Halo, namaku Yang Fei. Aku lahir di sebuah desa di pedalaman yang bernama Desa Shui. Sejak aku berusia 14 tahun, aku hanya hidup sebatang kara karena ibuku dan ayahku mati dibunuh oleh pamanku. Sebelum ibuku meninggal, ia selalu memintaku berlatih keras dalam ilmu bela diri agar aku bisa mewujudkan 2 impiannya sebelum ia meninggal, menemui kakakku dan mengajak kakakku menemui Guru Besar Duan Xing. Aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Yang Jin tapi aku belum pernah menemuinya sekalipun dalam hidupku. Kini, aku berusia 23 tahun.
Visual Yang Fei
Halo, namaku Guo Lin Xu. Aku tidak mempunyai orangtua. Aku hanya hidup bersama Guru Besar Duan Xing dan Xiao Feng serta Hua Xiang. Guru Besar Duan Xing yang menemukanku, membesarkanku, dan mengajariku banyak hal. Ia seperti pahlawan dalam hidupku. Sekarang, aku berusia 18 tahun.
Visual Guo Lin Xu
Halo, namaku Yang Feng. Aku adalah sepupu dari Yang Fei dan kami sangat dekat saat kami kecil. Tapi, ada sesuatu yang terjadi antara ayahku dengan ayahnya sehingga aku dan Yang Fei bermusuhan. Aku berusia 27 tahun sekarang.
Visual Yang Feng
Halo, namaku Li Xing Mi. Aku adalah putri dari Li Yi Cheng. Aku selalu dipandang dimana pun aku berada karena aku cantik dan kaya. Namun, aku sudah lama menyukai Yang Fei tapi tidak pernah berhasil menaklukkan hatinya. Aku berusia 21 tahun sekarang.
Visual Li Xing Mi
Halo, namaku Hua Xiang. Aku adalah murid dari Guru Besar Duan Xing sekaligus sahabat Guo Lin Xu dan Xiao Feng sejak kecil. Kami selalu bersama sampai suatu hari Lin Xu diculik. Aku berusia 22 tahun.
Visual Hua Xiang
Halo, namaku Xiao Feng. Aku juga murid dari Guru Besar Duan Xing dan sahabat dari Guo Lin Xu dan Hua Xiang. Kami selalu bersama dalam suka maupun duka. Sampai saat Lin Xu diculik, aku dan Hua Xiang mencarinya bersama-sama. Aku berusia 25 tahun.
Visual Xiao Feng
Thank You and Happy Reading!
"Ibu.. Ibu sadarlah, Bu!" panggil seorang remaja laki-laki berusia 14 tahun.
"Fei er, kamu tidak melupakan pesan ibu 'kan, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya dengan suara serak. Ada air mata yang terus mengalir di kedua pipi wanita itu.
"Tidak, Bu." remaja itu menjawab ibunya sambil menangis tersedu-sedu. Ia tidak menyangka pamannya akan membunuh ibunya juga setelah ayahnya dilukai dan meninggal karena dibunuh pamannya di usianya yang masih 7 tahun.
"Fei er, ingatlah untuk menemui kakakmu, dan pergi bersama kakakmu menemui Guru Besar Duan Xing di Gunung Xuan Zheng, ya?" tanya wanita itu masih menangis.
"I..Iya, Bu. Fei er akan terus mengingat pesan ibu kepada Fei er." jawab remaja laki-laki itu sambil menangis juga.
"Anak baik. Kamu lihat kotak berwarna coklat di sebelah sana? Buka kotak itu dan ambillah seruling di dalamnya. Itu akan menjadi senjata untukmu." kata wanita itu.
"Tapi, Bu.." sahut remaja laki-laki itu.
"Fei er, ibu sudah tidak kuat lagi. Ibu mohon, tinggalkan tempat ini sekarang juga! Atau kamu bisa ikut terbakar disini, Nak!" kata wanita paruh baya itu mulai panik karena anaknya tidak juga mau pergi dari rumah yang hampir terbakar seluruhnya.
"Bu, aku akan mengeluarkan ibu dulu!" teriak remaja laki-laki itu sambil berusaha keras mengangkat ibunya dan memadamkan api menggunakan jubah yang dimilikinya.
"Fei er...ibu sangat senang bisa bersama denganmu selama 14 tahun. Hanya kamu yang ibu punya. Jadi, sekarang pergilah. Pergi dan menjauhlah sebisa mungkin dari pamanmu." kata wanita itu.
