Aku selalu merasa kesulitan untuk menjelaskan siapa diriku. Aku adalah orang yang rumit.
Kamu harus mengenalku secara langsung dan menghabiskan banyak waktu denganku untuk mengenalku lebih dalam, agar kamu tahu kenapa aku melakukan semua ini.
*****
Raisa, kita tahu dia sebagai artis yang cantik, tapi mereka selalu mengolokku menggunakan nama itu.
Nama asliku adalah Rai. Nama panjangku masih rahasia.
Rai adalah nama untuk pria yang artinya adalah percaya diri. Aku adalah seorang anak laki-laki yang baru saja masuk SMA kelas 10. Aku adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara.
Mereka menyebutku Raisa karena aku berbeda dengan anak laki-laki pada umumnya. Aku memiliki hampir semua yang diidam-idamkan para gadis.
Walaupun aku laki-laki normal, tapi aku memiliki paras yang jelita. Tinggiku hanya 158 cm, aku memiliki dagu yang tirus, bulu mata yang panjang, bibir tipis, kulit yang putih, dan jari jemari yang mungil, serta paras yang imut menurut teman-temanku. Tapi aku sendiri tidak pernah berpikir seperti itu.
Jika aku tidak memberitahu bahwa aku adalah seorang laki-laki, maka identitasku akan tertutup rapat.
Seandainya kuberi tahu, terkadang mereka juga masih tidak percaya, karena aku juga memiliki suara perempuan.
Jika aku sudah menyerah, biasanya mereka kusuruh memegang dadaku untuk membuktikan bahwa aku tidak memiliki payudara. "Pegang aja gapapa, gue cowok kok" kataku untuk meyakinkan mereka.
Terlepas dari itu semua, aku adalah seorang laki-laki normal yang memiliki segudang video dewasa di HP seperti laki-laki badung pada umumnya. Aku juga bukan banci, aku sangat membenci sebutan itu.
Mendapatkan pacar bagiku adalah sebuah harapan yang harus aku buang jauh-jauh.
Julukan jomblo abadi seperti sudah melekat erat dalam diriku, semuanya karena wajah ini. Bagi teman sekelasku, wajahku tidak cocok untuk masuk ke dalam sebuah geng, tetapi lebih cocok masuk ke dalam girlband.
Karena alasan inilah, cermin menjadi salah satu benda yang paling aku benci.
Aku hampir tidak pernah bercermin. Karena dengan bercermin, aku melihat wujud dari diriku yang tidak ingin aku lihat.
Aku ingin melihat diriku sebagai laki-laki yang tampan. Karena itulah, setiap kali aku ingin mengupload foto di instagram, dari 100 fotoku, aku akan memilih foto wajahku yang paling tampan, walaupun menurut teman sekelasku, fotoku sama sekali tidak ada tampan-tampannya. Karena itulah aku tetap jomblo.
Tentu saja alasan jomblo adalah para gadis itu merasa minder berada di dekatku, tidak ada alasan lain. Kata mereka, aku memiliki kecantikan yang jauh diatas rata-rata wanita normal.
Walaupun aku sudah menunjukkan kepada gadis-gadis itu betapa machonya aku karena sering terlibat dalam perkelahian antar siswa, tapi hal ini tidak mengubah pemikiran mereka, para gadis itu melihatku sebagai cewek yang sangat tomboy.
Malah teman laki-lakiku banyak yang menyukaiku. Karena menurut mereka, figur cewek yang cantik dan jago berkelahi adalah cewek yang mereka idam-idamkan.
Aku tidak pernah menginginkan memiliki fisik seperti ini. Aku dilahirkan dengan cacat hormon. Setiap manusia memiliki hormon pria bernama testosteron, dan hormon wanita bernama esterogen.
Jika dia wanita, dia tetap akan memiliki hormon pria, tapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Jika dia pria, dia akan dominan di testosteron.
Sedangkan aku sebaliknya, sejak kecil aku memiliki hormon esterogen dalam jumlah besar. Karena itulah aku tumbuh seperti ini, aku juga cepat marah, mood juga sering berubah-ubah layaknya wanita pada umumnya karena hormon ini.
