Matahari bersinar terang secerah hati Rhea saat ia membuka jendela kamarnya dipagi hari. Suara kicauan burung Pipit yang merdu membuat senyum gadis cantik itu merekah ruah. Entah kenapa Rhea merasa bisa mendengar suara kicauan semua burung-burung kecil yang sedang bertengger diatas pohon cemara dekat jendela kamarnya. Burung-burung tersebut seolah mengucapkan 'selamat pagi' padanya. Rhea sangat menyukai suara merdu burung-burung ini karena membuatnya semakin bersemangat menjalani rutunitas sehari-hari.
Pagi-pagi buta si cantik Rhea sudah selesai memasak dan merapikan rumah. Setelah itu ia membersihkan diri dan bersiap-siap berangkat bekerja. Bukan bekerja dalam arti yang sebenarnya, tapi Rhea terpaksa membohongi kakak angkatnya supaya tidak menimbulkan masalah. Sebab, saat ini Rhea tinggal bersama dengan nenek Haida dan kakak angkatnya yang bernama Rara. Kakaknya ini sangat tidak suka kalau Rhea melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi dan memintanya bekerja saja agar bisa membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Meski berat, Rhea menyanggupi permintaan kakaknya dan pura-pura bekerja disebuah pabrik satu-satunya yang ada di desa ini. Rhea dan keluarga angkatnya, tinggal di pinggir danau yang letaknya ada di sebuah kota kecil dan lumayan terpencil juga.
Sudah 3 tahun lamanya Rhea tinggal bersama dengan 2 orang yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Sebab, yang Rhea tahu ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali nenek dan kakak angkatnya yang sekarang.
Meski Rhea merasa ada yang aneh dengan situasi dan kondisi dalam hidupnya, ia tetap menjalani hari-harinya seperti manusia normal pada umumnya. Walaupun sebenarnya ia sangat tahu kalau kisah hidupnya ini penuh dengan misteri dan teka teki yang tidak pernah ia ketahui.
Setelah selesai bersiap-siap, Rhea menuju kamar kakak angkatnya untuk membangunkannya supaya mau sarapan sebelum ia berangkat.
"Kak, bangunlah! Sudah pukul 07.00 pagi. Aku sudah siapkan sarapan dimeja. Makanlah! Aku dan nenek harus berangkat sekarang." Rhea membangunkan Kakak perempuannya yang masih tertidur nyenyak.
"Ehm, pergilah! Nanti aku akan makan. Tinggalkan aku sedikit uang di meja," ujar wanita yang bernama Rara sambil terus memejamkan mata. Ia bahkan tidak peduli dengan Rhea yang sudah rela bangun pagi demi membuatkan sarapan untuknya.
Si malas ini bisanya hanya menyuruh Rhea dan memintainya uang. Sementara ia sendiri malah enak-enakan tidur dan bermalas-malasan saja di rumah serta menghambur-hamburkan uang pemberian Rhea tanpa melakukan apa-apa.
"Aku belum gajian, Kak. Hari ini, gajiku baru bisa aku ambil. Nanti setelah aku pulang bekerja, akan aku berikan pada Kakak," terang Rhea.
"Aku tidak peduli!" Bentak Rara langsung. "Tinggalkan aku uang atau kau tidak boleh pergi kemana-mana," ancamnya. Wanita pemalas itu bangun dan menatap tajam mata Rhea dengan marah. Benar-benar kakak angkat yang tidak tahu diuntung.
"Tapi, Kak ... sungguh sudah tidak ada uang lagi di dompetku. Uang sisa kemarin sudah kakak ambil buat beli baju. Hari ini aku tidak pegang uang sepersenpun, Kak. Percayalah!" Wajah Rhea terlihat melas sekali.
Sungguh malang nasib gadis cantik ini. Ia tidak bisa membantah ataupun menentang apapun yang dilakukan kakaknya terhadapnya. Hal itu karena Rhea sudah berjanji, akan menuruti semua keinginan Rara. Sebab, Rara pernah hampir mati gara-gara dirinya saat Rhea hampir tenggelam di danau dan Raralah yang menyelamatkannya. Namun Sayang, kaki Rara terjepit diantara bebatuan yang ada di dasar sungai tepat setelah ia berhasil membawa Rhea kepinggir danau sehingga kaki Rara sempat mengalami patah tulang. Rara pingsan dan tenggelam sampai hampir kehabisan napas.
