Aku berkeliling melihat-lihat ke setiap penjuru rumah yang masih tampak asing bagiku. Rumah baru kami di desa, bangunannya model kuno, bertingkat dua, temboknya dari bata merah. Kental akan gaya Belanda. Lampu hiasnya, furniture, perabotnya, semua model kuno. Antik.
“Rania, buka pintunya, Nak!” pekik Ayah dari lantai atas.
“Iya, Yah.”
Aku lantas bergegas membuka pintu. Sesosok wanita paruh baya berdiri di depan pintu, menggunakan bawahan kain kebat batik bernuansa hitam serta baju kebaya warna hitam juga. Rambutnya digelung, khas wanita desa.
Sorot matanya tajam, tak berani aku menatapnya lama. Sementara di bibirnya ada noda merah, tapi aku yakin itu bukan noda lipstik. Entah noda apa?
“I-ibu siapa? Cari siapa?” tanyaku tergagap.
“Matini. Cari Pak Devandra,” jawabnya dengan ekspresi datar.
“Yah, Ayah! Ada yang nyariin, nih!” pekikku. Masih sambil berdiri di ambang pintu. Entahlah, kaki ini seolah tak mampu kugerakkan. Kaku.
“Siapa, Nak?” sahut Ayah, seraya menuruni anak tangga.
“Oh, Mbok Tini,” ucap Ayah, saat sampai di dekatku. “Mari masuk, Mbok!” ajak Ayah kemudian. Lantas memperkenalkan kepadaku siapa Mbok Tini ini. Pembantu di rumah kami.
“Nanti, kalau ayah sibuk mengawasi pembangunan pabrik, Mbok Tini ini yang akan menemani serta menyiapkan segala keperluan kalian,” terang Ayah. Sementara Mbok Tini hanya diam tanpa ekspresi.
“Ayah, Kakak, ada kecoa!” pekik Tania, seraya berlari menuruni anak tangga.
“Eh, pelan-pelan, Sayang! Nanti jatuh,” sahut Ayah.
Setelah sampai di lantai bawah, Tania langsung bergelayut di lengan kekar Ayah.
“Ada kecoa, Yah. Tania takut.” Tania merengek manja.
“Tenang ya, nanti biar dibersihkan sama Mbok Tini.” Ayah berjongkok di hadapan Tania seraya memegang kedua sisi bahu adikku itu. Sementara Mbok Tini, ia menatap adikku sedemikian rupa. Entah apa yang ada di dalam benaknya.
Tania beringsut, bersembunyi di samping Ayah. Menunduk tak berani menatap Mbok Tini. Sorot mata Mbok Tini memang sangat aneh. Laksana tempat angker. Mengerikan.
“Tania takut, Yah,” bisiknya pada Ayah, tapi terdengar jelas di telingaku. Mungkin Mbok Tini juga mendengarnya.
“Tenanglah, ini Mbok Tini. Orang yang nanti akan menyiapkan segala keperluan Tania, saat ayah sibuk.” Tania menggeleng. Masih ketakutan.
Ayah kemudian berdiri berhadapan dengan Mbok Tini. Meminta maaf atas sikap adikku padanya. Mbok Tini hanya mengangguk pelan tanpa ekspresi.
Lantas berlalu meninggalkan kami, Mbok Tini mulai bekerja. Beberes rumah.
“Yah,” panggilku, seraya mencekal lengan Ayah. Ayah pun urung mengayunkan langkahnya ke lantai atas.
“Iya, kenapa?” sahutnya seraya menoleh ke arahku.
“Yah ..., Ayah nggak merasa aneh dengan sikap Mbok Tini?”
“Aneh kenapa? Dia memang orangnya begitu, tapi Insya Allah dia baik kok. Ayah sudah berkali-kali bertemu beliau. Saat datang ke sini meninjau lokasi pembangunan pabrik.” Ayah mengusap bahuku. Meyakinkan sekaligus menyalurkan ketenangan. Aku mengangguk saja.
Tak lama kemudian datang lagi seorang pria paruh baya mengenakan pakaian serba hitam, pun dengan udeng yang melingkar di kepalanya. Sikapnya sama anehnya dengan Mbok Tini. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Menurut penjelasan Ayah, Beliau adalah tukang kebun, yang akan membantu beberes rumah kami.
Aku tidak mengerti kenapa Ayah mempekerjakan orang-orang aneh seperti mereka.
