NovelToon NovelToon

Takdir Gintani

Pengenalan Tokoh

Gintania Nur'aini

Seorang bayi yang dititipkan di panti asuhan tanpa diketahui asal usulnya dari mana. Dia ditemukan tergeletak di depan pintu sebuah panti asuhan. Satu pun tak ada sebuah benda yang melekat di tubuhnya yang bisa dijadikan petunjuk atas jati dirinya. Yang ada hanyalah sebuah kertas berwarna merah jambu yang bertuliskan "Gintania Nur'aini"

Tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan lantas tidak membuat dia kehilangan keceriaannya. Baginya, bersyukur adalah salah satu cara untuk bisa mengungkapkan jati dirinya kelak. Gintani pun tumbuh menjadi seorang anak yang periang dan selalu peduli terhadap teman-teman pantinya. Hingga suatu hari, dia terpaksa meninggalkan panti karena ada seorang pria paruh baya yang mengaku sebagai kakeknya.

Hidup Gintani berubah 180 derajat. Hingga berawal dari sinilah, Gintani pun mulai menyesali keberadaannya di muka bumi.

Argha Putra Adisastra

Seorang anak yang sangat tertutup semenjak kematian ibunya. Ketika ayahnya memutuskan untuk kembali menikah, Argha berharap dia bisa kembali mendapatkan kasih sayang seorang ibu dari ibu sambungnya. Namun apa yang dia dapatkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Hingga pada akhirnya, dia tumbuh menjadi lelaki yang dingin, sombong dan arogan.

Argha memiliki wajah yang sangat tampan, sehingga dia banyak digilai oleh kaum hawa. Namun, karena sifat dingin dan acuhnya, membuat dia masih melajang di usianya yang hampir menginjak 28 tahun.

Disastra Amijaya

Pria paruh baya yang menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Kematian istrinya membuat dia semakin gila kerja. Demi untuk memberikan kasih sayang yang sempurna kepada putra semata wayangnya, dia pun menikah kembali.

Namun siapa sangka, jika pernikahannya justru malah membuat anaknya semakin menjauh darinya. Untuk merubah sikap anaknya yang dingin dan arogan, Tuan Jaya pun menjodohkan anaknya dengan putri sahabatnya.

Rosma Amijaya

Istri kedua dari tuan Disastra Amijaya, yang merupakan ibu sambung bagi Argha. Kebenciannya terhadap ibu kandungnya Argha, membuat di tidak bisa mencintai dan menyayangi Argha dengan tulus.

Kegilaannya terhadap harta, membuat Rosma selalu memilihkan calon istri untuk Argha. Tentunya gadis yang selalu dipilihnya adalah gadis yang bisa diajak untuk bekerjasama dengan tujuan menguasai harta keluarga Amijaya. Namun sayangnya, tak ada satu pun gadis yang dipilihnya termasuk dalam kriteria Argha sebagai calon istrinya.

Nadhifa Putri Adisastra

Putri tuan Disastra Amijaya dari hasil pernikahannya dengan istri keduanya. Gadis cantik berusia 19 tahun yang hidupnya selalu ceria. Gelimang harta tidak membuat dia tumbuh menjadi gadis sombong, namun justru malah sebaliknya.

Sifatnya sangat bertolak belakang dengan Argha yang tak lain saudara se-ayahnya. Fa seorang gadis yang pandai bergaul dengan siapa saja, tanpa membeda-bedakan harta dan derajat seseorang.

Wirahadikusumah

Seorang pria lanjut usia yang hidupnya selalu dihantui penyesalan karena tidak pernah bisa menjadi pelindung bagi anak dan keturunannya.

Celine Hadikusumah

Cucu dari Tuan Wirahadikusumah. Celine merupakan anak tunggal dari Arman Wirahadikusumah dan Shella. Dia memiliki sifat yang sangat manja dan selalu ingin menang sendiri. Apa pun yang diinginkannya, harus selalu diturutinya. Mungkin itu pengaruh dari pola didik kedua orang tuanya yang selalu memanjakannya.

Sejak kecil hingga dewasa, Celine tidak pernah menyukai keberadaan Gintani dalam keluarganya. Baginya, Gintani hanyalah seorang anak panti dan juga rival yang harus dia kalahkan dalam segala hal. Termasuk untuk urusan cinta. Apa pun yang disukai Gintani, harus menjadi miliknya.

Mungkin itulah sekilas pengenalan tokoh dari novel kedua author.

Sebenarnya author tidak menjanjikan banyak drama yang menarik, karena tentunya tiap readers pasti memiliki cara pandang yang berbeda. Tapi menurut author, novel ini penuh dengan keharuan yang bikin author sesak dan terkadang berlinang air mata dalam membuat part-nya.

Semoga suka ya...

Ditunggu dukungan, like, vote n komennya 🙏🤗

Tamparan

"Gintan, kamu jadi, kan temenin aku ke mall, entar sepulang kerja?" tanya Alya, rekan kerja Gintani sesama office girl.

"Memangnya penting banget ya, Al?" Gintani malah balik bertanya seraya mengaduk tehnya.

"Penting, Tan ! Soalnya, ini antara hidup dan matiku. Temenin yaaa, please...!" rengek Alya seraya mengatupkan kedua tangannya, memohon kepada Gintani, sahabatnya.

