Hujan lebat disertai dentuman petir yang menggelegar, menghiasi langit malam ini. Suasana kota tampak sepi kala itu. Hanya beberapa orang yang terlihat berteduh di depan bangunan yang sudah tak terpakai.
Seorang gadis tampak berlari untuk menghindari derasnya air hujan yang turun saat itu. Ia hanya menggunakan tas yang dibawanya sebagai penutup kepala. Ia akhirnya berhenti di sebuah halte busway untuk berteduh. Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup. Cardigan tipis yang dikenakannya tak mampu menghalau tubuhnya dari rasa dingin yang seketika menggerayangi tubuhnya.
Sampai kapan hujan ini akan berhenti? Ia masih harus mengejar waktu untuk melakukan hal lain.
Sudah hampir dua jam ia berada di halte tersebut. Akhirnya hujan sedikit mereda. Ia rasa ia masih mampu untuk melaluinya. Jika ia terus menerus menunggu hingga hujan benar-benar mereda, mungkin baru besok pagi ia sampai ke tujuannya.
Ia berjalan pelan sambil berlindung di bawah tas selempang yang dijadikannya penutup kepala. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak terlihat seorang pun yang melalui jalan itu. Ia sebenarnya merasa takut. Itu bukan jalanan yang biasa dilaluinya ketika pulang bekerja. Tapi jalanan itu adalah rute tercepat yang bisa dijangkau nya jika ingin lebih cepat tiba di rumah sakit, tempat adik lelakinya di rawat.
"Kenapa sepi sekali! Perasaan ku jadi tidak enak." gumamnya sembari memperhatikan keadaan sekitar.
Benar saja apa yang dirasanya. Sekelompok pria tampak berdiri gontai di ujung lorong sempit itu. Di tangan mereka terdapat botol minuman keras yang hanya tersisa setengahnya saja.
Jika gadis itu nekat melewatinya, itu sama saja dengan mengantarkan nyawanya. Ia akhirnya putar balik sebelum para pria itu menyadari kehadirannya di sana.
Namun sungguh sial, ternyata salah satu dari pria itu melihatnya.
"Hei! Mau pergi kemana? Ayo! Bergabung bersama kami!" ajaknya.
Pria itu menghampiri gadis itu dengan langkah gontai. Tampaknya ia sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
Gadis itu lalu berlari sekencang-kencangnya. Ia bahkan tidak menoleh ke belakang, karena hal itu hanya memperlambat larinya saja. Ia juga tak tahu apa pria tadi mengejarnya atau tidak.
Ia melihat sebuah gudang dengan pintu yang sedikit terbuka. Tetapi gudang itu terlihat gelap tanpa ada pencahayaan sedikitpun. Tanpa ragu, ia memilih untuk bersembunyi di sana. Terlepas ada atau tidak adanya orang lain di dalam gudang tersebut. Ia melihat kondisi di sekeliling dan menemukan beberapa tong besar yang tertata rapi di sudut ruangan. Ia segera bersembunyi di balik salah satu tong tersebut.
Beberapa kali ia terlihat mengintip dari balik tong tersebut untuk memastikan bahwa tidak ada pria yang masuk kedalam gudang tersebut untuk mencarinya.
Akhirnya ia sadar jika para pria mabuk itu tidak mengejarnya karena mereka tak terlihat di sana. Seketika ia menghembuskan nafas panjang dan berusaha mengatur detak jantungnya yang berdebar kencang.
"Hampir saja! Tuhan masih menjagaku!" Ia menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir di kedua sudut matanya.
Ia menangis tanpa suara. Terasa sesak, namun sulit untuk diungkapkan.
Ia butuh beberapa menit untuk menenangkan hatinya. Setelah dirasa benar-benar aman, ia memutuskan untuk segera pergi.
Namun begitu hendak melangkahkan kakinya, ia merasa ada sesuatu yang menarik ujung roknya. Ia membeku lagi seketika. Mukanya langsung berubah pucat Serasa aliran darahnya berhenti mengalir ke otaknya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Ia lalu memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Ia langsung kaget hingga terduduk di lantai karena terjatuh. Ia seketika menjauh begitu melihat sosok pria yang saat ini sedang terbaring di lantai. Ada banyak darah yang mengotori kemeja putih yang dikenakannya. Pria itu tampak meringis kesakitan sembari memegang perut bagian kirinya yang mungkin adalah sumber keluarnya darah tersebut.