Tanpa adanya hinaan, sebenarnya aku sudah cukup muak dengan kondisi fisikku. Tapi bukan Indonesia namanya jika bentuk fisik tidak dibuat menjadi bahan lelucon.
*****
Pernah suatu kali temanku dari kelas lain bernama Jefri sembari tertawa mengatakan padaku.
"Rai, kalo elo operasi kelamin, gua mau kok kencan sama lo hahahahaha" kata Jefri
Ini membuat emosiku meluap.
Banyak orang tidak mengetahui sisi lainku, orang selalu mengira bahwa aku seorang yang lemah padahal tidak.
Aku adalah seorang manusia yang gila dan bar-bar, kepribadianku terbentuk oleh buli dan tekanan yang aku terima sejak kecil.
Aku yang emosi pendengar perkataan Jefri, segera mendatangi kelasnya.
Aku menarik kerah bajunya dengan kasar sambil mengatakan langsung di depan wajahnya
“Sebelum gue operasi, lo udah mati duluan" kataku.
Lalu dengan satu kali pukulan ke wajahnya, langsung membuatnya roboh dan terjatuh.
Seluruh siswa yang melihat kejadian itu hanya terdiam melihat perkelahian yang singkat itu.
Aku segera berjalan santai meninggalkan kelas itu sebelum temannya yang lain bereaksi.
Sebenarnya dia roboh karena belum siap menerima pukulanku yang sangat cepat. Tapi banyak juga yang bilang kalau dia kalah karena dia tidak tega mau memukulku. Terserah apa kata kalian, yang penting aku puas dan dia tidak lagi menghinaku.
Itu adalah kasus pertamaku.
Minggu pertama masuk SMA, aku langsung diminta untuk menghadap guru BK.
Bahkan jika dihitung, selama di bangku SMA aku sudah puluhan kali terkena teguran. Tapi aku tidak pernah terancam untuk dikeluarkan dari sekolah, karena semua guru sadar bahwa semua masalahku timbul karena ejekan terhadap bentuk fisikku.
Bahkan semua guru menghimbau supaya jangan ada lagi kekerasan psikis kepadaku, karena itu sama saja dengan menghina penyandang cacat.
Tapi mereka membuat kesalahan besar jika orang cacat yang mereka hina adalah aku.
Dilain sisi, aku beruntung karena mendapat teman kelas yang baik, mereka sangat menghormatiku, dan banyak membantuku.
Teman sekelasku menyadari bahwa ternyata aku tidak hanya sakit secara fisik, tapi juga secara mental. Karena alasan itulah, mereka tidak pernah menghinaku.
*****
Mengingat saat pertama kali masuk SMA, aku seperti mengulangi kejadian yang sama seperti pada waktu aku memasuki bangku SMP.
Pada waktu itu masa orientasi siswa diadakan seminggu lebih cepat. Ini menyebabkan banyak siswa belum menyelesaikan seragam mereka di tukang jahit. Jadi aku dan teman-teman seangkatanku saat itu menggunakan baju bebas dan sopan.
Seperti yang sudah aku katakan, selama aku tidak memberi tahu mereka genderku, maka semua orang akan berasumsi bahwa aku adalah perempuan.
Apalagi setelah liburan panjang kelulusan SMP, aku belum mencukur rambut, jadi aku sedikit berponi.
Karena penampilanku, banyak teman laki-laki ingin berkenalan denganku.
Bukannya aku tidak mau membuka identitasku yang sebenarnya, aku hanya membiarkan semua berjalan dengan sendirinya, yang penting aku harus mendapat teman sebanyak mungkin dengan memanfaatkan wajah ini. Karena nantinya aku akan membutuhkan bantuan mereka.
Walaupun aku tau motivasi mereka berkenalan denganku adalah untuk 'berburu cewek', aku sudah tau.
Karena aku sudah lama hidup menggunakan wajah ini, jadi aku hafal karakter busuk para cowok, dan semua cowok ternyata sama saja, termasuk aku.
Jika aku memiliki wajah yang tampan, mungkin aku juga jadi salah satu dari mereka.