Untung beberapa penduduk desa segera datang menyelamatkan Rara sebelum ia benar-benar kehabisan napas. Sejak saat itu, Rhea berjanji akan menuruti dan melakukan apapun yang kakaknya inginkan demi membalas budi karena Rhea berhutang nyawa pada Rara.
Ibarat sudah dikasih hati masih minta ampela, itulah peribahasa yang cocok untuk Rara. Sikap baik Rhea sengaja ia manfaatkan untuk membuat susah adik angkatnya dengan meminta ini dan itu tanpa belas kasih. Ironisnya, Rhea sendiri tak bisa berbuat apa-apa bila kakaknya bersikap buruk padanya. Gadis cantik itu hanya mengelus dada saja dan bersabar menghadapi tabiat jelek Rara.
Rhea adalah cucu angkat nenek Haida. Ia juga gadis yang baik dan selalu berpegang teguh pada janjinya. Rhea tak pernah mengingkari janji yang sudah ia ucapkan. Meski hidupnya sangat berat, Rara tetap menjalani semua ini dengan senang hati dan penuh semangat. Termasuk hari ini, sikap jutek dan kasar Rara padanya, sudah biasa Rhea dapatkan dan sudah ia anggap sebagai makanan sehari-hari.
"Mana dompetmu!" Pinta Rara dengan ketus.
Rhea membuka tasnya dan memberikan dompet mungil berwarna hijau muda pada kakaknya. Rara langsung menyahut paksa dompet tersebut lalu memeriksa isinya yang ternyata memang benar-benar kosong. Seakan masih tidak percaya, Rara menjungkirbalikkan dompet mungil itu berharap ada uang yang jatuh. Namun usahanya itu sia-sia karena Rhea memang tidak punya uang sama sekali.
Dengan kesal, Rara melempar dompet itu ke sembarang arah dan kembali tidur dengan menutup selimut . "Pergilah!" usir Rara.
Rhea mengambil dompet yang dilempar kakaknya dan memasukkannya kembali ke dalam tas slempang satu-satunya miliknya.
Berbeda dengan kakaknya yang bergaya hidup glamor. Rhea cenderung lebih mirip Upik abu atau lebih dikenal dengan sebutan Cinderella yang selalu tertindas dan teraniaya. Bedanya, apa yang terjadi pada Rhea hanya kedok semata.
Di rumah ini, Rhea memang sama persis seperti kisah Cinderella yang selalu teraniaya oleh saudara tirinya. Namun, tidak demikian dengan Rhea ketika ia berada diluar rumahnya. Ketika Rhea menginjakkan kakinya di luar rumah, maka Rhea sudah bukan Cinderella lagi, tapi ia adalah gadis pintar yang cerdas dan sedang menempuh pendidikan Universitas ternama tanpa sepengetahuan kakaknya. Kini Rhea sedang persiapan masuk ke semester 3 dan hari ini adalah hari ia harus mendaftar ulang serta mengambil SKS untuk mendata mata kuliah apa saja yang bakal ia tempuh di semester 3 ini.
Bekerja di sebuah pabrik hanyalah alasan Rhea supaya bisa keluar dari rumah. Sebenarnya, ia bukan berangkat bekerja, melainkan berangkat kuliah.
Lucunya, semua penduduk desa dan nenek angkatnya disini tahu apa yang terjadi pada Rhea dan mereka lebih memilih menyembunyikan rahasia besar Rhea dari Rara dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Dan orang yang berperan penting dalam mendukung semua kebutuhan Rhea adalah Riska, pengelola pabrik tempat Rhea pura-pura bekerja saat ini.
BERSAMBUNG
****
Masih prolog ya ... lanjut episode selanjutnya .. trus dukung karyaku dengan like, komentar, vote dan hadiahnya. Syukur-syukur kalau ada yang mau ngasih bunga dan kopi apalagi hati. hehehe bercanda ...
Rhea terus menatap tubuh kakaknya yang masih terbaring di atas tempat tidur. Ada sesuatu hal yang ingin ia sampaikan.
"Kakak, boleh aku bertanya?" tanya Rhea.
"Apa?" cetus Rara dari balik selimut.