"Iya-iya, entar aku temenin deh! Tapi traktir aku, ya?" gurau Gintani cengengesan.

"Okeh sistah!" jawab Alya seraya menempelkan ujung jempol dan ujung jari telunjuknya, membentuk bulatan.

"Ha...ha...ha...!" mereka pun tergelak bersama.

"Heh bocil! Pada ketawa aja, udah kerja sono! Diamuk bos, baru tahu rasa noh!" tegur bang Ali, office boy senior di kantor tempat mereka bekerja.

Ya! Sejak memutuskan untuk berhenti kuliah karena tidak ada biaya, Gintani pun bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang arsitektur. Dia bekerja sebagai office girl.

Gintania Nur'aini. Seorang gadis cantik berambut lurus panjang. Memiliki bulu mata yang lentik dengan bola mata berwarna hitam pekat. Kedua bulu alisnya yang tebal bak semut hitam yang sedang rapi berbaris. Hidungnya yang mancung dan bibir tipisnya yang berwarna pink, menambah kecantikan yang semakin sempurna.

Enam bulan yang lalu, Gintani pernah mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Dia berkuliah di salah satu universitas di kotanya dengan mengambil jurusan desainer. Tapi semenjak kakeknya sering sakit-sakitan, sang paman pun memutuskan untuk menghentikan biaya kuliah Gintani dengan alasan sudah terlalu banyak pengeluaran. Gintani pun hanya bisa pasrah menerima semua keputusan sepihak itu.

Kakek Wira sangat marah mendengar Gintani putus kuliah. Namun, kakek Wira tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri tidak memiliki biaya yang cukup untuk bisa menyekolahkan Gintani. Kakek Wira hanyalah seorang veteran yang nasibnya terkadang kurang diperhatikan oleh pemerintah.

Gintani termasuk office girl yang paling muda usianya di antara teman-temannya. Umur Gintani baru menginjak 19 tahun. Usia di mana dia seharusnya menikmati waktunya sebagai seorang mahasiswa. Terkadang, Gintani merasa iri dengan orang yang kata kakeknya adalah sepupunya. Namanya Celine Hadikusumah, putri dari pamannya yang sekarang masih menikmati masa-masa muda sebagai seorang mahasiswi.

Celine dan Gintani tumbuh bersama. Mereka sekolah bersama dari mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Sampai akhirnya, Gintani terpaksa mengalah dan putus kuliah demi tercapainya cita-cita sepupunya. Gintani masih ingat saat pamannya berkeluh kesah dengan keadaan ekonomi keluarga.

"Sebenarnya berat bagi paman untuk mengambil keputusan ini. Kamu sendiri tahu, Tan ... kakekmu sering sakit-sakitan, sementara perusahaan Paman sedang colepps. Dan Celine....! Celine adalah satu-satunya putri Paman. Paman sangat besar menaruh harapan padanya untuk bisa melanjutkan perusahaan Paman, kelak. Jadi, dengan amat terpaksa, Paman akan menghentikan biaya kuliah kamu, Tan. Paman tahu ini berat bagimu, tapi Paman tidak punya pilihan lain. Paman harap, kamu bisa memaklumi Paman."

Gintani tersenyum tulus.

"Tidak apa-apa, Paman! Gintan bisa ngerti, kok! Gintan akan berusaha untuk mencari kerja dulu. Bukankah kuliah bisa kapan saja?"

Gintani berusaha untuk bersikap tegar dalam menuturkan kata-katanya. Dia tidak ingin kelihatan bersedih di hadapan pamannya. Gintani tidak mau menambah beban pikiran pamannya.

"Woy...!! Mulai deh bengong lagi!" ujar Alya seraya menepuk pundak temannya. "Kamu mikirin apa sih, Tan?" lanjutnya.

"Nggak! Aku nggak mikirin apa-apa! Tadi, aku denger lagi bang Ali menyebut kita bocil lagi. Emang kita kayak bocah kecil, ya?" tanya Gintani polos.

"Emang kamu nggak nyadar? Usia kita emang masih terlalu kecil untuk bekerja. Harusnya, tugas kita saat ini tuh cuma belajar, kuliah, senang-senang menikmati masa remaja. Tapi kamu kan tau sendiri kondisi aku kayak apa. Jangankan buat kuliah, buat makan emak sama adekku juga pas-pasan. Masih untung ada perusahaan yang mau nerima karyawannya yang cuma lulusan SMU. Yaa.., meskipun cuma jadi office girl doang," jawab Alya panjang lebar.

"He...he...he..., kamu bener, Al! Masih untung kita dapat kerja, ya! Coba kalau lihat di luaran sana, masih banyak yang nganggur, kan?" timpal Gintani.

"Makanya, kalau lihat itu ke bawah, jangan ke atas! Jadi kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki sekarang," ujar Alya.

"Salah Al, kalau lihat tuh ke depan, biar nggak kejedot!" gurau Gintani.

"Eit dah ni bocil! Kagak ngarti peribahasa, apa? Lulus SMU nggak, sih kamu...?"

