NovelToon NovelToon

Find You

01

Susasana gedung pernikahan terlihat mewah dengan dekorasi bunga berwarna putih dan kuning. Tirai-tirai panjang menutupi dinding gedung berwarna putih dan kuning dihiasi aneka bunga yang didominasi warna putih. Tak ketinggalan lampu yang menghiasi setiap sudut juga lampu utama tepat di tengah gedung. Juga lampu dengan penerangan penuh menyorot kearah salah satu dinding dimana pengantin sedang bersanding menyalami tamu.

Di sisi kanan terdapat pemain musik yang menyanyikan lagu-lagu romantis. Sedang di sisi kiri terdapat aneka hantaran dan foto-foto prawedding sang pengantin dihiasi aneka bunga dan hiasan berbentuk love.

Aluna, gadis tinggi semampai menggunakan hijab modern dan berkebaya berwarna merah muda dilengkapi rok dan tas mini berwarna hitam di genggamannya baru saja memasuki halaman gedung. Ia menatap gedung mewah itu membuat sesak dadanya.

"Kamu sanggup Lun?" tanya Lea. Lea adalah sahabatnya sejak masa sekolah dulu. Gadis berambut sebahu dan bertubuh mungil itu berdiri disisinya dan ikut menatap gedung.

Aluna mengangguk mantap, tak ingin membuat sahabatnya khawatir. Mereka berjalan bersisian menuju penerimaan tamu.

Suasana di dalam gedung sungguh membuat siapapun iri melihatnya. Pengantin benar-benar seperti raja dan ratu. Aluna tidak dapat melihat kedua mempelai. Ia dan Lea memutuskan untuk menikmati makanan yang disuguhkan.

Siang itu tamu sangat ramai berdatangan. Semua dengan wajah ceria, saling menyapa. Hanya Aluna yang menunduk diam mencoba menikmati makanannya yang kini terasa hambar dan menyakiti tenggorokannya.

"Maaf, boleh gabung?" tanya seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Mungkin ibu dan istrinya.

"Silahkan!" Lea menyilahkan mereka untuk duduk bersama dengan meja yang sama. Mereka bertiga asyik bercerita dan sesekali melihat kearah pengantin yang masih menyalami tamu.

"Udahan yuk!" ajak Aluna pada Lea yang masih asyik menikmati serabi.

"Sedikit lagi" Lea menyuap sepotong kecil serabi dengan kuah gula merahnya. Andai dirinya dalam suasana dan kondisi baik, ia pasti akan mengambil makanan penutup juga. Tapi semakin lama di gedung ini, semakin ia merasa sesak dan akan sulit menahan air mata yang kini siap meluncur kapan saja.

Bersama Lea ia bangkit dan berjalan menuju pelaminan dengan kaki sedikit bergetar. Mereka menyalami orangtua pengantin perempuan hingga tiba dihadapan kedua mempelai.

"Selamat ya Kak" Aluna menatap pengantin pria sambil tersenyum dipaksakan.

"Aluna!" bisiknya.

Kehebohan terjadi saat pengantin pria memeluk Aluna. Aluna mencoba berontak melepaskan diri namun akhirnya pasrah sambil berurai air mata.

"Kak, lepas...!" akhirnya Aluna mendapatkan kesadarannya kembali.

"Lun, maaf. Aku..."

"Selamat ya kak, semoga bahagia dan langgeng hingga ke anak cucu" Aluna memotong pembicaraan si pengantin pria yang tak lain adalah Dirga, sang mantan kekasih.

Aluna menyingkir, menyalami pengantin wanita dengan memaksakan tersenyum dan meminta maaf dengan pandangan matanya. Ia segera menyalami kedua orangtua Dirga dan membalas pelukan hangat sang bunda.