"Kenapa Kakak tidak ikut bekerja denganku? Atau melanjutkan kuliah. Kakak bisa menghasilkan uang sendiri dan juga bisa menata masa depan Kakak agar lebih baik dari ini." Rhea sedang was-was. Ia tahu kakaknya pasti akan marah bila ia mengatakan hal ini. Tapi Rhea sudah tidak tahan melihat kakaknya terus menerus bersikap seperti ini. Rhea sungguh ingin kakaknya nanti menjadi wanita karir yang sukses tanpa harus menggantungkan hidup pada orang lain.
"Kenapa? Kau keberatan kalau aku terus meminta uang padamu? Kau mati-matian bekerja siang dan malam sementara aku hanya bisa bermalas-malasan? Apa kau lupa? Karena siapa aku jadi seperti ini?" Rara mencoba membuat Rhea jadi merasa bersalah.
"Tapi kaki kakak kan sudah sembuh. Tidak ada yang membully kakak lagi sekarang. Kenapa Kakak hanya mengurung diri di rumah sedangkan teman-teman Kakak ada yang sibuk bekerja dan ada juga yang kuliah. Aku tidak keberatan Kakak meminta uang padaku. Aku bekerja juga demi Kakak. Bahkan aku lebih suka jika Kakak ingin melanjutkan kuliah, aku bersedia menanggung semua biaya kuliah Kakak. Sungguh, aku serius."
Bukannya merespons bujukan Rhea, Rara malah tertawa terbahak-bahak. Ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya sambil menatap tajam mata Rhea.
"Kau pikir kau itu siapa, ha? Berani mengaturku. Kenapa aku harus merepotkan diriku sendiri kalau nantinya bakalan ada orang yang menanggung biaya hidupku. Bukan kau pastinya, tapi orang lain. Dan orang itu, adalah suamiku. Tapi sekarang, kaulah yang menanggung semua biaya hidupku tanpa terkecuali karena kau sendiri yang berjanji." Rara mulai senyam-senyum sendiri. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
"Sampai kapan Kakak akan seperti ini? Beberapa waktu lalu, kak Alan datang padaku. Ia tanya kenapa Kakak tiba-tiba mutusin dia tanpa sebab. Kakak punya pacar baru lagi, kan?"
"Emang kenapa kalau iya. Jangan sekali-kali kau ikut campur urusanku. Lihat aku, aku sangat cantik dan juga seksi. Semua pria di kampung ini jatuh cinta padaku. Wajar jika aku gonta ganti pacar. Tidak sepertimu yang buluk dan kucel begitu. Sampai sekarang, tidak ada seorangpun yang mau denganmu." Rara menatap Rhea dari atas sampai bawah.
Pakaian yang dikenakan Rhea cuma itu-itu saja. Rara benar-benar jijik melihat penampilan Rhea yang kampungan itu tanpa ia tahu bahwa Rhea yang ia lihat sekarang, bukanlah Rhea yang sebenarnya. Jika saja Rara tahu seperti apa Rhea diluar sana, mungkin dia bakalan shock berat.
"Baiklah, aku tidak akan ikut campur urusan Kakak lagi, terserah Kakak mau melakukan apa. Aku pergi dulu, aku sudah terlambat." Rhea mengalah dan tidak ingin berdebat dengan Rara.
"Rhea!" panggil nenek Haida dari luar kamar.
"Iya Nek," jawab Rhea.
"Ayo berangkat," teriak nenek Haida lagi.
"Baik, Nek." Rhea bergegas keluar kamar meninggalkan Rara sendirian.
"Jangan lupa, berikan aku uang setelah kau pulang kerja !" Seru Rara sebelum Rhea menutup pintu kamarnya dan Rhea hanya mengangguk saja.
"Aku harap dia segera berubah," gumam Rhea sambil berjalan menghampiri neneknya yang sudah menunggunya diluar.
"Apa yang sedang kau lakukan di dalam kamar kakakmu?" tanya nenek Haida setelah keduanya keluar rumah dan berjalan bersama menuju tempat tujuan mereka.
"Hanya membangunkan kakak supaya mau sarapan, Nek." Rhea tersenyum manis pada nenek angkatnya.
"Jangan terlalu memanjakannya, apa yang kau lakukan ini sudah lebih dari cukup. Bersikap tegaslah padanya dan jangan mau disuruh ini itu. Aku tidak suka kau mengalah padanya sekalipun ia adalah cucu kandungku satu-satunya."
