Bulan tampak menggantung di langit malam yang cerah hari ini, seolah tersenyum meski balutan cahayanya belum sempurna.
Via duduk di balkon kamarnya sembari memetik gitar, menyanyikan lagu lama dari Peterpan.
Waktu terasa semakin berlalu
tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
'Tuk hapuskan rasa sepi di hati
Salah satu lagu yang menurut Via paling asik dinyanyikan dengan gitarnya saat diri butuh asupan energi agar bisa lebih bersemangat.
Di dalam kamar, di atas meja belajarnya, laptopnya masih menyala, semula ia memang sedang mengerjakan tugas kuliah, tapi tiba-tiba malas menyerang dan walhasil Via menjadikan gitarnya sebagai pelampiasan.
Gadis manis dengan rambut panjang yang selalu di kuncir kuda itu tampak menikmati setiap petikan gitarnya, menyanyi dengan sepenuh hati seolah tengah disaksikan rimbun daun pohon Mangga yang tepat di depan balkon kamarnya.
"Non... Non Via."
Tiba-tiba terdengar suara Mbok Nah dari luar kamar, Via hanya melongok ke dalam kamar sembari berteriak...
"Engga di kunci Mboook..."
Tak lama pintu kamar dibuka, Mbok Nah muncul dengan nampan berisi sepiring kecil potongan buah apel dan pir.
"Katanya mau belajar."
Kata Mbok Nah sambil meletakkan piring potongan buahnya di atas meja belajar dekat laptop yang masih menyala.
"Otaknya ruwet Mbok, jadi nyari hiburan dulu."
Via nyengir.
"Hmm Non ini, nyari hiburan sambil duduk di balkon malam-malam begini yang ada masuk angin."
Kata Mbok Nah.
"Hihihi..."
Via cekikikan, lalu masuk ke dalam kamar sambil memeluk gitarnya.
"Ayah belum pulang yah Mbok?"
Tanya Via sambil meletakkan gitarnya di atas tempat tidur, lalu mencomot satu potong buah pir dan melahapnya.
"Paling lusa baru pulang, biasanya kalau ke Bali kan agak lama."
Jawab Mbok Nah.
Via mantuk-mantuk.
"Besok Via kuliah siang, Mbok Nah ada jadwal belanja ke pasar ngga? Apa ke mall saja yuk."
Ajak Via.
Mbok Nah menggeleng cepat.
"Malas Non kalau belanja di mall. Enak di pasar bisa nawar. Non mau ikut?"
Mbok Nah iseng bertanya.
Via duduk di kursi belajar dan mencomot satu potong pir lagi.
"Ngg..."
Via seperti mempertimbangkan. Lalu...
"Boleh deh, Via lagi pengen makan nasi Brongkos dekat pasar Mbok, yang biasa Mbok beliin, enak itu."
Kata Via.
Mbok Nah mengangguk.
"Ya sudah, teruskan belajarnya, biar bisa cepat tidur, jadi besok tidak kesiangan ke pasarnya."
Mbok Nah menepuk bahu Via.
Gadis manis itu mengacungkan ibu jarinya.
"Siap Mbok."
Mbok Nah tersenyum.
Tak terasa sudah dua puluh tahun Mbok Nah mendampingi Via, dari pertama ia lahir hingga akhirnya sekarang menjadi gadis yang begitu manis.
Di usianya yang menginjak dua puluh tahun, Via sudah mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan. Orangtuanya yang bercerai saat Via berusia lima belas tahun, menjadi rebutan orangtuanya sampai akhirnya di usir dari rumah Ibunya oleh laki-laki yang menikahi sang Ibu.
Via yang semula memilih tinggal dengan Ibunya di Jakarta karena Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, akhirnya memutuskan tinggal bersama sang Ayah yang pindah ke Jogja dan tinggal bersama Ayah hingga saat ini.
"Tak apa ngga ada Ibu, yang penting ada Mbok Nah kan?"
Begitu Via menghibur diri sendiri.