"Maafkan tante ya... Maafkan juga Dirga" bisiknya saat memeluk Aluna. Aluna hanya mengangguk dan segera pamit dari atas panggung pengantin. Bukannya ia tak tahu, dengung suara bisikan para tamu di belakangnya. Mereka pasti mudah menyimpulkan siapa dirinya.

Bergegas ia menyusul Lea ke arah pintu keluar. Lea menyambutnya dan segera mengajaknya pergi.

Aluna menghempaskan tubuhnya ke sandaran mobil Lea. Ia memejamkan mata, mencoba menerima segalanya meski hatinya terasa sakit. Laki-laki yang diharapkan menjadi imamnya kelak telah menjadi milik orang. Lama-lama air matanya mengalir tanpa bisa dikendalikan.

"Nangis aja Lun, keluarin semua. Aku ngerti kok" Lea berkata sambil mengusap lengannya.

"Aku keliatan bo**h ya? Rasanya sakit Le, sakiiiit!" tangisan Aluna tak bisa dibendung lagi. Lea menyerahkan tisu untuknya. Aluna meraihnya dan mengelap hidungnya.

"Wajar Lun, mungkin kalau aku di posisi kamu aku nggak akan sanggup hadir. Kamu kuat Lun" kata Lea membesarkan hati Aluna. Ia tahu sahabatnya dan Dirga sejak mereka baru mengenal.

Dimana mereka sebagai mahasiswa baru harus melewati masa ospek yang menguras tenaga dan pikiran. Dikerjai oleh kakak tingkat yang salah satunya adalah Dirga.

Seringnya ia mengerjai Luna saat ospek, hingga diakhir ospek mereka dekat layaknya sahabat. Butuh waktu setahun untuk mengenal Dirga dan akhirnya mereka berpacaran. Saat itu Aluna belum memantapkan diri untuk berhijab.

Setahun kemudian, Dirga menyelesaikan kuliahnya. Dan Dirga akan memasuki dunia kerja seperti yang diinginkan ayahnya. Itu artinya ia akan pindah ke kota lain yang jaraknya tentu jauh. Dua tahun menjalani hubungan yang begitu dekat membuat Aluna tak ingin berpisah.

Akhirnya Dirga berhasil meyakinkan Aluna untuk menunggu. Ia akan bekerja dua atau tiga tahun hingga Aluna selesai kuliah dan ia akan menjemputnya dan malamarnya. Untuk meyakinkan Aluna ia membelikan sebuah cincin untuk Aluna.

Dan sejak itu mereka resmi berpacaran jarak jauh. Lagi-lagi jarak jauh dan juga komunikasi yang jarang terjadi karena mereka disibukkan dengan pekerjaan masing-masing sempat membuat keduanya putus di tengah jalan. Tapi ketika Dirga kembali ke kotanya untuk merayakan lebaran, mereka memutuskan mencoba kembali hubungan jarak jauh ini.

Tapi sayang, Dirga melupakan janjinya. Ketika Aluna masih menunggu ijazahnya, Dirga datang menemuinya dengan wajah kusut. Tak ada penjelasan, ia hanya meminta maaf dan pergi begitu saja.

Sejak saat itu komunikasi diantara keduanya kembali jarang. Nyaris tidak pernah. Hanya Aluna yang masih bingung dan selalu menghubunginya berharap Dirga mau menjelaskan segalanya. Dirga memilih diam dan menghindar. Hingga sebulan yang lalu, Dirga hadir dan membiarkan Aluna menumpahkan segala kekesalannya. Menumpahkan amarahnya pada Dirga.

Di akhir pertemuan, Dirga meminta maaf sambil berlutut. Meminta maaf karena tak ada waktu untuknya bahkan mengunjunginya sekali dalam setahun. Meminta maaf atas segala kesalahan yang tak dimengerti Aluna. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop berisi undangan pernikahan.

