Atiqah
Terkadang memang untuk bahagia yang sesungguhnya harus merasakan luka, sakit dan kecewa. Seperti Atiqah. Namanya hanya satu kata ATIQAH. Nama yang memiliki arti "Wanita yang Cantik".
Memang wajahnya cantik tapi perjalanan cintanya, hidupnya. Apa akan cantik juga?
Gadis kelahiran tahun 2000 dengan tinggi badan 165cm, berat badan 50kg, berkulit kuning langsat. Putri sulung dari Bapak Bondan, seorang karyawan pabrik tekstil dan Ibu Asri yang membuka warung nasi di pasar, tidak jauh dari sekolah Atiqah.
Atiqah siswi SMA kelas 1 yang manis dan juga ceria. Memiliki adik laki laki yang terpaut 7 tahun lebih muda, namanya Robi. Layaknya seperti remaja pada umumnya, Atiqah memiliki cinta pertama. Namanya Fajar Adhiwilaga, laki laki berusia 5 tahun lebih tua darinya yang sudah membuat Atiqah tak bisa ke lain hati.
Konon banyak cerita, cinta pertama tak akan pernah berhasil alias bertepuk sebelah tangan.
"Mas Fajar..." Atiqah berlari ke arah mobil travel yang baru saja tiba di depan rumah Fajar. Fajar menghilang selama satu tahun setelah laki laki itu pergi untuk berkuliah di kota Kembang Bandung.
"Atiqah" ucap Fajar membalikkan badannya saat akan membuka gerbang rumah.
Langkah Atiqah terhenti. Disamping Fajar ada sosok wanita cantik, dewasa dan seksi menggapit lengan Fajar.
"Kok diem? sinih..." melambaikan tangannya agar Atiqah mendekat. Atiqah berjalan pelan sambil terus melihat wanita itu.
Cantik banget...pasti itu pacar mas Fajar. Aku jadi insecure. batin Atiqah.
"Mas Fajar dari Bandung?" Fajar mengangguk tersenyum manis seperti biasa yang ia lakukan. Lesung di pipinya semakin membuatnya terlihat sangat manis.
Sesaat pesona Fajar terbuyarkan dari pikiran Atiqah karena tatapan sinis dari wanita itu. Wanita itu semakin merapatkan tubuhnya ke lengan Fajar. Mengatakan secara tidak langsung kalau Fajar adalah miliknya.
"Maaf ya, mas gak ada kabar. Lagi sibuk sibuknya kuliah" mengusap kepala Atiqah. Atiqah selalu merasa nyaman dengan perlakuan Fajar.
"Sibuk kuliah apa sibuk pacaran" gumam Atiqah.
"Hah? Apaa?" Fajar tidak terlalu jelas mendengar gumaman Atiqah yang berdiri didepannya.
"Hah? enggak...enggak kok mas. Yaudah, aku pulang dulu. Selamat datang kembali. Juga...semoga langgeng terus ya mas. Bye..." Atiqah berbalik badan dan segera berlari ke rumahnya. Jarak rumah hanya beberapa meter, terjeda 5 rumah. Rumah Atiqah menghadap ke barat, sedangkan rumah Fajar menghadap ke arah timur.
Sialan!! tetangga tapi mesra udah pupus, cinta pertamaku kandas sebelum berlabuh. Hiks hiks...
Atiqah memukul mukul boneka beruang yang diberikan Fajar di ulang tahunnya 3 tahun lalu.
******
Ardi Danurdara
Siswa SMA kelas 2, kakak kelas Atiqah. Putra kedua dari keluarga konglomerat. Ayahnya pemilik beberapa perusahaan, termasuk pabrik tekstil dimana ayah Atiqah bekerja disana. Ibunya sendiri pemilik salon kecantikan, cukup terkenal di Jakarta.
Ardi adalah Ketua Osis yang digandrungi banyak siswi. Dari kakak kelas, seangkatan, juga adik kelas. Kecuali Atiqah.
