Tak seperti karakter dalam sebuah novel yang menunjuk sisi keren dan karismatik seorang pahlawan, aku adalah orang biasa dari kebanyakan orang di dunia ini.
Bukan.
Inginnya aku menyebut diriku sendiri seperti itu sayangnya aku sedikit berbeda, penampilanku terlihat culun dengan rambut rapih dan kacamata besar, setiap aku melewati orang-orang mereka tidak akan mempedulikanku seperti sebuah iklan pada papan jalan.
Meski begitu.
Bagaimana orang menilaiku atau apa yang mereka pikirkan aku tidak peduli, aku tidak berniat berteman dengan mereka ataupun sebaliknya, yang kuinginkan hanyalah hidup apa adanya tanpa membohongi diriku sendiri.
Bukan berarti aku meremehkan orang-orang yang terbawa arus, ini hanya murni pikiranku saja.
Aku berjalan di koridor yang ramai dimana di ujungnya terdapat ruangan yang luas untuk mahasiswa bisa belajar tanpa diganggu.
Benar, yang kumaksud adalah perpustakaan.
Walau aku sudah kuliah, aku masih berusia 15 tahun yang mana menjadikanku orang termuda di kampus ini. Aku membuka pintu besar itu dan menemukan puluhan rak yang tersusun rapih, aku berpikir akan membaca semua buku ini suatu hari nanti namun entah sampai kapan itu akan selesai.
Tidak seperti hari biasanya aku akan pergi ke barisan paling belakang dari rak, kukira buku di sana sangat jarang dibaca oleh seseorang.
Salah satu buku menarik perhatianku, aku mengambilnya lalu membersihkannya dari debu agar bisa membaca judulnya.
"Rahasia Dibalik Perburuan Penyihir."
Ini buku yang jarang kutemukan dimanapun, aku duduk di lantai kemudian melihat seluruh isinya, sedikit yang bisa kukatakan bahwa sebagian penyihir itu bukanlah orang jahat seperti apa yang dipikirkan kebanyakan orang.
Di masa ini, penyihir adalah jelmaan dari setan yang senang membunuh manusia, memakan anak-anak demi kehidupan abadi maupun ritual lainnya.
Semakin aku membacanya semakin itu berubah menjadi sesuatu yang horor, perutku terasa mual seakan lambungku ikut mendidih bersamaan darah di dalam tubuhku.
Aku tidak tahu berapa jam kulewatkan untuk membaca ini sampai tibalah aku dibagian paling akhir dari sebuah halaman, kulihat beberapa halaman kosong sampai tulisan aneh muncul secara tiba-tiba.
Aku membacanya perlahan agar tidak terdengar oleh siapapun.
*S**elamatkan penyihir terakhir, maka kau akan menemukan kebenaran*.
Apa maksudnya?
Ketika aku memikirkannya sebuah cahaya muncul dari buku dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh, itu mirip seperti seseorang telah menaiki roller coaster di wahana bermain, kepalaku pusing, nafasku terasa berat, jantungku berdetak kencang dari seharusnya, setiap pemandangan di hadapanku seakan memudar.
Aku berusaha berdiri dengan kedua kakiku sementara tanganku berpegang pada rak buku.
"Apa-apaan ini?"
Aku berusaha berteriak meminta bantuan namun suaraku tidak keluar seolah seseorang merebutnya.
Dalam kebingungan yang tak tertahankan itu aku mendengar sebuah suara-suara kecil yang masuk ke dalam kepalaku.
"Bunuh penyihir itu."
"Bunuh."
"Keluargaku tewas karena mereka."
"Bunuh."
Suara itu terdengar semakin jelas dan makin jelas ketika aku sadar perpustakaan yang sebelumnya kulihat kini telah berubah.
Aku merasa di sekelilingku banyak orang meski begitu pandanganku masih kabur, aku melepaskan kacamataku dan kusadari aku melihat semuanya dengan jelas.
Semua orang di sampingku berteriak selagi mengutuk orang yang mereka benci, mereka semua memakai pakaian yang telihat kuno seperti di abad pertengahan.
Dibanding semua itu yang membuatku terkejut adalah tentang kehadiran jauh di depanku, di sana tampak seorang gadis berambut pirang berdiri terikat oleh tali sementara beberapa orang berdiri di sampingnya bersiap menggantungnya.
Selamatkan penyihir terakhir, maka kau akan menemukan kebenaran.
Tulisan dalam buku itu terbaca kembali dalam pikiranku, rasanya seseorang sedang mengawasiku namun aku tidak bisa menemukan siapapun dimana-mana.
Lebih dari itu.
