NovelToon NovelToon

Autobiografi SMA

PERKENALAN

⚠PERHATIAN!⚠

BILA ADA KESAMAAN NAMA, KARAKTER, TEMPAT, DAN CERITA, ITU HANYA KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN.

Kami ucapkan selamat datang bagi para pembaca!!!!!

“Hai... pertama-tama, di sini kami akan memperkenalkan diri... aku Areny, aku perempuan riang gembira, pokoknya aku sangat suka saat disamping ketua kelas, hehehe....”

“Aku Zeni, aku wanita yang tak suka basa-basi dan aku manusia yang mudah menyerah.”

“Aku Fihan, aku laki-laki.”

"Aku Sazan,  karena aku mengidap kanker aku malah menjadi laki-laki pemurung, jadi, saat kalian baca tulisan ini aku sudah mati.“

”Hai semuanya... Aku Eril, aku hanya seorang gadis muda yang selalu membuat Fihan agar tetap ceria, mungkin kalian akan menganggap sikapku sama seperti Areny... Tapi, aku tetap tak bisa menyamai kecerian serta kesabaran gadis itu.“

“Aku Derka, tak peduli apapun itu, aku suka menganggap rendah orang lain, aku laki-laki kasar tapi aku bangga!”

“Aku, aku Gewa, teman-teman menyebutku pengecut, dan suaraku agak aneh.”

“Hai sobat, aku Kahji, bisa dikatakan aku laki-laki biasa, tapi, apapun yang diminta ketua kelas, aku siap melakukannya!”

“Halo semuanyaaaa....! Aku Nitia, katanya aku cewek matre, dan suka berkhayal.”

“Aku Hurta, kata teman-temanku aku cowok humoris, tapi guyonanku membuat orang menangis bukan tertawa.”

“Perkenalkan nama saya Fikia, saya hobi menggambar, cita-cita saya adalah menjadi seorang reserse.”

“Aku Aqada, teman-temanku mengaggap aku laki-laki norak, tapi, aku selalu mencintai Zeni meskipun dia membenciku.”

“Salam kesejahteraan untuk semuanya... Aku Erka, aku anak paling sopan kata teman-temanku.”

“Halo teman-teman, aku Estilia hanya seorang gadis ramah, cantik, manis, dan hobi menulis.”

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh... Nama aku Juvi, sebenarnya aku punya saudara kembar, jadi aku kenalin langsung saja ya... Adikku yang pertama bernama Juva, yang kedua Jiva, kami adalah tiga wanita muslimah kembar yang sifat serta wataknya mirip, tapi kami punya perbedaan kok, selain dari namanya ya... Oh satu hal penting, hanya kami bertiga wanita muslimah yang berkerudung, sebenarnya ada sih adik kelas dan seorang guru yang berkerudung, tapi, mereka hanya mengenakan kerudung saat hari Jum'at atau bulan Ramadan saja. Terima kasih, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.”

“Salam untuk semuanya... Maaf ya cara perkenalan kami agak berantakan, tapi yang jelas, kami hanya akan menceritakan empat orang murid, sisanya hanya lewat saja... sebelumnya kenalkan, saya Ahmad Farkansyah, biasa dipanggil Farka, seorang ketua kelas yang sudah menjabat tiga tahun kurang, katanya saya laki-laki berkarisma, bijaksana dan penuh pengertian, tapi nilai saya selalu rendah dalam masalah akademis, singkatnya saya orang bodoh. Terlepas dari bodohnya saya, kami ucapakan selamat datang dalam kisah kami yang mengundang emosi, amarah, kegetiran, cacat logika, serta romansa, tak ada canda tawa, sehingga memungkinkan kalian akan mendendam pada kami, bilapun terdapat kejadian yang mampu menciptakan gelak tawa, itu hanyalah kebetulan semata, jadi semoga kalian bisa memahami maksud kisah kami, sederhananya kisah ini dibuat untuk adik-adik kelas kami, kami menulis pengalaman manis kami di sini, atau yang menurut Fihan, ini sebenarnya pengalaman pahit, entah yang mana yang benar, kami hanya ingin berbagi pada adik-adik kami! JADI, SEKALI LAGI KAMI UCAPKAN SELAMAT DATANG!”

SELAMAT DATANG DAN SELEMAT MENIKMATI!

BAGAI MENEGAKKAN BENANG BASAH

         Senja hari sepulang sekolah di kelas 3 SMA.

“Saat umurku satu tahun sampai sepuluh tahun, aku dirawat di panti asuhan tak tahu siapa orang tuaku, saat umurku 11 tahun aku bergabung dengan sebuah keluarga kecil, lalu ayah angkatku bunuh diri, saat umurku 12 tahun kakak angkatku tewas dibunuh, saat umurku 13 tahun ibu angkatku meninggal karena penyakit, saat umurku 14 tahun nenek angkatku menghilang, saat umurku 15 dan 16 tahun, hal mengerikan terjadi padaku, jadi aku tak akan membicarakannya,” ungkap Farka tanpa basa-basi.