Aluna akhirnya menyadari akan sikap Dirga padanya. Ia merasa bo**h menunggu sesuatu yang tak pasti. Merasa dirinya terlalu percaya pada Dirga sampai akhirnya Dirga menorehkan luka yang begitu dalam. Saat itulah ia memantapkan diri untuk berhijab. Pelan-pelan mengubah imejnya.

Aluna menarik napas dan memaksa dirinya kembali ke kenyataan yang ada. Ia menyadari cincin dari Dirga masih tersemat di jarinya. Ia membuka cincin yang menemaninya lalu memasukkan ke dalam tasnya. Suatu saat akan ia kembalikan pada Dirga atau ia akan membuangnya bersama kenangan.

"Ayo kita pulang, Le!" Aluna menghapus air matanya dan mencoba tersenyum pada Lea.

"Udah lebih baik?" tanyanya. Aluna mengangguk. Mereka meninggalkan lokasi gedung dan meninggalkan debu tipis yang diterbangkan angin bersama kenangan Aluna pada Dirga. Ia akan belajar melupakan Dirga meski itu tidaklah mudah. Pelan-pelan ia akan mengobati hatinya dan melupakan semua lalu berharap semua akan membaik seiring waktu. Ia juga mendoakan Dirga menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuk istrinya.

02

Aluna menghabiskan waktu bersama Lea. Mereka berkeliling kota masih dengan mengenakan pakaian kebaya. Terkadang mereka bernyanyi dengan suara keras. Lea berusaha membuat Aluna melupakan sejenak kesedihannya. Aluna sangat berterimakasih pada Lea.

Mereka sampai di apartemen Aluna. Lea bahkan mengantar Aluna hingga ke depan pintu dan masih bersikeras untuk menemaninya malam ini. Aluna menggeleng kuat dan mendorong tubuh Lea agar pulang dan tak mengkhawatirkannya.

"Kalau ada apa-apa dan butuh teman telpon aku. Kamu nggak sendiri" kata Lea sambil memeluk sahabatnya.

"Terimakasih untuk hal gila hari ini," Aluna membalas pelukan Lea.

"Oke, sana masuk! Aku pulang dulu. Daaah!" Lea melambaikan tangannya yang dibalas Aluna sambil tersenyum.

Aluna masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ia segera ke kamar mandi, membersihkan diri dan lagi menumpahkan rasa sakit yang masih tersisa di hati. Air mata kembali mengalir di kedua pipinya.

Setelah mandi ia duduk di kamarnya. Terasa sepi dan hening. Biasanya ia menghabiskan waktu berjam-jam menelpon Dirga. Terkadang sampai ia tertidur dan keesokan paginya ia akan meminta maaf pada Dirga. Kini ruangan itu hening dan hampa. Seperti hatinya.

Aluna beranjak, menarik bantal dan selimutnya menuju sofa di depan televisi. Ia memutar drama korea genre komedi. Meskipun matanya mengarah pada layar tapi tidak dengan pikirannya.

Mungkin malam ini Dirga menghabiskan waktunya dengan istri yang telah sah. Mereguk manisnya malam pertama, memadu kasih. Sementara dirinya nelangsa, menghabiskan waktunya menonton drama hingga larut malam. Mengasihani diri sendiri dan masih menangis.

Lea menelponnya. Aluna mengabaikannya, ia ingin sendiri.

***

Waktu menunjukka pukul 07.00, Aluna selesai beberes. Ia hanya bisa tidur sebentar. Lalu setelah solat subuh ia merapikan kamarnya. Memasukkan foto-foto dan semua hadiah dari Dirga kedalam sebuah box. Bukan ia tak menghargai pemberian Dirga, tapi ia ingin melupakan semua kenangan yang pernah diberikan oleh Dirga. Biar bagaimanapun Dirga kini sudah menjadi suami orang.

Setelah beberes ia langsung mandi, setelah mandi bel berbunyi. Ia pikir itu Lea. Ia memang sengaja menelpon Lea agar datang ke apartemenya dan sarapan bersama.

