Pagi itu, hidupku berubah. Bukan karena hal besar seperti kenaikan jabatan atau menang undian, melainkan karena seorang Bagas Suseno, manajer di tempat aku bekerja.
Aku yang baru saja menyelesaikan pekerjaan, hendak menuju kantin pabrik. Nayla, dia sudah duluan untuk mengantri jatah makan siang kami, sedangkan aku kebagian membeli minuman.
Akan tetapi, ketika berjalan melewati lorong dekat ruang manajer yang terbuka, aku melihat dia, Pak Bagas masih duduk di depan laptopnya. Entah sedang mengetik laporan atau mengerjakan apa pun, aku nggak tahu pasti. Tapi, mataku tetap saja tertarik menatap ke arahnya sebentar lebih lama.
Tepat saat aku kembali menatap ke depan, dia tiba-tiba berdiri. Aku terkejut. Spontan, aku memalingkan wajah, pura-pura nggak lihat. "Ya ampun, jangan bilang tadi dia sadar aku mandangin dia? Malunya!"
Tapi ternyata, dia malah berjalan keluar dan menyamai langkahku. Ini orang kenapa tiba-tiba udah sebelah gue aja, sih? Jantung, Lo aman, kan di situ?
Aku jadi kikuk sendiri. Saking groginya, aku bisa mendengar jantungku yang berdetak tak karuan. Namun, aku juga gak mungkin hanya diam saja. Akhirnya, aku memberanikan diri bicara lebih dulu.
“Mau ke kantin, Pak?” tanyaku, gugup. Ini pertama kalinya aku menyapa dia duluan.
Dia menoleh, lalu tersenyum. Senyuman yang bisa bikin oleng siapa pun yang lihat lama-lama.
“Iya. Kamu juga mau ke kantin?”
Astaga. Kalau dia senyum terus gitu, bisa-bisa aku jatuh di tempat.
Aku buru-buru membetulkan posisi seragam dan menunduk sedikit. “Ehm, kalau begitu, saya duluan ya, Pak. Permisi.”
Baru mau jalan cepat, tiba-tiba. “Tunggu!” suara Pak Bagas menahan langkahku.
Aku refleks berhenti dan menoleh ke belakang. “Iya, Pak?”
Pak Bagas menatapku dengan alis sedikit naik, ekspresinya penasaran. “Kamu nggak ikut antre makan? Kok, langsung jalan ke kantin?”
“Oh, itu, Pak. Makanan saya sudah diambil oleh teman. Saya ke kantin hanya mau membeli minuman, gantiin dia.” Tanpa sadar, mulutku kembali bergerak tanpa perintah. “Bapak mau sekalian saya beliin minuman juga? Biar sekalian, Pak?”
Pluk! Aku spontan memukul mulutku sendiri.
Ya ampun! Kenapa barusan aku sok-sokan nawarin? Bisa dibantai fans Pak Bagas, kalau sampai tahu aku begini! Malu, sumpah.
Alih-alih terlihat terganggu, dia malah tersenyum lagi. “Boleh, deh. Air putih aja, ya. Ini uangnya.” Dia mengulurkan selembar uang merah ke arahku.
Aku ragu-ragu menerima. Tanganku refleks menggaruk belakang kepala yang tiba-tiba gatal. Mata kulirik kanan-kiri—beberapa karyawan masih lalu-lalang menuju kantin.
Bimbang. Ambil nggak, ya? Namun, akhirnya aku pasrah dalam hati. Bodo amatlah. Ambil aja.
Aku ambil uangnya pelan, lalu mengangguk.
“Baik, Pak. Saya belikan sekarang.”
Setelah itu aku langsung berbalik dan jalan menuju kantin. Di tengah keramaian dan suara bising kantin shift pagi, aku masih bisa merasakan jantungku berdetak cepat, kencang banget, kayak baru lari lima putaran lapangan.
Setelah selesai antre dan membeli minuman, aku terima kembalian dari kasir, lalu menoleh ke sekeliling mencari Pak Bagas dan Nayla. Kaki ini rasanya ringan, tapi tangan yang menggenggam botol air mineral, justru berkeringat.