"A-apa yang terjadi? A-apa pria ini masih hidup? T-tapi ia tadi menarik rok ku! Ia harusnya masih hidup.!" gumamnya sembari memperhatikan pria itu.
Ia lalu memberanikan diri untuk bertanya.
"T-tuan! Apa kau masih... hidup?" tanyanya panik.
Tidak ada jawaban. Gadis itu memberanikan diri untuk menyentuhnya. Ia merasai hembusan nafas dari hidungnya.
"Syukurlah masih bernafas!"
"Nona!" samar-samar terdengar suara pria tersebut. Ia berusaha untuk berbicara padanya.
Tampaknya ia sudah sangat kehabisan tenaga. Lukanya terlihat sangat serius. Gadis itu perlahan mendekatinya. Ia tampak bingung dan panik. Tapi ia mencoba sebisa mungkin untuk tenang.
"Apa yang harus ku lakukan?" tanyanya bingung. "Tuan! Apa kau masih bisa mendengar ku?"
Pria itu hanya menganggukkan kepalanya. Ia sepertinya sudah kehabisan tenaga. Ia bahkan tidak bisa membuka matanya.
"Bagaimana ini?" Gadis itu mengambil ponselnya dari dalam tas, bermaksud untuk menghubungi pihak rumah sakit agar segera mengirimkan ambulans secepatnya.
Tapi sayangnya ponsel itu kehabisan daya. Ia pasti lupa untuk mengisi daya ponselnya pagi tadi karena bangun tidur kesiangan.
"Tuan! Apa kau punya ponsel?" tidak ada jawaban dari pria itu.
Gadis itu lalu mengambil inisiatif sendiri.
"Maafkan aku jika tidak sopan, tuan! Ini keadaan darurat!" ucapnya lalu memeriksa saku kemeja dan juga celananya.
Ketika ia hendak memeriksa saku celananya, pria itu memegang tangannya. Wanita itu tampak membeku seketika.
"T-tuan!" serunya takut.
"Pon.. ponsel ku... ada di.... saku jas! " ucapnya dengan susah payah sambil menahan sakit.
"Apa?" tanyanya karena tak begitu jelas mendengar perkataannya.
"Jas... saku jas.. " pria itu berusaha mengulangi.
"Jas? Tapi dimana jas mu?" tanyanya bingung karena tak melihat adanya jas di sana.
Wanita itu melihat ke setiap sudut ruangan yang bisa dijangkau oleh penglihatannya. Ia melihat jas itu terlempar jauh di sudut ruangan. Ia berlari secepatnya. Mengambil jas tersebut dan memeriksa setiap sakunya. Benar saja, ternyata ponsel itu berada di sana. Dompet pria itu juga ada di dalam saku lainnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ini jelas bukan karena pencurian? Wanita itu tampak heran. Tapi ia mengabaikannya karena menyelamatkan nyawa pria itu adalah prioritas utama saat ini.
Ia pun mendekat kembali kepada pria itu."Tuan aku sudah menemukan ponselmu. Tetapi ponselnya mati." ucapan sembari mencoba untuk menghidupkan ponsel tersebut.
Beruntung ponsel itu masih menyala. Tetapi untuk mengaktifkan layar diperlukan sidik jari si pemilik ponsel.
"Ponsel mu sudah menyala. Tetapi aku perlu sidik jarimu untuk membuka layar." jelasnya.
Pria itu menganggukkan kepalanya. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini. Karena ia perlu menghemat tenaganya agar tetap hidup.
Wanita itu mengarahkan jari pria itu ke ponsel tersebut untuk membuka layar ponsel tersebut.
Kunci layar terbuka. "Aku akan menghubungi rumah sakit! Anda akan baik-baik, tuan!"
Namun pria itu menyentuh tangannya. "Jangan... rumah sakit.. Tolong hubungi... asisten ku saja!"
"Asisten anda? Tapi.... " ia tampak bingung. Ia berpikir mungkin pria ini sedang berhalusinasi.
Terkadang seseorang tidak bisa berpikir jernih ketika berada di ujung kematian.
"Lakukan saja!" paksanya.
"Baiklah!"
"Tekan saja nomor 3 dari panggilan cepat. Kau.. akan langsung terhubung dengannya."
Wanita itu lalu dengan segera menekan tombol tiga. Dan langsung terhubung dengan orang yang dimaksud pria itu.