"Ayo masuk... eh kamu?" Aluna memicingkan matanya menatap Dirga yang kini berdiri di hadapannya.

"Bisa kita bicara?" Dirga bertanya. Aluna menggeleng.

"Tidak, ini salah Ga. Kamu nggak boleh di sini,"

"Sebentar aja, please."

"Nggak! Sana...! Dan jangan pernah ke sini lagi!" Aluna mendorong tubuh Dirga dan ia segera menutup pintu.

Lama-lama ia bicara dengan Dirga hanya membangkitkan kenangan yang ingin ia lupakan. Belum lagi nanti ia akan merasa lemah bila Dirga memohon maaf. Tidak. Ia belum siap untuk itu, mungkin nanti bila ia sudah bisa menata hatinya.

Lima belas menit kemudian Lea datang. Aluna menangis sambil memeluknya.

"Heiii... Ada apa?" tanya Lea

"Dirga tadi ke sini,"

Lea menarik napas lalu merangkul Aluna, membawa gadis itu menuju sofa ruang tamunya.

"Ngapain dia?" Tanya Lea sambil meletakkan bungkusan sarapan untuk mereka. Ia tahu Aluna tak akan sempat memasak.

"Dia mau ngomong tapi aku nggak kasih kesempatan. Ini salah, kenapa dia datang sehari setelah dia nikah? Mau apa lagi dia? Nggak cukup dia nyakitin aku," kata Aluna

"Sssst... Tenang dulu, aku ngerti. Maaf ya aku telat tadi. Udah lupain dulu, kamu harus kuat, Lun!" Lea menguatkan.

"Thanks,Le! Maaf, aku cengeng banget" Kata Aluna mengelap air matanya.

"Emang, udah ah... Nggak usah sedih lagi, sarapan dulu. Nanti kamu sakit." Lea mengambil bungkusan di atas meja dan membawanya ke dapur. Menuang bubur ke mangkuk dan diberikan ke Aluna.

"Makan dulu, ntar kalau udah kuat baru cerita," Lea menyodorkan mangkuk. Aluna meraih mangkuk dan menatap Lea penuh rasa terimakasih.

Mereka makan dalam diam, hanya ditemani suara berita di televisi.

"Sesudah makan, temanin aku ya," kata Aluna.

"Kemana?"

"Tuh, mau dimusnahkan," tunjuk Aluna pada kardus berisi foto dan semua hal tentang Dirga.

"Sebanyak itu?" tanya Lea. Aluna mengangguk.

"Terlalu banyak kenangan Le, udah jangan protes. Aku nggak mau barang-barang itu. Kalau kamu mau ambil aja," Kata Aluna.

"Yeeee... buat apa? Ini juga, buat apa non? Ogah banget!" katanya mengangkat sebuah foto berbingkai berisi foto Aluna dan Dirga yang sedang tersenyum ke arah kamera.

"Siapa tau untuk jimat," kata Aluna mengangkat bahunya dan tersenyum tipis. Senyum tulus pertama sejak dia tahu tentang Dirga dan pernikahannya.

"Kurang kerjaan banget, eh tapi yang lain masih bermanfaat tuh!" kata Lea yang memasukkan foto tadi secara asal ke dalam kardus.

"Maksudnya?"

"Udah ah, buruan makan. Hari ini kerja outdoor. Buruan!" kata Lea. Aluna menghabiskan buburnya dengan terpaksa. Sejujurnya ia belum ada ***** makan, tapi melihat bagaimana sahabatnya membawakan dan mendukungnya ia harusnya berterimakasih.

Ia meletakkan mangkuk bubur dan berlalu ke kamar. Mengganti celana santai dengan celana kulot, memakai jilbabnya dan meraih jaket. Mereka berdua membawa dua kardus yang telah dipilih Lea untuk dibawa. Mereka meletakkannya di bagasi lalu segera pergi ke taman.