"Yeayy..., sewot...! Udah ah, pantry yuk! Bentar lagi jam kerja udah mau selesai. Kita harus segera beres-beres, biar bisa cepat pulang!" ajak Gintani.

"Ayo!" jawab Alya.

Mereka pun akhirnya saling bergandengan tangan dan berjalan sambil sesekali melompat-lompat seperti seekor kelinci.

🍀🍀🍀

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Para karyawan dan karyawati bergegas membereskan barang-barangnya. Begitu juga dengan Gintani dan Alya. Mereka bergegas menuju bilik-bilik karyawan untuk mengambil gelas-gelas yang kotor.

Pukul 16.30. Tugas mereka pun berakhir.

"Aahh..., akhirnya, selesai juga!" ujar Gintani seraya menggeliat meregangkan otot-ototnya.

"Iya, syukurlah, bisa selesai tepat waktu. Mau berangkat sekarang, Tan?" tanya Alya.

"Solat ashar dulu, ya!" pinta Gintani. "Soalnya aku belum solat!" lanjutnya.

"Ya udah, kamu ke mushola gih ! Aku tunggu di sini?" ujar Alya.

"Emang kamu nggak solat, Al ?" tanya Gintani, heran.

"Enggak, aku lagi datang bulan," jawab Alya enteng

"Ish, perasaan dari minggu lalu, datang bulan mulu!" gerutu Gintani.

"Udah sono. Buruan gih! Keburu sore!" ujar Alya seraya mendorong-dorong tubuh Gintani.

"Iya..., iya...!"

Dengan memasang muka cemberut, Gintani pun pergi meninggalkan Alya di ruang ganti. Gintani berjalan menuju mushola hendak menunaikan solat ashar. Setelah selesai solat, Gintani kembali mencari Alya di ruang ganti. Dia mendapati Alya tengah berbicara serius melalui telepon selulernya.

Menyadari Gintani sudah datang, Alya pun segera menutup sambungan telponnya.

"Sudah siap, Tan?" tanya Alya.

"Ayo!" jawab Gintani.

Akhirnya kedua sahabat yang terpaut beda usia yang hanya setahun itu pun berlalu meninggalkan kantor tempat mereka bekerja.

🍀🍀🍀

Food court mall Matahari

"Bagaimana, Tuan? Apa Anda tertarik dengan hasil rancangan team perusahaan kami?" tanya Argha kepada kliennya.

"Sangat menarik! Oke, kalau begitu silakan Anda buat draft kontrak kerjanya. Setelah selesai, Anda bisa kirim salinannya via email. Bagaimana, Tuan Argha?"

"Baiklah, saya setuju."

"Good! Kalau begitu, saya permisi dulu! Kebetulan anak dan istri saya sudah menunggu di arena bermain, mari!"

Tuan Raymond, yang merupakan seorang pengusaha properti yang hendak membangun perumahan elite, segera undur diri dari meeting yang sangat menyita waktu.

"Ah, ya...! Silakan...! Selamat bersenang-senang bersama istri dan anaknya, Tuan!" ujar Argha.

"Terima kasih!"

Setelah Tuan Raymond pergi, Argha pun menyandarkan punggungnya untuk melepaskan kepenatan.

"Aaahhh....! Baru kali ini aku meeting penuh drama kayak gini," gumam Argha seraya memejamkan matanya.

"Sabar Bos!" sahut Bram seraya membereskan laptop dan berkas-berkas meeting-nya.

"Lagian aku heran sama kamu, nggak bisa nyari tempat yang lebih baik, gitu? Sampai kita harus meeting di food court kayak gini. Jatuh, lah harga diriku sebagai CEO dari perusahaan PT. APA Architecture," ujar Argha dengan sombongnya.

"Sorry, Bos! Ini juga atas permintaan klien. Masalahnya, hari ini adalah quality time-nya beliau sama keluarganya. Bos sendiri yang salah, kenapa juga minta jadwal meeting-nya dimajukan?" gerutu Bram.

"Hey! Di mana-mana juga seorang bos nggak bakalan salah! Lagian ya, rezeki itu harus segera dijemput, bukan di diemin. Udah ah, aku capek! aku mau istirahat, pulang yuk!" ajak Argha.

"Sayang Bos, mumpung lagi di mall, mubazir kalau nggak dimanfaatin buat cuci mata," gurau Bram.

"Dasar mata keranjang! Sana kamu, cuci mata olangan! Aku mah mending nunggu di tempat karaoke sambil rebahan. Di sini terlalu bising!" jawab Argha.

"Ya elah, Bos ! Nggak asyik amat sih hidupmu...!" gerutu Bram, kesal.

Sebenarnya Argha dan Bram adalah sahabat sedari SMU. Karena itu hubungan mereka tidak terkesan formal pada saat mereka sedang menjalani waktu berdua, atau pada saat mereka berkumpul dengan kawan-kawan gengnya. Tapi pada saat di kantor, atau saat meeting menghadapi klien, hubungan mereka pun kembali layaknya hubungan atasan dan bawahan.

Archana Beautique.

Di sebuah butik pakaian mewah dan bermerk, tampak Alya sedang memilih dan memilah deretan gaun yang berjajar rapi.

"Gimana Tan, yang ini cocok nggak?"