Panggilan itu segera tersambung. Seorang pria menjawab panggilan ponselnya.
"Tuan! Akhirnya kau mengaktifkan ponsel mu! Apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu terdengar cemas.
"Maaf! Pemilik ponsel ini menyuruhku untuk menghubungi anda. Kondisinya sangat parah. Perutnya robek seperti ditusuk benda tajam. Darahnya juga tidak berhenti mengalir. Apa kau bisa segera datang ke sini?" wanita itu menjelaskan kondisinya pada pria itu.
"Baik. Aku akan segera ke sana! Tolong jaga dia dengan baik! "
"Baiklah, tuan!" pembicaraan berakhir namun ponsel itu tetap terhubung dengan pria di sebrang.
"Tuan, asisten mu sedang menuju ke sini. Kau pasti akan baik-baik saja! Tetaplah sadar! Karena aku benar-benar takut saat ini." wanita itu terlihat benar-benar ketakutan.
Ia tak bisa lagi melihat seseorang mati di hadapannya. Pria itu harus hidup apapun yang terjadi.
Wanita itu perlahan menyingkirkan tangan pria tersebut dari atas perutnya. Ia berusaha untuk mengambil alih karena melihat pria itu sudah dalam kondisi setengah sadar.
Ia menekan perutnya dengan kedua telapak tangannya agar darahnya tidak terlalu banyak keluar. Walaupun ia tahu bahwa yang dilakukannya sia-sia.
"Si-Siapa namamu, nona? " tanya pria itu.
"Ayana, tuan!" jawabnya.
"Ayana! Nama yang bagus." itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum ia kehilangan kesadarannya.
****************
*
*
Hai semua!
Ini karya terbaruku. Terus ikutin kelanjutannya ya. Jangan lupa jadikan salah satu list favorit ❤ kamu ya.
Terima kasih.
^^^Pictures source by pinterest^^^
Wanita itu terjatuh ke dalam sungai yang sangat dalam. Ia berusaha untuk naik ke permukaan, tetapi tak bisa. Ia akhirnya jatuh semakin dalam. Hingga kehabisan udara untuk bernafas.
Lehernya serasa tercekik. Ia kesulitan bernafas. Namun, di saat ia berpikir akan mati di sana, seseorang menarik tangannya. Membawanya ke permukaan hingga ia bisa bernafas kembali.
*
Ayana tersentak hingga membuatnya terbangun dari tidurnya. Nafasnya berpacu dengan cepat. Ia bermimpi buruk untuk ke sekian kalinya.
Ia beranjak dari tidurnya. Terduduk di ranjang. Ia terdiam sejenak menenangkan dirinya. Tetapi ketika ia sadar, ada sesuatu yang dirasa salah. Ia memperhatikan sekeliling dan menyadari jika ini bukanlah rumahnya. Ia ada dimana?
Ia merasa tidak enak. Lalu memeriksa pakaiannya. Pakaian yang dipakainya sudah berbeda. Ia mengenakan gaun tidur yang sepertinya sangat mahal. Ukuran kamar tidur ini saja sangat besar. Mungkin lebih besar dari rumahnya.
"Siapa yang mengganti pakaian ku? Apa terjadi sesuatu kemarin malam? Tapi aku tidak bisa mengingatnya." gumamnya.
"Permisi, nona!" seseorang tiba-tiba berbicara padanya ketika ia sedang berpikir.
Ayana seketika tampak kaget. "Astaga! Kau mengagetkan aku!S-sejak kapan kau berdiri di sana? " tanyanya.
"Maafkan saya jika mengagetkan anda, nona! Tetapi anda saja yang tidak melihat saya berdiri di sini sejak tadi." jelas wanita muda itu.
"Benarkah?" ia tampak berpikir kembali.
"Saya membawakan pakaian bersih untuk anda, nona!" jelasnya sembari menyerahkan pakaian yang dibawanya itu kepada Ayana yang terlihat bingung.
"Maaf sebelumnya, tetapi ini dimana dan kenapa aku bisa berada di sini?" tanyanya bingung.
"Ini kediaman tuan Zach. Anda di temukan tak sadarkan diri bersama tuan Zach di dalam gudang. Karena tidak tahu tempat tinggal anda, Tuan Ben membawa anda ke sini." jelasnya.
"Ha! Tuan Zach, tuan Ben? Siapa mereka?Aku benar-benar tidak ingat apapun." Ayana semakin bingung.