Langkahku membawa ke arah hall dalam kantin, mencari sosok manajer yang barusan bikin aku salah ucap dan salah gerak. Entah kenapa, hari ini rasanya seperti bukan hari biasa.
Sebenarnya gampang banget mencari keberadaan Pak Bagas. Seragam kami saja sudah beda warna, jadi dari kejauhan pun dia mudah dikenali.
Benar saja, dia duduk di tempat yang sama seperti biasanya. Masih dengan posisi menyamping, dikelilingi beberapa atasan lain yang sedang makan siang bersama.
Aku langsung terdiam di depan pintu partisi. Aduh, mana banyak banget lahi atasan di sana.
Tapi, dari Pada kelamaan mikir dan makin grogi, aku menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri maju. Bodo amat sama rasa malu, yang penting ini cepat berlalu.
“Permisi, Pak Bagas. Maaf, ini minumannya tadi. Dan ini uang kembaliannya,” ucapku pelan sambil berjongkok di sebelah kursinya. Suaraku kutahan agar cukup didengar oleh beliau saja—karena ya ampun, diliatin semua orang kayaknya bukan rencana hidupku hari ini.
Pak Bagas menoleh, lalu tersenyum santai. Ia mengambil botol minumnya. Tapi, tidak dengan uang kembaliannya.
What? Apa maksudnya coba? Aku mengernyit. Bingung. “Maaf, Pak. Ini uangnya," ulangku pelan sambil menyodorkan uang itu lagi.
“Buat kamu aja,” jawabnya santai sambil kembali menyuapkan nasi ke mulutnya seperti nggak ada yang perlu diperdebatkan.
Aku menahan napas. Wah! Sepertinya, dia sedang menguji gue. Ok, mari kita liat siapa yang paling keras kepala di sini! Sambil tetap menunduk sopan, aku akhirnya memilih menaruh uang itu pelan-pelan di samping kakinya. Lalu berdiri, membungkuk sedikit, dan pamit ke semua atasan yang duduk di meja itu. “Permisi, Pak, Bu.”
Aku mundur pelan dan langsung melipir cepat sambil menenteng dua botol minuman—satu buat Nayla, satu buat diriku sendiri. "Maaf, ya, Pak Bagas. Gue bukan tipe orang yang suka makan uang orang lain, apalagi tanpa kejelasan," gumamku.
Setelah itu, aku langsung mencari Nayla. Ternyata, dia lagi duduk di tengah hall kantin, santai banget, bahkan makanannya udah dimakan setengah. "Woi!" Aku langsung duduk di sebelahnya dan buru-buru membuka kotak makananku.
Belum sempat suapan pertama masuk, PLAK Tiba-tiba punggungku dipukul dari belakang. “Uhuk!” Aku tersedak.
Astaga! Aku langsung buru-buru membuka botol minumku, meneguk cepat tanpa pikir panjang. “Alhamdulillah,” desahku lega setelah tenggorokan mulai normal.
"Dih, lebay!" cibir Nayla dari samping.
Mataku langsung melotot ke arah Nayla, yang kini malah tertawa puas sambil makan tempenya. “Loe, ya! Temen lagi tersedak, bukannya nolongin, malah diketawain! Nyebelin banget sih loe!”
“Sorry,” jawabnya setengah nyengir. “Lagian loe beli minuman ke Korea apa gimana? Lama banget."
Aku memelototkan mata sambil bersuara datar, “Iya. Emang gue tadi beli ke Korea. Terus ketemu Taehyung. Terus ngobrol lamaaaaa banget sama dia. Puas lo sekarang?!”
PLAK!
"Yakh, sakit oneng!"
Tanpa rasa bersalah, Nayla malah tertawa.
Wah, ini anak beneran ngajak ribut!
Punggung dipukul, sekarang kepala. Komplit.
Daripada tambah dikerjain, aku langsung menghabiskan makananku dengan cepat. Setelah itu, berdiri dan meninggalkan Nayla begitu saja di hall.
“Eh, eh! Nindy! Tungguin, woy!”
Aku pura-pura nggak dengar.
Aku berjalan cepat ke tempat penyimpanan kotak makan, menaruh bekalku, lalu segera mencuci tangan. Waktu istirahat tinggal 15 menit lagi dan aku masih harus salat Dzuhur.
Langkahku bergegas menuju mushola yang berada di area belakang gedung.