Alya menunjukkan sebuah gaun long dress berwarna hijau dengan belahan di kedua samping kiri kanannya sampai ke pangkal paha.

"No! Kamu kayak penyanyi dangdut kalau pakai baju gituan," ujar Gintani.

Alya kembali menggantungkan baju itu di hanger. Dia kemudian mengambil sebuah gaun berwarna merah menyala dengan model rok yang mengembang.

"Kalau ini?" ujar Alya seraya menempelkan gaun tersebut di badannya.

"Ish! Terlalu seksi! Kamu jadinya kayak cabe-cabean kalau pakai baju itu! Ganti ah!"

Gintani masih belum menyetujui pilihan Alya.

"Ish, kamu ini! Yang bener dong! Ini salah, itu nggak cocok ! Terus aku mesti pakai yang model gimana nih? Cepetan, waktunya mepet nih! Bentar lagi Andi mo jemput buat ngajakin dinner," rengek Alya.

"Aaahhh, jadi kamu mau dinner sama babang Andi yaa...! Uuh...co cweet...!" ledek Gintani.

"Ish, kamu mah kok malah ngeledekin sih!" rengut Alya.

Gintani pun mulai mengelilingi dress-dress berwarna soft yang tergantung di hanger depan. Tiba-tiba, matanya terpana melihat sebuah dress selutut tanpa lengan yang memiliki aksen brokat di sekitar dadanya. Dress itu berwarna dusty soft, sangat cocok dengan kulit Alya yang putih mulus. Gintani berjalan ke depan untuk mengambil baju itu.

"Al, sini deh! Kayaknya kamu cocok banget pakai baju ini!" ujar Gintani seraya mengacungkan dress pilihannya kepada Alya.

Mata Alya langsung berbinar melihat model dress tersebut. "Aku coba ya, Tan?" lanjutnya.

Gintani mengangguk.

Alya pun segera mengambil dress itu ke ruang ganti. Tak lama kemudian, Alya keluar dari ruang ganti dengan gaya bak peragawati yang sedang berjalan di atas catwalk. Gintani semakin tergelak melihat ulah sahabatnya.

"Ha....ha....ha....!" tawa Gintani seraya menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang tersilang.

"Tawa itu ...," gumam seorang pria yang tengah mencoba beberapa jas di ruang ganti sebelah.

Argha segera keluar untuk mencari sumber tawa yang di dengarnya tadi. Namun sayangnya, Argha sama sekali tak menemukan siapa pun di sana.

"Kenapa Bos?" tanya Bram.

"Nggak! Nggak apa-apa!" jawab Argha.

Kasir Archana Beautique.

"Al, kamu serius mau langsung dipakai nih baju?" tanya Gintani saat mereka hendak melakukan pembayaran di kasir.

"Iya, Tan! Soalnya waktunya dah mepet banget nih! Bentar lagi jam 7 malam," jawab Alya. "Tan, tolong cabutin bandrol harganya dong!" pinta Alya lagi.

Gintani segera mencabut bandrol harga yang tertera di belakang dress tersebut.

"Berapa, Tan?" tanya Alya

"1.499.900. What...! Ish, mahal banget Al! Lebih baik nggak usah dibeli, sayang uangnya!" pekik Gintani sangat terkejut melihat harga yang dipatok untuk sebuah dress yang terlihat simpel itu.

"Ish, kamu ini! Tanggung kalee, udah di buka ntu bandrol harganya!" tukas Alya

"Yaaa, gimana dong?" ujar Gintani sedikit kecewa.

"Ya mau gimana lagi ..., ya udah, kita bayar aja yuk!" jawab Alya seenaknya.

"Ish, aku jadi nggak enak Al, gara-gara aku, kamu jadi kehilangan banyak uang cuma buat beli baju doang," ujar Gintani menyesal.

"Udah nggak apa-apa! Tenang aja, uangku masih banyak, kok!" Alya berusaha menghibur Gintani.

"Ya, tapi kan..., itu mahal banget Al ...," sesal Gintani.

"Ih kamu mah, baperan amat sih! Udah deh nggak usah dipikirin! Lagian, aku suka kok sama baju ini. Yuk ah, cabut! Bukannya, kamu lapar?"

Gintani mengangguk.

"Ya udah! Bentar ya, aku bayar dulu! Ini Mbak, bandrol harga bajunya!" ujar Alya seraya menyerahkan bandrol harga tersebut kepada penjaga kasir.

Si penjaga kasir tersenyum melihat tingkah mereka. "Semuanya jadi 1.499.990 rupiah, Mbak!" ujar si penjaga kasir.

Alya merogoh dompetnya dari dalam tas gendongnya. Dia pun segera mengeluarkan uang 15 lembar pecahan 100 ribuan, kemudian menyerahkannya kepada penjaga kasir itu.

Gintani hanya melongo melihat Alya yang sangat mudah mengeluarkan uang jutaan rupiah hanya untuk sebuah gaun. Ish, bukankah itu pemborosan? batin Gintani.

Setelah mereka membayar barang belanjaannya, mereka pun pergi menuju lantai atas untuk mengisi perutnya yang mulai berkonser ria.