**--------**
Pagi jelang jam enam, Via memanaskan motor jadul milik Ayahnya yang sesekali ia suka pakai jika ingin jalan-jalan sekitar Jogja. Motor bebek warna merah yang tanpa variasi tambahan itu masih cukup bagus karena Ayah Via memang pandai merawat kendaraan miliknya.
Bahkan dua mobil di garasi mereka juga adalah mobil keluaran tahun lama, yang satu sedan warna abu-abu yang jika suka nonton film era Bang Rano Karno pasti sering melihat sedan itu dan yang satu lagi mobil jeep yang juga keluaran tahun lama berwarna kuning.
"Mboook... Sudah siap nih."
Via berteriak dari arah halaman.
Mbok Nah tergesa-gesa keluar dari pintu samping pagar lalu mengancing pintu dan segera menghampiri nona mudanya.
Mbok Nah siap dengan tas belanjanya.
Via naik ke atas motor, Mbok Nah duduk menyamping di boncengan.
"Ngebut apa pelan-pelan nih Mbok?"
Tanya Via.
Mbok Nah menepuk punggung nona nya.
"Jangan ngebut Non, nanti Mbok Nah jantungan lagi."
Kata Mbok Nah yang kapok diboncengkan Via saat pergi ke Pasar Beringharjo malam hari karena nona mudanya ingin makan di luar rumah.
Via tertawa kecil, lalu menstarter motornya.
Seorang tetangga rumah yang baru keluar dari pagar rumahnya menyapa Via.
"Lha pagi-pagi sudah motor-motoran to."
"Hehe... Motor beneran kok Bu Jaya, monggo Bu, mau ke pasar dulu."
Kata Via ramah.
Via memang manis. Bukan hanya wajahnya, namun juga kepribadiannya. Ia bukan hanya murah senyum pada semua orang, namun juga santun.
Hanya saja, Via tak begitu senang bergaul di luar rumah, terutama sejak kedua orangtuanya bercerai. Ia lebih senang menikmati hari-harinya di dalam rumah. Bermain gitar atau sekedar membaca buku sambil mendengarkan musik-musik favoritnya.
Hanya sesekali saja Via keluar rumah untuk pergi kuliah dan jalan-jalan. Kadang ke alun-alun, atau ke pasar Beringharjo. Ada kalanya ia juga nonton film ke bioskop, tapi jarang sekali ia melakukannya dengan teman-temannya.
Orang bilang Via itu introver, dan mungkin itu ada benarnya.
Meski Via bukan tipe pemalu dan anti sosial, Via hanyalah penikmat kesendirian.
Ia ramah tapi tak senang terlalu bercampur dengan orang lain. Meskipun sempat ikut band, ia tetap bukan orang yang memiliki teman banyak.
Aneh memang, tapi begitulah adanya. Mungin benar Via adalah satu dari sekian manusia yang memiliki pribadi yang unik. Begitu kira-kira.
Via memarkirkan motornya di parkiran pasar. Lalu mengawal Mbok Nah masuk ke dalam pasar tradisional yang konon sudah berdiri dari tahun 1809 itu.
Dulunya di sana lebih terkenal dengan pasar burung, bahkan turis manca negara sering menyebutnya dengan Bird Market karena sejak tahun 1960 memang hampir semua pedagang Burung kumpul di sana.
Sebagai orang jawa, burung juga termasuk tolak ukur kesuksesan seorang laki-laki, dimana laki-laki Jawa itu harus memiliki lima macam kepemilikan jika ingin dikatakan sukses. Lima hal itu adalah, rumah, isteri, kuda, keris dan yang terakhir burung.
"Non Via mau makan apa nanti siang?"
Tanya Mbok Nah.
"Tumis kangkung saja Mbok, sama tempe goreng dan ayam goreng."
Jawab Via.
Mbok Nah kemudian berjalan ke arah pedagang sayur dimana di sana menyediakan macam-macam sayuran, dari Bayam, Kangkung sampai sawi.