Setelah mengambil wudhu, aku masuk ke mushola. Pada saat aku melangkah masuk ke mushola, langkah kaki dari arah berlawanan membuatku reflek menoleh.
Pak Bagas.
Kami berpapasan hanya beberapa langkah dari pintu. Dia menatapku sebentar, lalu menggerakkan bibirnya perlahan—tanpa suara. "Are you okay?"
Aku menjawab dengan isyarat tangan, jempol tegak, tanda "OK".
Dia tersenyum. Senyum yang entah kenapa, terasa lebih hangat dari biasanya. Aku hanya mengangguk kecil, lalu masuk ke dalam dan segera mengambil tempat.
Sholat Dzuhur kulaksanakan sendirian. Suasana mushola sunyi, hanya suara kipas angin dan detik jam dinding yang menemani. Selesai salam, aku melipat mukena dan membereskan sajadah. Waktu istirahat nyaris habis.
Kurang dari tiga menit lagi masuk shift. Aku bergegas kembali ke area produksi, tapi saat melewati lorong utama…
“Nindy!”
Aku menoleh. “Iya, Pak?” Aku melangkah mendekat, tapi kami sama-sama tahu tempat kami berdiri sekarang terlalu terbuka.
Lorong itu ramai. Banyak mata memperhatikan. Aku segera menepi, berdiri di dekat rak tools. Pak Bagas ikut menyamakan langkah.
Bel masuk berbunyi. Tapi, sebelum aku sempat bicara, dia sudah menyodorkan selembar kertas ke arahku.
“Ini buat kamu. Saya permisi, ya.”
Aku belum sempat bertanya, belum sempat berpikir apa-apa, dia sudah membalikkan badan dan pergi—melangkah cepat ke arah ruangannya.
Aku nggak tahu apa salahku. Yang jelas, ada sesuatu yang nggak beres.
Jam kerja sudah habis. Aku melangkah menuju area loker, siap ganti baju dan pulang. Namun, lorong menuju loker tampak sepi, hanya beberapa orang saja yang belum pulang, sama sepertiku.
Aku baru saja absen ketika melihat sosok yang familiar berdiri bersandar di dinding dekat loker.
"Pak Bagas. Ngapain dia masih di sini?" tanyaku pelan pada diri sendiri.
Aku refleks melirik kanan-kiri. Kosong. Hanya dia dan aku. Dan tatapan itu—seolah dia memang sedang menungguku.
Jangan-jangan aku? Tapi, buat apa? Masa iya?
“Nindy,” panggilnya.
Jantungku berhenti sepersekian detik. “Ya, saya, Pak,” jawabku cepat, agak gugup.
“Sudah kamu buka kertas yang saya kasih tadi siang?”
Aku mengerutkan kening. “Kertas?” ucapku pelan, mencoba mengingat-ingat. Tapi, otakku nge-blank. “Maksudnya, Pak?”
Ia tak langsung menjawab. Hanya memandangku lama. Ada sesuatu di balik sorot matanya, bukan marah kecewa. Tapi, entah kenapa itu jauh lebih menyiksa.
Dadaku terasa aneh. "Kertas apa, sih? Kok aku bisa nggak tahu? Aduh, Nin. Ayo dong, ingat!” desisku dalam hati, mulai panik sendiri. Tapi, otakku buntu. Kosong.
“Baiklah, kalau begitu, saya duluan.” Suaranya datar. Ia membalikkan badan, melangkah pergi.
“Loh, kok malah pergi?” gumamku, melangkah setengah maju. Tapi, langkah itu tertahan. Aku berdiri diam, hanya menatap punggungnya menjauh.
Ada yang menggantung di udara—seperti pintu yang tertutup sebelum sempat aku ketuk. "Ah, tapi busku sebentar lagi berangkat. Gak ada waktu buat mikirin yang lain," pikirku, buru-buru masuk ke dalam loker.
Aku ganti baju secepat kilat, memasukkan seragam ke dalam lemari, lalu berlari menuju parkiran. Langit sudah mulai gelap. Udara sore mengandung aroma besi dan lelah.
"Kirain lembur, Neng," ujar si sopir.
Aku tersenyum kecil. "Biasa, Pak."