Meskipun wajahnya tampan dan ramah, tidak membuat Atiqah mengidolakan ataupun tergila gila dengan sosok Ardi sang ketua Osis. Bagi Atiqah, Ardi hanya sosok kakak kelas yang menyebalkan dan playboy.
"Atiqah..." Ardi berlari menghampiri Atiqah yang sedang berjalan ke luar sekolah bersama Lala sahabatnya. Ardi menarik bahu Atiqah agar berbalik ke arahnya.
"Apa??" tanya Atiqah ketus, sambil menepis tangan Ardi di bahunya.
"Judes banget sih"
"Pulang bareng yuk?!" merangkul bahu Atiqah. Mengangkat kunci motor gedenya ke udara, menggoyang goyangkan kunci itu tepat didepan wajah Atiqah.
"Apaan sih. Minggir! aku gak tertarik naik motor gede kamu. Makasih! ayok La?!" menepis tangan Ardi di bahu kirinya lalu menarik tangan Lala pergi menjauhi Ardi. Ardi justru tersenyum.
Dua temannya datang, merangkul Ardi. "Ditolak lagi?" Ardi mengangguk lalu pergi ke parkiran bersama kedua temannya tadi.
"Ya ampun Atiq, kak Ardi ngajakin kamu pulang bareng kok ditolak sih. Rugi tau" ucap Lala yang masih mengikuti Atiqah berjalan menyebrangi jalan.
"Kamu mau? yaudah gih sanah. Mending juga naik angkot. Pak..pak..." melambaikan tangannya pada angkot berwarna hijau dari kejauhan.
Ardi yang ditolak Atiqah tidak merasa kecewa atau sedih, jiwanya tertantang untuk menaklukan Atiqah. Adik kelas yang menurutnya sangat manis dan jutek, berbeda dengan yang lainnya. Atiqah yang tidak menyukainya justru membuat Ardi semakin penasaran.
*****
Fajar Adhiwilaga
Seorang mahasiswa di kampus kenamaan di kota kembang, Bandung. Perawakan tinggi 180cm dan berkulit sawo matang itu memiliki kumis dan jenggot tipis. Laki laki yang sanggup membuatnya menjadi cinta pertama untuk Atiqah.
Berawal dari masa kecil mereka, selalu bermain bersama. Rumah yang dekat membuat mereka semakin akrab untuk saling mengunjungi. Bagi orangtua Atiqah, Fajar sudah seperti keluarga sendiri, begitu juga dengan Atiqah. Orangtua Fajar yang berprofesi guru sangat menyukai Atiqah, karena Fajar putra tunggal yang mereka miliki.
"Fajar, kamu udah dua tahun lulus SMA. Kamu janji sama ibuk buat kuliah. Kerja di cafenya di stop ya?! Ibuk pengen liat anak ibuk satu satunya juga jadi guru" ucap Ibu Siti di meja makan, saat mereka akan sarapan.
"Iya, bapak juga setuju sama ibuk. Kamu harus jadi guru seperti kami. Ya walaupun gajinya tidak terlalu besar, kamu bisa buka les dirumah atau kamu datangi rumah murid. Seperti bapak sekarang" Pak Aji ikut menimpali. Menerima satu piring berisi nasi goreng dari istrinya.
"Iya...iya pak, buk. Taun ini Fajar mau daftar kuliah. Tapi Fajar maunya di Bandung. Boleh?" tanya Fajar menatap orangtuanya bergantian. Ia ingin mandiri. Sejak lahir sampai sebesar sekarang, Fajar belum pernah merasakan keluar dari rumah. Ia juga ingin mencari jati dirinya, mencari pengalaman dan berteman dengan siapapun.
"Gimana pak?" tanya bu Siti. Sejujurnya ia berat untuk mengabulkan permintaan Fajar berkuliah di Bandung. Sudah pasti karena rasa rindunya. Baru kali ini, mereka akan berjauhan.
"Kalo bapak setuju setuju aja, gimana sama ibuk?" pak Aji tau istrinya berat melepaskan putranya untuk mengejar ilmu di luar kota.