Setelah sibuk memilih beberapa macam sayuran untuk di masak siang nanti dan sampai tiga hari ke depan, Mbok Nah kemudian menuju pedagang tempe.
"Mas Bayu, tumbas tempe."
Kata Mbok Nah.
Seorang pemuda yang wajahnya cukup tampan yang semula sedang sibuk menyusun tong kayu bekas wadah tempe, tampak tersenyum ramah menyambut Mbok Nah.
"Eh Mbok Nah, nggih Mbok, tumbas pinten Mbok?"
Via yang berdiri di sebelah Mbok Nah tampak memperhatikan Bayu yang kemudian memilihkan tempe untuk Mbok Nah.
"Putrine to Mbok?"
Tiba-tiba Bos tempe berperawakan besar namun wajahnya ramah itu muncul dari arah belakang Via dan Mbok Nah.
Sepertinya Bapak itu baru datang dari rumah.
"Eh Pak Dulah,"
Mbok Nah menyapa.
"Kasih imbuhan Yu,"
Kata Pak Dulah kepada Bayu.
Bayu menurut menambahkan satu papan tempe untuk Mbok Nah.
"Ini anak majikan, lagi mau mengantar Mbok belanja."
Mbok Nah memperkenalkan Via pada Pak Dulah yang mengangguk.
"Cah ayu mau pergi ke pasar yo jarang-jarang sekarang."
Pak Dulah dan Mbok Nah terkekeh.
Bayu sejenak mencuri pandang pada Via yang hanya tersenyum tipis saja dibilang ayu.
Hmm... Memang ayu kok. Batin Bayu.
**-----------**
Mbok Nah akhirnya selesai berbelanja setelah hampir seluruh pasar ia kelilingi. Via yang perutnya sudah lapar dan ingin segera mengisinya dengan Nasi Brongkos langsung bernafas lega.
"Akhirnyaaaaa..."
Kata Via.
Mbok Nah cekikikan.
Ia tahu nona mudanya tak suka ikut ke pasar bukan karena tidak suka dengan pasarnya, tapi tidak suka dengan kebiasaan Mbok Nah yang suka muter-muter dulu seperti obat nyamuk.
"Sudah lapar yah Non?"
Tanya Mbok Nah.
"Yah udah tahu pake nanya si Mbok mah, ngabisin suara aja."
Sahut Via.
"Ayuk Mbok, ntar cacing di dalam perutku pada demo."
Via mengambil alih beberapa kantong belanjaan di tangan Mbok Nah yang sudah tak muat masuk ke dalam tas belanja yang ia bawa.
Via berjalan cepat menuju parkiran, lalu memberikan satu lembar uang sepuluh ribuan pada tukang parkir.
Tukang Parkir sigap membantu Via mengeluarkan motor dari barisan motor lain yang sudah ramai berjejer, bersama dengan itu muncul pemuda yang tadi melayani Mbok Nah di lapak tempe.
"Eh Mas Bayu."
Sapa Mbok Nah.
Pemuda bernama Bayu itu tersenyum. Wajah Bayu tampak semakin mempesona dengan senyumannya.
Pemuda itu menghampiri Mbok Nah dan berbincang sebentar.
"Ini Non."
Tukang parkir tiba-tiba mengagetkan Via yang sibuk menatap bayangan wajah Bayu dari kaca spion motornya.
Tukang parkir memberikan Via kembalian,
"Oh, ngga usah Pak, buat Bapak aja."
Kata Via.
"Wah, maturnuwun Non."
Tukang parkir senang.
"Ayo Mbok, lapar kita."
Kata Via pada Mbok Nah yang masih saja berbincang dengan Bayu.
"Oalah, ini nona muda lagi kelaparan."
Mbok Nah terkekeh.
Jiaaah kelaparan, memprihatinkan sekali rasanya penggambaran Mbok Nah.
Bayu membantu Mbok Nah naik ke boncengan, lalu membantu menata kantong-kantong belanja di motor Via agar tidak sampai membuat Via kesulitan mengendarai motornya.
