NovelToon NovelToon

Akhir Kisah Dini

Penolakan Tak Beralasan

PYAAARRR!!

Suara piring jatuh atau memang sengaja dijatuhkan terdengar nyaring di telinga Dini. 25 tahun ia hidup, tak pernah sekalipun ia melihat ibunya semarah itu.

"Tinggalin Dimas, atau ibu yang akan tinggalin kamu!" ucap ibu Dini dengan pandangan kosong ke arah dinding.

Dini yang semula hendak masuk ke kamar segera berbalik dan bersimpuh di kaki ibunya.

"Dini mohon jangan kayak gini bu, apa salah Dimas sampe ibu benci sama dia?"

"Ikutin kata kata ibu kalau emang kamu sayang sama ibu Din!"

"Tapi Dini butuh penjelasan bu, tolong jangan bikin Dini berada di posisi yang sulit kayak gini," ucap Dini memohon.

"Urus surat pengunduran diri kamu secepatnya, ibu nggak masalah kalau harus kerja lagi asalkan kamu berhenti berhubungan dengan keluarga Adhitama," ucap ibu Dini lalu pergi ke kamar dan menutup pintu dengan keras.

Flashback setelah pertunangan Dini dan Dimas

Dini dan Dimas telah bersama dalam ikatan pertunangan. Cincin yang Dimas berikan pada hari pertunangan selalu melekat di jari manis Dini.

Kini Dini telah bekerja di perusahaan papa Dimas sebagai bagian dari Divisi Pemasaran yang berhubungan dengan promosi dan penjualan. Sedangakan Dimas dan Andi lebih memilih untuk fokus bekerja sama membangun bisnis mereka yaitu membangun clothing arts.

Andi dan Dimas memiliki home store yang tak jauh dari tempat Dini bekerja.

Setiap harinya mereka sering menghabiskan waktu bersama dan terkadang Anita juga ikut bersama mereka.

Entah kenapa, meski waktu telah berlalu Dimas tak bisa memaafkan Anita begitu saja, ia masih meragukan sikap manis yang Anita tunjukkan.

Di sisi lain, kehidupan ekonomi Dini kini menjadi lebih baik. Ibunya sudah tidak harus bekerja lagi. Dini juga telah merenovasi rumahnya dengan hasil kerja kerasnya.

Waktu berjalan tanpa bisa dihentikan. Hingga suatu hari, ibu Dini mengetahui siapa sebenarnya keluarga Dimas. Selama ini yang diketahuinya hanyalah Dimas anak dari pengusaha ternama tanpa ia tau siapa dan apa nama perusahaan papa Dimas.

Ketika ibu Dini mengetahui latar belakang Dimas, ibu Dini sangat murka. Ia tidak akan membiarkan anak semata wayangnya menjalin hubungan dengan keluarga yang sudah merenggut kebahagiaannya.

Hingga terjadilah percekcokan antara Dini dan ibunya ketika Dini baru pulang dari kantor.

Flashback off

Dini hanya bisa mendongakkan kepalanya menahan air mata yang sudah memenuhi kedua sudut matanya. Ia tidak akan menangis, ia akan mencoba menenangkan ibunya dan berharap jika ibunya hanya sedang salah paham pada Dimas.

Semua lika liku yang dihadapinya bersama Dimas membuatnya menjadi gadis yang tangguh sekarang. Ia tidak akan menumpahkan tangisnya dengan mudah. Baginya, air matanya terlalu mahal untuk menangisi kerikil kecil yang menghalangi langkahnya.

Toookkk toookkk toookkk

Dini mengetuk pintu kamar sang ibu beberapa kali, namun tak ada jawaban.

"Bu, kita bicarain semuanya dulu, Dini takut kalau ibu cuma salah paham sama Dimas," ucap Dini dari depan pintu kamar sang ibu.

"Nggak ada salah paham apapun Din, dia dan keluarganya bukan orang baik baik, kamu harus jauhin mereka sebelum mereka manfaatin kamu Din!"

"Kenapa ibu bilang gitu? apa ibu kenal sama mama papanya Dimas? tolong ibu cerita, apa yang Dini nggak tau?"

"Nggak ada yang harus kamu tau Din, cukup kamu tau kalau dia bukan bukan laki laki yang baik buat kamu!"

"Ibu nggak bisa kayak gini, Dini udah dewasa bu, Dini berhak tau apa yang jadi masalah ibu sama keluarga Dimas, Dini nggak bisa ninggalin Dimas gitu aja bu, Dini cinta sama dia, kita saling mencintai, kita....."