Taman kota saat itu ramai karena mungkin memang hari libur. Lea menghentikan mobilnya dan membuka bagasi belakang, lalu ia menyusun boneka, aneka pernak-pernik kalung, gelang dan jam tangan oleh-oleh dari Dirga yang jarang di pakai Aluna, juga barang pajangan lainnya.

"Ini mau diapain?" tanya Aluna

"Dijual," jawab Lea pendek.

"Haaah? Serius?" janya Aluna

"Emang aku lagi becanda? Udah ah, ikutin aja" katanya sambil mencoba menawarkan pada setial orang yang lewat dengan harga yang relatif murah.

"Le, ini kayaknya keterlaluan nggak sih?" tanya Aluna.

"Nggak dong," jawabnya sambil menghitung kembalian karena banyak orang yang membeli.

"Tapi kaaaannn..."

"Daripada dibuang, polusi tau!" katanya "Terimakasih mbak" Ia tersenyum ke arah pembeli terakhir. Dalam dua jam barang dagangan itu habis tak bersisa.

"Nah gini caranya menggunakan pikiran non, yuk hitung uangnya" ajak Lea. Aluna manut aja.

"Uangnya mau diapain?" tanya Aluna.

"Ini mau kita kasih yang membutuhkan Lun, itung-itung buang sial hehehehehe" Lea terkekeh sambil merapikan uang tersebut. Gadis yang agak tomboi ini memang serba bisa, gerakannya gesit dan mampu berpikir cepat.

"Ke siapa?"

"Udah ah, ikut aja yuk!" Lea menarik tangan Aluna, mereka kembali membelah jalanan. Setelah melakukan perjalanan selama 30 menit, mereka sampai pada sebuah rumah. PANTI ASUHAN KASIH IBU. Aluna membaca plang yang ada di depannya. Berdua mereka memasuki halaman dan bertemu dengan seorang anak yang sedang membaca buku di bawah pohon ceri.

"Dek, ibu Asih ada?" tanya Lea.

"Ada bu, sebentar ya saya panggilkan," Gadis kecil itu berlari tanpa alas kaki menuju belakang panti. Tak lama keluar seorang ibu berbadan kurus menggunakan jilbab panjang.

"Bu Asih?"

"Lea?" wanita yang diperkirakan bernama Bu Asih bertanya seolah tak percaya. Lea menghampirinya dan menyalaminya dengan takzim. Aluna mengikutinya.

"Siapa ini?" tanya bu Asih.

"Saya Aluna, bu."

"Ayo masuk, kita ngobrol di dalam," ajaknya pada Lea dan Aluna. Aluna masih bertanya-tanya tentang Lea dan juga panti asuhan ini. Meski begitu ia mengikuti keduanya masuk.

03

Aluna memasuki ruangan penerimaan tamu. Layaknya ruang tamu biasa, di sebelah kanan pintu terdapat sofa panjang berwarna merah juga meja yang terbuat dari papan. Sepertinya dibuat sendiri. Di dinding banyak tergantung foto-foto anak-anak panti asuhan dalam berbagai acara.

"Duduk dulu, sebentar ibu panggilkan bude dulu," katanya. Tak lama ia kembali duduk di hadapan dua gadis muda itu.

"Ada apa Lea kemari? Gimana kabarnya?" tanyanya

"Maafkan Lea yang udah lama nggak ke sini bu, Lea sehat-sehat. Lea mau menitipkan sesuatu untuk ibu dan anak-anak," Lea berkata.

"Titipan apa?" tanya bu Asih.

"Titipan dari bunda sama Aluna" kata Lea menyerahkan dua amplop pada bu Asih. Ternyata hasil penjualan barang tadi diberikan untuk anak-anak panti asuhan. Aluna merasa senang dengan pemikiran Lea.