Dalam hati aku berkata “Silahkan kalian bersenang-senang berimajinasi punya teman wanita yang cantik. Tunggu kalau seragam gue udah jadi, kalian semua bakal gue habisi hahah” tawaku dalam hati seperti iblis.
*****
Pada hari H aku memakai seragam putih dengan celana panjang abu-abu, aku tau suatu kejadian besar akan terjadi. Dengan santainya aku memasuki pintu kelas.
Rina adalah orang yang pertama kali melihatku. Belakangan ini aku baru tahu kalau dia seorang penggosip. Jika ada informasi rahasia yang sampai kepadanya, itu artinya seluruh dunia akan tahu. Tak heran Rina dijuluki High Speed Data Transfer. Dia lalu berteriak “Loh Rai, lo kok pake celana?? Lo cowookk???”
Teriakan itu memancing semua orang yang memiliki telinga untuk segera menoleh ke arah dimana sumber masalah itu berasal, yaitu aku.
Aku cuma bisa pura-pura bodoh dengan bertanya balik "Emangnya kapan gue ngaku cewek?” Padahal dalam hatiku berkata "kenapa kalian gak liat daftar nama murid di kelas ini? Disitu kan ada jenis kelaminnya."
Banyak dari temanku yang kemudian berbondong2 untuk melihat daftar nama murid, dan yang benar saja, ada huruf L di samping namaku yang artinya adalah laki-laki.
Rupanya orang lebih percaya asumsi daripada data. Jika mereka sudah yakin 100% yang mereka lihat adalah cewek, mereka tidak akan melihat datanya. Aku mempercayai teori itu.
Dalam hati aku berkata “Huh, kenapa orang disini pada bodoh”.
Lama-lama aku berpikir jika keadaannya dibalik.
Apa iya, setiap kali aku melihat orang yang berparas wanita, aku masih bertanya “Kamu cewek bukan?” Sementara kasus sepertiku sangat langka.
Berarti wajar jika mereka berpikir seperti itu. Berarti aku yang bodoh... Kehidupanku memang selalu dipenuhi dengan lika-liku.
Dan cerita yang sebenarnya akan dimulai dari sini.
Aku selalu membuang banyak waktu untuk menjawab setiap pertanyaan pada saat memasuki komunitas baru. Pertanyaan itu adalah
“Kok lo kaya cewek?”
“Gue kira lo cewek”
“Lo beneran cowok?”
“Gue nggak percaya lo cowok”
Pertama-tama, aku harus menjelaskan tentang kondisi medisku kepada mereka. Aku benci mengulangi jawaban yang sama.
Ingin rasanya jika satu sekolah mendengarkan penjelasan yang aku ucapkan lewat sebuah toa raksasa. Jadi aku tidak perlu bertemu ribuan pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda-beda.
Untuk menjelaskan kondisiku secara garis besar, biasanya memakan waktu hingga satu jam agar mereka mengerti.
Jika selama hidupku aku bertemu seribu orang yang bertanya, maka aku kehilangan seribu jam sia-sia.
Tidak hanya sampai disitu, penjelasanku akan memancing 'sesi tanya jawab'.
Sesi tanya jawab tidak jauh-jauh dari pertanyaan
“Lo kalo ke toilet, toilet mana?”
“Lo normal kan?”
“Lo pernah pacaran nggak?”
"Pacar lo cowok ato cewek?"
Aku yakin kalian bisa menjawab semua pertanyaan ini, karena aku sudah menjelaskan panjang lebar sebelumnya. Tapi bagi yang belum tau, pertanyaan itu akan selalu muncul. Pertanyaan yang sama, dari orang yang berbeda-beda.
*****
Karena berita soal aku langsung viral di sekolah, pertanyaan yang sama itu juga datang dari kelas lain, juga dari para guru yang bergantian mengajar mata pelajaran yang berbeda.
Kalian bisa bayangkan betapa stresnya aku. Kenapa kalian selalu menanyakan itu?
Tidak adakah orang yang membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Apa iya, aku harus menyebarkan selebaran yang berisi informasiku?
Belum lagi sindiran dan ejekan yang timbul seiring dengan berjalannya waktu.