"Cinta akan datang dan pergi dengan sendirinya Din, jangan ngajarin ibu tentang cinta, ibu lebih tau daripada kamu!"

"Dini minta maaf bu, kalau ibu nggak bisa kasih Dini alasan, Dini juga nggak bisa ninggalin Dimas tanpa alasan," ucap Dini lalu meninggalkan kamar ibunya dan masuk ke kamarnya sendiri.

"dia mengalami amnesia disosiatif, sebuah penyakit mental yang melibatkan kerusakan pada ingatan dan kesadaran, hal itu bisa terjadi karena kejadian traumatis yang membuat otak secara otomatis memblokir informasi tertentu dari kejadian traumatis yang dialaminya, jadi dapat dipastikan jika dia akan lupa pada poin poin penting tertentu yang berhubungan dengan traumanya."

Penjelasan Dokter lebih dari 20 tahun yang lalu kembali terngiang di telinga ibu Dini. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipi.

Kejadian kelam masa lalu kembali hadir memenuhi memorinya.

"maafin ibu Din, maafin ibu," ucap ibu Dini dalam hati, dalam rintihan yang bahkan tak terdengar oleh telinganya.

**

Silau mentari masuk melalui jendela kamar Dini yang terbuka. Ia sengaja bangun terlambat karena hari itu adalah hari Minggu. Meski kantor tempatnya bekerja libur pada hari Sabtu dan Minggu, ia tetap bekerja pada hari Sabtu dan memilih libur pada hari Minggu. Ya, ia memang sangat pekerja keras.

Dini menggeliat di atas tempat tidurnya, lalu mengucek matanya.

"jendela ku kebuka? ibu yang buka? ibu udah nggak marah? apa semalem aku cuma mimpi buruk?" batin Dini bertanya tanya.

"Ini kan hari Minggu, libur kerja, libur mikir juga, waktunya otak istirahat, semangat Dini, sambut hari libur dengan senyum cantik," ucap Dini dengan mengembangkan senyumnya di depan cermin.

Dini keluar dari kamarnya menuju ke kamar mandi, mencuci muka dan segera mencari ibunya.

Sepi, tak ada tanda tanda kehidupan selain Dini dan ikan kecil dalam aquarium pemberian Andi.

"Hai Anbi, ibu kemana ya pagi pagi gini udah nggak ada, belanja? kok nggak bangunin aku? apa ibu masih marah?" tanya Dini pada ikannya sambil memberikan makan.

"Ehem!"

"Andi, dari tadi?" tanya Dini yang baru mengetahui kedatangan Andi.

"Lumayan, apa kerjaan di kantor bikin kamu stres sampe ngobrol sama ikan?"

"Enggak juga, ngobrol sama hewan juga baik loh buat pertumbuhan hewan, iya kan Anbi?" balas Dini sambil kembali memberikan makan sang ikan.

"Anbi? namanya Anbi?"

"Iya, kenapa?"

"Aneh banget namanya, emang ada artinya?"

"Nggak ada sih, tapi itu singkatan Andi Berekor Putih hehe..."

"Haahh, aku berekor?"

"Bukan kamu, tapi ikannya, kan ini ikan dari kamu!"

"Hahaha.... ada ada aja sih, terserah kamu aja lah!"

"Ini orangtua kamu juga Anbi, namanya Andi, mirip kan?" ucap Dini pada si ikan.

"Kamu ngasih makan ikan emang kamu udah makan?"

"Belum sih, aku baru bangun nyari ibu tapi ibu udah nggak ada."

"Aku liat ibu kamu jalan ke arah pasar tadi, ayo masak bareng, bahan seadanya!"

"Yeeeyyy, masak bareng Chef Andi," balas Dini dengan bersorak.

Mereka lalu pergi ke dapur dan mulai memasak bersama dengan bahan seadanya.

**

Di tempat lain, ibu Dini sedang duduk menatap gundukan tanah dengan batu nisan yang bertuliskan nama seorang laki laki yang dulu sangat dicintainya.

Selalu Ada

Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Ibu Dini pulang dengan membawa 2 kantong belanjaan.

"Ibu dari pasar?" tanya Dini dengan membantu membawa kantong di tangan ibunya.

"Iya, kamu udah makan?"

"Udah, masak sama Andi tadi," jawab Dini.