"Makasih."
Kata Via sok santai.
Lagi-lagi Bayu tersenyum.
Ah' kalau satu kali lagi Via melihat senyum itu, Via pasti akan klepek-klepek.
Via akhirnya cepat-cepat menstarter motornya. Ia harus segera melarikan diri karena jantungnya sudah mulai berdetak tidak normal.
"Monggo Mas Bayu duluan..."
Kata Mbok Nah.
Bayu mengangguk.
Via membawa motornya ke arah warung nasi Brongkos yang cukup terkenal dan letaknya tak jauh dari pasar.
Setelah sampai depan warung, ia langsung parkir, dan buru-buru mengajak masuk Mbok Nah.
"Saya makan soto saja Non."
Kata mbok Nah.
Via mengangguk.
Gadis ayu itu lantas memesan satu nasi Brongkos lengkap dan satu porsi soto, minumannya teh nasgitel pastinya.
Via memilih duduk tak jauh dari pintu masuk. Mbok Nah duduk di sebelahnya.
"Mas Bayu itu ganteng, baik, pinter lagi."
Tiba-tiba Mbok Nah seperti jubir partai.
"Apaan Mbok."
Kata Via.
"Itu, Mas Bayu, yang tadi ketemu di pasar, dia kan kerja jadi kuli tempe sekalian kuliah."
"Oh yah?"
Via membelalakan mata.
"Iya, Pak Dulah yang cerita, kalau Mas Bayu itu aslinya keponakan Bu Siti isteri pak Dulah, dia dapat beasiswa di kampus ternama, dia tinggal di rumah Pak Dulah, jadi dia sekalian bantu-bantu."
"Hmm..."
Via mantuk-mantuk.
Luar biasa, di jaman sekarang ternyata masih ada cowok baik yang tersisa. Batin Via.
"Kalau sama Non Via cocok deh. Non Via kan ayu, mas Bayu ganteng, kalau punya anak pasti cantik-cantik dan ganteng-ganteng."
Seloroh Mbok Nah.
"Lah Mbok Nah ini, kok nyampenya anak sih."
Via jadi tertawa.
**--------**
Bayu baru sampai di rumah Pak Dulah, pamannya yang menjadi juragan tempe. Pak Dulah aslinya orang Pekalongan, ia merantau ke Jogja dan cukup berhasil membuat usaha tempe asli kedelai tanpa campuran.
Sudah lebih dari dua puluh tahun Pak Dulah menjalani usaha produk rumahan tempe di Jogja. Bukan hanya memproduksi tempe mentah, namun juga Pak Dulah mengolahnya menjadi keripik tempe berbentuk bulat yang juga cukup digemari para pelanggannya.
Bulan ini sudah masuk tahun kedua Bayu tinggal di rumah Pak Dulah sebagai paman iparnya. Selain agar tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk tempat tinggal, Bayu juga justeru bisa menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja membantu Pak Dulah.
Selama tinggal di rumah Pak Dulah, Bayu sangat disayangi Paman dan Bibinya itu. Bukan hanya karena ia rajin, namun juga karena sejak ada Bayu penjualan tempe di pasar meningkat pesat.
Alasannya jelas, ketampanan wajah Bayu memikat sebagian pembantu rumah tangga atau tukang sayur yang masih gadis dan janda.
Bayu sendiri sebetulnya pemuda yang cukup pemalu, ia tak suka banyak bergaul, sepulang kuliah ia tak pernah ke mana-mana, selalu ia akan langsung pulang dan kembali bekerja di pabrik rumahan tempe milik sang Paman.
"Hey Yu, ada kiriman tuh."
Kata Triono.
Bayu mengerutkan kening saat turun dari motornya.
"Kiriman apa?"
Tanya Bayu bingung.
"Itu, biasa, Ratmi."
Kata Triono lagi.
"Ratmi anak Bu Darsih?"
Tanya Bayu.
"Iyalah dia, fans beratmu."