***
Capek, setelah hampir seharian turut membantu beberes rumah. Kuputuskan untuk duduk di teras depan bersama Tania.
Tak lama lewat seorang cowok perkiraan seumuran denganku. Menggunakan sepeda BMX, dan berhenti tepat di depan gerbang rumah kami. Melihat ke arahku dan Tania yang sedang duduk santai.
Aku saling beradu pandang dengan Tania. Merasa aneh dengan cowok di depan sana.
“Kak Rania kenal dengan Kakak di depan sana itu?” Aku menjawab tanya Tania dengan gelengan. Karena aku memang tak mengenal cowok di depan sana itu.
“Sebentar ya, Dek. Kakak coba mastiin ke sana dulu, dia mau apa?” Tania mengangguk. Aku pun mengayunkan langkah mendekati cowok yang masih terdiam duduk di atas sepedanya dengan dua kaki menapak ke tanah, dan dua tangan masih menempel pada stang sepeda. Kepalanya menoleh ke arah rumahku, mata menyelidik ke setiap punjuru. Sungguh aneh gelagatnya.
“A-ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dari balik gerbang. Kini mata cowok asing itu menyelidik menatapku dari ujung kepala hingga kaki.
“Sebaiknya kamu dan keluargamu segera pergi dari sini!” Ucapannya membuat dahiku berkerut, bingung. Bagaimana mungkin pergi dari sini? Sementara kami baru saja sampai di sini.
“Memangnya ....” Belum juga aku menyelesaikan tanya, cowok itu sudah kembali mengayuh sepedanya. Pergi.
Aneh.
“Aaak!” Aku terpekik. Kaget. Saat balik badan dan mendapati Mbok Tini sudah berdiri tepat di hadapanku.
“Mbok Tini, ngagetin saja,” dumelku, seraya mengusap dada dimana di dalamnya jantung berdetak kencang.
“Sebaiknya kau hati-hati dengan bocah lelaki tadi,” ujar Mbok Tini, seraya berlalu dari hadapanku. Sejurus kemudian membuka gerbang lalu pergi. Seperti biasa, tanpa ekspresi.
Aku terpaku, bingung, mencoba mencerna ucapan Mbok Tini juga ucapan cowok tadi.
➡
***
Setelah mengantar Tania ke sekolahnya, ayah kini mengantarku ke sekolahku. Tentunya setelah sebelumnya sudah didaftarkan secara online oleh ayah.
“Sudah sampai. Ayo, turunlah! Masuk ke kelas belajar yang bener.”
Aku terkesiap mendengar tutur ayah. Lalu menoleh mengawasi sekitar.
“Sudah sampai ya, Yah?”
Ayah mengangguk. “Kamu tinggal langsung masuk ke kelasmu. Ayah sudah chat memberi tahu wali kelasmu kalau kamu sudah mulai masuk sekolah hari ini.” Aku mengangguk paham.
Setelah mencium punggung tangannya, aku pun turun dari mobil. Lalu masuk ke area sekolah setelah ayah pergi melajukan mobilnya.
Mengamati sekeliling, sekolah ini masih tampak asing bagiku. Murid yang sudah datang ke sekolah ini menyelidik menatap diriku dari ujung kepala hingga kaki. Perasaan penampilanku biasa saja. Lantas kenapa mereka menatapku dengan tatapan aneh?
Saat fokus mencari kelas 10 A, aku menabrak seorang cowok yang tiba-tiba keluar dari dalam kelas. Sehingga hampir saja aku terjengkang. Untungnya cowok yang aku tabrak dengan sigap menarik lenganku. Kalau tidak, mungkin aku sudah nyusruk ke lantai.
“Kamu?” ucap kami nyaris bersamaan, seraya saling menunjuk. Setelah kami berdiri saling berhadapan. Dia cowok aneh yang kemarin sore memperingatkan aku agar pergi dari rumah baruku.
“Kamu sekolah di sini juga?”
“Kamu anak baru di sini?”
Kami melontarkan tanya nyaris bersamaan lagi, lalu mengangguk kompak. Kemudian aku nyengir menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Canggung. Sementara dia, si cowok aneh di depanku pasang ekspresi datar.
“Kamu nyari kelasmu? Kelas berapa?” tanyanya kemudian. To the point tanpa ekspresi.
“Eum, kelas 10 A.”
“Oh, kita satu kelas. Ini kelasnya,” jawabnya seraya menunjuk kelas di belakangnya berdiri. Aku mengangguk.