Untungnya, bus belum jalan. Aku langsung duduk di kursi paling belakang. Napasku memburu, tapi setidaknya aku tak ketinggalan. Beberapa menit kemudian, bus mulai melaju pelan, meninggalkan parkiran pabrik.
Aku melirik keluar jendela bus, tanpa ekspektasi apa pun. Tapi, di jalur parkir khusus atasan, mataku menangkap sosok yang tak asing, Pak Bagas. Punggungku berubah tegak, melihatnya dengan beberapa pertanyaan.
"Kertas? Apa beliau pernah memberikan say kertas?" Aku bergumam sendiri, masih menatapnya. Lalu, tiba-tiba pandangan kami bertemu.
Jantungku terangkat ke tenggorokan. Matanya menatapku langsung. Sekilas saja, tapi cukup membuatku salah tingkah. Aku buru-buru menunduk, berpura-pura mencari sesuatu di dalam tas.
"Aish, kenapa gue malah kayak maling begini, sih?"
"Lo kenapa, Nin?" Suara Jalu, teman satu bangkuku terdengar dekat.
"Oh, gak, kok," kilahku, lalu kembali duduk dengan tenang.
Setelah itu, Jalu tak lagi bertanya. Namun, ingatan akan tatapan Pak Bagas masih menyusup ke dalam relung hati hingga membuatku terjaga.
Sesampainya di rumah, aku mencoba mengalihkan pikiran. Mandi air hangat, lalu memakai baju tidur, setelah itu menyeduh teh manis. Akan tetapi, rasa gelisah masih menggantung di tengkuk, seperti sesuatu yang belum selesai.
"Huhuhu, sebenarnya ada apa dengan otakku? Kenapa bisa-bisanya melupakan sesuatu hal yang penting?" Aku hampir menyerah sampai terdengar suara ketukan kecil dari arah jendela depan.
Tok… tok… tok.
Aku melirik jam dinding—delapan lebih sedikit. "Siapa, sih? Ganggu banget, deh!"
Langkahku terayun malas menuju pintu depan, saat kulongok dari jendela dan menemukan siapa tamu tak diundang, aku tak bisa menahan diri untuk tak mendengkus.
"Mau dia apa, sih?"
Bayu, bujangan yang baru beberapa bulan pindah ke rumah sebelah datang dengan kaus oblong lusuh dan celana bola. Dia berdiri sambil menenteng kantong plastik. "Jangan bilang dia datang cuma mau ngasih gorengan lagi? Ouh, please, deh!" keluhku.
Pada saat aku hendak menutup tirai jendela, ternyata Bayu sudah lebih dulu menangkap keberadaanku. Sial! Mau tidak mau, akhirnya aku membuka pintu, lalu basa-basi lagi.
"Mas Bayu, ada pa, yah?" tanyaku langsung.
“Malem, Nin. Ini aku tadi habis beli gorengan banyak. Kamu mau gak?"
Tidak! Tapi, kata itu hanya bisa tersimpan rapat di dalam tenggorokan. Sudut bibirku mengulas senyum kecil. "Maaf, Mas. Saya sudah makan. Mungkin bisa diberikan ke yang lain," jawabku sopan.
“Oh, ya? Yaudah, aku taruh sini aja, ya.” Dia mencantolkan kresek itu di pagar kecil yang membatasi rumah kami, masih tersenyum seperti biasa. Namun, aku bisa lihat, matanya mengandung harap.
Aku hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum sopan sebelum berniat masuk ke dalam rumah. Kupikir itu akhir dari semuanya malam ini. Tapi, rupanya belum.
Baru saja aku selesai menutup pintu, dan suara Bayu kembali terdengar memanggilku di depan. "Oh my God! Bisa gak, sih, jangan ganggu aku malam ini!" jeritku tertahan.
Kupandangi pintu selama beberapa detik sebelum akhirnya berdiri dan membukanya. “Ada apa lagi ya, Mas?” tanyaku pelan.
Dia menghela napas, seperti sudah menyiapkan kalimat ini dari jauh-jauh hari. “Nindy, maaf, kalau aku ganggu malam-malam. Tapi, aku nggak bisa terus kayak gini.”
Aku menggenggam sisi pintu, mencoba menenangkan diriku sendiri. “Kayak gini gimana maksudnya?”