Triono terbahak.
Bayu hanya mengulum senyum.
Dia memang selalu setenang itu.
Tak terlalu peduli dengan urusan perempuan, kecuali...
Ah' kenapa tiba-tiba Bayu ingat wajah gadis yang bersama Mbok Nah tadi di pasar.
Gadis berwajah ayu dan manis itu, yang senyumnya terbit tak berlebihan.
Bayu menggotong beberapa tong kayu bekas wadah tempe ke dalam ruangan yang digunakan untuk mengolah kedelai.
Mesin giling kedelai sudah mulai beroperasi, dua orang teman Triono sudah mulai memindahkan kedelai yang sebelumnya sudah dicuci bersih dan di rebus ke dalam mesin penggilingan.
"Aku ada kuliah pagi, paling nanti aku akan pulang setelah masuk proses membungkus."
Kata Bayu.
"Kirimannya bagaimana ini Yu?"
Tanya Triono menunjuk satu kotak kue yang diletakkan di atas kursi kayu lapuk.
"Buat kalian saja, tadi aku sudah makan gorengan di pasar."
Ujar Bayu sambil berlalu masuk ke rumah.
Tentu saja Triono dan kedua temannya, si Cipto dan Slamet menyambut dengan senang hati.
Bayu masuk ke kamarnya untuk mengambil handuk, saat kemudian Bibinya melewati kamar Bayu. Wanita itu tampak rapih.
"Mau pergi Bi?"
Tanya Bayu.
"Iya, diajak Bu RT ke pesantren nengok cucunya."
"Ooh..."
Bayu mantuk-mantuk.
"Kamu kuliah pagi Yu?"
"Iya Bi."
"O ya sudah, kalau bensin motor habis, kamu ambil saja itu di tempat biasa, Bibi selalu sediakan uang untuk beli bensin motor-motor Paman."
"Ah sudah Bi, uang dari hasil bantu-bantu lebih dari cukup untuk beli bensin dan segala macam kebutuhan."
Jawab Bayu.
"Ah kamu ini, selalu saja begitu jawabannya. Uang dari Paman itu kan gajianmu kerja, kalo Bibi ngasih kan karena kamu keponakan Bibi."
Mendengarnya Bayu mengangguk.
"Matursuwun Bi, tapi memang masih cukup."
Bibi Siti menghela nafas.
Lalu tersenyum sambil menepuk lengan Bayu.
"Sudah Bibi pamit, kamu hati-hati berangkat dan pulang kuliahnya."
"Nggih Bi."
**---------**
"Non ini kalau makan Brongkos selalu kacang tolo nya di singkir-singkirkan, padahal kan itu yang enak."
Kata Mbok Nah, sambil mengambil kacang tolo dari mangkok brongkos milik Via.
"Ya kan selera orang beda-beda."
Via beralasan sambil mengguyurkan kuah brongkosnya ke atas nasi, tak lupa potongan daging sapi yang empuk ia ikut sertakan agar lidahnya bahagia.
"Non Via tidak kuliah hari ini?"
Tanya Mbok Nah yang sudah menghabiskan seluruh sisa soto nya.
Via menggeleng.
"Nanti saja kalau Ayah sudah pulang."
Jawab Via santai.
"Bolos lagi?"
Mbok Nah menatap nona mudanya.
"Bukan bolos lagi Mbok, bolos terus."
Via tertawa.
Mbok Nah jadi ikut tertawa.
Via kemudian melanjutkan menyantap nasi brongkosnya, namun saat sedang nikmat-nikmatnya, tiba-tiba di luar terdengar suara...
"Brukg!!"
Lalu mulai disusuli suara tukang parkir marah.
"Ada apa to?"
Mbok Nah yang penasaran akhirnya ikut keluar bersama pengunjung warung lainnya, begitu juga pemilik warung.
"Oalaaah, belanjaanku."