Selepas memberi tahu dia pun berlalu dari hadapanku. Pergi entah ke mana.
Sementara aku masuk ke kelas mencari bangku kosong.
“Kamu anak baru, ya?” tanya salah seorang siswi. Aku mengangguk seraya tersenyum canggung.
“Cari bangku kosong?” tanyanya lagi, dan kujawab dengan anggukan lagi. Lantas dia menunjuk bangku yang ada di pojok kelas. Aku menoleh mengikuti ke mana arah telunjuknya menunjuk. Di sana terlihat bangku kosong. Sementara sebelahnya sudah ada yang menempati terlihat akan adanya tas yang ditaruh di atas meja.
“Tuh, bangku di kelas ini yang kosong tinggal yang itu,” jelasnya kemudian.
“Terima kasih,” balasku. Lalu mengayunkan langkah ke arah bangku yang tadi ditunjuk.
“Tapi harap hati-hati, teman sebangkumu itu agak begini,” ucapnya seraya menaruh telunjuk miring di kening. Aku menelan ludah. Merasa ngeri.
“Se-serius?” tekanku tergagap, dan siswi yang belum kuketahui namanya itu mengangguk, meyakinkan. Aku menoleh mengamati tasnya. Merasa takut, tapi mau bagaimana lagi. Mau tak mau aku harus duduk di sini. Tidak ada lagi bangku kosong selain ini di kelas.
Tak berapa lama bel tanda masuk kelas berbunyi. Semua murid pun berbondong-bondong memasuki kelas masing-masing. Semua bangku di kelas ini sudah diduduki. Kecuali bangku di sampingku, masih kosong. Pemiliknya belum masuk kelas.
Aku menunduk memainkan ujung kuku, merasa tak nyaman saat semua teman sekelasku menoleh ke arahku kemudian saling berbisik. Entah berbisik apa?
Tak lama ekor mataku menangkap seseorang duduk di bangku sampingku. Agak takut-takut aku menoleh memastikan siapa teman sebangkuku yang katanya agak sinting itu.
Glek.
Jadi, dia. Wajar sih, kalau dia agak kurang waras terlihat dari sikapnya yang aneh. Misterius.
Kugeser sedikit menjauh darinya bangku yang kududuki. Cowok aneh di sampingku menoleh menatapku sedemikian rupa. Membuat diri ini bergetar ketakutan saja.
Kemudian dia menatap lurus ke depan dengan kepala sedikit miring ke kiri persis kayak ayam tengleng.
Menghela napas pajang menstabilkan detak jantung yang berdetak tak menentu. Merasa ngeri kalau tiba-tiba cowok aneh di sampingku mencekikku. Sesekali melirik ke arahnya memastikan dia diam di tempatnya.
Setelah wali kelas masuk, aku disuruh maju ke depan untuk memperkenalkan diri, dan setelah prosesi itu selesai aku kembali duduk. Lantas mengikuti pelajaran pertama di sekolah baru ini.
Suasana kelas pun hening, semua serius menyimak penjelasan Bu Guru, dan mencatat pelajaran yang ditulis di papan tulis.
“Jangan ganggu gue!” pekik cowok yang duduk di sampingku seraya menggebrak meja secara tiba-tiba. Sontak membuatku terkejut hingga kursi yang kududuki terguling, aku pun nyusruk ke lantai.
“Tirta, kendalikan dirimu!” seru Bu Guru, seraya menoleh ke arah cowok yang sekarang kuketahui namanya adalah Tirta.
Tirta bergeming, ia terlihat seolah sedang menahan sesuatu.
Sementara teman sekelas yang lainnya sebagian tampak jengah akan sikap Tirta, dan sebagian lagi terlihat sudah terbiasa.
“Rania, kamu enggak apa-apa ‘kan?” tanya Bu Guru, seraya melongokkan kepalanya melihatku yang masih berada di posisi semula. Terduduk di lantai. Syok.
“I-iya Bu,” jawabku tergagap. Sambil berusaha menahan getaran yang menguasai diri.
“Ya sudah, ayo kembali duduk!” Kuangguki titah Bu Guru. Lantas bangkit dan menata kembali kursiku ke tempat semula. Lalu duduk. Aku jadi tidak fokus menyimak pelajaran hari ini. Sebentar-sebentar melirik ke arah Tirta berada.