Sazan pria putus asa yang menunduk bagaikan menanggung dosa seluruh umat manusia, duduk di bangku barisan paling depan, Fihan, pria kalem tapi angkuh, berdiri bersandar di papan tulis menatap Farka dengan cuek, dia ditemani oleh Eril seorang gadis yang menyukainya, yang tak akan rela membiarkan 'pangeran-nya' diculik oleh wanita lain, Areny duduk di sebelah kanan Sazan, dia gadis ceria, punya ambisi kuat untuk membuat akhir perjalanan hidupnya dapat hidup bersama Farka selamanya, ia menatap Farka dengan ceria tapi tak serius, setidaknya ia sudah hadir, sedangkan Zeni duduk di atas meja di sebelah Farka, wanita dingin itu tak peduli, ia hanya bersedekap menyilangkan tangan memandang jauh keluar jendela, ia terpaksa hadir demi menghormati gelar ketua kelas yang tersemat pada Farka. Bagaimana pun caranya Farka harus bertindak cepat sebelum kelulusan berlangsung, enam bulan lagi adalah waktu yang tersisa untuk membuat mereka lulus bersama masalah yang selesai.

“Sazan, aku tahu kamu punya penyakit kanker dan umurmu hanya setahun lagi, semangatlah Sazan, karena kesedihanmu itu, tidak akan menyembuhkanmu,” ungkap Farka blak-blakan tak mau temannya kalah oleh penyakitnya sendiri.

“Fihan, aku tahu kau punya dendam dengan ibumu, dia ibu kurang ajar yang selalu menyiksamu dan nenekmu, tapi tolong, bersikap baiklah pada teman-temanmu, jika pun kau butuh bantuan aku siap membantu,” lanjutnya penuh keseriusan tinggi berharap Fihan si laki-laki pendiam itu paham.

“Areny, kamu gadis yang selalu ceria dan ambisius ...”

“Ya itu aku!” sahut Areny dengan bangga mengerahkan seluruh energi positifnya agar kesedihannya tersingkap.

“Tapi, keluargamu selalu menyiksamu, ya sudah, tinggal saja di rumahku,” saran Farka tanpa beban.

Tapi Areny hanya terdiam.

“Dan Zeni ...” ucap Farka dengan tatapan tajam menatap Zeni dengan penuh perenungan.

Wanita itu hampir-hampir seperti mayat hidup, tatapannya kosong, namun rahasia besar terpendam dalam netra hitamnya, Zeni selayaknya peramal yang menerawang menuju masa depannya, bukan untuk meramal, melainkan untuk melihat kemungkinan yang terjadi bila dia melakukan rahasia besar itu.

“... sedingin apapun kamu, wanita sepertimu juga punya masalah hidup, kamu selalu diacuhkan oleh ayahmu, bahkan kamu bekerja menjadi wanita penghibur hanya demi mendapatkan uang, ayahmu sendiri tak peduli padamu, karena kamu anak dari suami pertama ibumu, jadi ... kamu selalu dianggapnya sebagai sampah, kalau kamu mau, aku bisa mencarikan pekerjaan yang lebih bersih,” imbuh Farka dengan lugas.

Farka menatap lekat-lekat seluruh teman-temannya, karena, kemungkinan ajakannya sangat sukar diterima, hanya saja, Farka juga tidak gegabah dalam mengambil keputusan ini, tiga hari tiga malam adalah waktu yang telah dia tempuh untuk merenungi keputusannya, mencari jalan terbaik bagi kehidupan teman-temannya. Sementara teman-teman Farka terdiam, berharap sang ketua kelas melakukan pekerjaannya dengan baik.

“Sebenarnya, aku memanggil kalian ke sini karena ...” kata Farka menggantung kalimatnya mempersiapkan diri demi pernyataan nan penting.

“... ayo kita buat dunia kita sendiri!“ Lanjutnya dengan lantang dan mantap.

Sontak semua orang terperangah dengan ajakan Farka, Sazan serta Eril sampai rela keningnya mengernyit demi berpikir dalam-dalam, apa yang dipikirkan oleh ketua kelas sampai-sampai ia seperti punya kelainan? Berkhayal layaknya bocah yang bermain mobil-mobilan demi menyelesaikan masalah hidup, jelas, hal itu langsung ditolak mentah-mentah.

Suasana senja ini, mulai terasa canggung dan menjadi tegang, karena ketua kelas mengajak untuk berkhayal.

”Apa kamu gila?“ Ketus Zeni tanpa bertanya maksud ajakan Farka.

”Bwahahahahahaha ...“ tawa Areny menganggap ucapan Farka hanyalah lelucon.

”Ketua kelas kamu bercanda kan?“ Tanya Eril bermaksud menyindir.