"Ya Allah, alhamdulillah nak, terimakasih banyak. Sampaikan salam ibu pada bunda dan ayah, ya. Semoga selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan." kata bu Asih.

"Aamiin" Lea dan Aluna mengamini pelan.

"Loh? Lea?" tanya seorang wanita berperawakan gemuk menggunakan jilbab panjang dan sedikit berantakan.

"Budeeeee..." panggil Lea dan menghambur ke pelukannya.

"Loh, bude bau asem ini. Tadi lagi masak," katanya setelah meletakkan minuman dihadapan kedua tamunya.

"Kangen bude," kata Lea manja.

"Tapi ndak pernah kesini, pinter bohong nih," goda si bude.

"Lea kan kerja De, bude duduk sini dong," Lea menarik tangan bude.

"Wis ndak usah, bude masuk dulu mau masak. Lanjut ngobrol lagi. Nanti kamu ke dapur yah, bude bikin mendoan," bisiknya. Lea mengacungkan jempolnya.

"Kamu itu nggak berubah," kata bu Asih, Lea hanya tersenyum malu lalu duduk di samping Aluna.

"Anak-anak apa kabar, Bu?"

"Sehat-sehat semua. Sana kamu liat adik-adikmu" kata bu Asih.

Lea berdiri diikuti Aluna. Mereka melewati jalan samping. Bu Asih menjelaskan sekarang anak panti semakin bertambah, pengeluaran juga bertambah. Akhir-akhir ini donatur juga tidak sebanyak dulu.

Mereka melewati sisi sebelah kanan dimana terdapat tiga pintu. Itu adalah kamar anak perempuan. Di dalam setiap kamar terdapat enam ranjang juga lemari pakaian. Semua tertata rapi. Sedangkan di sisi kiri adalah kamar untuk anak laki-laki dengan luas yang sama. Diantara kamar anak laki-laki dan perempuan terdapat halaman untuk bermain. Sebagian besar anak-anak sedang bermain tak peduli dengan matahari yang semakin terik. Begitu melihat bu Asih dan Lea semua berhamburan menyalami Lea juga Aluna yang tersenyum lebar melihat tingkah anak-anak.

"Ibu mau cek anak piket dulu ya, kalian disini dulu," pesan bu Asih. Mereka mengangguk.

Lea mengajak Aluna duduk di teras persis di depan kamar anak perempuan.

"Kamu tahu tempat ini dari bunda?" tanya Aluna yang menyebut ibu Lea dengan sebutan yang sama.

"Justru bunda tahu aku dari tempat ini" jawab Lea.

"Maksudnya?" Aluna mengernyitkan dahinya.

"Aku berasal dari panti ini Lun dan bunda mengadopsiku waktu umurku masih 4 tahun," jawab Aluna. Sekian lama Aluna berteman dengan Lea ternyata Lea menyimpan rahasia besar.

"Serius?" tanya Aluna.

"Ya, dan aku sangat paham kondisi di sini. Kondisi di saat donatur sedikit, anak-anak harus berbagi dalam segala hal," kata Lea.

"Maaf aku nggak tahu kalau kamu dari sini, ku pikir bunda..."

"Bunda nggak bisa punya anak lagi setelah melahirkan kak Vino, rahim bunda harus diangkat. Bunda ingin anak perempuan. Kamu tahu sendiri anak bunda tuh cowok semua, jadilah bunda kesini dan ketemu aku" Lea menjelaskan.

"Kamu nggak pernah cari ibu kandung kamu?" tanya Aluna

"Nggak, buat apa? Toh aku dulu dibuang di sini. Aku sudah menemukan kebahagiaanku di sini dan di rumah bunda. Aku harus cari apa lagi? Seharusnya aku bersyukur karena aku lebih beruntung, bukan?" katanya sambil tersenyum.

"Iya juga ya," kata Aluna pelan.