"Kenapa gak di Jakarta aja? disini kan banyak universitas yang bagus. Ibuk bisa masakin kamu tiap hari. Kalo di Bandung nanti makannya gimana? Ibuk kepikiran" wajahnya pias, tidak ingin berpisah dengan putra satu satunya.
"Fajar udah dewasa buk. Soal makan kan banyak warung, tinggal beli. Biar Fajar mandiri buk" jawaban Fajar memang benar. Bu Siti akhirnya mengangguk menyetujui, walaupun hatinya masih tidak rela.
*****
Author :
Untuk bab pertama pengenalan dari masing masing karakter dulu ya. Semoga kisah mereka nantinya bisa diterima juga jadi pembelajaran untuk kita semua.
Disini latarnya masih di kota Jakarta tapi aku bikin percakapannya pakai kata "aku kamu" bukan "elo gue". Biar lebih menyentuh aja dengernya 😋😄
Yuk ah, siapin vote kalian buat bab pertama. Biar authornya seneng, makin rajin update 😁
Jangan lupa like, komen sama kasih gift buat Atiqah!
lope lope buat semua pembacaku 😘😘😘
Atiqah terlambat bangun, alarm ponselnya lupa ia setting. Buru buru ia menarik handuk yang menyandar rapih di kursi belajarnya, keluar kamar.
"Dek, kok kamu gak bangunin mba sih? mba telat nih" Atiqah kesal dengan adiknya Robi. Adiknya sudah berpakaian rapih duduk di ruang makan. Ayahnya sudah pagi sekali berangkat mengantar ibunya ke pasar untuk berjualan dan membantu disana saat jadwal kerjanya sift malam.
"Aku udah bangunin mba tadi, tapi gak bangun bangun. Salah sendiri. Aku berangkat dulu mba" Robi selesai sarapan lalu memakai tas ranselnya pergi ke sekolah. Sekolahnya dekat dengan rumah, cukup melewati gang dan menyeberang. Robi anak SD kelas 3 yang memang dipaksa untuk mandiri, karena Ayah Ibunya sibuk mencari nafkah pagi pagi sekali.
Atiqah mandi bebek alias mandi kilat tanpa keramas. Ia basahi dengan vitamin rambut agar terlihat fresh dan wangi.
"Atiq...telat lagi?" Fajar kebetulan lewat depan rumahnya setelah mengantar ibunya ke sekolah.
"Iya mas" ucap Atiqah sambil memutar kunci rumah lalu memasukkannya ke dalam tas ransel.
"Mas anter aja, biar gak telat banget. Angkot didepan udah sepi" Fajar memutar motornya ke arah saat dia datang.
"Gak papa mas? nanti pacar mas Fajar marah" belum dijawab, Atiqah sudah mengambil helm di kaitan. Langsung memakainya dan nangkring di atas jok motor. Fajar tersenyum dengan kebiasaan Atiqah yang suka berbasa basi tapi mau.
"Enggak...pacar mas udah pulang tadi pagi. Sama ibuk gak boleh lama lama, pamalih katanya" jawab Fajar sedikit berteriak karena mereka sudah berada di jalan raya.
"Ooh...berarti bener yang kemaren sabtu itu pacarnya mas Fajar" gumam Atiqah, hatinya mencelos.
Sudah terlambat bangun dan harus buru buru, sialnya ia harus mengetahui kenyataan pahit soal wanita yang bersama Fajar kemarin. Cinta pertamanya semakin sulit di raih.
"Kok diem aja?" tanya Fajar saat berhenti di lampu merah.
"Hah?? Apa mas?" Atiqah sedang melamun.
"Kok diem aja dari tadi. Kamu kecewa mas punya pacar?" lampu merah disana memang lama sekali. Atiqah sudah terlambat 5 menit, padahal jaraknya masih lumayan untuk sampai di sekolahnya.
"Sedikit mas. Mas Fajar mau nikah sama pacarnya?" pertanyaan yang sulit untuk Fajar jawab. Fajar terdiam cukup lama.
"Kok gantian diem aja. Bukannya kalau udah pacaran gitu, tujuannya nikah?" Atiqah kembali bertanya karena Fajar masih diam.