"Tuan Zach meminta saya untuk memberitahu nona bahwa ia ingin bertemu dengan anda begitu anda bangun. Ia menunggu anda di dalam kamarnya." jelasnya.
" Kamar? Mau apa dia?"
"Untuk masalah itu saya tidak tahu. Kondisi tuan muda saat ini tidak memungkinkan untuk menemui anda di langsung. Karena ia masih berada dalam masa pemulihan ." jelasnya.
"Oh ! Baiklah! Aku akan menemuinya setelah mandi."
"Apa anda mau saya bantu untuk mandi, nona? Tuan Zach memerintahkan saya untuk melayani anda!"
"Ha! Apa! Tidak perlu. Aku bisa mengurus diriku sendiri." tolaknya.
Ia lalu meminta pelayan itu untuk pergi dan meninggalkannya seorang diri.
Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi yang ternyata juga sangat luas. Bahkan kamar mandi itu berada di dalam kamar tidur. Sekaya apa pria yang memiliki rumah ini?
"Tuan Zach? Apa dia pria yang ku tolong kemarin malam? Tetapi kenapa aku juga tidak sadarkan diri? Ah! Aku rasa karena melihat darah."
Ayana memang tak kuat melihat darah. Ia bahkan bisa pingsan jika melihatnya terlalu lama. Tetapi kemarin malam, ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Walau akhirnya ia pingsan juga.
****************
Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia teringat jika kemarin malam seharusnya ia mengunjungi adiknya di rumah sakit. Tetapi ia malah tidak sadarkan diri dan terjebak di rumah ini.
Ia lalu langsung menelpon dokter yang biasanya menangani adiknya, Abi.
"Halo dokter! Maaf aku tidak bisa ke rumah sakit kemarin malam karena ada sesuatu hal. Apa adikku mencari ku kemarin malam?" tanyanya setelah panggilan telepon itu di jawab.
"Iya! Adik mu mencari mu. Tetapi perawat sudah membantu untuk menenangkannya. Jadi kau tak perlu cemas. Oh ya! Apa kau akan datang pagi ini? Hari ini jadwal kemoterapi Abi yang ke lima. Kau tak lupa, kan?" jelasnya.
"Iya, dokter! Aku tidak lupa. Hanya saja mungkin aku sedikit terlambat karena harus mengurus sesuatu terlebih dahulu. " jelasnya Ayana.
"Iya, baiklah!" ucapnya mengakhiri percakapan.
Ayana tampak menghela nafasnya. Lalu memeriksa tasnya. Ia mengambil buku tabungan dari dalam tasnya, lalu membukanya.
"Syukurlah! Masih cukup untuk beberapa kali lagi." ia lalu memasukkan buku itu kembali ke dalam tasnya.
Kedua orangtuanya meninggal ketika Ayana berusia tiga belas tahun. Ayahnya lebih dulu meninggal ketika ibunya sedang mengandung Abi. Tak lama kemudian karena depresi, ibunya meninggal ketika melahirkan Abi. Hingga akhirnya ia lah yang harus mengurus dan membesarkan Abi seorang diri.
Ayana sebenarnya masih memiliki seorang paman. Ia sempat tinggal beberapa bulan di rumahnya. Tetapi istri pamannya tak terlalu menyukainya karena kehadiran mereka hanya akan menambah beban keluarga mereka.
Hingga akhirnya mereka hidup berdua saja. Pamannya membantu mereka secara diam-diam karena tak tega melihat mereka. Ia membantu menyewakan sebuah rumah kecil untuk mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ayana menggunakan deposit yang ditinggalkan kedua orangtuanya hingga ia mampu untuk menghasilkan nafkah sendiri. Orangtuanya juga meninggalkan beberapa surat tanah yang ia simpan di bank sebagai biaya pendidikan untuk adiknya kelak.
Namun takdir berkata lain. Setahun lalu Abi di vonis mengidap leukimia. Sejenis kanker yang berhubungan dengan sel darah putih yang terjadi karena gangguan di sumsum tulang belakang, hingga menghambat kemampuan tubuh melawan infeksi.
Kini seluruh tabungan yang ia miliki hampir habis digunakan untuk membiayai kemoterapi yang harus di jalani adiknya agar bisa membunuh sel-sel kanker tersebut.
Ia juga terpaksa menjual seluruh aset yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk membiayai kemoterapi dan biaya lainnya.