Pelajaran pertama telah usai. Semua murid pun keluar kelas, istirahat. Jam istirahat kugunakan untuk membaca buku saja ke perpustakaan.
“Terima kasih,” ucapku pada salah satu siswi yang sudah memberi tahuku di mana letak perpustakaan.
“Sama-sama,” pungkasnya.
Masuk ke perpustakaan lalu berjalan di sela rak buku yang berjejer membentuk seperti lorong-lorong. Khas perpustakaan. Mencari buku yang pas untuk kujadikan bacaan siang ini.
Saat berbelok hendak ke lorong rak sampingya aku berpapasan dengan Tirta si cowok misterius. Sempat terpaku beberapa saat.
“Awas!” pekiknya, seraya mendorong tubuhku hingga terjengkang.
Aku merintih, meringis kesakitan. Memegangi siku yang terasa perih pasca membentur sisi rak buku.
“Ma-ma’af, aku nggak bermaksud ....” Aku segera berlari menjauh sebelum Tirta menyelesaikan kalimatnya. Takut.
Menoleh ke belakang sekilas, Tirta terlihat mengejarku. Aku mempercepat langkahku. Lalu masuk ke UKS, dan menutup pintunya lalu menguncinya dari dalam.
“Rania!” panggil Tirta dari balik pintu seraya menggedor-gedor daun pintu. Membuat diriku semakin bergetar ketakutan saja.
Membungkam mulut kuat-kuat, menahan isakkan.
Selang beberapa saat kudengar ada orang datang.
“Heh, ngapain Lu di sini? Pergi sono!” Kudengar seseorang mengusir Tirta. Selepas itu seseorang di luar sana berusaha membuka pintu terlihat dari knop pintu yang diputar-putar dari luar.
“Siapa di dalam? Buka pintunya! Gua mau masuk!” pekik seorang cowok di luar sana. Perlahan kubuka pintunya. Setelah pintu terbuka lebar terpampang seorang cowok dengan postur badan jangkung serta berparas rupawan, dan penampilannya milenial.
“Hai, gue Abdi kelas 10 B,” ucapnya seraya mengulurkan tangan. Lantas kusambut uluran tangannya sejurus kemudian kusebutkan namaku juga kelasku.
“Rania, nama yang bagus. Cocok sama pemiliknya,” pujinya, masih sambil menggenggam tanganku.
“Ck, modus Lu!” sentak temannya yang lain seraya melepaskan genggaman tangan Abdi dari tanganku. Lalu teman-teman Abdi yang lainnya turut memperkenalkan diri, yang kini kuketahui nama mereka semua yakni ada Bayu, Arga, Vian, dan Aksa. Mereka satu geng.
“Kamu ngapain di UKS?” tanya Abdi.
“Eum, tadi sebenarnya cuma asal masuk saja sih, dan ternyata setelah aku perhatikan baru sadar kalau ini di UKS,” jelasku, dan disambut kekehan oleh mereka.
“Terus, itu lenganmu kenapa? Kok lecet gitu?” tanya Aksa yang melihat luka di lenganku.
“Eum, ini ... ini, ta-tadi ....”
“Pasti gegara si Tirta kan, si bocah aneh itu.” Abdi menyela ucapanku dengan cepat. Aku tak bisa lagi berkilah hanya diam menunduk sambil memegangi lenganku yang terasa perih.
“Ya sudah, ayo segera diobati lukamu. Sini!” ucap Abdi, seraya menarik lenganku lalu menepuk ranjang UKS agar aku duduk di sana.
Kemudian Abdi meminta bantuan teman-temannya yang lain untuk menyiapkan kotak P3K, dan mulai membersihkan lukaku dengan antibiotik menggunakan kapas.
“Eum ..., ma’af, tapi saya bisa mengobati lukaku sendiri. Sebaiknya kamu obati lukamu saja,” ucapku setelah melihat luka di bagian siku Abdi.
“Ah, gampang. Gua mah, bisa entar-entar. Cewek duluan,” balasnya seraya fokus mengobati lukaku.
“Tahan ya, aku kasih obat merah ini pasti akan terasa sedikit perih,” jelas Abdi. Aku mengangguk saja sambil meringis menggigit bibir bawah menahan perih.
“Sudah selesai,” ujar Abdi kemudian. Setelah kulihat lukaku kini sudah dibalut dengan perban kain kasa.
“Terima kasih,” ucapku.