"Belum tentu. Sebenernya mas bingung. Pacar mas anak orang kaya di Bandung. Mas gak pede sama keluarganya" Atiqah menempelkan dagunya di bahu kanan Fajar agar lebih jelas mendengar ucapan laki laki didepannya itu.
"Jangan patah semangat dong mas. Kalau cinta harus diperjuangin. Jangan gak pede gitu dong. Mas Fajar kan ganteng, itu satu modal yang cukup" padahal Atiqah senang mendengar perkataan Fajar yang tidak berniat untuk menikah dengan pacarnya. Ada kesempatan untuk dirinya tapi mulutnya berkhianat, sok bijak memberi semangat dan masukan untuk Fajar. Dan perkataannya yang terakhir adalah ucapan jujur, karena memang Fajar dimata Atiqah sangat tampan.
"Ganteng doang tapi gak berani ngajak serius" ucap Fajar, jargon yang lagi hits. Merek berdua tertawa keras sampai tidak sadar ada sepasang mata yang mengawasi mereka dari lampu merah.
Tembok besar sekolah negri favorit berwarna biru sudah terlihat. Fajar menghentikan motornya didepan gerbang yang sudah tertutup.
"Udah setengah jam kamu telatnya" Fajar melihat jam tangan di pergelangan sebelah kiri.
"Iya mas, mati aku! Pelajaran pertama Bu Asih, mas tau sendiri kan killernya gimana" Fajar yang alumni SMA itu tau bagaimana karakter Bu Asih guru matematika.
"Wah, beneran tamat riwayatmu Atiq. Terima aja hukumannya, dari pada bolos. Makin runyam nanti. Bisa bisa paklek sama bulek dipanggil ke sekolah. Kamu gak mau kan?!" Fajar menyebut orangtua Atiqah dengan sapaan Paklek Bulek karena mereka berasal dari tanah Jawa, tepatnya Magelang.
"Iya mas. Yaudah, aku masuk dulu. Makasih buat tumpangannya, meskipun tetep aja aku telat. Hiks hiks" dengan langkah lemah Atiqah berjalan menuju gerbang sekolah yang tertutup dan digembok.
"Atiq...Helmnya" teriak Fajar masih diatas motor. Atiqah meraba kepalanya yang terasa besar dan berat.
"Astaghfirullah...lupa aku mas. Maaf maaf" Atiqah berlari menghampiri Fajar, memberikan helm.
"Makanya fokus. Pasti belum sarapan. Sarapan dulu di kantin, biar kuat jalanin hukumannya" Fajar meledek Atiqah lalu melambaikan tangannya ke atas, pergi meninggalkan Atiqah yang menekuk wajahnya.
ttinn...
suara klakson motor mengagetkan Atiqah.
"Bengong aja, entar kesambet penunggu sekolah baru tau rasa" Ardi datang dengan motor gedenya, ia sama terlambatnya. Atiqah mendengus kesal harus bertemu dengan Ardi. Penolakannya Jumat lalu kembali teringat.
"Sial! kenapa harus telat bareng dia sih" gerutu Atiqah menatap ke halaman sekolah, mencari pak Imron security.
"Halo...pak Imron. Bisa bukain gerbangnya gak? tadi Papa udah bilang ke kepala sekolah, saya telat" ucap Ardi menghubungi security sekolah dengan ponsel keluaran terbaru, lambang buah yang tergigit setengah.
"Dasar orang kaya, enak banget. Telat sekolah tapi gak kena omelan. Asem" Atiqah kembali menggerutu, masih menatap ke arah dalam halaman sekolah.
Tak lama pak Imron berlari tergopog gopoh dari sudut gedung. Pintu samping sekolah.
"Maaf den Ardi, saya tadi lagi di kantin. Maklum belum sarapan" meringis sambil merogoh kunci gerbang di saku celana sebelah kanan.
"Gak papa pak. Bisa minggir gak? aku sama motorku mau lewat" ucap Ardi ketus pada Atiqah.
"Ish..iya iya" Atiqah bergeser lalu berjalan masuk setelah Ardi dan motornya masuk terlebih dulu.