Ia sebenarnya mulai bingung mencari tambahan biaya dari mana lagi. Beruntung dua tahun yang lalu, pamannya memberikan pekerjaan padanya sebagai housekeeping di sebuah hotel bintang lima tempat pamannya bekerja.
Ia sangat terbantu dengan hal itu. Ayana harus membesarkan Abi seorang diri, ia terpaksa harus putus sekolah. Ia tak punya pilihan lain. Ia bahkan tak bisa menyelesaikan sekolah menengah pertamanya.
Tetapi ia tak pernah mempermasalahkan hal itu. Baginya Abi adalah hal terpenting dalam hidupnya saat ini.
Dan kini prioritas utamanya adalah kesembuhan Abi. Ia bahkan mengambil pekerjaan sampingan ketika jam kerjanya selesai. Apapun akan ia lakukan untuk kesembuhan adiknya itu.
Tok... tok... tok..
Suara ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan panjangnya. Ia lalu membuka pintu tersebut.
Seorang pria yang kira-kira seumuran dengan pamannya, berdiri di depan pintu. Ia memakai jas hitam dengan kacamata baca bertengger di pangkal hidungnya.
"Selamat pagi,nona! Perkenalkan nama saya Wisnu. Saya kepala. pelayan di rumah ini! Maaf jika saya mengganggu waktu nona!" ucap pria itu dengan sopan walau dengan wajah datar tanpa ekspresi sama sekali.
"Se-selamat pagi juga, tuan! Anda tidak perlu minta maaf pada saya. Saya juga sudah selesai! " sahut Ayana canggung.
"Jika anda sudah selesai bersiap, silakan ikut dengan saya! Tuan muda ingin menemui anda di kamarnya sekarang! " ucap pria itu.
"A-apa harus? Karena saya harus segera pergi sekarang juga!" ia hanya ingin segera pergi dari sini.
"Saya tahu itu, nona! Tetapi tuan sangat ingin bertemu dengan anda! Bagaimanapun anda sudah menyelamatkan nyawanya. Ia hanya ingin berterima kasih pada anda secara langsung!" ucap pria itu.
"Itu sama sekali tidak perlu, tuan! Saya hanya melakukan hal yang seharusnya saya lakukan. Ia tak perlu berterima kasih." Ayana berusaha untuk menolaknya.
"Maaf, nona! Tapi anda tidak bisa pergi sebelum bertemu dengan tuan muda. Tidak ada gunanya jika anda terus menolak saya disini! Bukankah urusan anda akan semakin lama tertunda? Anda ingin segera pergi, bukan?" ucap pria paruh baya itu dengan penuh penekanan.
Ayana tersenyum masam.Ia lantas berpikir bahwa ucapan pria itu ada benarnya juga . Penolakan ini juga tidak akan ada habisnya. Akhirnya mau tak mau ia menuruti permintaan pria itu.
****
Pria itu membawanya ke sebuah kamar yang tak jauh dari kamar yang ia tempati sebelumnya.
Ia membuka pintu tersebut, lalu mempersilahkan nya masuk. Ia lalu pergi setelah mengantarnya. Bahkan Ayana tak sempat berkata apa-apa.
Ia lalu melangkahkan kakinya ke dalam kamar itu. Kamar itu jauh lebih besar dari kamar yang digunakannya sebelumnya.
Kamar itu di dominasi oleh warna putih. Bahkan kamar itu memiliki sofa dan televisi sendiri.
Ia tak bisa membayangkan berapa luas kamar itu.
Tetapi sesungguhnya bukan hal itu yang menarik perhatiannya saat ini. Melainkan pada seseorang yang kini sedang menatapnya dengan tajam.
Seorang pria yang kini duduk di atas ranjang dengan jarum infus tertancap di tangan kirinya.
"Masuklah!" Perintah pria itu padanya.
Ayana seketika membeku. Ia tak bergeming dari posisinya.
Bagaimana ia bisa setampan ini?
****************
Hai! Jangan lupa dukung ya. Tekan like 👍, komentar 💬, vote, rate dan jadikan favorit ❤ juga ya
Terima kasih 🙏🙏
"Pria ini .... kenapa sangat tampan!" batin Ayana ketika memandang pria yang sedang terbaring di atas ranjang di hadapannya itu.