Food court mall Matahari

Mereka mulai memesan makanan yang mereka sukai. Alya sengaja tidak terlalu banyak makan, karena dia memang hendak makan malam bersama kekasihnya. Sedangkan Gintani, karena merasa kelaparan, dia pun melahap semua makanan yang dipesannya.

30 menit telah berlalu. Alya dan Gintani memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan dengan sangat riangnya. Sesekali mereka bercanda dan tertawa bersama. Bagi Gintani, Alya adalah sahabatnya. Meskipun pertemuan mereka baru terjadi sebulan yang lalu, tepatnya pada saat Gintani bekerja sebagai office girl di perusahaan PT. APA Architecture.

Saat mereka sedang asyik berjalan, tiba-tiba...

BUGH!

"Aaahh...!"

Seorang pria yang tak lain adalah Argha, tanpa sengaja menabrak Alya dari arah belakang, sehingga minuman bobba yang sedang dipegang Alya pun tumpah di bajunya.

"Yaaa..., bajuku!" pekik Alya.

Gintani melihat ke arah Alya. Ya! Terdapat noda gelap dari minuman bobba rasa coklat yang tadi sedang dipegang Alya.

"Yaaa, gimana dong! Ini, kan mahal banget, mana aku sudah nggak punya tabungan lagi!" ujar Alya bersedih.

Gintani segera membalikkan badannya. Dia menatap tajam ke arah Argha.

"Mas! Kalau jalan, tuh pakai mata! Kamu nggak lihat, badan segede gini ada di depan kamu, buta ya! Tuh lihat, baju teman saya jadi kotor, kan! Ayo minta maaf!" ujar Gintani geram.

"Kalian yang jalan nggak pakai mata! Salah kalian, ngapain berhenti mendadak, kayak angkot naikin penumpang aja!" Argha tak kalah ketusnya menjawab.

"Kamu! Dengar ya, aku nggak mau tahu, ayo cepat ganti rugi! Apa kamu nggak tahu kalau baju temanku ini baru dan mahal. Ayo cepat ganti!"

"Weits...! Santai girl! Cuma baju doang, emang semahal apa baju temen kamu, sampai kamu ngotot kayak gitu?"

"1,5 juta! Ayo cepet bayar! Biar teman saya bisa segera membeli lagi gantinya," ujar Gintani seraya menadahkan tangan kanannya.

"Cuma segitu doang, dengar Nona! Jangankan baju harga segitu, tubuhmu pun bisa aku beli! Cih!"

PLAKK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Argha.

"Kau!"

Wajah Argha memerah menahan amarah. Bagaimana bisa seorang gadis kecil menamparnya di tempat umum, dan bahkan di antara para pengunjung ada yang sempat mengabadikan kejadian itu.

Argha melangkah maju mendekati Gintani. Matanya terlihat merah, rahangnya pun mengeras. Dia segera mencengkeram tangan Gintani.

"Akan kupastikan kau akan membayar mahal untuk tamparanmu ini, Nona!

Bersambung....

Jangan lupa dukungannya ya....🙏🤗

Kembali ke Rumah Sakit.

"Akan kupastikan kau akan membayar mahal untuk tamparanmu ini, Nona!" ujar Argha geram.

Gintani berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kuat tangan laki-laki itu. Sebenarnya Gintani merasa sedikit nyeri di pergelangan tangannya, namun dia berusaha untuk tidak menampakkan kelemahannya.

Dengan sekuat tenaga, Gintani menarik tangannya, hingga membuat tubuh Argha tertarik dan menyentuh dadanya.

"Shitt!" umpat Argha. "Dasar wanita mesum!" lanjutnya.

Muka Gintani memerah mendengar hinaan laki-laki yang tak dikenalnya.

"Jaga mulutmu! Atau aku akan melaporkanmu pada polisi atas semua penghinaanmu!" ancam Gintani geram.

"Silakan! Lapor saja! Aku tidak pernah takut dengan yang namanya polisi. Asal kau tahu, polisi di kota ini sudah sangat mengenalku. Hanya dengan satu jentikan jari, aku bisa menjebloskanmu ke penjara atas pasal yang tidak akan pernah terbayangkan dalam ingatanmu!" oceh laki-laki sombong itu.

Gintani semakin mengepalkan tangannya mendengar kesombongan pria yang berada di hadapannya.

"Ada apa ini?"

Seorang pria yang memiliki penampilan yang cukup tenang dan berwibawa, tiba-tiba menghampiri mereka yang tengah berdebat.

"Tu-Tuan Bram!" gumam Alya.

Secepat kilat Alya menarik tangan Gintani. Alya mengenali Bram sebagai orang kedua di perusahaan tempat dia bekerja. Alya kemudian berbisik di telinga Gintani.

"Sudah, Tan! Tidak usah diperpanjang! Kita pulang saja, yuk!" ajak Alya seraya menarik tangan Gintani.

"Sudahlah, kamu nggak usah takut, Al! Aku yang akan menghadapi pria sombong dan arogan itu!" ujar Gintani.

"Tapi, Tan!"

"Ish, Al! Dia harus bertanggung jawab! Dia harus mengganti bajumu yang rusak akibat noda bobba itu!"

"Beneran, Tan !! Sumpah, aku baik-baik aja, kok! Aku nggak marah, lagian, kan dia nggak sengaja. Aku sendiri yang salah, karena minum sambil berjalan."