”Kau terlalu banyak mengkhayal Farka!“ Timpal Fihan.

”Ini memang tidak masuk di akal! Tapi, biar aku jelaskan sedikit!“ Balas Farka serius berharap teman-temannya bertanya lebih dalam atau setidaknya paham dengan maksud ajakannya.

”Tunggu,“ sela Areny mencari tahu.

”Apa maksudmu kita bertingkah seperti bocah, kita menganggap di ruangan ini ada seekor monster yang berusaha memakan para murid, lalu kita menyelamatkan teman-teman kita begitu?“ sindirnya berkelakar.

”Iya ... kalau perlu,“ tegas Farka tanpa penolakan.

”HAHAHAHAHAHA ...“ tawa Areny terpingkal-pingkal.

”Ketua kelas kamu mah aneh,“ timpal Eril.

Seluruh kalimat pedas tak mampu membuat Farka sang ketua kelas gentar atau bahkan menarik kembali kata-katanya, justru dengan satu tarikan napas, ia berdiri penuh percaya diri, netra hitamnya ia arahkan pada seluruh teman-temannya dengan keseriusan penuh, satu persatu mendapat giliran untuk disorot oleh netra yang menyiratkan kepedulian tinggi itu.

”Ayo kita buat dunia kita di ponsel kita masing-masing, buatlah cerita yang kalian inginkan, lalu kita gabungkan dan kita buat sebuah buku!“ Ajaknya.

”Apa gunanya kalau itu hanya khayalan semata?“ Sindir Fihan tanpa perenungan lebih dulu.

”Hem!“ Sambung Areny mengangguk setuju dengan Fihan namun lebih menjurus pada ikut-ikutan.

Fihan menyelipkan kedua tangannya ke saku celana panjang sekolahnya, memberi kesan bahwa ia tidak peduli, seraya melangkah tiga langkah ke depan dengan raut wajah datar tetapi tetap menyiratkan keangkuhan layaknya anak muda yang memiliki segalanya, diikuti oleh Eril yang memegang lengan kiri Fihan seakan hendak menyeberang.

”Berkhayal dan berimajinasi tak bisa menyelesaikan masalah kita,“ pungkas Fihan menjurus pada penolakan mentah-mentah.

Lalu Fihan melangkah pergi dengan sikap angkuhnya, bukan tanpa alasan dia menolak mentah-mentah ajakan ketua kelas, untuk kali ini dia tak suka ajakan Farka yang tanda-tanda keberhasilannya tak mutlak, meskipun Fihan memang selalu menolak bantuan Farka tanpa alasan jelas, walau sebenarnya Farka adalah ketua kelas yang selalu mampu menyelesaikan seluruh masalah murid-murid di sekolah, malah ia tak segan untuk berdarah-darah demi seorang adik kelas bodoh yang berseteru dengan sebuah geng, tapi sayangnya, Farka belum mampu menyelesaikan masalah keempat temannya sekarang, entah itu kelemahannya, atau memang ia tidak berdaya melakukannya, tapi yang jelas, jiwa kepedulian Farka lebih tinggi ketimbang seorang ibu yang meninabobokan anaknya, berlebihan memang, tetapi, begitulah faktanya.

Farka selalu memberi solusi dan bantuan yang memang selalu disalah artikan sebagai ikut campur. Fihan pergi, namun Farka tak bisa menghentikan kepergian Fihan, Eril pun ikut pergi membuntuti Fihan, bagai seekor anjing yang mengikuti majikannya. Tak lama kemudian Zeni berdiri tegap, ia ikut tergerak untuk pergi menolak mentah-mentah ajakan Farka, menghadap Farka dengan raut muka masa bodohnya itu.

”Sebagai ketua kelas seharusnya kamu berpikir, bahwa ini dunia nyata dan harus secara nyata juga menyelesaikan semua masalah,“ ungkap Zeni lantas berpaling pergi.

Langkahnya terhenti tepat di mulut pintu, ia masih memendam perasaannya yang penuh rahasia, berdiri dengan pandangan serius namun penuh amarah. Ia memang sedang menimbang-nimbang sebuah keputusan yang tidak diketahui oleh orang lain.

”Aku kecewa padamu ketua kelas, kita dipanggil ke sini hanya untuk berkhayal,“ ungkapnya lantas kembali melangkah pergi.

Farka terdiam berdiri tegak memandang Zeni dengan kuyu, kesedihannya bukan karena penolakannya, justru kesedihannya karena mereka menolak tanpa perundingan lebih dulu, ia memang tak pernah bisa membantu keempat temannya, seolah ini adalah kutukan. Namun Areny serta Sazan hanya terdiam masih betah pada posisinya, mereka sepertinya menimbang-nimbang ajakan Farka, sebab bagaimana pun mereka tahu, sang ketua kelas adalah anak yang baik, jadi tak mungkin ajakannya hanya sebatas khyalan semata tanpa ada kebaikan di dalamnya. Farka kemudian duduk menunduk di atas meja di sebelahnya, ia menerima kenyataan ini, tapi ia tak merasa ini adalah kegagalannya, mau bagaimana lagi, gelar ketua kelas selama tiga tahun yang diamanahkan padanya sama sekali tak berguna, bahkan terkesan basa-basi semata.