Dengan rambut berantakan dan kemeja putih yang dikenakannya. Terlihat jarum infus menancap di punggung telapak tangan kirinya. Samar-samar terlihat perban yang melilit area perutnya dari balik kemeja putihnya yang sedikit terbuka.
Sepertinya pria itu mendapatkan perawatan yang baik di rumah ini. Ia tampak membaik walaupun wajahnya masih tampak pucat.
"Masuklah ! Aku hanya ingin bicara denganmu! " perintah pria itu.
Ayana tampak ragu. Ia sesungguhnya tak berani masuk ke sana. Apalagi ia hanya berdua saja dengan pria itu.
Pria itu lantas tersenyum simpul kepadanya.
"Jangan takut! Aku tidak akan memakan mu! Aku hanya ingin bicara padamu!" bujuk pria itu dengan sabar.
"A-apa tak bisa bicara dari sini saja? Tidak enak rasanya jika kita hanya berdua saja di dalam sini! " tolaknya sopan .
Pria itu tampak mengernyit heran lalu kembali tersenyum. Kali ini agak lebar.
"Aku tahu jika kau merasa sungkan. Tetapi akan lebih mudah bagiku untuk berbicara denganmu jika kau lebih dekat denganku. Dengan kondisi ku yang seperti ini agak sulit untuk berbicara jarak jauh seperti ini. Itu menguras tenaga ku. Aku masih dalam proses pemulihan. Ingat? "
Ayana tampak mempertimbangkan perkataannya. Ia lalu masuk ke sana dengan ragu.
Ia berdiri di dekat pria itu. Beberapa centimeter dari ranjangnya.
"Duduklah! " Pria itu melirik sebuh kursi di samping ranjangnya.
"Tidak apa-apa! Aku berdiri saja!" tolak Ayana.
Wanita ini sepertinya takut padaku! batinnya.
"Baiklah! Terserah kau saja!" Pria itu tak memaksanya.
"Ehm... Tuan, kepala pelayan tadi mengatakan jika ada yang ingin tuan katakan padaku. " tanya Ayana.
"Iya! Aku hanya ingin berterima kasih padamu secara langsung. Oh ya! Siapa namamu, nona? Aku belum mengetahuinya."
"Namaku Ayana, tuan!"
" Baiklah nona Ayana, Namaku Zach!" pria itu memperkenalkan dirinya.
Ia lalu memperhatikan Ayana dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Ayana merasa risih ketika diperhatikan seperti itu oleh orang yang baru dikenalnya.
"Kau terlihat sangat muda! Berapa usiamu? " tanya Zach penasaran.
"Sembilan belas tahun, tuan!" jawabnya.
"Sembilan belas tahun? Pantas saja kau terlihat sangat polos!" ucap Zach sambil tersenyum.
Ayana hanya tersenyum masam padanya.
"Terima kasih karena kau sudah menolongku kemarin malam. Itu sungguh sangat berarti bagiku. Jika ada sesuatu yang kau inginkan, aku akan memberikannya padamu. Katakan saja padaku!" ucap pria itu memberikan penawaran padanya.
"Ehm... Itu sama sekali tidak perlu, tuan! Aku hanya berniat untuk menolong mu! Aku sama sekali tidak mengharapkan imbalan apapun darimu. Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama jika dihadapkan pada situasi seperti itu. Sesama manusia memang harus saling bantu, bukan? Kau tidak perlu membalasnya. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya ku lakukan, tuan!" Ayana berusaha untuk menolak tawarannya.
Pria itu lantas tersenyum simpul mendengar penolakan Ayana. Pada zaman modern seperti sekarang ini, masih ada seseorang yang menolak tawarannya. Apalagi seorang wanita? Bukankah semua wanita menginginkan sesuatu dalam hidupnya?
"Tidak semua orang akan melakukan hal yang sama seperti mu, nona Ayana! Mungkin mereka lebih memilih untuk meninggalkan aku seorang diri di sana daripada menolongku. Mungkin juga mereka akan memanfaatkan kondisi ku untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka. Sifat manusia itu berbeda-beda. Jadi, aku sangat bersyukur karena pada saat itu yang menolong ku adalah kau. Jadi katakan saja padaku apa permintaan mu. Aku akan memberikan apapun padamu. Anggap saja itu sebagai hadiah dariku. " jelas Zach
"Jika aku menerima pemberian darimu, bukankah itu sama saja seperti aku sedang memanfaatkan kondisimu untuk mendapatkan keuntungan ku sendiri? Tuan tidak perlu memikirkan hal itu. Pikirkan saja kesehatan tuan dengan baik. Itu saja sudah cukup bagiku. Setidaknya dengan begitu aku merasa jika diriku berguna untuk orang lain."