"Makan dulu bu, Andi sama Dini masak nasi goreng tadi," ucap Andi sambil memberikan satu piring nasi goreng dan telor dadar pada ibu Dini.

"Makasih Ndi, kamu emang baik banget, cocok jadi menantu ibu," ucap ibu Dini yang membuat suasana menjadi canggung.

Andi hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan ibu Dini, sedangkan Dini tampak kesal namun hanya diam.

"Dini mau mandi dulu bu," ucap Dini lalu meninggalkan ibunya dan Andi di ruang tamu.

"Kamu udah punya pacar Ndi?" tanya ibu Dini pada Andi.

"Belum bu, belum mikirin itu," jawab Andi.

"Cewek yang biasanya sama kamu? bukan pacar kamu?"

"Itu Anita, teman SMA, Dini juga kenal kok bu!"

"Nggak tau kenapa ibu lebih percaya kalau Dini sama kamu daripada sama Dimas," ucap ibu Dini yang membuat Andi begitu terkejut.

Pasalnya selama ini hubungan Dimas dengan ibu Dini tampak baik baik saja, bahkan terlihat jika ibu Dini menyukai Dimas sebagai calon menantunya.

"Andi sama Dini kan udah deket dari kecil dan ibu juga baru kenal Dimas jadi wajar kalau ibu ngerasa kayak gitu, tapi ibu tenang aja, Dimas anak yang baik kok bu, dia bertanggung jawab dan serius sama Dini," ucap Andi.

"Apa selama ini kamu nggak pernah suka sama Dini Ndi? apa kamu nggak pernah ada rasa cinta sama dia? tolong jawab jujur Ndi," tanya ibu Dini yang membuat Andi semakin gugup.

Ia sudah menyembunyikan perasaan itu sejak lama, ia bahkan mengubur dalam dalam perasaan yang malah semakin tumbuh dalam hatinya. Kini pertanyaan ibu Dini terasa seperti mengoyak kembali hatinya yang sedang terluka.

"Andi...."

"Ikut aku Ndi!" ucap Dini yang tiba tiba datang dan menarik tangan Andi.

"Andi permisi bu," ucap Andi pada ibu Dini yang hanya dibalas dengan anggukan.

Dini dan Andi berjalan ke arah bukit, tempat dimana semua kesedihan dan kebahagiaan tercurahkan di sana.

Mereka duduk di bawah pohon yang menjadi saksi kebersamaan dan kedekatan mereka sejak kecil.

Jika pohon dapat berbicara ia pasti sudah mengutarakan pada Dini semua rasa yang Andi pendam selama ini.

"Gimana bisnis kamu Ndi?" tanya Dini pada Andi.

"Lancar Din, Dimas emang jago banget soal marketing," jawab Andi.

"Ndi, apa kamu tau do'a yang selalu aku minta sama Tuhan?" tanya Dini dengan memandang kosong di udara.

"Apa?"

"Selain buat ibu, aku selalu berdoa buat hubungan kita, aku, kamu sama Dimas, aku nggak tau apa yang akan terjadi di depan nanti, tapi harapan aku cuma satu, kita semua akan tetap berhubungan baik," jawab Dini.

Andi hanya menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Dini.

"Kamu gimana? ada do'a tertentu?"

"Buat kamu, aku selalu berdo'a semoga kamu selalu dikelilingi kebahagiaan, karena bahagianya kamu itu yang paling penting buat aku," jawab Andi.

"So sweet banget sih, kalau cewek kamu yang denger pasti udah klepek klepek!"

"Sayangnya aku nggak punya cewek, kamu aja ya yang jadi cewekku, mau nggak?"

"Mau," jawab Dini cepat.

Andi yang pada awalnya hanya bertanya iseng sekarang menjadi mati kutu karena jawaban singkat Dini yang membuatnya semakin berdebar.

"Nggak cuma aku, semua cewek yang deket sama kamu pasti bahagia, aku merasa jadi cewek paling beruntung karena punya sahabat terbaik kayak kamu," lanjut Dini.

"Dan Dimas adalah cowok paling beruntung yang bisa miliki kamu seutuhnya," balas Andi.

"Jadi kamu nggak beruntung nih punya sahabat kayak aku?"

"Lebih dari itu Din, kamu itu sumber kebahagiaan aku," jawab Andi.

Dini hanya tersenyum dengan menatap mata sahabatnya itu. Sahabat yang telah menemaninya sejak kecil, sahabat yang selalu ada untuknya, sahabat yang selalu menjaganya dan mencintainya tanpa ia tau.