Terdengar kemudian suara Mbok Nah memekik, membuat Via yang semula tak ingin peduli akhirnya terpaksa berdiri dari tempatnya untuk menyusul Mbok Nah keluar.
Ah, padahal masih ada dua suapan lagi. Kesal Via.
Via melangkah keluar, dan didapatinya Mbok Nah sedang memunguti belanjaannya yang tumpah sebagian dibantu beberapa orang.
Sementara seorang laki-laki tampak sibuk mengangkat motor yang roboh ke pelataran parkir, dan menjauhkannya dari posisi mobil yang tadi menyenggolnya.
Tampak pula seorang pemuda berdiri di dekat mobil sibuk memberi alasan pada tukang parkir dan beberapa orang lain yang menyalahkannya, ia terus mencoba meyakinkan pada mereka bahwa ia tak sengaja menyenggol motor yang sudah lebih dulu parkir itu.
Via si pemilik motor yang di senggol si pemuda itu akhirnya mendekat.
Via melihat kondisi motornya tampak lecet dan kaca spion sebelah kiri pecah. Gawat ! Ayah bisa marah besar nanti. Pikir Via.
"Aku pemilik motornya Mas."
Kata Via akhirnya pada si pemuda itu.
"Oh, jadi ini motor milik Mbak ya?"
Tanya si pemuda.
"Minta ganti rugi saja Mbak."
Beberapa orang mulai mengompori.
"Iya Non, minta ganti rugi, ini sebagian bahan masakan yang kita beli juga hancur."
Mbok Nah ikut bersuara.
"Iya Mbak, ngga apa-apa, aku akan ganti rugi, berapapun akan aku ganti, maaf."
Pemuda itu membungkukkan badannya.
Malas ribut akhirnya Via meminta nomor telfon yang bisa dihubungi saja, supaya nanti pas motornya diservis urusan biaya Via tinggal menelfon.
Pemuda itupun dengan senang hati memberikan kartu namanya.
"Rifaldi Reyhan."
Begitu nama yang tertulis pada kartu nama.
"Rifal, panggil saja Rifal."
Kata Rifal.
Via mengangguk lalu tersenyum ala kadarnya.
"Nanti tek hubungi kalau sudah selesai servis."
"Siap."
Rifal menyahut cepat.
Setelah itu Via menghampiri Mbok Nah, menyuruhnya untuk berhenti dan membiarkan saja bahan belanjaan yang tercecer dan sudah tak layak pakai.
"Gampang nanti Mbok Nah beli lagi saja di tukang sayur yang lewat di komplek."
Hibur Via.
Mbok Nah yang masih merasa sedih hanya mengangguk pasrah.
Via masuk ke dalam warung untuk membayar, sementara Rifal yang akhirnya sudah selesai dimarahi orang sana sini, tampak juga masuk ke dalam warung memesan nasi Brongkos untuk dibawa pulang.
"Mari Mas."
Kata Via basa-basi.
Rifal mengangguk sopan.
Via keluar lalu mengajak Mbok Nah pulang.
**--------**
Rifal melajukan mobilnya, sial buatnya hari ini, gara-gara masih mengantuk disuruh beli nasi Brongkos Ibunya, akhirnya jadi menyenggol motor saat mau parkir.
Sampai di rumah ia kemudian langsung meletakkan begitu saja kantong berisi bungkusan brongkosnya di atas meja makan.
"Kamu ngga makan sekalian Fal?"
Tanya Ibu.
"Rifal mau tidur lagi sebentar Bu."
Sahut Rifal sambil ngeloyor ke lantai atas menuju kamarnya.
Sang Ibu menghela nafas, lalu meminta Mbok Sum, pembantu rumahnya membawakan piring.
Rifal masuk kamar dan langsung membanting tubuhnya ke kasur. Ia ingin melanjutkan tidurnya kembali, sebelum nanti pasti Ibunya akan menyuruhnya menjemput Ayah di bandara karena rencana pulangnya dari Bali adalah hari ini.
Rifal memeluk guling, ia bersiap tidur saat tiba-tiba hp di saku celananya bergetar.