"Neng Atiqah telat juga?" tanya pak Imron, kembali menutup gerbang.
"Udah tau, nanya!" Atiqah langsung berlari masuk ke kelasnya di lantai 3.
Baru satu lantai, kaki Atiqah sudah lemas. Nafasnya ngos ngosan. Sesaat kemudian tubuhnya didorong ke atas.
"Eh...apaan nih?" Atiqah masih terus naik ke lantai 2 dengan bantuan Ardi.
"Loyo banget sih. Belum sarapan?" Ardi masih mendorong punggung Atiqah dari 1 anak lantai dibawahnya. Atiqah mendengus kesal, tebakan Ardi memang benar.
"Bener ya?" Atiqah masih diam dan perutnya bunyi keroncongan. Ardi menarik tangan Atiqah turun kembali ke lantai dasar.
"Lho...lho...kenapa turun? kelas aku di lantai 3. Aku udah telat banget" masih mengikuti kemana Ardi membawanya.
"Belum sarapan kan? udah gak usah takut. Nanti aku yang bilang sama Papa buat ijinin ke Bu Asih. Kalau kamu telatnya sama aku" mengedipkan satu matanya.
Kok bisa tau jam pertama Bu Asih? anak indigo kali ah. Gerutu Atiqah dalam hati.
"Duduk! mau makan apa? bubur ayam, bakso, mie ayam atau nasi goreng?" tanya Ardi lagi setelah mereka sudah sampai di kantin sekolah. Kantin yang besar dan lengkap.
"Nasi goreng. Emm...boleh sama telur dadar? juga irisan cabe rawit dan gak pake acar?" meringis, menggaruk kepala belakangnya yang mendadak gatal. Gara gara gak keramas jadi gatel gini kepalaku. Batin Atiqah.
"Oke siap. Tunggu disini, jangan kemana mana!" Atiqah mengangguk. Benar kata Ardi, Atiqah kesambet penunggu sekolah. Dia menuruti semua perkataan Ardi. Padahal Atiqah sangat membenci Ardi.
Bersambung...
*****
Jangan lupa like, komen dan *gift***nya gaes. Biar aku makin semangat ☺🤗**
Ardi membawa 2 porsi nasi goreng dan 2 gelas teh manis hangat diatas nampan.
"Sarapan dulu" meletakkan satu piring nasi goreng dihadapan Atiqah, juga teh manis hangat.
"Makasih...kamu juga belum sarapan?" tanya Atiqah memandang Ardi yang sedang memasukkan satu suapan nasi goreng ke dalam mulut.
"Heem" bergumam sambil mengangguk dan mengunyah. Atiqah mengerti lalu ikut memakan nasi goreng pesanannya tadi.
Ardi terus menatap Atiqah dengan posisi tangannya menumpu kepala, menghadap Atiqah.
"Ngapain sih liatin terus? aku lagi makan. Jangan ganggu! atau kurang? kamu mau nasi gorengku?" menyodorkan piringnya ke arah Ardi yang terus menatapnya. Hanya gelengan kepala.
"Yaudah kalo gak mau. Aku habisin!" Atiqah menarik kembali piring miliknya lalu memakannya sampai habis.
"Good girl" Ardi mengusap kepala Atiqah setelah menghabiskan nasi goreng juga teh manisnya.
"Jangan macam macam!" menepis tangan Ardi di kepala. Seperti biasa, Ardi hanya tersenyum.
"Udah kan sarapannya?! sekarang mau kemana? jam pelajaran pertama masih satu setengah jam lagi" Ardi mengetuk jam tangannya.
"Ya tunggu aja lah sampai selesai. Emang mau kemana lagi? ngeMall? belum buka. Dan kita pasti kena razia karna kedapatan bolos sekolah" Atiqah meraih tas ranselnya lalu membuka satu buku sejarah dan membacanya.
"Iya sih. Tapi bosen kalo cuma baca buku. Enak juga pacaran. Mau gak jadi pacarku?" tawaran tiba tiba dari ketua Osis yang digandrungi seluruh siswi sekolah.