"Kau yakin?" tanya Zach memastikan.
"Iya, tuan! Saya sangat yakin!"
"Baiklah! Tapi.. ada satu hal yang membuatku penasaran. Bagaimana kau bisa berada di sana kemarin malam? Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Zach begitu penasaran. Mengingat jika itu bukanlah tempat yang sering di lewati oleh kebanyakan orang.
"Ehm.... Aku.... Bagaimana menjelaskannya ya? Sebenarnya aku juga tidak pernah melewati jalan itu sebelumnya. Aku hanya sedang terburu-buru saat itu. ... "
Ayana menjelaskan kejadiannya secara keseluruhan pada Zach. Pria itu tampak mendengarkannya dengan baik.
"Apa kau selalu pulang sendirian setiap malam?" tanya Zach.
"Iya, tuan!"
"Apa tidak ada yang menjemputmu?"
"Tidak ada, tuan!"
"Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka tidak cemas membiarkan kau pulang seorang diri?"
"Ehm... kedua orangtuaku sudah meninggal, tuan. Aku hanya tinggal bersama adikku." jelas Ayana.
"Mereka sudah meninggal? Ah, maafkan aku! Aku benar-benar tidak tahu!" pinta Zach merasa sungkan.
"Tidak apa-apa, tuan!" Ayana berusaha untuk tetap tersenyum.
Suasana menjadi hening seketika. Keduanya tampak canggung.
"Ehm.... Jika tidak ada lagi yang ingin anda katakan, saya mau pamit, tuan. Saya masih punya urusan lain. . " jelasnya
"Baiklah! Aku hanya ingin mengatakan itu saja! Tapi makanlah sesuatu sebelum kau pergi! Kepala pelayan sudah menyiapkan sarapan untukmu. Kau tidak akan menolaknya, bukan? Karena itu akan menjadi sesuatu yang sia-sia." Zach tampak mempengaruhinya.
Ayana berpikir sejenak. Jika ia pergi begitu saja, itu akan menjadi sia-sia.
"Baiklah, tuan!"
Namun sebelum Ayana pergi keluar dari kamarnya, Zach mengatakan sesuatu padanya.
"Jika suatu saat kau memerlukan bantuan ku, maka katakan saja padaku! Aku pasti akan membantu mu." ucapnya.
Ayana hanya tersenyum padanya sebelum pergi.
"Gadis yang malang!" Zach merasa iba.
................
Ruang makan,
"Jadi.... semua ini untukku?" tanya Ayana bingung ketika melihat pelayan menyajikan beberapa piring berisi masakan yang sebagian besar tak ia ketahui apa namanya.
Bahkan ada cake strawberry kesukaan adiknya di meja panjang itu. Jika saja ia ada disini, mungkin ia akan menghabiskan kue itu seorang diri.
Dan lagi hanya ia seorang yang duduk di meja makan. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa hanya dirinyalah yang akan memakan semuanya.
"Iya, nona! Tuan muda meminta saya untuk membuatkan sarapan untuk anda. " jelas kepala pelayan yang mengantarkan dirinya tadi ke kamar pria itu.
"Sebanyak ini?" tanyanya heran. Aku memang sedang lapar! Tapi tidak juga sebanyak ini. Apa aku terlihat seperti seseorang yang rakus ?
"Maaf, nona! Saya tidak mengetahui jenis makanan apa yang anda sukai. Jadi saya meminta koki untuk membuatkan beberapa jenis masakan untuk anda. Apa anda tidak menyukai makanan ini? Jika anda tidak menyukainya, saya akan menyuruh koki untuk membuatkan makanan kesukaan anda. Anda tinggal mengatakannya saja." jelasnya dengan wajah datar tanpa ekspresi sedikitpun.
"Ha! Tidak, tidak perlu. Saya bisa memakan segala jenis makanan. Saya hanya bingung bagaimana menghabiskan semuanya seorang diri. Ehm.. kalian tidak ikut makan bersama saya? Saya rasa ini cukup untuk kita semua." ajaknya sambil melihat kearah beberapa pelayan wanita yang berdiri di sekitar meja makan.