"Kamu sama Dimas gimana Din? baik baik aja kan?" tanya Andi, mengingat ucapan ibu Dini padanya beberapa waktu lalu.

"Baik, kita baik baik aja," jawab Dini dengan menundukkan kepalanya.

Ucapan ibunya semalam membuatnya berpikir jika hubungannya dengan Dimas tidak akan berjalan lancar.

"aku sama Dimas emang baik baik aja Ndi, tapi aku nggak tau apa yang bikin ibu tiba tiba minta aku jauhin Dimas, saat semua keindahan itu ada di depan mata, entah kenapa ada aja penghalang buat aku sama Dimas sampai di ujung keindahan itu," batin Dini dalam hati.

"Din, kamu nggak papa?" tanya Andi yang melihat Dini tampak bersedih.

Dini hanya mengangguk, masih menundukkan kepalanya. Andi lalu menggeser posisi duduknya dan merangkul bahu Dini lalu menariknya agar bersandar padanya.

"Aku masih sahabat kamu Din, jangan pendam sendiri masalah kamu selagi aku masih ada di sini," ucap Andi dengan membelai rambut Dini yang menutup wajahnya dan menaruhnya dibelakang telinga Dini.

"Apa yang jadi beban dan masalah kamu akan terasa berat kalau kamu simpen sendiri, aku di sini buat kamu Din, aku selalu di sini nemenin kamu," lanjut Andi dengan mengusap air mata di pipi Dini, air mata yang sudah ia tahan sejak semalam kini telah tumpah dalam dekapan Andi.

Tak ada sepatahkata pun Dini ucapkan. Ia akan berusaha untuk membicarakannya dengan sang ibu terlebih dahulu.

"Hari Minggu gini kamu nggak jalan sama Dimas?" tanya Andi berusaha mengalihkan kesedihan Dini.

Dini hanya menggeleng dengan tetap bersandar pada Andi.

"Kamu tau nggak, pelangganku ada yang sering dateng buat bawain Dimas makanan loh!" ucap Andi yang membuat Dini langsung mengangkat kepalanya dan menatap Andi dengan serius.

"Siapa?" tanya Dini dengan mengusap sisa air mata di pipinya.

"Namanya Gita, dia satu kantor kok sama kamu, tapi dia nggak tau kalau Dimas anaknya pemilik perusahaan tempat dia kerja," jawab Andi yang mulai berhasil memancing perhatian Dini agar melupakan kesedihannya.

Jika Dini tak mau menceritakan kesedihannya, Andi hanya akan menunggunya sampai Dini siap untuk bercerita dan ia akan berusaha mengalihkan kesedihan Dini bagaimanapun caranya.

"sorry Dim, gue nggak bisa jaga rahasia lo hehe," batin Andi dalam hati.

"Kenapa dia bawain makanan buat Dimas? apa mereka deket? Dimas nggak pernah cerita apa apa sama aku? mereka nggak......."

"Sssttttt..... kamu tenang aja, mereka nggak deket kok, emang Gita nya aja yang suka ngejar ngejar Dimas, tiap Dimas liat Gita dateng, dia pasti langsung sembunyi, Dimas nggak bakalan macem macem Din, tenang aja!" ucap Andi sambil menepuk nepuk punggung Dini.

"Tetep aja Ndi, namanya cewek kalau udah tergila gila sama cowok bakalan ngelakuin apa aja kayak Anita dulu, awas aja kalau Dimas macem macem, aku sumpahin dia buang air kecil lewat pori pori!" balas Dini kesal.

"Waduuhh, ngeri banget sih hahaha....."

"Biarin, nama panjangnya cewek itu siapa sih? dia kerja di bagian apa?"

"Mmmmmm.... aku lupa hehehe, besok deh aku liatin!"

"Dia gimana Ndi? cantik?"

Andi menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Tapi nggak secantik kamu," lanjut Andi dengan melemparkan senyumnya pada Dini.

"Aku serius Ndi!" balas Dini dengan memukul lengan Andi.

"Aku juga serius Din, kamu tenang aja Dimas tuh udah bucin banget sama kamu, aku kenal Dimas Din, dia selalu fokus sama tujuannya dan tujuannya itu kamu, Andini Ayunindya Zhafira," balas Andi yang membuat Dini tersipu.