Ah' sial!
Rifal kesal bukan main.
Pemuda itu merogoh sakunya dan melihat layar hp dengan malas.
Dewi.
Pacarnya menelfon.
Ish... Rifal mendesis.
Malas bertengkar, Rifal akhirnya mengangkat telfon dari Dewi.
"Yah Wi."
Kata Rifal sambil merem.
"Pasti kamu masih tidur."
Kata Dewi dari seberang sana.
"Lha kamu tahu aku masih tidur malah telfon."
"Ya kan sudah siang bebeb."
"Aku ngga ada kuliah hari ini, ngga apalah tidur lagi."
"Kamu main game online lagi semalam?"
"Ya."
"Hmm... Pantes nomorku diblokir."
Kesal Dewi.
"Ya kan aku sudah bilang kalau nomormu diblokir karena aku lagi main.".
"Ikh ngeselin banget."
Dewi misuh-misuh.
"Ada apa nelfon?"
Tanya Rifal, kadang pacarnya ini kalau ngomong suka muter-muter dulu, membuat Rifal jadi suka kesal.
"Anterin aku kuliah."
Ya ampuuuuun...
Rifal tepuk jidat.
Ia akhirnya kehilangan ***** tidurnya.
Pemuda itu bangun lalu duduk sila.
"Dari rumah kamu ke kampus kan deket Wi,"
"Biasanya kamu juga anterin."
"Ya kan sekalian aku juga berangkat. Hari ini aku ngga ada kelas."
"Jadi kamu ngga mau nganterin aku."
Ah ya Tuhan...
Pasal satu cewek selalu benar.
Rifal menghela nafas.
"Ya udah kalau ngga mau, aku nebeng Vino saja."
Dewi ngambek.
Halah... Kebiasaan, selalu akhirnya mengancam seperti itu.
"Iya... Iya..."
Rifal akhirnya mengalah.
"Hihihi..."
Dewi tertawa penuh kemenangan.
Rifal keluar kamar lagi. Turun ke lantai bawah dan melewati Ibunya yang sudah mulai menikmati makanannya.
"Mau ke mana Fal?"
Tanya Ibu pada Rifal yang kini ngeloyor keluar.
"Nganter Dewi ngampus Bu."
Sahut Rifal sambil keluar.
Ibu Rifal menghela nafas.
"Gadis manja begitu dipacarin, kayak semua gadis sudah mati saja."
Ibu Rifal misuh-misuh.
Rifal naik ke mobil, lalu tancap gas menuju rumah Dewi.
Sebetulnya, dibanding dari rumah Rifal, kampus di mana Dewi dan Rifal kuliah itu lebih dekat dari rumah Dewi.
Tapi sejak mereka pacaran sebulan ini, Dewi selalu maunya di jemput dan diantar ngampus.
Ya kebetulan memang Rifal selalu ada kelas pagi juga, jadi ia tak masalah sekalian lewat jemput Dewi. Tapi baru kali ini memang Rifal tak dapat kelas pagi, herannya Dewi masih saja minta dijemput.
Rifal mobilnya masuk ke perkampungan di mana Dewi tinggal, lalu parkir di depan rumah sederhana keluarga Dewi.
Muncul sang Ibu yang kadang menyambut Rifal secara berlebihan.
Rifal menyalami Ibunya Dewi.
"Mau ngantar Dewi kuliah Bu."
Kata Rifal.
"Oalah, ini lho calon mantu anak orang kaya, sayang sekali sama Dewi."
Ibunya Dewi suaranya seperti sengaja keras. Tampak di rumah sebelah seorang Ibu lain yang sedang menyapu hanya tersenyum.
"Wiiii... Cepat ini Mas Rifal sudah menunggu."
Teriak Ibunya Dewi lagi.
Tak lama Dewi muncul keluar.
Dewi tampak cantik. Ah' dia memang cantik setiap hari.
"Ayuk."
Kata Dewi pada Rifal.
**-------**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!