"Ya, nggak bisa gitu dong Al!"

"Udah deh Tan! Lebih baik, kita pulang aja. Bajunya bisa aku cuci, nanti di rumah."

"Ish, Al! Kamu kenapa sih?"

"Nggak apa-apa. Yuk, pulang!"

Alya pun menarik tangan Gintani hingga Gintani terpaksa berlari kecil untuk mengimbangi langkah Alya.

Tiba di depan lobi mall, Gintani segera menghempaskan tangannya dari cekalan tangan Alya.

"Kamu apa-apaan sih, Al! Ngapain kamu narik aku kaya gitu? Kamu takut sama cowok sombong itu?" tanya Gintani ketus.

"Bukannya gitu, Tan. Tapi tadi Tuan Bram datang," jawab Alya terlihat cemas.

"Tuan Bram? Siapa Tuan Bram?" tanya Gintani mengernyitkan dahinya.

"Ish kamu ini! Emang kamu nggak tahu siapa Tuan Bram?" Alya malah balik bertanya kepada Gintani.

Gintani hanya bisa menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Alya.

"Ah, Gintan-Gintan," ujar Alya seraya menepuk pelan jidatnya.

Gintani hanya mengerucutkan bibirnya melihat tingkah sahabatnya.

"Tuan Bram itu bos kita! Dia orang kedua yang sangat berpengaruh di kantor. Dia itu tangan kanannya CEO kita!" ujar Alya

"Haaah!"

Gintani menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Be-Benarkah?" tanya Gintani tak percaya.

"Iya!" jawab Alya seraya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Terus, memangnya kenapa jika dia tangan kanannya atasan kita?" tanya Gintani masih merasa tak terima Alya menariknya keluar.

"Ish Gintan! Jika Tuan Bram berada di sini, bisa dipastikan bos kita pun berada di sekitar sini," ujar Alya cemas.

"Memangnya kenapa kalau memang dia ada di sini?"

"Dengar, Tan! Bos kita tuh paling tidak suka dengan yang namanya skandal. Jika sampai dia tahu kita beradu mulut dengan cowok itu di depan umum, dan dia mengenali kita, sudah dipastikan besok kita tidak akan pernah bisa masuk kerja lagi di kantornya!"

"Benarkah? Kenapa bisa begitu? Bukankah ini sudah di luar jam kantor?"

"Sudahlah! Memang nggak pernah menang kalau ngomong sama kamu. Kamu mah kayak bocil, banyak nanya!" gerutu Alya.

Gintani hanya bisa tersenyum cengengesan melihat tingkah kesal sahabatnya, Alya.

Tin-tin!

Sebuah mobil mewah tampak berhenti di depan mereka seraya membunyikan klaksonnya. Alya terlihat tersenyum sumringah saat melihat mobil mewah berwarna putih itu. Dia pun segera menghampiri mobil tersebut.

Alya tampak bercakap-cakap sebentar dengan orang yang berada di kursi bagian belakang. Setelah itu, dia kembali menghampiri Gintani.

"Tan, aku pergi dulu ya! Cowokku udah jemput nih. Eh kamu nggak apa-apa, kan, kalau pulang naik taksi?"

"Iya, santai aja kali! Aku bisa, kok, pulang pakai taksi online!" ujar Gintani.

"Sorry ya, Tan!" ujar Alya merasa bersalah karena tidak bisa menemani sahabatnya pulang.

"Ish, udah deh nggak usah baperan gitu! Aku nggak apa-apa, kok. Bersenang-senanglah!" ujar Gintani seraya mendorong pelan tubuh sahabatnya agar segera menghampiri kekasihnya yang sedang menunggu dalam mobil.

"Thanks ya, Tan!" ujar Alya seraya memeluk Gintani.

"Iya, sama-sama. Udah sana! Kasihan, jangan terlalu lama membuat cowokmu menunggu!" ujar Gintani.

Alya melepaskan pelukannya. Dia segera berbalik kembali menuju mobil kekasihnya. Alya membuka pintu belakang mobil sedikit lebar. Sejurus kemudian, dia kembali menutupnya. Alya menurunkan kaca mobil, dia pun melambaikan tangannya ke arah Gintani saat mobil itu melaju pergi.

Gintani sedikit tertegun saat dia melihat lelaki bertubuh sedikit gemuk berada di samping Alya, sahabatnya. Sepintas, Gintani melihat jika lelaki tersebut sedikit telah berumur dibandingkan Alya. Lelaki itu lebih pantas di bilang ayahnya ketimbang pacar sahabatnya. Ah, mungkin dia masih kerabatnya Alya, gumam Gintani tak mau ambil pusing.

Sementara itu, masih di dalam mall Matahari.

Argha masih menggerutu kesal atas kejadian yang menimpanya. Sebuah tamparan yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Bukan, bukan karena tamparan itu sangat keras, tapi karena tamparan itu datang dari seorang wanita dan terjadi di tempat umum.

Seumur-umur, baru kali ini Argha menerima sebuah tamparan. Argha kembali mengepalkan kedua tangannya.

"Sabar Bos!" ujar Bram seraya melingkarkan tangannya di leher Argha.