"Tidak apa-apa, Nek. Yang aku lakukan tak sebanding dengan apa yang kak Rara alami gara-gara aku. Aku tidak keberatan selama kakak senang."
"Tapi kau tidak bisa membuatnya terus-terusan bergantung padamu. Kau dan Rara tidak mungkin hidup bersama selamanya. Suatu hari kau akan menikah begitu juga dengan Rara. Jika gadis tengik itu bermalas-malasan aku khawatir hidupnya tidak akan bahagia. Mana ada mertua yang mau menerima menantu pemalas seperti dia," ujar nenek Haida dengan ekspresi sedih.
"Itulah kenapa aku membujuk kakak agar mau melanjutkan kuliah, Nek. Kalau kakak punya pendidikan tinggi dan pekerjaan yang layak, tidak akan ada yang meremehkan kakak." Rhea memeluk bahu neneknya seolah mengerti kerisauan yang dirasakan nenek angkatnya ini.
"Apa dia setuju?"
"Belum, nanti aku bakal bujuk dia lagi. Nah, kita sudah sampai, Nek." Rhea mengantar neneknya ke sebuah tempat balai persembahan yang biasanya digunakan penduduk desa untuk melakukan ritual rutinan dari turun temurun nenek moyang desa ini.
"Ya sudah, sekarang pergilah!" suruh Nenek sambil tersenyum.
"Nanti setelah urusanku di kampus selesai, aku akan datang kemari untuk latihan. Nenek jangan sampai kelelahan. Biarkan ibu-ibu saja yang melakukan tugas berat, aku berangkat dulu Nek." Rhea mencium punggung tangan Neneknya dan bersiap datang ke pabrik seperti yang biasa ia lakukan.
"Ehm, hati-hati di jalan. Bilang pada Bibimu Riska untuk datang kemari jika ada waktu." Nenek mengusap lembut kepala Rhea.
"Baik, Nek. Akan aku sampaikan." Rhea pun berjalan ke arah pabrik besar yang letaknya tidak jauh dari balai tempat neneknya saat ini.
Sebentar lagi akan ada upacara persembahan untuk menyambut datangnya musim hujan dan neneklah yang bertugas menyiapkan semuanya. Upacara itu bukan upacara sembarangan dan tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan melakukan upacara tesebut dan disaksikan oleh seluruh penduduk yang ada di kota kecil ini.
BERSAMBUNG
****
Sementara di tempat lain, Fey dan Rey sedang dalam perjalanan menuju kota kecil tempat tinggal Riska berada. Sesekali Fey mengamati Rey yang sedari tadi melihat pemandangan kota di dalam mobil Limosin mereka.
Ada sejuta rasa yang menyelimuti Fey saat ini, terlebih lagi soal putra semata wayangnya. Sudah saatnya Rey memulai awal kisah cintanya dengan Rhea yang pernah hilang selama 3 tahun lalu. Dan juga, Fey sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan suami tercintanya. Fey sungguh sangat merindukan Refald. Selama 3 tahun lamanya Fey menahan rasa rindu ini dan sepertinya, perasaan rindu yang menggebu menyelimuti kalbu, sudah tak bisa dibendung lagi.
Sebentar lagi, kau pasti kembali, suamiku. batin Fey dalam hati. Ia pun mengamati pemandangan sekitar yang mengingatkan kisah mereka sewaktu ia dan Refald singgah di kota ini dulu.
"Sepertinya, tempat ini sudah banyak berubah. Lebih padat dari sebelumnya," gumam Fey lirih.
Kota yang dulu merupakan sebuah desa, kini sudah berubah menjadi kota kecil yang bergerak di bidang industri pertanian. Semua hasil petani dikelola oleh pabrik yang dulu sempat dibangun Refald untuk kesejahteraan masyarakat disini. Sepertinya, Riska dan Noval berhasil mengelola dan memajukan pabrik itu. Terbukti dari perubahan pabrik yang signifikan. Berawal dari pedesaan tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah perkotaan walau bukanlah kota besar.
"Tempat apa ini, Ibu?" tanya Rey memecah kesunyian.
"Tempat kenangan kami, Rey. Kenanganku bersama dengan ayahmu. Di tempat inilah aku baru tahu kalau aku sedang mengandung dirimu." Fey menatap wajah putranya yang kini sudah mulai dewasa. Fey benar-benar teringat masa lalu.