Aku harus menyelamatkan gadis itu.
Aku mulai mendorong orang-orang yang menghalangi langkahku, membuat mereka sedikit membuka jalan saat aku tiba di depan podium yang mereka gunakan.
"Siapa kau?"
Salah satu orang segera menghentikanku selagi menarik pedang di pinggangnya, aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini? Yang jelas aku tidak bisa mengabaikan gadis itu.
Aku tidak pandai bertarung tapi jika itu dalam terdesak aku mungkin bisa melakukan sesuatu.
"Tenang dulu, tenang, kenapa kalian yakin gadis ini penyihir? Lihat, dia hanya gadis biasa."
Di luar dugaan mereka mengerti apa yang kukatakan.
"Bodoh, apa kau buta? Aku melihat orang ini menggunakan sihir saat di hutan, mungkin saja sebelumnya dia memakainya untuk melukai kami."
"..."
"Atau mungkin jangan-jangan kau?"
Ketika orang yang membawa pedang itu lengah aku menendangnya jatuh ke arah penonton lalu membawa pedangnya di tanganku, aku menghunuskan pedang pada mereka selagi membawa gadis itu.
"Dia adalah tangan kanan si penyihir, jangan biarkan lolos."
Aku melepas ikatan gadis di depanku lalu berbisik di telinganya.
"Mari pergi."
Dan selanjutnya kami berdua langsung berlari tanpa arah, beberapa orang yang mengejar kami hanya berlalu begitu saja saat kami bersembunyi di sebuah gang sempit.
Gadis ini memelukku sangat erat dimana aku bisa merasakan hawa panas dari setiap tubuhnya.
Dia sangat ketakutan.
"Semua sudah baik-baik saja."
"Maafkan aku."
Menyadari apa yang sedang dia lakukan gadis ini segera menjauh dariku, dalam pengejaran aku telah menghilangkan kacamataku untunglah meski tanpa itu aku bisa melihat dengan jelas.
"Namaku Rolia, siapa kau?"
"Namaku Jason, Jason Wilstem."
Aku mengulurkan tanganku meminta berjabat tangan dan ia menerimanya dengan baik selagi tersenyum lembut.
Seseorang yang memiliki senyuman seperti malaikat mana mungkin dia penyihir jahat, aku menegaskan itu dalam pikiranku.
Ketika sudah aman aku menarik tangannya kemudian melanjutkan perjalanan kami menyusuri jalanan tikus, secepat mungkin kami harus segera meninggalkan kota ini.
Itulah yang aku yakini.
Nafas Rolia mulai tersenggal-senggal karena kelelahan, dia sudah mencapai batasnya, aku sempat untuk memintanya beristirahat namun sebuah pisau menembusnya dari belakang hingga ia tumbang di depan mataku, darah merah yang segar keluar dari tubuhnya.
"Eh?"
Aku membeku di tempat.
Saat aku sadari seseorang sudah menusukku dari belakang yang mana menjatuhkanku di samping Rolia, samar-samar aku bisa mendengar suara seorang wanita sedang berbicara.
"Apapun yang terjadi gadis ini harus mati, aku tidak tahu siapa kau? Tapi orang-orang yang melindungi penyihir juga harus menerima hal yang sama, bukan begitu?"
Rasa sakit mulai menyebar dari tubuhku, aku memegangi lokasi dimana aku tertusuk pisau sementara satu tangan lagi berusaha untuk menggapai Rolia yang terbaring tak bernyawa
Sakit, sakit sekali...
"Apapun yang terjadi aku akan menyelamatkanmu."
Setelahnya pandanganku menjadi gelap gulita.
"Ada apa Jason?"
Sebuah suara menyadarkanku dari lamunan.
"Rolia?"
"Wajahmu tampak pucat."
"Wajahku?"
Aku buru-buru memeriksanya terutama bagian dimana aku telah tertusuk."Tidak ada."
Aku segera memegangi bahu Rolia lalu sedikit mengguncangnya.
"Kau masih hidup? Aku melihatmu ditusuk."
"Ditusuk? Aku baik-baik saja... lihat."
Aku mulai menyusuri wajah Rolia dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Anu... jangan melihatku seperti itu," Rolia segera menutupi area lingkar dadanya.
Ia terlihat baik-baik saja, apa yang terjadi? Sudah jelas aku melihatnya mati, ketika aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling ini bukanlah lokasi yang sama saat aku tertusuk melainkan sebuah gang sempit saat aku pertama kali mendengar nama Rolia.
Kepalaku terasa sakit meski begitu.
"Aku kembali."
Aku tidak memiliki waktu untuk memikirkannya dan langsung memegang tangan Rolia untuk berlari bersamanya.