Perlakuan mereka terhadapku sangat berbeda dibanding sebelum mereka tahu bahwa aku adalah laki-laki.
Aku merasa menyesal sudah membongkar jati diri. Tapi juga tidak mungkin aku menyembunyikan ini pada semua orang. Sebelumnya mereka sangat welcome, tapi sekarang tidak. Kecuali teman sekelasku, ingat... kecuali teman sekelasku.
*****
Saat teman sekelas pertama kali melihatku memakai celana abu-abu, reaksi awal mereka adalah bingung.
Beberapa orang ada yang agak menghindar, mungkin mereka jijik, bisa jadi. Aku sudah terbiasa menghadapi orang yang jijik kepadaku.
Untunglah ada temanku bernama Jacky. Dia sebenarnya adalah orang yang baik, tapi sebenarnya nggak terlalu baik-baik amat, karena dia termasuk tukang rusuh. Seenggaknya dialah yang menyelamatkan aku dari status sosial yang hina T_T.
Aku ditanyai macam-macam dengan kondisi aku masih berdiri lumayan lama. Padahal dalam hati "hey guys. Gue bingung mo naroh tas dimana. Siapa yang bakal jadi temen sebangku gue? Emangnya enak disuruh berdiri terus?"
Nah, Jacky ini adalah 'makhluk aneh' yang pertama kali menyadari keadaan ini. Lalu dia berteriak padaku "Woi, sini lo, duduk sama gue sini". "Fiuh, akhirnya gue bisa duduk" kataku dalam hati lega.
Jacky langsung memberi nasehat untuk anak-anak kelas "Man.. man... lo tuh semua jangan terlalu kepo. Kasian ini anak orang, belom juga duduk".
"Gue juga mo ngomong gitu" gumamku.
Setelah aku duduk, Jacky mengatakan "Nah, lo udah duduk sekarang, silahkan semua lanjutin pertanyaannya hahaha" lalu dia pergi.
"Kurang ajar lo Jek" gumamku.
Jacky adalah seorang yang arogan, berkulit gelap, tingginya 173cm, berambut agak panjang layaknya berandal, tak lupa dia menumbuhkan sedikit jenggot.
Jacky memiliki persamaan denganku, persamaan kami adalah kami sama-sama memiliki banyak musuh. Bedanya, musuhku berasal dari hinaan terhadap bentuk fisikku, sedangkan musuh Jacky berasal dari semua makhluk hidup.
Pada minggu pertama, aku sudah berkelahi dengan seseorang dari kelas sebelah. Orang yang bernama Jefri itu.
Jacky semakin yakin bahwa dia tidak salah memilih teman sebangku. Dia pikir, aku akan mudah dimintai tolong untuk tawuran suatu saat nanti.
Padahal masalahku sudah banyak Jack, berpasangan sebangku dengamu adalah sebuah malapetaka. Memang harus diakui soal kebar-baran, kami nomor satu di sekolah.
Kekurangan kami hanya satu. Diantara kami berdua tidak ada yang pandai.
*****
Saat kelas kami menghadapi ulangan harian, Jacky tidak lebih dari sebuah parasit yang harus dimusnahkan.
Selalu meminta contekan. Padahal masih lebih baik jika yang dimintai contekan adalah anak yang pandai di kelas, dan aku bukan salah satunya. Tapi jika contekan yang aku berikan adalah jawaban yang salah, dia selalu ngomel.
"Udah lah Jek, mendingan lo tanya yang laen, gantian lo lah yang nyari contekan, masa gue mulu" Kataku sambil berbisik kepadanya sembari mengawasi gerak gerik guru.
"Ya elo lah yang nyari, seberang lo kan anak pinter" kata Jacky sambil menunjuk ke arah Stevie.
Stevie adalah anak pandai di kelas, smester lalu dia rangking 3. Stevie memiliki paras yang cantik dengan kulit putih.
Jika anak-anak kelas ditanya "siapa cewek yang paling cantik?" semua akan menjawab Stevie.
Tapi jika pertanyaannya diubah "Siapa yang paling cantik?" Semuanya akan menjawab "Rai".