"Jangan mimpi!" plak...Atiqah memukul wajah Ardi dengan buku sejarah di tangannya.
*****
Pergantian jam pelajaran sudah terlewat beberapa menit yang lalu. Atiqah buru buru masuk ke kelas, meninggalkan Ardi yang masih berjalan santai menaiki anak tangga. Kelasnya ada di lantai 2.
"Atiq, kamu kemana aja? aku pikir kamu gak masuk" Lala bertanya pada Atiqah saat baru saja mendaratkan bokongnya ke kursi.
"Aku telat tadi" bisiknya. Teman temannya sudah menatap aneh pada Atiqah saat kemunculannya di depan pintu kelas.
"Trus kok gak langsung masuk? kamu dihukum?" Atiqah menggelengkan kepalanya.
"Aku di kantin, sarapan" bisiknya lagi.
"Hah???" suara Lala begitu kencang membuat lainnya langsung menatap dua sahabat itu.
"Sssttt...berisik banget sih! udah, nanti aku ceritain. Bu Marta bentar lagi masuk" mengarahkan jari telunjuknya didepan bibir, lalu membuka buku pelajaran sejarah yang tadi ia baca di kantin.
*****
"Atiq, kak Ardi. Atiiiqq..." Lala menyenggol lengan Atiqah dengan sikunya. Ardi berdiri didepan pintu kelas dan berjalan menghampiri meja mereka.
"Apaan sih?" Atiqah yang sedang merapihkan meja dan akan keluar karena bel tanda istirahat telah berbunyi.
"Kak Ardi, tuh..." memberikan kode dengan dagunya, tapi sayang...Ardi sudah dulu sampai di meja mereka.
"Gak ke kantin?" tanya Ardi, duduk di bangku depan meja Atiqah.
"Enggak!" Atiqah berbohong. Padahal tadi dia memang mengajak Lala ke kantin.
"Lho kita gak jadi ke kantin? tadi kamu bilang..." Atiqah menginjak kaki kiri Lala dibawah meja. "Aw...Atiq, sakit!" Lala meringis sakit kakinya sengaja diinjak.
"Kenapa? ayok ke kantin. Kamu...?" bertanya pada Atiq lalu beralih menanyakan nama pada Lala.
"Aku? aku Lala kak. Lala Hanungsari" ucapnya cepat.
"Oh...oke. Kamu Lala, ikut juga ke kantin. Aku traktir" menarik tangan Atiqah diatas meja. Lala senang bukan main.
"Lepas! gak perlu pegang tangan" Atiqah melepas genggaman Ardi kasar. Semua mata teman sekelas dan juga kakak kelas menatapnya sinis. Bagaimana bisa seorang Ardi, Ketua Osis mengajak Atiqah yang hanya siswi biasa itu ke kantin. Maksud siswi biasa disini bukanlah siswi yang populer dan kaya.
"Oke...aku lepas. Duluan jalan, aku dibelakang" Ardi bergeser agar Atiqah dan Lala melewatinya dan berjalan terlebih dulu.
"Mimpi apa aku semalem? siang ini kita ditraktir kak Ardi. Ya ampun, aku seneng banget" bisik Lala pada Atiqah sambil menuruni anak tangga. Atiq diam saja, sedangkan Ardi tersenyum mendengarnya.
"Bro...keknya berhasil nih" ucap teman Ardi yang berpapasan di bawah tangga.
"Diem! gak usah berisik. Ganggu aja" mendorong temannya agar segera menyingkir.
Ardi masih mengekori Atiqah dan Lala sampai ke kantin. Semua menatap mereka bertiga saat langkah kaki masuk ke kantin lalu mencari meja yang kosong.
"Kalian disini aja. Aku yang pesanin. Mau apa?" tanya Ardi, dia masih berdiri.
"Aku mau bakso aja kak. Pake mie kuningnya aja. Teruss...gak pake seledri sama sayuran. Minumnya es jeruk aja kak" ucap Lala tidak tau malu.
"Buset dah. Pake ada catatan segala" Ardi menggaruk pelipisnya. "Atiqah, kamu mau apa?" tanyanya lembut.