"Dan kamu, kamu harus bahagia Lun. Kamu beruntung punya orangtua kandung, punya segalanya dan kamu harus bersyukur karena itu,"

"Tapi aku gagal soal percintaan" kata Aluna

"Gagal itu proses pendewasaan diri, nggak seharusnya kamu meratapi diri sendiri, meratapi nasib karena seorang laki-laki. Bukankah semua harus kita pasrahkan pada Tuhan?"

"Iya, tapi kenapa harus melalui sakit ini?" kata Aluna.

"Supaya kamu bisa berdiri kokoh nantinya, percayalah kamu bakal dapat yang lebih baik lagi. Buat apa berharap pada sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain," kata Lea.

"Kata siapa aku berharap?" tanya Aluna.

"Ituuuu... Masih nangis, mata bengkak, mata panda. Emang aku nggak tahu kamu nangis semalaman?" kata Lea menunjuk kedua mata Aluna. Aluna hanya tersenyum malu.

"Aku kan juga butuh proses" kata Aluna

"Iya, aku percaya kamu bisa lewatin ini semua. Kamu pasti bisa," kata Lea memberi semangat. Aluna tersenyum dan mengangguk.

"Oh ya, terimakasih sudah bantu aku menghapus jejak Dirga" kata Aluna tulus. Lea tersenyum dan mengangguk

"Maaf, uangnya tanpa persetujuan kamu udah aku kasih ke bu Asih,"

"Nggak apa-apa. Makasih ya" kata Aluna.

Mereka menghabiskan siang itu di panti. Melihat anak-anak melaksanakan ibadah solat zuhur diikuti oleh Aluna dan Lea. Lalu anak-anak makan siang diikuti oleh Lea yang makan tempe mendoan dengan lahap. Aluna hanya memakan sepotong. Dan disaat anak-anak akan tidur siang barulah Aluna dan Lea pamit.

Mereka kembali ke apartemen Aluna, Lea ikut beristirahat di sana. Katanya lelah tapi Aluna tahu itu hanya alasannya saja untuk menemani Aluna. Lea segera menghempaskan dirinya di kasur empuk milik Aluna dan langsung tertidur.

Aluna geleng-geleng kepala melihatnya. Ia malah membuka siaran televisi dan mencoba bersantai. Dering ponsel membuatnya mengalihkan perhatiannya sejenak.

Dirga calling...

Aluna menghembuskan napas dan mengabaikan dering ponselnya. Meskipun ini mengganggu pikirannya. Ia tak lagi berkonsentrasi pada tayangan televisi. Kepalanya malah memutar memori tentang mereka.

"Astagfirullah... Lupakan aku Ga," bisiknya pelan sambil mengusap wajahnya lalu mematikan ponselnya.

Entah untuk apa lagi Dirga mengganggu hidupnya. Bukankah dia sudah bahagia dengan istri barunya dan mengkhianati janjinya? Membuat Aluna kini membencinya. Seharusnya ia tak memendam rasa benci di hati tapi ketika dirinya merasa lemah dan sakit, ia tak tahu harus melampiaskan pada siapa? Apakah pada Tuhan? Apakah pada wanita yang merebut kekasihnya? Atau pada Dirga? Ataukah kesalahan ada pada dirinya? Sehingga Tuhan menegurnya dan memberinya rasa sakit agar ia sadar bahwa dalam agamanya berpacaran bukanlah hal yang dianjurkan. Aluna memejamkan matanya, mungkin memang salahnya, juga salah Dirga. Tak seharusnya mereka berpacaran.

Aluna kembali berpikir, mungkin jika Dirga ditakdirkan untuknya maka Dirga akan melamarnya. Toh Dirga sudah bekerja. Setidaknya Dirga bisa mengikat janji dengannya. Bukan malah mengkhianatinya. Sepertinya Aluna harus membatasi diri mulai kini. Ia tak ingin lagi di khianati oleh siapapun. Ia memantapkan diri untuk tidak lagi berpacaran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!