Dia menatapku, lurus. “Aku suka kamu," katanya langsung. Tanpa pemanis. Tanpa kelokan.
Aku tercekat. Bukan karena kaget, melainkan karena akhirnya itu diucapkan. "Mas Bayu.”
“Aku tahu kamu mungkin belum mikir ke arah sana, atau malah nggak pernah. Tapi, tiap malam aku mikir, kenapa nggak jujur aja. Biar kamu tahu. Biar aku nggak perlu nebak-nebak.”
Aku menelan ludah. Udara malam tiba-tiba terasa lebih berat dari biasanya. “Mas, aku ngerti dan aku hargai Mas udah jujur. Tapi, aku belum bisa bales. Aku belum siap buat hubungan apa pun sekarang.”
Dia terdiam.
“Aku bukan nolak karena nggak baik. Tapi, karena, ya, memang belum ada ruang di hati aku buat siapa-siapa. Belum.”
Mas Bayu menunduk, lalu mengangguk kecil. “Oke. Aku ngerti.”
Aku menatapnya, mencoba menyampaikan ketulusan lewat mata. “Aku nggak pengin Mas nunggu sia-sia. Aku juga nggak mau Mas salah paham karena keramahan aku.”
“Terima kasih udah ngomong langsung, Nin. Selamat malam,” katanya pelan.
Aku hanya mengangguk.
Setelah itu, ia mundur satu langkah, lalu berbalik menuju rumahnya. Sementara aku memilih untuk masuk kamar, bergelung di bawa selimut untuk menjemput mimpi.
"Aku harap, tidak ada drama apa pun lagi esok," kataku sebelum akhirnya menutup mata.
***
Keesokan paginya, aku berangkat kerja naik bus seperti biasa. Mata masih berat, tapi aku berusaha fokus.
Begitu sampai pabrik, ganti baju di loker, aku masuk hall. Aroma nasi goreng dan telor dadar di kantin benar-benar menggoda iman. Aku ikut antre, berdiri di barisan belakang sambil melihat layar ponsel.
“Nindy.”
Suara itu membuatku menoleh.
Pak Bagas berdiri di belakangku. Matanya menatap datar, tapi ada sesuatu yang tak bisa kusebutkan di sana—semacam isyarat yang belum selesai. Aku diam. Jantungku langsung siaga.
“Apa kamu sudah menemukan kertasnya?” tanyanya, pelan.
Aku meringis, lalu menggeleng pelan. “Belum, Pak. Maaf."
Dia menatapku lama, lalu berkata pelan, nyaris seperti bisikan, “Kadang yang penting itu tersembunyi di tempat yang nggak kita kira. Jangan abaikan yang kecil!"
Sebelum aku sempat bertanya, dia sudah melangkah ke depan, mengambil piring nasi goreng, lalu duduk jauh di ujung.
Aku masih berdiri di antrean. Tapi, pikiranku sudah berkelana ke mana-mana. Kertas itu di mana, sih?
Aku melangkah pelan di lorong panjang menuju parkiran, menyusuri jejak cahaya dari lampu-lampu gantung yang menggantung lesu di atas kepala.
Hampir semua karyawan telah naik ke dalam bus jemputan masing-masing, menyisakan ruang lengang yang hanya dipenuhi bayangan tubuhku sendiri yang terpantul panjang di aspal.
Aku menatap jam tangan. “Ketinggalan bus lagi,” gumamku lirih. Padahal, aku cuma mampir sebentar ke toilet. Tapi, rupanya waktu tak sudi menunggu.
Aku menghela napas, lalu menoleh ke sekitar. Tak ada deru mesin, tak ada suara klakson. Hening. Ojol? Jangan harap. Ini kawasan industri.
Jalan raya besar masih jauh di ujung sana—hampir satu kilometer kalau kutempuh dengan kaki. Sepi. Gelap. Dan aku sendiri. “Kalau dipaksakan jalan kaki ke sana, itu sama aja nyari perkara,” desisku.
Kupaksakan senyum getir. “Ya sudahlah, emang harus pesan ojol sepertinya.”
Baru kutarik ponsel dari tas, suara langkah dari arah samping membuatku menoleh reflek. Langkah itu tak tergesa, tapi pasti.