”Aku cuman berusaha membantu teman-temanku sebisaku,“ keluh Farka yang terdengar layaknya prajurit perang yang putus asa.

Sazan dan Areny saling menatap satu sama lain, seolah mereka ikut bersedih, tepatnya, mereka bertanya-tanya harus seperti apa mereka merespons ajakan Farka.

”Kalau kalian ingin pulang, silakan saja,“ saran Farka pasrah, benar-benar telah menyerah.

Sazan pun bangkit berdiri, ia memandang Farka dengan serius, tatapannya, napasnya, hingga jari jemarinya memberi kesan penolakan, namun dalam sorot mata gelapnya, menyiratkan perenungan, dia bimbang, jadi dia hanya terbawa suasana.

”Maafkan aku ketua kelas, tapi, apa yang dikatakan Fihan dan Zeni memang benar, lebih-lebih kita sudah dewasa bukan anak TK lagi ...“ tutur Sazan meyakinkan.

”... aku pamit ...“ lanjutnya sambil menjinjing tas gendongnya.

Dan Sazan pun pergi meninggalkan kelas, Farka menebak-nebak, apa mungkin, Sazan memang terbawa suasana, atau justru penolakannya lebih mengarah pada meminta izin untuk mempertimbangkan ajakan Farka, tapi yang jelas Farka tak bisa memaksa teman-temannya, dia tidak punya hak penuh pada orang lain. Areny gadis beraura positif penuh kegembiran adalah satu-satunya manusia yang masih duduk manis tanpa memberi tanda penolakan, dan Farka termenung, mereka masih di kelas. Gadis berambut hitam sepundak dengan poni yang berjurai rata di dahinya itu, tetap setia menemani Farka, senyuman mengembang indah di wajah manisnya, bukan karena dia senang bisa berdua bersama Farka dikala senja, justru senyumannya itu ditujukan bahwa ia menerima ajakan Farka tanpa pertimbangan, tanpa memberi tahunya dan dia juga senang Farka peduli padanya.

”Eh, kenapa kamu tidak pulang juga?“ Tanya Farka seraya menoleh memandang gadis manis itu.

Farka tak tahu bahwa Areny menerima ajakannya, yang dia tahu Areny pasti ingin pulang bersamanya.

”Kita pulang bareng yuk!“ Ajak Areny sambil bangkit berdiri dengan riang.

Tebakan Farka benar, namun ia kembali menunduk, benaknya bertanya-tanya apa Areny menerima ajakannya?

Tapi Farka tak bertanya langsung pada Areny, dia menyangka Areny pun menolak ajakan serta saran Farka, lalu tanpa banyak membuang waktu, ia meraih tas gendongnya yang berada di bangku di depannya, sekaligus mengenakannya.

”Ayo kita pulang,“ ajak Farka.

”Hem!“ Kata Areny mengangguk mengiakan.

       Pukul 16:00 sore hari nan cerah, udara mengalun begitu lembut, Farka dan Areny telah berada di jalan menuju rumah bernaung mereka, rumah mereka cukup dekat satu sama lain, jadi bisa dibilang mereka tetangga, kira-kira lima rumah yang menjadi jarak antara rumah mereka, sekolah juga tak terlalu jauh, mereka tinggal di kota Artana, kota yang padat, tapi akan sangat sepi bila tengah malam, masyarakat kota ini sangat ramah, siapapun orangnya tak segan mereka akan mengajak makan di rumah mereka, meskipun begitu, tindakan kriminal cukup tinggi di kota ini, dapat dilihat dari kehidupan Farka serta teman-temannya. Di pinggir jalan yang mereka lalui berjajar pohon-pohon cemara dengan angin yang berembus pelan, membawa kesejukan dalam langkah sepasang sahabat itu, rumah mereka masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan, semua makhluk akan dihadapkan pada gapura kompleks dengan tulisan cat hitamnya yang rapi yang dibaca sebagai: Kompleks Hanataba.

Tak ada pembicaraan selama mereka jalan bersama, tapi, dalam batin Farka berkecamuk kegelisahan, ia tak bisa menerima bahwa sebagai seorang teman ia cukup payah, ia hanya memikirkan apa gunanya gelar ketua kelas yang ia pegang jika hanya sekadar basa-basi semata, bahkan ketua geng para pembunuh, jauh lebih baik dalam menolong teman mereka, lalu kembali lagi batinnya bergelut, ini bukan soal jabatan, ini soal bodohnya Farka yang tak bisa menunjukkan, bahwa ajakannya sangatlah berharga sebanding dengan nyawanya, namun di sisi lain pikirannya menyela, bahwa setidaknya sudah mencoba.