Jadi menurut teman-teman terkutuk itu, Stevie menempati peringkat ke-2 setelah aku. Kumohon berhentilah untuk menempatkan aku kedalam kategori yang aneh-aneh.
Bangku Stevie kebetulan berada di sebelahku, kami hanya dipisahkan oleh jalan setapak. Dia memilih tempat duduk di tengah-tengah, sama sepertiku.
Menurutku ini agak aneh karena biasanya anak yang pandai selalu memilih duduk di depan dekat guru. Entah kenapa dia justru memilih bangku di tengah.
Sebenarnya Stevie bukan anak yang pelit jika dimintai contekan, tapi Stevie terlalu takut jika ketahuan oleh guru karena akan merusak reputasinya.
Tapi begitu guru meninggalkan ruangan sebentar, Stevie tidak segan-segan untuk memberikan contekan kepada para fakir yang membutuhkan.
Orang yang baik seperti Stevie normalnya akan memiliki banyak penggemar, dan aku adalah salah satunya.
Tapi sebisa mungkin aku menghindari untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Aku tidak akan tahan dengan omongan pedas orang-orang di sekitarku, misalnya "cewek naksir cewek" "lesbian berkedok".
Belum lagi hinaan yang akan diterima oleh Stevie jika orang tau bahwa aku menggemarinya. Dia tidak boleh terseret ke dalam masalahku. Aku harus selalu bersikap netral kepada semua orang.
Singkat cerita, aku mendapatkan beberapa jawaban ujian dari Stevie, dan aku tidak memberi tau Jacky.
Dalam ujian tertulis, aku bisa saja menjadi penolong maupun pengkhianat tergantung siapa orang yang sebangku denganku.
Kalau dengan Jacky, hmm... bagaimana ya? Sejak awal hubunganku dengan dia memang tidak ada simbiosis mutualisme. Jadi untuk nasib nilai ujian Jacky, dia harus ikhlaskan. Tinggal mencari alasan kenapa nilai ujianku lebih tinggi.
*****
Cara sebagian dari kami mengisi waktu setelah pulang sekolah adalah dengan nonkrong di salah satu rumah teman sekelas.
Kali ini kami nongkrong di rumah Willy. Dia berasal dari keluarga yang mapan karena ayahnya adalah seorang dokter spesialis.
Kami ber-enam masuk ke kamar Willy untuk mengobrol santai.
Tetapi khusus untuk aku pribadi, aku harus minta ijin kepada orang tua temanku untuk masuk ke kamarnya, karena fisikku seperti ini, dan meyakinkan orang tuanya kalau aku tidak seperti yang mereka kira.
Rutinitas menjawab pertanyaan seperti ini sudah aku jalani dari di bangku SD. Yang paling menyebalkan adalah dimanapun aku berada, selalu ada provokator. Mereka benar-benar mempertanyakan kebenaran kelaminku.
Kali ini provokator itu bernama Willy, sang tuan rumah. Pacarnya lebih dari satu, padahal wajahnya pas-pasan.
Bukan karena dia anak orang kaya, lalu dia bisa mendapatkan banyak pacar, tidak... Tapi karena kemampuannya dalam berargumen, memainkan kata-kata, yang lebih mudah kita sebut dengan gombal.
Willy bertanya padaku "Emangnya lo beneran punya 'burung' Rai? Gue serius nanya" tanya Willy.
'Burung' yang dimaksud adalah kelamin pria. Pertanyaan ini di hadapan kurang lebih 5 orang temanku yang lain.
"Ya punya lah" jawabku.
"Mana? Gue belum percaya kalo belom liat" tanyanya lagi.
"Emangnya lo punya?" balasku balik bertanya
"Ya jelas lah, semua juga tau kalo gw cowo" balas Willy.
"Gue gak percaya juga kalo belom liat" balasku sambil memutarbalikkan fakta. Karena menurutku tidak semua hal yang tidak terlihat, bisa dibuktikan.