"Ibu.." teriak remaja laki-laki itu sambil menangis keras.
"Pergilah, ya?" tanya wanita itu sekali lagi. Kemudian, wanita itu meninggal.
"Huhu..Ibu." tangis remaja laki-laki itu terdengar menggema ke seluruh rumah.
Remaja laki-laki itu bernama Yang Fei. Wanita paruh baya yang meninggal adalah ibunya. Pamannya melukai ibunya lalu membakar rumah Yang Fei sehingga remaja itu terpaksa hidup mengembara.
Paman, apa sebenarnya dosa yang telah orangtuaku lakukan sampai mereka harus dibunuh oleh tanganmu sendiri? tanya Yang Fei dalam hatinya.
Empat tahun kemudian
"Bocah itu..Apa kalian sudah mendapatkan kabar tentangnya?" tanya seorang laki-laki yang sudah berumur 55 tahun. Meskipun laki-laki itu sudah bisa dibilang cukup tua, tetapi ia masih jago bertarung. Ia adalah paman yang membunuh Ibunya Yang Fei empat tahun yang lalu.
"Maaf, tuan. Kami... Kami belum dapat menemukan apapun." jawab kedua orang suruhannya.
"Bodoh! Ini sudah empat tahun! Dan.. kalian masih tidak bisa menemukan kabar apapun tentangnya?" seru Yang Jie, nama dari lelaki paruh baya itu.
"M-maafkan kami, tuan. Kami berjanji akan segera mendapat kabar tentangnya." sahut kedua orang suruhannya dengan gagap.
"Bagaimana bisa aku mempercayai kalian berdua lagi? Mencari satu bocah saja kalian tidak mampu! Apalagi nanti jika harus menangkapnya?" tanya Yang Jie.
"M-maaf, tuan." jawab salah seorang suruhannya, Bai Xue.
"Hah, sudahlah! Kalian hanya bisa mengucapkan kata maaf saja!" sahut Yang Jie kesal.
"Apa yang kalian lakukan? Sana pergi cari bocah itu lagi!" seru Yang Jie yang kesal karena orang suruhannya malah melamun bukannya mencari Yang Fei, keponakannya.
"Baik, tuan." sahut mereka berdua.
"Huh.. Kenapa tuan masih ingin menemukan bocah bernama Yang Fei itu? Memangnya apa yang spesial dari bocah itu sampai tuan sangat ingin bertemu dengannya? Kita sudah mencarinya selama empat tahun tapi tetap tidak dapat kabar apapun. Menurutmu, kita harus mencarinya kemana lagi?" tanya Bai Xue kepada saudaranya Bai Ming setelah mereka berdua keluar dari kediaman Yang Jie.
"Kudengar, bocah itu adalah keponakannya. Bocah itu kehilangan kedua orangtuanya di usia yang masih sangat muda. Mungkin kedua orangtuanya dibunuh oleh tuan sehingga bocah itu mungkin saja merantau entah kemana. Mungkin itulah sebabnya kita jadi kesulitan menemukan bocah itu." sahut Bai Ming.
"Kau benar. Sekarang, bagaimana kita akan menemukannya?" tanya Bai Xue.
"Entahlah. Kita bahkan tidak tahu bagaimana rupa bocah itu yang sekarang. Ciri fisik yang tuan jelaskan tentang bocah itu 'kan sudah empat tahun yang lalu. Setidaknya, bocah itu pasti sudah mengalami masa pubertas. Akan jauh lebih sulit bagi kita untuk menemukannya sekarang." jawab Bai Ming.
"Huh.. Lantas kita harus bagaimana? Sudah empat tahun kita berusaha mencarinya. Namun, tetap saja bocah itu tidak ada." sahut Bai Xue sambil menghela napas panjang.
"Mau bagaimana lagi? Ya cari! Walaupun kita tidak tahu bocah itu dimana tapi selama empat tahun ini kita belum cukup untuk mengelilingi seluruh negara ini." timpal Bai Ming.
"Baiklah. Ayo!" kata Bai Xue.
"Ayo!" sahut Bai Ming.
Bersambung.....
"Tuan...nyonya...silahkan lihat-lihat." kata para pelayan restoran.
"Bai Ming." panggil Bai Xue dengan nada memelas.
"Ada apa?" tanya Bai Ming.
