangtua gue!" ucap Dhafa dengan amarah yang membara.
Setelah menatap tajam Johan yang tak bisa berkutik karena pukulan keras Dhafa hingga wajahnya lebam dan tentunya terasa sangat sakit sambil ia tutupi dengan tangan kanannya, Dhafa pergi begitu saja meninggalkan tempat.
Meisya yang bingung harus menolong siapa, akhirnya memilih untuk mengikuti Dhafa yang entah mau kemana.
" Hey, tunggu! " panggil Meisya.
" Ish, kok gak mau berhenti, sih? Tunggu! " Meisya terus berteriak agar Dhafa mau berhenti.
Tapi Dhafa yang terlihat kesal, terus melangkah lebih cepat.
Beberapa kali teriakan Meisya yang membuat bising membuat Dhafa dengan terpaksa menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Meisya.
Meisya ikut berhenti dan menatap dalam Dhafa dengan matanya yang besar dan berbinar.
" Kamu budeg, ya? Dipanggil-panggil daritadi gak berhenti-berhenti, " Meisya.
" Heh! Asal lo tau, kalau lo gak bantuin gue tadi, semua gak akan kayak gini! Mau caper lo sama gue, hah? Atau sama siswa lain, iya?! " Dhafa entah apa yang membuatnya marah kepada Meisya padahal Meisya dengan berani membantunya.
Meisya terdiam ketika Dhafa menyentak dirinya, hatinya yang lembut tidak biasa menerima sentakan yang dilakukan Dhafa kepada dirinya.
" Kamu kenapa marah? Harusnya kamu terima kasih sama aku, aku yang udah nolongin kamu walau aku gak tau siapa kamu!" sentak balik Meisya.
" Lo gak perlu bantu gue, karena gue udah biasa nerima kayak gitu dan gue cowok! Gak seharusnya cewek kayak lo bantuin gue, apa yang mereka pikir nanti? Gue lemah! " jelas Dhafa.
Meisya menggelengkan kepalanya beberapa kali tidak membenarkan perkataan Dhafa.
" Gak, gak ada larangan untuk menolong sesama. Baik cewek atau cowok selagi mereka mampu, wajib hukumnya saling tolong-menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan," ucap Meisya mencoba menjelaskan semuanya dengan tatapan yang dalam kepada Dhafa dan suaranya yang sangat lembut.
Dhafa sempat terdiam setelah mendengar ucapan Meisya yang tidak salah tapi ia tetap merasa kesal kepada gadis cantik pemberani yang mengenakan jilbab dihadapannya itu.
" Argh, udahlah! Gue gak mau dengar apapun! Yang gue mau, lo jangan pernah ngebantuin gue! " Dhafa ia bicara dengan tatapan yang sangat tajam kepada Meisya, mendekatkan wajahnya kepada Meisya yang membuat Meisya takut dan tegang sembari menelan ludah.
Setelah mengatakan itu, Dhafa pergi begitu saja meninggalkan Meisya.
" Ishhhhhh! Kurang ajar banget sih, orang itu! Udah ditolongin, bukannya makasih malah marah-marah gak jelas kayak gitu. Ergh! Bikin kesel banget!" Meisya ia yang sangat kesal dengan Dhafa menunjukkan itu dengan mengepal kedua tangannya, mengangkatnya naik turun hingga terkena seorang cowok yang tangah melangkah tepat dibelakangnya.
" Aduh, " rengek cowok itu sembari memegang hidungnya yang terkena pukulan Meisya.
" Aduh, maaf, maaf. Aku gak sengaja, maaf," Meisya ia terus mengucapkan kata maaf kepada cowok yang ada dihadapannya.
Melihat ekspresi Meisya, cowok yang memakai kaca mata bulat dengan wajah tampan, gaya rambut cool dan lesung pipi yang tampak jelas saat ia tersenyum kepada Meisya.
Senyumannya begitu manis membuat Meisya terpesona dibuatnya, seragam Osis yang berwarna biru tua semakin menampakkan pesona keren dari cowok itu.
" Udah santai aja, gue gak papa. Emangnya lo kenapa, sih? Kayak lagi kesel gitu? " ucap Angga. Ya, cowok berkaca mata bulat yang ada dihadapannya itu adalah Angga, anak kelas 12 yang merupakan ketua Osis sekaligus siswa teladan di sekolah itu.
" Iya, emang aku lagi kesal banget sama.." seketika lidah Meisya terhenti dan sulit mengatakan apapun ketika ia melihat Dhafa yang tengah dihampiri cewek berambut bergelombang berwarna agak kecoklatan yang terlihat senyam-senyum kepada Dhafa.
" Dhafa, aduh, baju kamu sampai basah gitu. Kasihan banget, maafin Johan, ya. Dia pasti gak suka lihat aku deket sama kamu." dengan gaya bicara manjanya kepada Dhafa. Siska, cewek yang sangat mengagumi Dhafa itu merapikan rambut Dhafa sembari memegang-megang wajah Dhafa yang masih sedikit basah.
" Apaan, sih? Gak usah megang-megang gue!" ucap Dhafa menepis tangan cewek itu hingga ia tak lagi menyentuh wajah ataupun rambut Dhafa.
" Oooo, itu pacarnya. Ishhh, lebay banget, sih. Astagfirullah, " bisik Meisya.
Mata Meisya sangat fokus mengarah kepada Dhafa yang terlihat berduaan dengan Siska sampai ia lupa menjawab pertanyaan dari Angga.
" Hey, lo, kenapa? " Angga sambil melambaikan tangannya tepat dihapan wajah Meisya membuat Meisya kaget dan seketika menoleh ke arah Angga.
" Enggak, gak papa. Oh, ya. Ruang guru dimana, ya, Kak? " tanya Meisya karena terlalu lama dan saking kesalnya dengan Dhafa sampai ia lupa dengan pertanyaan Angga dan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
Angga hanya tertawa kecil, mengangguk dan memberitahu Meisya dimana ruang guru.
" Oh, oke. Makasih, ya. Aku kesana dulu, misi." Meisya terlihat terburu-buru dan begitu saja meninggalkan Angga.
Angga kembali hanya mengangguk membalas ucapan Meisya.
" Cewek itu lucu banget, cantik lagi. Dia siapa, ya? Kayaknya dia murid baru deh," Angga tampak jelas dari ekspresi dan senyumnya itu kalau dia menyukai Meisya.
Saat melihat Dhafa ia segera berjalan menghampirinya.
" Dhafa, " panggil Angga.
" Ada apa, Kak? " Dhafa.
" Kepala sekolah manggil kamu, " Angga.
" Memangnya ada apa Kak, Angga?" tanya Siska.
" Yang manggil Dhafa itu kepala sekolah bukan gue, udah, cepetan Dhafa, " Angga.
" Iya, Kak." Dhafa setelah mengangguk dan menjawab ia segera berlari menuju ruang kepala sekolah.
" Eh, Dhafa. Kok aku ditinggal, Dhafa!" teriak Siska membuat Angga geleng-geleng kepala merasa geli melihat tingkah Siska.
" Hehe, Kak. Permisi, " Siska dia segera berlari mengejar Dhafa.
Angga mengangguk, ia sempat menoleh ke belakang melihat Siska yang terus mengejar Dhafa.
Angga kembali geleng-geleng kepala dan tertawa kecil hingga ia kembali melangkah.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!