Saat pertama kali, aku memilih jalan ke kiri yang mengakibatkan kematian kami berdua karenanya sekarang aku memutuskan untuk memilih jalan ke kanan.
Beberapa pengejar masih bisa menemukan kami yang mana membuatku menarik tangan Rolia menyusuri gang-gang sempit, ia tertahan di tempat selagi mengatur nafasnya yang terengah-engah.
"Aku sudah lelah."
Itu wajar karena kami sudah berlari sekitar 20 menit.
Ada hal yang aneh, pengejar yang sebelumnya mengejar kami tampak tak terdengar lagi, aku memfokuskan pandanganku ke ujung gang dimana di sana terlihat sebuah kepala tergeletak begitu saja.
Tidak, itu terpotong dari tubuhnya, aku segera mendorong Rolia saat sebuah pisau terbang ke arahnya.
"Meleset, gerakanmu lumayan bagus."
"Siapa kau?"
Aku bertanya ke arah si pelaku dan ia melompat jatuh ke bawah dengan ekpresi senang, dia terlihat seperti seorang wanita dewasa pada umumnya, mengenakan pakaian yang menunjukkan seluruh bagian dadanya sementara untuk bawahannya ia mengenakan celana ketat.
"Namaku Cherry, bisakah kau memberikan wanita itu padaku?"
Dari suaranya jelas dia wanita yang sebelumnya membunuhku.
"Bagaimana jika aku menolak?" aku balik bertanya.
"Aku akan membunuh kalian berdua," balasnya selagi memainkan pisau, dengan kata lain dia menginginkan Rolia mati.
"Jangan khawatir aku selalu membunuh dengan cepat, aku tidak suka melihat seseorang mati secara perlahan-lahan."
Diam-diam aku meraih sebuah papan di dekat kakiku, sesuai dugaan saat ia melemparnya aku dengan baik menahannya dengan kayu lalu memegangi pinggang Cherry saat ia hendak berlari ke arah Rolia.
"Cepat lari! Aku akan menahannya."
"Tapi."
"Larilah."
"Apa benar kau ini pria? Lemah sekali," dengan mudah Cherry melepaskan kuncianku lalu berusaha menusukku dengan gerakan sederhana yang terlihat asal-asalan, aku berhasil menghindarinya selagi berusaha menjaga jarak.
Tanpa sengaja aku menginjak sesuatu hingga terjatuh ke bawah yang mana membuat Cherry melompat ke atasku selagi berusaha mendorong pisau yang kutahan dengan kedua tanganku.
Perlahan tenagaku semakin melemah.
"Nah, biarkan aku membunuhmu...rasanya tidak sakit kok."
Tahu apa kau tentang rasa sakit? Sejujurnya aku telah mengalami apa itu kematian terlebih orang yang membunuhku adalah orang ini.
Pisau semakin mendekat ke arahku dimana ujungnya yang tajam sedikit demi sedikit mengincar mata kananku.
Aku pasti akan kehilangan mataku, ketika aku berpikir demikian sebuah tongkat besi menghantam leher Cherry hingga ia pingsan dan jatuh begitu saja di atasku.
Aku mendorongnya ke samping dan melihat sosok Rolia mengulurkan tangannya.
"Ayo pergi."
Aku menerima tangan putihnya kemudian berlari menuju gerbang utama, adapun untuk orang-orang yang mengejar kami mereka semua sudah mati mengenaskan.
Tubuh mereka di tebas dengan cukup mengerikannya, hanya dengan sebuah pisau ia mampu melakukan hal kejam seperti ini, leher mereka ditusuk beberapa kali setelah mati.
Betapa mengerikannya.
Aku membuang wajahku lalu bersama Rolia melompat ke dalam sebuah kereta yang telah selesai diperiksa oleh penjaga gerbang, kami berdua bersembunyi dibalik jerami sebelum akhirnya ditengah perjalanan kami memutuskan turun secara diam-diam.
Lambat-laun akan ada seseorang yang menyadari bahwa kami berhasil melarikan diri dengan menyusup ke dalam kereta, sebelum itu terjadi kami berdua lebih dulu melangkah maju.
Aku mengambil kerikil, melemparkannya ke arah kuda hingga ia berlari menjauh sementara kusir yang sedang buang air kecil di depan pohon segera berlari mengejarnya tanpa membetulkan celananya terlebih dahulu.
"Tunggu aku... kau mau pergi kemana?"
"Pemandangan yang lucu," gumamku dalam hati.
Adapun untuk Rolia dia hanya diam selagi menutupi wajahnya dengan malu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!