Para pelayan itupun saling memandang satu sama lain ketika mendengar ajakan Ayana. Mereka tampak ragu.
"Maaf, nona! Makanan ini khusus di siapkan untuk nona! Jadi tentu saja kami tidak boleh memakannya. Rumah ini punya aturan khusus mengenai hal tersebut. Jadi, silahkan nona menikmati makanan ini. Anda bisa memilih makanan yang anda sukai, sisanya akan kami bawa kembali untuk di buang! Anda tidak perlu mencemaskan hal itu. " jelas kepala pelayan tersebut.
"Dibuang? Bukankah membuang makanan itu tidak baik?" tanyanya sopan.
Kepala pelayan tersebut tampak mengernyitkan dahinya. Ia tampak kehabisan kata.
"Begini saja! Agar makanan itu tidak sia-sia, apa aku bisa membawa sisanya pulang? Aku akan membagikannya pada teman-temanku." usulnya.
Wisnu tampak semakin bingung mendengar perkataan Ayana. Ia tak pernah bertemu dengan wanita seperti Ayana yang masih memikirkan orang lain.
Ia seringkali melihat wanita-wanita kelas atas yang bahkan sering membuang makanan mereka dengan alasan diet dan sebagainya. Tetapi wanita ini malah tidak mengizinkannya untuk membuang makanan. Dan lebih memilih untuk membawanya pulang dan membagikannya kepada orang lain. Sungguh wanita yang baik!
"Baiklah, nona! Saya akan menyuruh pelayan untuk membungkus makanan ini. Apa Anda ingin dibuatkan yang lainnya?"
"Tidak perlu, tuan! Ini sudah lebih dari cukup. Ehm... apa aku juga boleh membawa pulang cake strawberry itu? Adikku.... sangat menyukainya."
"Tentu saja, nona! Semua makanan yang tersaji di meja makan ini adalah milik anda. " jelas Wisnu.
"Terima kasih, tuan!"
Ayana tampak memakan makanannya dengan sangat lahap. Sejujurnya ia memang merasa sangat lapar karena tidak makan apapun sejak kemarin malam.
Demi menghemat pengeluaran, ia mengurangi kebutuhan dapurnya. Ia bahkan jarang sekali sarapan. Beruntung di tempatnya bekerja disediakan makan siang. Sehingga ia tak perlu repot memikirkan makan siangnya sehari-hari.
......................
"Jadi, gadis itu hanya menginginkan makanan saja?" tanya Zach ketika kepala pelayan melaporkan kejadian di ruang makan padanya.
Zach tampak tersenyum simpul sembari menggelengkan kepalanya.
"Aku bahkan sudah menawarinya sesuatu, tetapi yang ia inginkan hanya makanan. Apa dia tak tahu apa itu tas, perhiasan dan sejenisnya? Apa dia itu seorang wanita?" Ia tampak kesal sendiri.
"Maaf, tuan! Jika saya boleh berpendapat, sepertinya nona Ayana tidak menyukai barang-barang seperti itu. Mungkin saja ia menyukainya, tetapi ia tidak membutuhkannya saat ini. Penampilannya cukup sederhana, bahkan sangat sederhana. Sepertinya hidupnya juga tidaklah mudah. Jadi jika anda menawarkan benda-benda mewah seperti itu, ia pasti tidak akan tertarik." tebaknya.
"Bagaimana paman tahu hal itu?" tanyanya.
Kepala pelayan tersenyum. "Saya hanya menebak saja, tuan!"
"Iya, sudahlah! Apa Ben sudah datang?" tanyanya kemudian.
"Sudah, tuan! Oh, ya tuan! Pagi tadi nyonya menelpon dan menanyakan anda. Tetapi seperti biasa saya mengatakan bahwa anda sedang dinas keluar negri untuk beberapa hari dan mengatakan bahwa anda akan langsung mengunjunginya begitu anda kembali." jelas pria bernama Leo itu.
"Kau semakin pintar berbohong, paman!" ia meledeknya.
Leo tampak tersenyum masam. Ia sudah hafal betul bagaimana sifat tuan mudanya ini. Karena pada akhirnya jika ia disalahkan oleh Nyonya besar, maka dirinyalah yang akan berakhir menjadi kambing hitamnya.
"Panggil Ben kemari! Aku perlu bicara padanya!"
"Baik, tuan!"
......................
Jangan lupa kasih dukungannya ya!!! 😆😆😍
Terima kasih 🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!