Willy berusaha memprovokator temanku yang lain "Selama ini kan kita cuma percaya aja sama yang diatas kertas... Memang gue akuin Rai secara sifat emang cowok banget. Tapi kalo ngeliat bentuknya dia kaya gini, dia lebih cantik dari semua pacar gue... Masa sih cowo bisa ngalahin cantiknya cewe, jangan-jangan Rai itu sebenernya cewek asli. Kalo lo nggak berani buktiin, berarti lo tuh cewek beneran, ayo ngaku".
"Ya gue malu lah, masa suruh buka celana? Emangnya kalo lo jadi gw, lo mau buktiin? Lo gak malu?" tanyaku.
"Ngapain malu? Cowok kok malu segala" jawab Willy.
"Ya udah kalo lo gak malu, coba lo buka celana di jalan raya, malu nggak?" tantangku.
"Ya nggak di jalan raya juga..." Jawab Willy.
"Makannya gue bilang, cowo itu harus punya malu" kataku menasehati dia.
Willy melakukan polling "Gini aja deh, ini cuma diantara kita ber-enam aja, yang setuju Rai membuktikan 'kejantanannya' harus bersedia membuka 'kejantanannya' juga supaya impas, yang setuju angkat tangan".
Semua orang mengangkat tangan kecuali aku. "Mampus gue kena skak matt" gumamku terpojok.
Aku harus berpikir dari sudut pandang lain, kalau memang sama-sama cowok, kenapa aku harus malu? Sebenarnya bukan malu, lebih tepatnya adalah canggung.
Pada saat aku duduk di bangku SMP juga ada pembuktian aneh semacam ini. Jadi ini bukan kali pertamanya.
Jadi ya terpaksa, oh terpaksa, aku harus menyetujui hasil polling tidak jelas itu.
*****
Setelah ritual aneh itu selesai, para orang aneh itu keheranan satu sama lain dengan apa yang mereka lihat.
Kata Willy "Rai, sorry sebelumnya gw sempet nggak percaya sama Lo, sekarang gw percaya kalo lo adalah cowok tulen... Tapi kalo gw boleh tanya, lo tuh sebenernya makhluk apa sih Rai?"
Kaget, bercampur marah, bercampur bingung, itulah yang aku rasakan ketika mendengar pertanyaan itu. Siapa sih, yang tidak terkejut mendengar orang yang mempertanyakan spesies kita?
"Siapa? Gue? Gue adalah makhluk utusan dewa buat ngeluarin kalian dari jalan kegelapan" jawabku.
"Jadi dewa itu beneran ada?" tanya mereka percaya
"Gila lo, gitu aja percaya hahah, bisa gila gue disini" Kataku.
"Gila lo Rai, kirain beneran" Kata mereka lega
"Pokoknya tugas lo semua sekarang jadi saksi gue, kalo ada yang pengen liat punya gue lagi, lo semua harus yakinin mereka karena kalian udah pernah liat, oke?" kataku mengajak mereka kerjasama.
"Oke siap, deal" kata mereka serempak setuju.
Tapi mengingat ini bukan kali pertamanya aku mengalami hal ini, bagiku cukup aneh.
"Emangnya sepenting apa sih pembuktian aneh semacam ini? Apa data murid nggak cukup buat kalian? Gue serius nanya" tanyaku.
Willy sang tuan rumah menjawab "Gini Rai, tadinya tuh gue nggak percaya karena liat fisik lo, apalagi suara lo... Menurut gue, semirip miripnya cewek, pasti suaranya tetep cowok... Kalo suara lo cowok, gak perlu ada pembuktian macem gini gue udah percaya... Gue merasa terhina tadinya, abisnya lo lebih cantik dari semua pacar gue, dan suara lo lebih lucu dari semua pacar gue... Jadi menurut gue, pembuktian itu penting. Gue sekarang jadi percaya kalo spesies kaya lo emang beneran ada"
"Gitu ya... baru kali ini gue denger alasan yang sebenernya, setelah sekian lama gw penasaran. Thanks guys, terutama lo Wil, cuma lo satu-satunya monyet yang bisa menjawab rasa penasaran gue". kataku
Lalu kami semua tertawa lepas, dan melupakan kejadian tidak berfaedah ini.
Posisiku di mata para murid laki-laki semakin kuat, di tahun keduaku ini, banyak siswa yang mulai menghormatiku, seiring dengan banyaknya perkelahian yang aku lakukan di luar sekolah.