Sungguh Fey tidak menyangka, Rey bisa jadi sebesar dan setampan ini sekarang. Rasanya, baru kemarin ia masih mengandung Rey di rahimnya tapi kini, putra semata wayangnya ini sudah besar dan mirip sekali dengan Refald.
"Jadi, Ibu dan ayah pernah tinggal disini?" Rey jadi penasaran.
"Ehm, dulu ada sesuatu hal yang terjadi pada ayahmu sehingga membuat kami terpaksa harus tinggal di kota ini sementara. Jangan tanyakan apa sesuatu itu karena aku tidak bisa menjelaskannya sekarang," ujar Fey pada Rey sebelum putranya bertanya lagi. Rey sendiri langsung diam dan memang tidak jadi bertanya.
Kini mobil Limosin yang mengangkut Rey dan Fey berhenti di perempatan lampu merah jalan. Tiba-tiba dari kejauhan, Rey tanpa sengaja melihat adegan yang menarik perhatiannya.
Di depan mobil Rey, sedang berdiri beberapa anak panti asuhan yang hendak berangkat sekolah dan hendak menyeberang jalan. Malangnya, anak-anak panti asuhan ini tidak bisa berjalan normal alias cacat sehingga mereka berjalan dengan menggunakan bantuan tongkat penyangga. Saat lampu hijau menyala untuk pejalan kaki, anak-anak panti tesebut kesulitan berjalan akibat kakinya yang tak sempurna.
Sementara di sisi lainnya sudah ada banyak mobil yang mulai membunyikan klakson supaya anak-anak itu lekas lewat. Namun, apa boleh buat, kaki mereka semua tidak bisa diajak berjalan cepat seperti manusia normal lainnya.
Rey ingin sekali membantu, tapi ia tidak bisa keluar dari dalam mobil karena ada pengendara motor berhenti tepat disisi kanan dan kiri mobilnya sehingga ia tidak bisa membuka pintu mobil. Tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik berlari dan menggendong satu persatu anak-anak yatim itu hingga sampai di seberang jalan. Pengasuh anak-anak panti yang sudah paruh baya ini mengucapkan terimakasih pada gadis cantik itu karena sudah mau membantu mengatasi masalahnya, tanpa pamrih pula.
"Terimakasih, nona Rhea. Anda selalu saja datang tepat waktu menolong kami semua," ujar pengasuh panti itu.
"Sama-sama, Bu. Sebentar lagi jembatan penyeberangan akan segera selesai dibangun. Aku tidak keberatan jika setiap hari membantu menyeberangkan anak-anak luar biasa ini. Lagipula kita searah juga." Fey tersenyum manis dan mengusap lembut kepala anak-anak pintar yang tak patah semangat mengejar cita-cita walaupun tubuh mereka tidak sempurna.
"Anda baik sekali, Nona. Donatur yang anda berikan. pada kami setiap bulannya sangat bermanfaat pada kami. Anda adalah malaikat pelindung kami."
"Jangan berkata seperti itu, Bu. Andalah yang luar biasa karena bisa mengasuh anak-anak menakjubkan ini. Perjuangan anda jauh lebih besar dari apa yang saya lakukan. Teruslah berjuang membesarkan mereka, Bu. Kalau butuh apa-apa, katakan saja pada bibi Riska. Beliaulah yang akan mengatur segalanya."
"Baik Nona Rhea. Sekali lagi terimakasih. Anda tak hanya cantik, tapi hati anda sungguh mulia sekali. Semoga anda selalu bahagia dan mendapat pasangan hidup yang tampan dan baik hati pula," ujar ibu pengasuh itu dengan tulus.
Rhea tersenyum simpul mendengar doa itu dan mengamininya. "Terimakasih juga atas doanya, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu." Rhea pun pamit undur diri tanpa tahu bahwa di seberang jalan tadi, Rey sedang memerhatikan gerak gerik Rhea sambil tersenyum simpul.
"Gadis yang unik," gumam Rey dan menutup kembali kaca mobilnya, sebab lampu hijau sudah menyala dan ia pun harus pergi kerumah baru yang akan ditinggali Rey bersama dengan ibunya sendiri.
BERSAMBUNG
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!