"Pokoknya, aku nggak mau tahu! Besok, data tentang siapa gadis itu harus sudah berada di mejaku! Kalau masih belum ada, sudah kupastikan kau akan menyesal seumur hidupmu!" ancam Argha kepada asistennya.

"Ish, yang benar saja Bos! Mana bisa dalam waktu semalam aku mendapatkan data seseorang yang sama sekali belum pernah aku kenal. Seminggu saja ya, Bos!" pinta Bram mencoba bernegosiasi.

"Kau memang tak pernah bisa untukku andalkan. Jangankan satu hari, mencari seorang gadis selama 14 tahun pun tak pernah kunjung bisa! Huh, dasar payah!" ledek Argha.

Bram pun hanya bisa merengut kesal terhadap ucapan teman sekaligus bosnya itu.

🍀🍀🍀

Pukul 20.02 Gintani tiba di rumahnya. Keadaan rumah terlihat sangat sepi.

"Assalamualaikum!" sapa Gintani.

Tak ada jawaban.

Tok-tok-tok!

Gintani mengetuk pintu rumahnya, namun masih tetap tidak ada jawaban.

"Assalamualaikum!" Kembali Gintani mengucapkan salam. Kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras.

Ceklek!

Seorang gadis cantik membukakan pintu untuk Gintani. Tiba di ambang pintu, dia menatap tajam ke arah Gintani.

"Abis ngelayap dari mana, kamu?" ujarnya sinis.

Gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah Celine Hadikusumah, sepupunya Gintani.

"Maaf, tadi aku habis ngantar teman," ujar Gintani seraya menundukkan kepalanya.

"Hmmm, bagus ya, udah pinter ngeles sekarang. Bilang aja kamu abis keliaran sama temen nggak bener kamu itu!" ucap Celine lebih ketus.

Gintani hanya memutarkan kedua bola matanya. Dia sudah merasa jengah dengan tuduhan Celine yang tidak-tidak terhadap sahabatnya.

"Maaf, aku lelah, aku ke kamar dulu!" ujar Gintani mencoba menghindari perdebatan dengan sepupunya itu.

"Wajarlah kamu lelah, jangan-jangan kamu juga abis nemenin om-om ya, kayak sobatmu yang bejat itu?" tuduh Celine semakin tak berarah.

"Hhh...."

Gintani hanya menghela napasnya, setelah itu dia pun meninggalkan Celine yang masih meracau kesal.

Sudah menjadi suatu kebiasaan Gintani untuk menyapa kakek Wira sebelum dia ke kamarnya.

Tok-tok-tok!

"Assalamualaikum, Kakek! Apa Kakek sudah tidur?" sapa Gintani seraya mengetuk pintu kamar kakeknya.

"Assalamualaikum! Kek, Gintan bawakan Kakek martabak. Apa Gintan boleh masuk?"

Sepi....

Kembali Gintani menghela napasnya. Dia pun melangkahkan kakinya menuju kamar belakang. Ya! Kamar Gintani terletak di belakang rumahnya, berdampingan dengan kamar pembantu yang ada di rumah ini.

Saat Gintani hendak membuka pintu kamarnya, tiba-tiba Mbok Inem keluar dari kamarnya.

"Loh, Non Gintan sudah pulang? Si Mbok pikir, Non mau menginap di rumah sakit," ujar Mbok Inem.

"Rumah sakit?" tanya Gintani heran, tiba-tiba dia teringat akan kakeknya. "A-Apa kakek masuk rumah sakit, Mbok?" tanya Gintani mulai merasa cemas.

"Iya Non, tadi sore tuan besar kembali ke rumah sakit. Penyakit beliau kembali kambuh, Non," ujar Mbok Inem.

"Astaghfirullah hal adzim! Kenapa Mbok tidak memberi tahu saya?" Gintani mulai terlihat panik.

"Maaf, Non! Si Mbok sudah coba menghubungi Non, tapi nomor telepon Non tidak aktif," ujar Mbok Inem.

Gintani segera merogoh ponselnya di dalam tas selempangnya. Mati! Pantas saja aku tidak mendengar ponselku berbunyi, batin Gintani.

"Lalu, sekarang bagaimana keadaan kakek, Mbok?" tanya Gintani.

"Si Mbok kurang tahu, Non. Tapi, sampai sekarang tuan dan nyonya belum pulang juga," jawab Mbok Inem.

"Rumah sakit mana, Mbok?" tanya Gintani lagi.

"Yang kemarin tuan besar di rawat, Non. Aduh, si Mbok lupa lagi nama rumah sakitnya," jawab si Mbok sambil mengerutkan keningnya.

"Rumah sakit Harapan. Aku harus segera ke sana," gumam Gintani.

"Mbok, Gintan pergi dulu, ya!"

"I-Iya, Non! Hati-hati!"

Gintani tersenyum, setelah itu dia pun segera berlari keluar untuk memesan taksi. 10 menit kemudian, taksi online yang telah dipesannya via aplikasi di ponselnya, tiba di halaman rumah Gintani.

Gintani segera menghambur ke arah taksinya. Dia segera membuka pintu belakang taksinya.

"Tolong antarkan saya ke rumah sakit Harapan ya, Pak!" pinta Gintani setelah memasuki taksi online tersebut.