Walaupun perkelahian ini sebenarnya tidak penting, tapi menjadi penting karena kebutuhanku untuk disetarakan dengan murid laki-laki yang lain.
Walaupun aku merasa dimanfaatkan, tapi aku senang karena aku merasa benar-benar dianggap sebagai cowok normal.
Aku merasa seperti orang cacat yang haknya disetarakan dengan orang normal. Aku mendapatkan pengakuan yang sama di mata mereka tanpa melihat fisikku lagi.
Kehidupan yang sudah normal juga tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tapi juga di lingkungan sosial tempat tinggalku.
Untuk orang sepertiku memang membutuhkan sedikit tenaga ekstra untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Aku tinggal di rumah bersama Ayah, dua orang kakakku, dan satu orang asisten rumah tangga yang baik.
Kakak pertamaku laki-laki bernama Miki, tinggi 182 cm, berkulit putih, rambut lurus pendek, dan memiliki badan yang cukup atletis. Saat ini dia sedang kuliah dan menuju tahun kedua.
Menurutku wajahnya pas-pasan tapi banyak gadis menyukai dia. Mungkin saja dia tampan, karena aku bersamanya sejak kecil, aku terbiasa melihat wajahnya, jadi sulit untuk mengukur seberapa tampan dia.
Miki adalah seorang kakak yang cuek dan hanya peduli dengan dunianya. Dia termasuk orang yang culun dan jarang bergaul kecuali dengan komunitas satu hobinya yaitu billiard.
Kakak keduaku perempuan bernama Aya. Tinggi 158 cm sama sepertiku, rambut lurus panjang sampai ke pinggang, berkulit putih, dan memiliki paras yang cantik. Kakak harus berterimakasih padaku karena aku sudah menyebutmu cantik.
Tapi bagiku, dia adalah seorang kakak yang perhitungan. Jika tiba-tiba dia menawarkan sebuah bantuan, sebenarnya dia membutuhkan kita untuk bantuan yang lain.
Ayahku akrab dipanggil dengan sebutan 'Pak Yos' oleh warga disini, sebenarnya itu adalah sebutan versi warga sekitar untuk mempermudah penyebutan nama ayah yang cukup sulit untuk diucapkan.
Ayah selalu bekerja dari pagi hingga malam. Beliau adalah kepala divisi perusahaan asing.
Kami jarang bertemu. Jadi kami lebih dekat dengan asisten rumah tangga kami daripada ayah kami.
Tapi ayah selalu mengajak kami semua termasuk asisten rumah tangga kami untuk pergi makan-makan di sabtu malam, atau di hari minggunya. Ajakan ayah ini bersifat wajib dan tidak boleh ada kata tidak.
Sedangkan Ibu tidak bersama kami disini, melainkan tinggal di kampung halaman bersama dengan adik perempuanku. Lain kali akan aku ceritakan kenapa.
Asisten rumah tangga kami bernama Mba Dian, dia adalah orang yang sangat baik. Dia mengasuhku dari SD hingga sekarang. Tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun. Tidak sepertiku yang hanya membuatnya repot.
Rumah kami adalah rumah dinas fasilitas dari perusahaan tempat ayahku bekerja. Kami menempati rumah ini dari waktu aku masih duduk di bangku kelas 2 SD hingga sekarang.
Kehidupan bermasyarakat kami sangat baik. Saat ada rapat RT, ayahku sering tidak bisa hadir, dan sering diwakilkan oleh kakak laki-lakiku, atau terkadang aku sendiri yang mewakilkan jika kakakku malas.
Para warga disini sudah tahu soal kondisi fisikku, mereka tidak lagi menganggapku anak bawang hanya karena kemiripanku dengan perempuan. Aku sangat menyukai perlakuan yang seperti ini. Oleh sebab itu, aku tidak pernah absen untuk ikut ronda malam di hari sabtu.
Mengobrol dengan bapak-bapak di pos ronda ternyata sangat seru. Sambil menikmati kopi dan cerita seru dari Bapak Rohman, beliau bekerja di kepolisian dan tergabung dalam Sat Reskrim (Satuan Reserse dan Kriminal).