“Sama-sama, Nona.” Abdi menaruh tangannya di depan dada seraya sedikit membungkukan badan. Aku terkekeh dibuatnya.
“Aku enggak suka berhutang budi. Biar impas kalau sekarang aku gantian obatin luka kamu gimana?” tanyaku. Abdi terdiam sejenak menatap temannya satu persatu.
“Yakin, mau mengobati lukaku? Apa enggak merepotkan?” Kujawab tanya Abdi dengan gelengan.
“Enggak repot kok,” imbuhku, seraya turun dari ranjang. Dan berganti posisi dengan Abdi.
“Kalau kamu bisa luka begini kenapa?” tanyaku iseng.
“Biasa anak laki. Main basket terus nyusruk ke lantai,” jelasnya.
Kudengar teman Abdi yang lain berdehem menggoda kami.
“Paan sih, berisik Lu pada!” sentak Abdi, sontak membuat teman-temannya berhenti berceloteh.
“Sudah selesai,” ucapku.
“Terima kasih, Nona manis.” Aku menggeleng sambil terkekeh sebelum akhirnya mengangguk.
“Iya, sama-sama. Sekarang sudah impas kan, jadi enggak ada utang budi di antara kita,” jelasku. Abdi mengangguk.
“Oke, deal!” sambubgnya, seraya mengulurkan tangan. Lagi, kami bersalaman.
“Kalau ngobatin luka hati bisa, nggak?” tanya Abdi, seraya menatapku sedemikian rupa. Sehingga aku salah tingkah dibuatnya.
“Kheeem, kheeem!” Teman Abdi yang lain riuh berdehem, sebagian bersiul sembari menatap langit-langit UKS.
“Ya elah, canda. Serius amat,” ucap Abdi, seraya mengedikkan alisnya lalu melepas genggaman tangannya. Kemudian aku menunduk malu. Menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
Bel tanda masuk bunyi, menyelamatkan aku dari bucinan yang akan dilayangkan lagi oleh Abdi.
“Eum, sudah waktunya masuk kelas lagi. Aku ke kelas dulu ya. Terima kasih,” pungkasku, lalu meninggalkan mereka semua. Mengabaikan Abdi yang memekik memanggilku entah ingin berkata apa lagi.
Sesampainya di kelas, aku agak merasa ngeri hendak duduk di samping Tirta yang sudah lebih dulu duduk di bangkunya. Cowok aneh itu diam menunduk sementara jemarinya memainkan pulpen.
Saat kubuka buku yang tadi kuletakkan di atas meja, ada kertas terselip di dalamnya. Bertuliskan kata permintaan ma’af, yang kuyakini dari Tirta. Aku memilih mengabaikan kertas itu, dan kubiarkan tergeletak di atas meja.
***
Sepulang sekolah saat aku menunggu jemputan di balik gerbang sekolah. Kulihat Tirta datang hendak menghampiriku sambil menuntun sepedanya. Untunglah mobil ayah segera datang. Cepat-cepat aku masuk ke dalam mobil sebelum Tirta mendekat. Lalu kuminta ayah melajukan mobilnya.
Menoleh ke belakang, kulihat Tirta mengejar mobil kami menggunakan sepeda BMXnya. Mulutnya mangap-mangap sepertinya memanggilku. Entahlah, suaranya tak kedengaran. Ditelan kebisingan jalanan.
“Dia siapa?” tanya Ayah, selepas melihat spion mobil. Cepat aku menggeleng.
“Kayaknya dia manggil kamu itu,” ucap Ayah, sambil melihatku sekilas. Kemudian fokus lagi nyetir.
“Eum, dia cuma teman sekelas, Yah. Kata teman-teman yang lain, dia agak begini,” jelasku pada Ayah, seraya menempelkan telunjuk di depan kening.
“Oh, ya. Wah, bahaya dong. Kalau benar dia anaknya enggak beres, kok diperbolehkan sekolah di sana. Seharusnya anak kayak dia di sekolahkan di sekolahan khusus.”
“Rania masih belum tahu kebenarannya, Yah. Itu baru kata teman-teman,” jelasku. Meski kusadari tingkah Tirta aneh, tapi sejatinya aku masih belum yakin kalau Tirta itu kurang waras.
Lagi, aku menoleh ke belakang. Kulihat Tirta menghentikan sepedanya. Mungkin dia lelah. Semakin jauh dari jangkauan netra. Kemudian menghilang ditelan kendaraan lainnya.
B E R S A M B U N G
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!