"Baik, Non!" jawab sopir taksi seraya menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya.

Gintani semakin merasa cemas memikirkan kondisi kakeknya. Terakhir kakeknya masuk rumah sakit, sebulan yang lalu.

"Gintan mohon kek, bertahanlah!" gumam Gintani. Tanpa terasa, air mata mulai menetes di kedua pipinya.

Setengah jam kemudian, mobil yang ditumpangi Gintani tiba di rumah sakit Harapan. Gintani segera membayar ongkos taksinya, setelah itu dia berlari memasuki lobi rumah sakit untuk menanyakan keberadaan kakeknya.

"Tuan Wira di rawat di ruang Dahlia kamar 05," jawab perawat bagian administrasi.

"Terima kasih, Mbak!"

Gintani segera berlari kecil menuju ruangan yang tadi disebutkan oleh perawat. Setelah tiba di pintu kamar, Gintani berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.

Tok-tok-tok!

"Assalamualaikum!"

Gintani mengetuk pelan pintu kamar seraya mengucapkan salam.

Ceklek!

Karena tidak mendapatkan jawaban, Gintani pun membuka pintu ruangan dengan perlahan. Tampak di sana, paman dan bibinya sedang duduk di sofa menunggui sang kakek.

"Akhirnya kamu datang juga," ujar ketus bibinya menyambut kedatangan Gintani.

"Ma-Maaf. Gi-Gintan baru tahu jika kakek masuk rumah sakit," ujar Gintani terbata.

Bi Shella menghampiri Gintani. "Sini kamu!" ujarnya seraya menarik kasar tangan Gintani.

Bibi Shella membawa Gintani ke sudut kamar.

"Dari mana kamu seharian ini, heh?" tanyanya geram.

"Gi-Gintan ke-kerja, Bi!" jawab Gintani gugup ketakutan.

"Kerja? Pekerjaan seperti apa yang kamu jalani hingga sampai pulang jam segini? Jual diri?" teriak Bibi Shella.

"Astaghfirullah, Bi!" ucap Gintani beristighfar seraya memegang dadanya.

"Udah deh, nggak usah sok suci! Kamu pasti kelayapan lagi, kan, sama si Alya, cewek simpanan om-om itu!" tuduh Bibi Shella.

"Gintan memang pergi dengan Alya, Bi. Tapi Gintan nggak kelayapan! Gintan hanya menemani Alya untuk membeli baju, dan Alya tidak seperti yang Bibi tuduhkan. Dia gadis baik-baik, Bi!" ujar Gintani mencoba membela sahabatnya.

"Terserah kamu saja! Bibi capek! Bibi dan pamanmu mau pulang. Sekarang, kau tunggui kakekmu yang tidak berguna itu!" ujar Bibi Shella.

Gintani hanya bisa mengepalkan kedua tangannya saat bibinya kembali menghina kakeknya. Gintani tidak mengerti dengan kebencian yang tertanam di hati bibi Shella kepada sang kakek. Padahal, kakek Wira adalah ayah kandung dari paman Arman, suaminya bibi Shella. Itu artinya, kakek Wira adalah mertuanya bibi Shella. Tapi sikap bibi Shella tidak pernah mencerminkan rasa hormatnya sebagai seorang menantu kepada mertuanya.

Setelah berbicara kasar kepada Gintani, bibi Shella menarik tangan suaminya untuk segera meninggalkan ruang rawat kakek Wira.

Gintani mendekati kakeknya yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Wajah kurus dan keriput kakeknya semakin terlihat jelas. Gintani memegang tangan kakeknya.

"Maafin Gintan, Kek! Sampai detik ini, Gintan belum punya uang untuk membiayai pengobatan Kakek. Kakek yang sabar ya, insyaallah Gintan akan selalu berusaha untuk kesembuhan Kakek. Gintan mohon, Kakek harus kuat! Gintan janji, Gintan akan segera mencari uangnya, Kek. Supaya operasi pancangkokan ginjal bisa segera dilakukan, dan Kakek bisa kembali sehat seperti semula," ujar Gintani seraya mengusap lembut punggung tangan kakeknya.

Sudah hampir 6 bulan, kakek Wira mengalami sakit gagal ginjal. Setiap bulannya, kakek Wira harus melakukan cuci darah untuk bisa bertahan hidup. Sebenarnya, sudah ada beberapa donor ginjal yang cocok untuk menolong kakek Wira. Namun sayangnya, pihak keluarga menyatakan keberatan jika kakek Wira menjalani operasi pencangkokan ginjal. Mereka bilang, mereka tidak mempunyai cukup biaya untuk melakukan operasi tersebut.

Sebenarnya, Gintani merasa kesal dengan sikap paman Arman yang seolah tidak ingin berusaha untuk kesembuhan ayahnya sendiri. Tapi Gintani tak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri tidak punya banyak uang untuk membantu menyembuhkan penyakit kakeknya.

Gintani merasa lelah. Dia kemudian menundukkan kepalanya di atas kasur di samping kakeknya. Tanpa menunggu waktu lama, dia pun mulai masuk ke alam mimpinya.

Bersambung....

Jangan lupa like vote n komennya 🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!