Apabila waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi, kami pulang ke rumah masing-masing, dan aku selalu berjalan pulang dengan Bapak Rohman karena rumah kami searah.
Apakah kalian sudah mengenalku sekarang? Tentu saja belum. Aku belum menceritakan semuanya hingga titik paling rendah dalam hidupku. Kalian nikmati saja aku bercerita, aku memang suka bercerita.
Sebenarnya masa-masa penyesuaianku di SMA sudah berakhir. Maksudku masa-masa dimana aku harus menyesuaikan diri supaya tidak dipandang sebelah mata.
Sebenarnya ini adalah masa-masa penyesuaian bagi teman-temanku juga. Mereka juga membutuhkan waktu untuk tidak menganggapku berbeda.
Walaupun terkadang aku merasakan sedikit adanya diskriminasi terhadapku, tapi ini bukanlah sebuah diskriminasi yang negatif.
Misalnya ada temanku bernama Rian, dia itu bagaimana ya... jika dia bertemu dengan Harry, teman sekelas di luar sekolah, maka sapaan Rian kepada Harry terdengar sangat akrab
"Halo coy, ngapain lo disini? Ayo cari makan, tapi lo yang traktir gue hahahaha" kata Rian menggunakan bahasa khasnya.
Tapi pada saat aku bertemu Rian di mall, bahasanya bisa berbeda.
"Eh ada Rai, kamu lagi ngapain disini? udah makan belum?"
Dengan bahasa yang dilembut-lembutkan, dia merasa sedang berbicara dengan seorang gadis, jadi dia merasa harus menjaga setiap tutur katanya agar tidak menjatuhkan reputasinya di depanku.
Sekali dua kali aku bisa maklum, tapi jika terjadi berulang kali, lama-lama aku protes juga.
"Eh bentar coy, gue mo muntah denger bahasa lo, maksud lo apa ngomong pake bahasa kek gitu?" protesku.
"loh kok kamu ngomongnya gitu sih Rai?" tanyanya bingung
"Ya itu, bahasa lo, pake 'aku kamu' segala... Lo pikir lo lagi pedekate apa?" teriakku sambil menunjuk hidungnya.
"Kaga tuh, gue biasa aja ngomongnya, elo kali yang mikirnya aneh-aneh" jelas Rian
"Nah, ini baru normal. Inget... Lo harus pake bahasa ini kalo ke gue yah... ini nggak sekali dua kali lo ngomong pake dilembut-lembutin gini, maksud lo apa?" tanyaku lagi
"Yah sori Rai, gw kadang suka lupa bro hehehe" jelas Rian.
"Maksud lo boy? jangan bilang lo lupa kalo gue cowok ya? Gue bisa bikin lubang di kepala lo tau?" ancamku
"Enggak lah, gila apa, lo jangan marah dulu. Maksud gue itu, gue lupa kalo lo itu preman sekolah, gw suka lupa itu... Gw ingetnya lo tuh anak baek-baek Rai, jadinya bahasa gue ke lo selalu sopan... abisnya muka lo nggak mencerminkan muka preman sih. Makannya jangan marah dulu lo nya" jelas Rian menenangkan.
"hmm jadi gitu, masuk akal" pikirku.
Tapi aku pikir, soal kegilaan di sekolah selama 2 tahun ini, tidak ada satupun orang yang tidak mengenalku dan Jacky.
Bagaimana bisa Rian melupakan tokoh legenda rusuh di sekolahnya sendiri? Aku yakin dia hanya ngeles... Alasan yang sebenarnya adalah dia lupa kalau aku cowok.... Akhirnya aku menyadari ini, dan berbalik bertanya
"Bentar deh..."
Tapi dia sudah menghilang entah kemana. Dasar Rian, dia sudah memperhitungkan kalau aku akan menyadari hal ini. Dia mengenal otakku yang lemot dan memanfaatkan situasi itu untuk kabur.
Kali ini aku maafkan, yang penting dia tidak ada maksud buruk, dia hanya lupa siapa aku.
Sebegitu hinanya kah aku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!