Sementara dalam benak Areny, si gadis murah senyum beraura positif, ia nampak sangat senang sekali, pasalnya, kenyataannya kini ada seorang laki-laki tampan dan seorang yang populer di sekolahnya sangat perhatian padanya, orang yang berkarisma yang memiliki jiwa sosial tinggi, jantung Areny akan terasa berdebar kala dirinya di dekat Farka, apa lagi jika ia ditatap oleh pria bermata hitam tegas ini, seolah-olah ia merasakan kebahagiaan hidup telah ia capai seutuhnya. Memang banyak wanita yang mengagumi Farka, bukan karena kepintarannya, justru Farka selalu mendapat nilai terrendah dalam semua mata pelajaran, melainkan, karena kebijaksanaannya, setia kawan, jujur, baik dan siap menolong pada siapapun, itulah yang dikagumi oleh gadis-gadis di sekolah, tapi, Areny lebih cenderung menyukai Farka dikarenakan telinganya yang menawan, baginya melihat telinga Farka seperi melihat kelembutan gumpalan awan-awan di langit, memang cukup aneh, bahkan terbilang tidak wajar, sampai-sampai, Areny ingin sekali menggigit dengan gemas kuping Farka. Areny benar-benar telah jatuh hati padanya, hingga ia ingin selalu hidup bersamanya, tapi satu hal yang penting, perasaan itu telah berkembang menjadi perasaan cinta.

Tak terasa Areny telah tiba di depan pagar hitam rumahnya, rumah bertipe minimalis modern ini bernuansa putih abu-abu, ada bunga matahari menyambut di sisi pintu, tapi cukup menggelikan kalau nyatanya itu bunga plastik.

”Nah, sampai jumpa lagi ...“ kata Farka tanpa senyuman.

”Iya!“ Sahut Areny dengan senyuman memandang Farka pergi.

Kala Farka telah cukup jauh melangkah, Areny bergegas terburu-buru masuk ke dalam rumahnya. Sepertinya Areny hendak melakukan sesuatu yang penting, ditambah suasana rumah yang sepi, memberi kesempatan besar bagi Areny untuk melakukannya.

DATANG TAMPAK MUKA PULANG TAMPAK PUNGGUNG

       Farka masih melangkah menyusuri jalanan di kompleks perumahannya, ia tinggal sendiri, tinggal di rumah bekas mendiang keluarganya. Rumah sederhana bernuansa biru, halaman depan rumah yang luas, terdapat pula dua pohon mangga di halaman rumahnya, Farka kini menggeser gerbang rumah, lantas melangkah di atas jalan setapak berlapis batu kali. Namun langkah Farka terhenti tatkala gendang telinganya memberi isyarat, ada seorang gadis yang dikenalnya datang memanggil namanya, seketika Farka memutar tubuh ke belakang, maka nampaklah di depan gerbang hijau rumahnya, Areny melambai-lambaikan kedua tangannya sambil loncat-loncat riang gembira memanggil Farka.

”Farka! Ketua kelas!“

Tak hanya itu saja, Areny membawa sebuah koper besar, sekaligus menggendong tas gendongnya seolah dia hendak pindah rumah, dia juga telah mengganti pakaiannya dengan kaus putih bergambar lebah, ditambah celana jin panjang serta sepatu tali yang membungkus kedua kakinya. Farka sempat terpaku tanpa berkedip, ia terkejut dengan kehadiran Areny yang terkesan akan pindah rumah, maka suara Areny yang terus bergema, menyadarkan lamunan Farka, ia buru-buru menghampirinya lalu menggeser pintu gerbang, dan dengan senangnya Areny menyeret kopernya, melangkah masuk ke halaman rumah Farka, tanpa beban, tanpa penjelasan.

”Loh, ada apa ini?“ Heran Farka menyelidik.

Setelah Farka kembali menutup gerbang, Areny terus berjalan sambil memandang ke depan menuju pintu masuk, tak ada penjelasan sedikit pun. Farka pun berlari menghampiri Areny.

”He, Areny tunggu dulu!“ Pinta Farka sambil menarik bahu kiri Areny.

Kala Areny berhenti melangkah, Farka bergegas berdiri di hadapannya, dengan wajah serius penuh tanya.

”Kamu mau apa kemari?“ Usut Farka.

Areny mengembangkan senyuman terbaiknya hingga gigi putihnya mengintip di balik bibir tipis merah jambunya.

”Kamu lupa ya? Kan kamu menyuruhku tinggal di rumahmu agar aku enggak disiksa lagi sama orang tuaku,“ ujar Areny mengingatkan.

Maka Areny kembali melangkah, namun dilangkah kesatu Farka kembali menghentikan langkah Areny.

”Iya, itu benar, tapi ....“

”Sudah ahk! Berat nih!“ Sela Areny.