"Aku lapar. Perutku sudah bunyi daritadi. Ayo kita makan dulu disana!" ajak Bai Xue sambil memegangi perutnya yang sudah kelaparan. Wajar, mereka berdua sudah menempuh perjalanan dari Gunung Xu ke perkotaan selama seharian dan belum memakan apapun.
"Baiklah. Aku juga sudah lapar. Ayo!" sahut Bai Ming.
"Selamat datang, tuan-tuan. Mau pesan apa?" tanya pelayan itu.
"2 roti." jawab Bai Ming.
"Baik, tuan. Segera datang." kata pelayan itu. Setelah menunggu selama lima menit, pelayan itu datang lagi membawakan 2 roti kepada Bai Xue dan Bai Ming.
"Ini roti kalian, tuan-tuan. Selamat menikmati." kata pelayan itu.
"Terima kasih." sahut Bai Xue.
"Sama-sama, tuan." balas pelayan itu.
"Kalau kamu tidak bisa membayar makananmu, maka jangan makan! Mati saja!" bentak seorang lelaki paruh baya.
"Maaf, bos. Tapi, saya sudah tiga hari tidak makan. Tolong kasihanilah saya, bos." kata anak itu.
"Saya sudah pernah menolong anda sekali. Dikasih hati malah minta jantung. Pergi sana! Pergi dan menjauhlah selamanya dari tempat ini!" sahut bos itu tanpa ada rasa kasihan sedikitpun kepada bocah yang berlutut di hadapannya ini.
"Wow.. wow.. tenang dulu, bos." kata Bai Ming.
"Bagaimana aku bisa tenang? Anak ini sudah mencuri makananku terus tanpa bisa membayar! Aku sudah rugi!" hardik bos itu.
"Tenang, bos. Berapa kerugian Anda?" tanya Bai Xue.
"25 yuan. Kalian akan membayarnya untuk anak ini?" tanya bos itu.
"Ini, bos. Ambillah. Tapi, jangan pernah sentuh anak itu lagi." kata Bai Xue sambil menyerahkan kantung kecil berisi 50 yuan.
"Tentu saja. Terima kasih banyak, tuan-tuan. Tapi, ini terlalu banyak..." kata bos itu.
"Tidak apa-apa. Ambil saja lebihnya untukmu dan semua pelayanmu." sahut Bai Xue.
"Terima kasih, paman-paman." kata Yang Fei sambil berlutut. Baru kali ini ada orang lain yang mau membantunya setelah orangtuanya meninggal dunia.
"Uh.. apa aku terlihat se-tua itu?" tanya Bai Xue.
"Lalu, aku harus memanggil apa jika bukan paman? Bagaimana dengan kakak? Apa kalian mau dipanggil kakak?" tanya Yang Fei polos.
"Boleh, itu saja. Panggil kami kakak mulai sekarang." jawab Bai Ming sambil menganggukan kepalanya.
"Baiklah, terima kasih ya kak karena sudah menolongku tadi." kata Yang Fei.
"Sama-sama, dik." sahut Bai Xue.
"Kami harus pergi, dik. Sampai nanti." sahut Bai Xue. Ia dan Bai Ming tidak menyadari kalau bocah yang tadi mereka tolong adalah Yang Fei yang mereka cari saat ini.
"Baiklah. Sampai nanti, kak." sahut Yang Fei.
...****************...
"Entah bagaimana bocah itu. Apa dia sudah mati? Kenapa setelah mencarinya bertahun-tahun tetap saja kita tidak bisa menemukannya?" tanya Bai Xue.
"Bai Xue, kita tidak punya pilihan. Bahkan sekalipun bocah itu sudah mati, kita tetap harus membawa mayatnya atau menunjukkan makamnya kepada bos Yang Jie." jawab Bai Ming.
"Kau benar. Menyebalkan sekali. Jika bukan karena bocah itu, kita pasti sudah bisa mencapai kultivasi tingkat akhir. Sayangnya, itu semua tidak bisa kita lakukan demi mencari bocah tengil yang bahkan tidak meninggalkan tanda apapun." sahut Bai Xue.
"Sudahlah, ayo kita makan lagi! Aku lapar!" seru Bai Ming.
"Ayo!" ajak Bai Xue yang juga sudah kelelahan karena sudah setengah hari mencari namun tidak juga tahu dimana Yang Fei berada.
Note: Roti di zaman pendekar itu bentuknya kayak bakpao ya..
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!