Pak Bagas.
Ia berjalan santai seolah dunia belum hendak buru-buru berakhir malam ini. Tentu saja, dia punya mobil sendiri. Tak ada alasan panik. Tak seperti aku yang nasibnya hari ini sudah digantung jemputan.
Aku memutar bola mata kecil, lalu cepat-cepat menormalkan ekspresi.
“Gak naik jemputan?” tanyanya, suaranya tenang. Dalam, tapi tidak menyudutkan.
Aku tercekat. Sedetik. Dua detik. “I-iya, Pak. Ketinggalan,” jawabku akhirnya, setengah kikuk.
Ia mengangguk, satu kali. Wajahnya samar oleh cahaya lampu parkiran, tapi aku bisa melihat alisnya yang sedikit naik.
“Pulangnya naik apa?”
Aku mengangkat ponsel. “Mau pesan ojol.”
Ia diam sesaat, lalu kalimat itu meluncur dari bibirnya. Pelan, datar, tapi entah kenapa terasa hangat.
“Mau saya antar?”
Detak jantungku seperti terpeleset dari irama. Aku menoleh, perlahan. “Gak usah, Pak. Eh, maksudnya—”
“Daripada jalan kaki sampai depan, sendirian, malam-malam? Nanti kalau terjadi apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Nada suaranya ringan, tapi kalimatnya membuatku menunduk.
Sejenak aku tak tahu harus berkata apa. Ada hening kecil yang dibiarkannya menggantung. Ia tak memaksa. Tapi, justru karena itu, dadaku makin sempit.
“Motor saya di sana. Nggak jauh. Saya antar sampai gang depan rumah kamu aja, gimana?”
Aku menunduk. Pipiku terasa hangat meski angin malam mulai menyelinap dingin ke sela-sela blouse pendek yang aku pakai. Entah karena udara, atau karena sorot matanya yang tadi sekilas kutangkap di bawah cahaya lampu parkiran.
"Beneran nggak ganggu, Pak?”
“Nindy.” Suaranya lembut. Nyaris seperti bisik angin. “Kalau ganggu, saya nggak akan nawarin dari tadi.”
Aku menggigit bibir bawah. Lalu, akhirnya, mengangguk pelan. “Yaudah, saya ikut, Pak. Maaf, jika sudah merepotkan Anda.”
Dia tersenyum. Bukan senyum selebar bulan, melainkan cukup untuk menghangatkan malam. Senyum yang membuatku merasa bukan sekadar nama di absensi.
Kami lalu berjalan beriringan menuju parkiran. Langkahnya tenang, aku justru sedikit kikuk. Malam terasa makin dalam. Suara serangga menyanyikan kecanggungan kami dan dalam hati, aku masih bertanya-tanya—dari sekian malam, kenapa malam ini aku ketinggalan bus?
Dan dari sekian wajah di pabrik itu, kenapa harus dia yang muncul?
Helm itu terasa longgar saat kupakai, tapi aku menahan diri untuk tak bilang. Apalagi, saat tangannya menyentuh ujung poniku waktu membantu mengaitkan tali. Gerakannya pelan. Hati-hati. Seperti menyentuh kertas tipis yang takut robek.
Kini, aku duduk di jok belakang motornya. Kaku. Diam. Jarak kami hanya sejengkal, tapi rasanya seperti samudra.
Aku ragu. Pegangan? Nanti dibilang kecentilan, apalagi fans Bagas Suseno pasti akan marah besar jika tahu idolanya memberikan tebengan. Tapi, kalau tidak pegangan? Bisa-bisa aku terbang sendiri.
"Kenapa Nggak pegangan? Nanti kamu melorot, loh.” Dia menoleh sedikit, dari balik bahunya.
Aku menegang. “Eh—saya… saya pegang jaketnya aja ya, Pak?”
“Ya. Pegang yang kenceng, jangan tanggung.”
Deg.
Perlahan, tanganku meraih bagian belakang jaketnya. Jari-jariku menyentuh kulit dingin, tapi telapak tanganku berkeringat. Nasib jadi perempuan yang jarang kencan beginilah. Sekalinya dibonceng sama cowok populer, bawaannya perut mules.