Lantas Areny lembali melangkah menuju pintu kayu rumah Farka, membiarkan Farka tertegun dalam pikiran rumitnya. Farka merenungi kembali kata-katanya sewaktu di sekolah, semua saran dan ajakannya memanglah benar, selain untuk memotivasi teman-temannya, Farka juga berniat menolong, tapi, masalahnya Areny datang mendadak tanpa memberitahu Farka lebih dulu, mendadak Farka terperanjat kala mendengar Areny kembali memanggil namanya, memecah lamunan rumitnya, membuat pandangannya tertuju pada Areny.

”Farka! Ketua kelas, pintunya terkunci.“

Maka Farka buru-buru menghampiri Areny sekaligus membuka pintu rumah, dan sore itu diakhiri dengan kepasrahan Farka menerima Areny tinggal di rumahnya, malam pun muncul menggantikan sore melelahkan itu. Pukul 19:37 Areny tengah duduk di sofa panjang warna merah sambil memainkan ponsel pintarnya, ruang tamu ini memiliki tiga sofa, yang mengelilingi sebuah meja kaca persegi, dua sofa di samping kiri dan kanan Areny, satu sofa lagi ia duduki, pintu depan rumah bersebelahan dengan sofa di kanan Areny, pintu itu mengarah langsung pada ruang tamu serta ruang keluarga, di dinding bercat biru ruang tamu ini terpajang sebuah foto keluarga Farka, sepertinya keluarga Farka sangat baik padanya, terlihat dari raut wajah mereka yang ceria, dalam foto itu Farka tertawa, tak ada lagi yang menarik di ruang sempit ini. Tak lama kemudian, Farka datang, ia mengenakan kaus polos dengan jelana jin pendek yang telah digunting olehnya.

”Areny, apa keluargamu tahu kamu di sini?“ Tanya Farka.

Ada ketakutan kala pertanyaan itu terlontar, Areny terpegun sejenak, ia cemas kalau-kalau Farka mengusirnya karena Areny memang kabur dari rumah, pada akhirnya ia tersenyum kecut dan ketakutannya semakin bertambah kala dia menggelengkan kepala secara pelan, menegaskan bahwa keluarganya memang tidak tahu kalau dia pergi, ia pun tetap fokus pada ponselnya.

”Nah, bagus kalau begitu, mereka harus tahu ... kalau kamu ... adalah gadis yang berharga,“ ujar Farka lantas berpaling menuju ruang keluarga.

Mendadak Areny menghentikan pekerjaannya, ia tercengang dengan pernyataan Farka, ia kira Farka akan marah dan melapor pada keluarga Areny, maka dengan rasa terima kasih dan rasa kagum yang tinggi, Areny bangkit dari sofa, berdiri dengan senang memandang sang ketua kelas. Farka masih melangkah menuju karpet bercorak bunga matahari yang terhampar di ruang keluarga, namun sekonyong-konyongnya Farka terhenti, terpaku mendengar hal penting yang muncul dari mulut Areny, muncul dari perasaan terdalamnya.

”KETUA KELAS! AKU MENYAYANGIMU!“ ungkap Areny dengan lantang tanpa ragu.

Lantas Areny duduk kembali memainkan ponselnya dengan rasa malu yang bercampur rasa senang. Farka terpaku sengap, perasaan dan pikirannya seolah membeku, berhenti beroprasi hanya karena suara Areny yang masih terngiang-ngiang dalam diri Farka. Farka tahu betul perasaan manusia, menurutnya, setiap manusia butuh dukungan, butuh perhatian dan butuh semangat, agar perasaan itu berkembang menjadi kasih sayang dan rasa ingin tolong menolong pada siapapun, tak terkecuali kepada seorang pembunuh, meskipun kebencian lebih dekat dengan kehidupan teman-temannya, tapi, sebagai teman sekaligus ketua kelas kelas 12 Farka harus sanggup mengganti itu semua, mengganti dengan hal yang lebih baik. Tanpa ada balasan, Farka lanjut melangkah ke depan, ia duduk di atas karpet sambil menyalakan ponsel pintarnya, ia mulai menulis kisah hidupnya dengan dibumbui imajinasi atau khayalan, sempat terlintas dalam pikirannya tentang pernyataan Fihan.

”Berkhayal dan berimajinasi tak bisa menyelesaikan masalah kita,“

Namun kalimat itu justru memacu jiwa Farka untuk berkembang, memecutnya untuk membuktikan bahwa ucapan Fihan tidak tepat! Semangat pun mendorong Farka untuk menulis, ia mulai mengetik kalimat awalnya, kehidupan pahitnya. Dan malam itu ditutup oleh makan malam bersama di ruang makan, karena Farka tak bisa memasak, sehingga, mereka menyantap mie instan kuah ditemani dengan roti. Ruang makan ini langsung bersebelahan dengan dapur, dan ruang keluarga, tanpa dibatasi oleh tembok kecuali sebuah kamar mandi serta kamar tidur. Mereka duduk berhadapan di kursi kayu yang mengelilingi meja bundar.