"Emm...jus mangga aja. Aku masih kenyang"
"Serius?! kenyang nasi goreng tadi pagi?" tanya Ardi. Lala menatap Atiqah kaget, ada satu hal yang terjadi diantara sahabatnya dan juga Ardi si Ketua Osis. Atiqah tidak mau menatap Lala, tapi mengangguk pada Ardi. Dia memang masih kenyang karna sarapan tadi pagi.
"Oke...aku pesanin dulu" Ardi pergi ke stan bakso. Dia hanya memesan satu porsi bakso untuk Lala. Lalu beralih ke stan minuman, memesan satu es jeruk dan dua jus mangga.
"Tadi pagi kamu telat bareng kak Ardi? terus sarapan bareng?" Lala mencecar pertanyaan pada Atiqah yang diam sejak Ardi pergi memesan makanan dan minuman untuk mereka. "Jangan diem aja Atiq, jawab dong! aku penasaran" menggoyangkan lengan Atiqah berkali kali.
"Ishh...diem napa! kamu tuh sama kaya Ardi, cenayang. Udah tau, kenapa harus nanya?" Atiqah kesal karna baginya hari ini hari kesialan untuknya. Terlambat dan harus bersama Ardi.
"Malah sewot. Jadi omonganku bener semua?" Atiqah mengangguk. "Ya ampun Atiqah...beruntung banget sih. Kak Ardi kayaknya naksir kamu, tapi kamu judes banget. Entar kalo diembat ama yang lain, baru nyesel" Lala memukul bahu Atiqah karna gemas dengan kejutekan sahabatnya itu.
"Gak usah keras keras mukulnya! Sakit..." mengusap bahu kirinya.
"Sstt...udah udah, kak Ardi udah mau kesini. Diem diem" Lala merapihkan pakaian Atiqah juga dirinya.
Ardi kembali membawa nampan, meletakkan pesanan Lala dan Atiqah. Mirip dengan pelayan restoran.
"Makasih kak" Lala memberikan senyuman termanisnya. "Eh kok aku aja yang makan? Oh...kak Ardi juga masih kenyang sarapan tadi pagi bareng sama Atiqah ya?" ledek Lala.
"Iya...kok kamu tau?" Ardi bertanya pada Lala kemudian pada Atiqah "Kamu cerita sama Lala?".
"Enggak" Atiqah membantah.
"Kan tadi kak Ardi yang bilang nasi goreng tadi pagi trus Atiqah bilang dia sarapan dikantin. Jadi jelas kan, kalian berdua sarapan bareng tadi pagi" terang Lala menyimpulkan.
"Udah...makan! Bawel, ngoceh mulu" Atiqah memasukkan bakso ukuran sedang ke dalam mulut Lala.
"Tapi kan..." mulut Lala penuh, bicaranya tidak jelas.
"Makan!! Keburu masuk lagi" Atiqah meminum jus mangga, mengalihkan pandangannya. Tidak mau menatap Ardi yang sedari tadi terus menatapnya dengan senyuman.
Bersambung....
*****
Masih awal ya guys, belum ada konflik yang berat. Alon alon asal kelakon 😁😁😁
Kangen gak masa2 SMA dulu?
Masa naksir temen sekelas atau kakak kelas yang ganteng, yang populer, ketua Osis kek Ardi.
Author pernah naksir sama ketua Osis. Waktu Ospek disuruh bikin puisi cinta buat salah satu Panitia. Nah aku bikin buat ketua Osis dan kepilih dong.
Inget banget dulu, maju ke depan, duduk disampingnya trus baca itu puisi pake mik (microphone) di depan semua anak baru. Pede banget 🙈🙈🙈
Taunya doi jadian ama temen sendiri. Wadaw 😂😂😂. eh jadi curcol 🤦♀️🤦♀️🤦♀️
Jangan lupa like, komen sama giftnya lagi. Jangan bosen. Boleh banget kasih kritikan dan saran. Suka banget malah 😊 aku gak marah kok, gak gigit juga 😁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!