Astaga, memalukan!
Motor melaju pelan, menembus sepi jalanan kawasan industri. Angin malam menampar pipi, tapi aromanya justru hangat. Ada wangi samar—kayu manis dan kopi. Tidak tajam, tapi mengendap. Seperti kenangan yang datang diam-diam.
“Rumah kamu di mana?"
"Di jalan Mekar, Pak," jawabku sedikit berteriak karena kami sedang di jalan.
"Jauh juga, yah. Dan, kamu naik jemputan terus?"
"Iya, Pak. Sekali lagi maaf, ya, Pak?"
"Santai aja. Sebelum pulang, mau mampir makan dulu gak?"
"Eh? Gak usah, Pak!"
"Tapi, aku lapar."
Aku menggigit bibir. "Baiklah, Pak." Aku mengalah.
Aku pikir dia akan berhenti di warung pinggir jalan, atau setidaknya beli nasi goreng bungkus. Tapi ternyata, motor kami malah belok ke arah sebuah food court kecil dekat pom bensin, yang cukup terang dan bersih. Di antara lampu-lampu kuning yang menggantung, aroma sate dan mi goreng saling bersaing.
Bagas mematikan mesin motor, lalu menoleh sambil membuka helmnya. “Kita makan sebentar di sini, ya. Kamu kelaparan juga, kan?”
Aku buru-buru menggeleng. “Nggak, Pak. Saya masih kenyang, kok.”
Dia menaikkan alisnya. “Yakin? Perut kamu barusan bunyi, lho.”
Astaga! Wajahku langsung panas. “A-aduh, ketahuan, ya?”
Dia tertawa kecil. Bukan tawa yang keras, tapi cukup untuk membuatku tambah gugup.
“Udah, sini. Aku traktir. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena kamu udah bantu evaluasi tadi siang.” Dia berjalan duluan, meninggalkanku yang masih kikuk melepas helm pinjaman itu.
Aku menyusul dengan langkah canggung, mencoba merapikan rambut yang kusut diterpa angin. Kami memilih duduk di pojok, agak jauh dari gerobak penjual. Suasananya cukup sepi, hanya ada dua pasangan lain yang juga sedang makan.
Bagas membuka menu dan langsung menunjuk dua makanan. “Satu buat aku, satu buat kamu. Biar cepet.”
Aku hanya bisa mengangguk, duduk diam sambil menunduk. Tapi, jantungku berisik sekali. Kenapa rasanya seperti kencan?
“Eh, kamu selalu pulang sendiri kalau ketinggalan jemputan?” tanyanya sambil membuka botol air mineral.
“Nggak pernah, sih. Baru kali ini ketinggalan. Biasanya saya ngepas banget waktunya.”
Dia menatapku, lama. “Kalau butuh tumpangan lagi, bilang aja. Nomorku udah kamu simpan, kan?”
Aku tercekat.
Nomor.
Nomor yang tadi aku temukan di saku celana kerja, yang ternyata tulisan tangannya. Saat itu aku bingung. Kupikir siapa yang iseng naro. Aku menunduk lebih dalam. “Jadi, itu memang sengaja dikasih, ya?”
Dia menyender santai. “Iya. Kupikir kamu bakal butuh. Tapi, kayaknya kamu lupa buka kertasnya, ya?”
Aku menggigit bibir, malu setengah mati. “Maaf, kertasnya baru ketemu tadi di saku celana.”
Bagas tersenyum. “Nggak apa-apa. Untung tadi kita ketemu di lorong. Kalau enggak, kamu pasti udah pegal nunggu ojol yang gak datang-datang.”
Aku tertawa kecil, akhirnya bisa sedikit rileks. “Maaf, Pak."
Dia mengangkat satu alis. “Kenapa minta maaf?"
Aku buru-buru geleng. “Anu--"
Bagas mendekatkan tubuh sedikit ke meja. Suaranya pelan, tapi jelas. “Kamu itu bukan urusan remeh, Nindy.”
Aku membeku, lama. Sampai akhirnya pesanan datang dan menyelamatkan kami dari keheningan yang terlalu cepat jadi deg-degan. Namun, entah kenapa aku jadi nggak terlalu lapar. Perasaan ini malah lebih kenyang dari apa pun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!