”Besok malam aku akan bekerja, dan kamu tidurlah di kamar itu,“ kata Farka sambil menunjuk kamar di sebelah kamar mandi.

”Ha? Ketua kamu kerja? Kerja di mana?“ usut Areny.

”Iya, aku bekerja di toko swalayan,“ jelas Farka.

”Wah wah wah ketua mandiri ya... keren,“ sanjung Areny.

”Hahaha... ini semua karena keadaan mendesak, kalau bukan karena keadaan, lebih baik aku tidur dan bermalas-malasan,“ sanggah Farka dengan menertawai kebenarannya.

Areny tersenyum sekaligus mengangguk. Malam berlanjut, Areny melangkah menuju kamar yang sudah disiapkan Farka, tas serta kopernya sudah di dalam kamar. Areny masuk ke dalam kamar dengan tangan kirinya memegang gagang pintu menghadap Farka yang berdiri di depannya.

”Selamat malam ketua,“ kata Areny dengan riang.

”Hem,“ balas Farka mengangguk lantas melangkah ke depan menuju kamarnya.

Areny masih mengintip dari mulut pintu memandang Farka yang pergi ke kamarnya, saat Farka tengah menutup pintu kamarnya, tak sengaja dia melihat ke arah Areny yang mengintip dari kejauhan di kamarnya, konyolnya saat dia tahu Farka memergokinya tengah mengintip, seketika itu juga, Areny buru-buru langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, Farka juga menutup pintu kamar, kamarnya bernuansa putih hijau, meski Farka adalah pemalas, rupanya di dekat jendela kaca yang tertutup tirai hijau, ada sebuah meja belajar lengkap dengan rak yang dipenuhi buku-buku, tentu saja kamar dilengkapi dengan kasur serta lemari baju, tak ada hiasan apapun di sini, maka ia langsung bergegas merebahkan diri di kasur yang bernuansa kuning bercorak bunga matahari, ia masih merenungi penolakan teman-temannya, bukan berarti Farka tak terima, renungannya kali ini lebih menjurus kepada mempersiapkan diri untuk menerima teman-temannya bila sewaktu-waktu mereka berubah pikiran, ia berbaring ke samping kanan agar dapat tertidur nyenyak bersama malam dingin yang kembali bekerja. Awan di langit menggulung menyembunyikan gemilang perbintangan, meskipun perumahan ini sepi, namun satpam perumahan selalu sigap mengamankan kedamaian.

   Hari Kamis pukul 09:55 di SMA kelas 3 seluruh murid tengah melangsungkan kegiatan belajar mengajar. Sekolah ini cukup luas, lengkap dengan gedung olah raga, laboratorium, serta perpustakaan, jumlah murid di sini hanya 54 orang, setiap kelas berjumlah 18 murid. Farka sang ketua kelas, duduk di kursi paling belakang, di samping jendela kaca yang terbuka membuatnya bisa merasakan udara segar setiap hari, apa lagi di samping kelas terdapat taman bunga, ia duduk di sudut kelas hanya agar dapat menyembunyikan diri dari pandangan guru, sedangkan di sebelah kanannya seorang gadis yang tak asing lagi, Areny duduk di kursi yang dengan serius mengerjakan soal pelajaran Sejarah, begitu pun seluruh murid yang fokus mengerjakan soal, kecuali Farka yang tanpa beban ia menggambar bentuk-bentuk tengkorak di buku tulisnya, baginya mengerjakan soal tidak terlalu penting, toh pada akhirnya uang lalu uang lagi yang dicari. Dan seluruh keseriusan pecah tatkala bel istirahat berdering, menghentikan jam pelajaran sementara, memberi kesempatan bagi seluruh murid untuk keluar kelas, ada yang pergi ke kantin, ada pula yang mengobrol di dalam kelas. Farka dan Areny berniat menuju perpustakaan sekolah, mereka berjalan bersama menyusuri koridor sekolah, namun tatkala akan melewati kamar mandi, mereka berdua dihadapkan pada murid-murid yang tengah cekcok di depan kamar mandi, Zeni, gadis berambut panjang yang dicat pirang dengan mata hitam bulatnya, serta kulit putih cerah, ditambah wajah berbentuk hati nan menawan, satu-satunya gadis dengan rok hitam pendek di atas lutut, gadis tercantik di sekolah saat ini, tengah memarahi Juvi, Juva dan Jiva, tiga gadis kembar berkerudung itu dimarahi habis-habisan, tiba-tiba.

PLAK! PLAK! PLAK!

Zeni menampar ketiga gadis kembar itu tanpa segan. Farka dan Areny datang terlambat.