"Pulang yuk Ndi, aku mau sidang Dimas sekarang juga!" ajak Dini.

"Ayo!"

Merekapun berdiri dan meninggalkan bukit. Mereka pulang ke rumah masing masing. Sesampainya di rumah, Dini tidak mendapati keberadaan ibunya lagi.

Dini lalu masuk ke kamarnya dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Dimas. Ia tau Dimas sedang sibuk hari itu, tapi ia tak peduli ia ingin segera bertemu Dimas saat itu juga.

Harapan Ibu Andi

Dini masih berada di kamarnya, ia menimang nimang ponsel di tangannya. Ia masih memikirkan kata kata Andi beberapa waktu lalu mengenai seorang perempuan yang sedang berusaha mendekati Dimas.

"aku nggak boleh lengah, nggak akan ada lagi yang namanya orang ketiga, cukup masalah sama ibu yang harus jadi prioritas pikiranku, jangan ada yang lain," batin Dini dalam hati.

Dini lalu segera menghubungi Dimas. Dua panggilan tidak terjawab, membuat kekesalan Dini meningkat hampir menyentuh ubun ubunnya.

"satu kali lagi nggak kamu angkat, itu artinya kamu udah nabuh genderang perang sama aku," batin Dini kesal.

Ia lalu kembali menghubungi Dimas, dan....

"Halo sayang, maaf tadi masih sibuk," suara Dimas terdengar di ujung sambungan ponsel.

"selamat kamu Dimas," batin Dini dengan senyum jahatnya.

"Kamu dimana?"

"Aku masih sama klien, bentar lagi selesai kok," jawab Dimas.

"Aku tanya kamu dimana Dimas bukan sama siapa?" tanya Dini dengan nada yang tidak bersahabat.

"Aku di kafe X sayang, kamu....."

Tuuuuttt Tuuuuttt Tuuuuttt

Sambungan terputus, setelah mengetahui keberadaan Dimas, Dini segera menutup panggilannya begitu saja. Sedangkan di sisi lain, Dimas merasa macan yang sedang tertidur kini tampak sudah bangun dan siap menerkamnya sewaktu waktu.

Dini segera berganti pakaian, berdandan tipis dan membiarkan rambut panjangnya tergerai indah dengan jepit rambut berwarna perak yang menghiasi rambutnya.

Dini menyambar tas kecilnya lalu segera memasukkan dompet dan ponselnya, bersiap untuk mendatangi kafe tempat Dimas bertemu klien nya.

**

Di tempat lain, Andi sedang mengerjakan desain baju dengan duduk di lantai ruang tamunya.

"Sibuk Ndi?" tanya ibu Andi yang datang dengan membawa sepiring pisang goreng dan menaruhnya di meja.

"Enggak bu," jawab Andi dengan mengambil pisang goreng di hadapannya.

"Rasanya ibu masih nggak rela deh Ndi kalau Dini nggak jadi menantu ibu," ucap ibu Andi yang duduk di sofa belakang Andi.

"Bu, Andi sama Dini kan udah deket dari kecil, ibu sendiri yang bilang kalau kita udah kayak saudara, ibu juga udah anggap Dini anak ibu sendiri kan?"

"Iya, ibu bilang gitu biar Dini bisa anggap ibu ini kayak ibunya sendiri, kalau kita makin deket kan Dini makin nyaman sama keluarga kita jadi besar kemungkinan kalau Dini bakalan mau jadi menantu ibu," jawab ibu Andi.

"Andi sama Dini itu cuma sahabat bu, kita udah deket dari kecil sebagai teman, sahabat, bukan yang lain."

"Justru itu Ndi, karena kalian udah deket dari kecil kalian jadi saling mengerti satu sama lain, jadi nggak akan susah buat kalian jalin hubungan yang lebih serius, iya kan?"

"Sekarang Andi sama Dini udah dewasa bu, kita punya jalan kita masing masing, Dini udah punya pilihannya sendiri dan sebagai sahabat yang baik Andi cuma bisa dukung apa yang Dini pilih selagi itu memang baik buat Dini," jawab Andi.

"Emang kamu yakin kalau Dimas baik buat Dini? Dimas itu bukan dari kalangan kita Ndi, keluarganya punya level yang tinggi, jauh dari kita, ibu cuma nggak mau kalau akhirnya Dini bakalan punya mertua yang semena mena dan jahat sama dia kayak di novel novel biasanya!"