“Aku muak dengan kalian bertiga!” hardik Zeni dengan menyalang menatap tiga gadis kembar itu.

Ketiga gadis kembar tersebut tertunduk sambil memegang pipinya masing-masing. Raut muka mereka kuyu bercampur bingung.

“Tapi, kami tidak...” penjelasan Juvi dipotong.

“PEMBOHONG!” sentak Zeni dengan marah.

“Eh! Sudah-sudah,” sela Areny berusaha menjauhkan Zeni.

“Ada apa ini?” selidik Farka.

Namun tanpa penjelasan sedikit pun, Zeni berpaling pergi, Farka dan Areny tak bisa berbuat apapun, sebab masalahnya pun memang belum jelas, Zeni pergi dengan amarahnya, tak ada murid lain di depan kamar mandi ini, namun dari kejauhan beberapa murid nampak memandang penuh tanya. Tiga gadis kembar itu adalah teman sekelas Farka, hanya mereka bertiga murid berkerudung di sekolah ini.

“Ada apa sih?” usut Areny.

“Zeni menuduh kami menyebarkan gosip bahwa dia adalah kupu-kupu malam,” ungkap Juva.

“Ha?!”

“Ta-tapi kami tidak melakukannya!” sanggah Jiva sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

“Iya! Kami difitnah!” sambung Juvi membela diri.

Areny memandang Farka seolah bertanya-tanya apa yang harus dilakukan selanjutnya. Farka tertunduk merenung, ia berusaha mengira-ngira siapa yang tega menuduh Juvi Juva dan Jiva.

“Ketua kelas apa yang harus kami lakukan?” resah Juvi meminta saran.

“Hmmm... ya sudah biar nanti aku urus,” balas Farka masih berpikir menerka-nerka.

“Yang benar ketua?” tanya Juvi memastikan dengan berharap penuh.

“Hem,” balas Farka mengangguk perlahan menegaskan kesiapan dirinya untuk membantu.

“Terima kasih ketua!”

“Terima kasih! Mohon bantuannya ya...” sambung Juva menunduk hormat.

Farka mengangguk, ketiga gadis berkerudung hitam, berkemeja putih lengan panjang serta rok hitam panjang itu pergi. Namun Farka sempat meminta agar tiga gadis kembar itu untuk tidak melapor pada guru, dan mereka menyanggupinya. Setelah mereka pergi, Farka serta Areny kembali melanjutkan langkah mereka menuju perpustakaan. Di perpustakaan, mereka duduk di kursi saling bersebelahan, Farka fokus dengan buku sejarah Perang Dunia Kedua, sedangkan Areny fokus pada ponsel pintarnya.

“Ketua, setelah lulus nanti, kamu mau ke universitas mana?” tanya Areny mencari tahu.

“Ahk aku terlalu bodoh, jadi aku akan langsung bekerja,” jawab Farka blak-blakan.

“Hmmm...”

“Kamu bagaimana?” tanya balik Farka.

“Iya! Kayaknya aku kerja langsung deh,” balas Areny.

Farka mengangguk, menerima keputusan Areny. Lalu kedua tangannya ditumpukan di belakang kepala sembari mengedik.

“Haah.... akan jadi apa kita di masa depan ya?” gumamnya menerka-nerka.

“Apa ketua tidak punya cita-cita?” tanya Areny masih fokus pada ponselnya.

“Cita-cita ya...? Hmmm...” gumam Farka merenung.

Farka kembali duduk tegak, seraya memandang Areny yang berada di samping kanannya, pandangannya agak serius, tapi tetap santai.

“Aku tidak punya cita-cita, bagaimana denganmu?” kata Farka sekaligus bertanya.

“Hehehe... aku juga enggak punya cita-cita,” ungkap Areny terkekeh merasa aneh.

“Nah, ternyata kita sama,” sahut Farka kembali pada posisi membaca buku.

“Iya sama-sama bodoh,” kelakar Areny.

Sontak pernyataan Areny membuat mereka berdua tertawa, menertawai betapa konyolnya mereka selama bersekolah. Tiba-tiba tawa mereka terhenti, kala seorang laki-laki berperawakan kurus, layaknya manusia yang jarang makan, berkulit cokelat, bermata hitam bulat serta rambut bergaya keriting acak-acakan layaknya baru bangkit dari tidur, yang tentunya mengenakan kemeja putih dengan celana panjang warna hitam ciri khas seragam sekolah ini, Kahji, seorang laki-laki yang selalu siap menerima perintah dan patuh hanya pada Farka tanpa embel-embel apapun, ia datang dengan kepanikan, ia memanggil Farka dengan lantang, layaknya orang yang kebakaran jenggot.

“Ketua kelas! Gawat, Zeni mencoba bunuh diri!”

Farka dan Areny seketika bangkit dari kursi, mereka benar-benar terkejut, maka tanpa membuang waktu, mereka langsung bergegas menuju tempat Zeni berada.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!