"Ibu jangan kebanyakan baca novel yang kayak gitu deh, keluarganya Dimas baik kok, mereka nerima Dini apa adanya, mereka juga sayang sama Dini dan soal Dimas, Andi yakin kalau dia emang yang terbaik buat Dini, Andi tau dia serius sama Dini bu," balas Andi.

"Kamu sok tau, kenapa sih kamu nggak ngelamar Dini duluan, siapa tau Dini mau!"

"Mereka udah deket dari SMA bu, mereka udah banyak lewatin suka duka sama sama dan satu yang harus ibu tau, Andi sayang sama Dini tanpa berharap apapun, Andi cuma mau Dini bahagia dan keputusannya buat sama Dimas itu yang bikin dia bahagia."

"Terserah kamu lah, pokoknya ibu cuma mau Dini yang jadi menantu ibu," ucap ibu Andi lalu meninggalkan Andi.

Andi hanya bisa menarik napasnya dalam dalam dan menghembuskannya pelan. Tak lama kemudian sang ayah datang dan duduk di hadapannya.

"Makanya cepetan cari pacar, bawa ke rumah, kenalin sama ayah ibu!"

"Emangnya ayah pikir cari pacar kayak beli benang, tinggal ke toko pilih warna yang dicari, tinggal bayar, dapet, bawa pulang!" balas Andi yang kembali sibuk dengan laptop di hadapannya.

"Ya nggak gitu juga, tapi kalau kamu mau, ayah yakin nggak akan susah buat kamu cari pacar, anak ayah yang ganteng dan pinter ini pasti banyak dikejar kejar cewek kan?"

"Enggak juga," jawab Andi.

"Kamu aja yang terlalu dingin Ndi, coba yang ramah gitu sama cewek!"

"Andi nggak kayak gitu yah!"

"Apa mau ayah jodohin sama anaknya temen ayah? hehehe....."

"Enggak enggak, nggak mau, ayah ada ada aja, ini udah tahun berapa yah, udah nggak ada yang namanya perjodohan!"

"Hahaha..... takutnya dikira orang kamu 'belok' gara gara dari dulu nggak punya pacar hahaha...."

"Ya ampun ayah jahat banget," ucap Andi dengan menggeleng gelengkan kepalanya.

"Bu, Andi minta di jodohin nih!" ucap ayah Andi dengan berteriak lalu segera pergi keluar rumah.

"Enggak bu, enggak, ayah bohong!" teriak Andi sebelum sang ibu menyetujui ucapan ayahnya.

Ayah Andi hanya tertawa puas di depan rumahnya.

**

Di depan sebuah kafe, Dini masuk dengan pelan. Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dimas di sana.

"Permisi kak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang waiters yang tiba tiba menghampirinya.

"Mmmmm..... saya......" Dini masih menyapu seluruh ruangan itu dengan tatapan penuh selidik.

"Saya mau duduk dulu, nanti aja saya pesannya!" ucap Dini setelah ia menemukan keberadaan Dimas.

Dini lalu duduk di bangku yang tak jauh dari tempat Dimas duduk bersama kliennya.

"apa dia yang namanya Gita? cantik sih, tapi diliat dari fisiknya sih kayaknya usianya di atas Dimas, masak iya Dimas mau sama tante tante hehehe..."

"Sayang!" sapa Dimas dengan melambaikan tangannya ke arah Dini.

Dini hanya tersenyum canggung dan membalas lambaian tangan Dimas.

Dimas lalu menghampiri Dini.

"Sendirian?" tanya Dimas.

"Mmmm... sama Cika, tapi barusan dia ngabarin kalau nggak jadi dateng," jawab Dini berbohong.

"Ayo gabung sama aku!"

"Nggak papa?"

"Nggak papa dong, ayo!"

Dini menurut, ia mengikuti Dimas untuk bergabung dengan kliennya.

"Andini, kenalin ini mbak Atika, istrinya saudara jauh Yoga," ucap Dimas memperkenalkan kliennya.

"Salam kenal," ucap Atika pada Dini.

Dini hanya menganggukkan kepalanya membalas Atika.

"Andini ini tunangan saya mbak," ucap Dimas pada Atika.

"Waaahh, bentar lagi nikah dong, undang mbak juga ya!"

"Siap mbak, di tunggu aja!"

15 menit berlalu, setelah menyepakati beberapa hal, Atika berpamitan untuk pulang terlebih dahulu meninggalkan Dimas dan Dini di sana.

"Sidang" pun dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!